Ecological Footprint HASIL DAN PEMBAHASAN

63 menghasilkan eksternalitas masih berada di bawah rata-rata ekternalitas secara sektoral. Implikasi dari hal ini dapat diketahui bahwa sektor perikanan budidaya meskipun merupakan sektor yang potensial Gambar 8 ternyata dalam menghasilkan pencemaran bahan organik masih relatif lebih rendah dibandingkan sektor potensial lainnya.

5.5. Ecological Footprint

Wilayah pesisir Provinsi Banten yang rentan vulnerable terhadap perubahan lingkungan akan menerima dampak negatif berupa pencemaran, sedimentasi, dan penurunan keanekaragaman hayati biodiversity loss akibat aktivitas manusia dan ini tentu akan menyulitkan pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian, untuk mengantisipasi dampak negatif dari pembangunan yang mungkin timbul, maka kajian tentang kemampuan daya dukung Provinsi Banten diperlukan untuk mendukung kegiatan perikanan budidaya yang ada di atasnya. Ecological footprint sebagai suatu konsep daya dukung, yang paling mendasar adalah menjelaskan hubungan antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumberdaya dimana populasi tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut Adrianto dan Matsuda 2004. Analisis footprint di suatu wilayah didasarkan pada kegiatan konsumsi, ekspor dan impor yang dilakukan oleh wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebenarnya kategori atau komponen footprint didasarkan pada jenis yang dikonsumsi dan bukan jenis yang diproduksi. Hasil perhitungan footprint perikanan budidaya di Provinsi Banten tahun 1999-2005 dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7. Komponen footprint perikanan budidaya terdiri dari budidaya laut dan budidaya tambak. Nilai produktivitas setiap komponen menggunakan nilai produktivitas lokal dan regional. Gambar 11 dan Gambar 12 menyajikan nilai ecological footprint perikanan budidaya baik budidaya laut maupun budidaya tambak di wilayah pesisir Provinsi Banten. 1 0.000 0.020 0.040 0.060 0.080 0.100 0.120 0.140 0.160 E F H a kap it a 1 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Gambar 11 Ecological Footprint Budidaya Laut Provinsi Banten 64 Gambar 11 menunjukkan bahwa tingkah laku ecological footprint budidaya laut di Provinsi Banten berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan. Tahun 1999, ecological footprint budidaya laut berada pada level 0,1240 hakapita atau dibutuhkan areal seluas 987.242 ha untuk budidaya laut atau 1,05 kali dari luas total wilayah Provinsi Banten. Selanjutnya, ecological footprint meningkat pada level 0,1386 hakapita atau dibutuhkan areal seluas 1.121.893 ha. Tahun 2001, ecological footprint mengalami penurunan pada level 0,1256 hakapita atau dibutuhkan areal seluas 1.036.633 ha dan relatif stabil di tahun 2002 pada level 0,1225 hakapita atau areal seluas 1.045.241 ha. Peningkatan terjadi pada tahun 2003 di level 0,1290 hakapita atau dibutuhkan areal seluas 1.155.443 ha dan relatif stabil pada level 0,1289 hakapita atau areal seluas 1.170.544 ha di tahun 2004. Kemudian, tahun 2005 areal yang dibutuhkan mencapai 1.429.109 ha atau mengalami peningkatan dan berada pada level 0,1535 hakapita. Dengan kata lain, dapat dikatakan dari Gambar 11 terjadi ecological defisit dari budidaya laut di Provinsi Banten. Rata-rata areal yang dibutuhkan untuk budidaya laut di wilayah pesisir Provinsi Banten adalah 1.135.157 ha atau 1,2 kali dari luas total wilayah Provinsi Banten 943.833 ha. Namun demikian, jika menggunakan areal produktif untuk budidaya laut seluas 29.332 ha, maka areal yang dibutuhkan 38 kali dari luas areal produktif. Gambar 12 Ecological Footprint Budidaya Tambak Provinsi Banten 0.000 0.002 0.004 0.006 0.008 0.010 0.012 0.014 0.016 0.018 E F H akap it a 1 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Gambar 12 memperlihatkan ecological footprint dari budidaya tambak di wilayah pesisir Provinsi Banten juga berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan. Tahun 1999, ecological footprint budidaya tambak berada pada level 0,0145 hakapita atau dibutuhkan areal seluas 115.330 ha untuk budidaya tambak atau 0,12 kali dari luas total wilayah Provinsi Banten. Selanjutnya, ecological footprint budidaya tambak relatif stabil pada level 0,0141 hakapita 65 atau areal yang dibutuhkan seluas 114.003 ha di tahun 2000, kemudian menurun pada level 0,0134 hakapita pada tahun 2001 atau dibutuhkan areal seluas 110.327 ha. Tahun 2002, ecological footprint budidaya tambak meningkat pada level 0,0156 hakapita atau luasan areal yang dibutuhkan 133.235 ha, peningkatan ini terjadi sampai pada level 0,0161 hakapita di tahun 2003 atau areal yang dibutuhkan menjadi 143.926 ha. Peningkatan ini tidak terjadi pada tahun 2004, ecological footprint budidaya tambak cenderung menurun pada level 0,0152 hakapita atau areal yang dibutuhkan menjadi 137.700 ha, meskipun di tahun 2005 areal yang dibutuhkan mencapai 156.762 ha atau mengalami peningkatan dan berada pada level 0,0168 hakapita. Implikasi dari Gambar 12 adalah terjadi ecological defisit dari budidaya tambak di Provinsi Banten. Rata-rata areal yang dibutuhkan untuk budidaya tambak di wilayah pesisir Provinsi Banten adalah 130.183 ha atau 0,13 kali dari luas total wilayah Provinsi Banten 943.833 ha. Namun demikian, jika dibandingkan dengan areal produktif untuk budidaya tambak seluas 11.707 ha, maka areal yang dibutuhkan 11,12 kali dari luas areal produktif. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Provinsi Banten saat ini terjadi “ecological defisit” untuk budidaya laut dan budidaya tambak. Namun demikian, perlu diingat bahwa daerah yang ecological defisit belum tentu “tidak makmur” dalam konotasi ekonomi karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi oleh sumberdaya alam dan lingkungan setempat. Daerah yang ecological defisit juga dapat makmur jika hasil dari sumberdaya alam yang tersedia dapat dipasarkan secara sehat untuk ditukarkan dengan kebutuhan hidup lain yang tidak dapat dipenuhi oleh sumberdaya dan lingkungan setempat. Jika dibandingkan dengan beberapa negara dan dunia, ecological footprint dari budidaya laut dan budidaya tambak Provinsi Banten memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan negara lain, sebagai contoh: Hongkong 20 hakapita Warren- Rhodes dan Koenig 2001 dan Dunia 0,3 hakapita WWF 2002.

5.6. Keterkaitan Ecological Footprint dan Ecological Input-Output