14
2.5. Ecological Input-Output
Menurut Rustiadi et al. 2004 model Input-Output telah dikenal semenjak jaman Phsyokrat pada pertengahan abad ke-18, khususnya oleh Quesnay di
tahun 1758 dengan Tableu de’economique-nya. Semula Quesnay hanya mengkonstruksi model makro ekonomi input-output khususnya antara petani dan
buruh farmers and laborers, tuan tanah land owners dan pihak lainnya others, sterile class. Kemudian, oleh Walras di tahun 1877 dengan General Equilibrium-
nya dibuatlah model tersebut menjadi lebih terinci dengan pemisahan sektor yang lebih baik dan jelas.
Puncak perkembangan Tabel Input-Output yang mencapai bentuk yang mendasari tabel-tabel input-output modern adalah tabel input-output yang
dikembangkan oleh Leontief 1966. Tujuan Leontief mengembangkan tabel input-output adalah untuk menjelaskan besarnya arus interindustri dalam hal
tingkat produksi dalam tiap-tiap sektor. Saat ini Analisis Input-Output telah berkembang luas menjadi model analisis standar untuk melihat struktur
keterkaitan perekonomian nasional, wilayah dan antar wilayah, serta dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian
Rustiadi et al. 2004. Ecological input-output merupakan pengembangan dari model input-output
I-O konvensional yang telah digunakan sebagai alat analisis perencanaan pembangunan selama ini KMNLH dan BPS 2000. Satu kekurangan dari model
I-O konvensional adalah tidak diikutsertakannya transaksi komoditi ekologi dan output eksternal dari setiap sektor pembangunan. Padahal ini merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pengembangan model ecological input-output ini diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan tersebut sehingga hasilnya
dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Model ecological input-output dilakukan dengan cara memasukkan beberapa jenis komoditas ekologi, seperti air dan tanah ke dalam deretan sektor
produksi dan menambahkan pada kolom-kolom terakhir beberapa output yang berupa limbah atau permasalahan lingkunganekologi seperti pencemaran CO,
CO
2
, SO
x
dan sebagainya yang merupakan produk kegiatan ekonomi. Prinsip analisis yang digunakan sama dengan prinsip pada analisis dasar,
dimana dengan mengasumsikan koefisien konstan, maka dampak perubahan permintaan akhir pada produksi berbagai sektor termasuk produksi limbah akan
15 bisa diprediksi. Karena model ini mencakup komoditi ekologi seperti air dan
tanah yang dimasukkan sebagai input, maka dapat diprediksi dampak perubahan permintaan akhir pada besarnya kebutuhan input setiap sektor, sehingga
dampaknya pada degradasi lingkungan dapat diperkirakan KMNLH dan BPS 2000.
Bentuk umum tabel ecological input-output yang memperhitungkan dampak lingkungan adalah dengan menambahkan beberapa kolom pada sisi kanan tabel
input-output standar yang mencerminkan output berupa produk sampingan ekonomi yang dalam hal ini eksternalitas dan degradasi yang terjadi terhadap
lingkungan. Di samping itu dengan menambahkan baris pada sisi bawah yang menggambarkan input berupa variabel sumberdaya lingkungan yang dapat
memberikan masukan bagi kegiatan ekonomi. Format tabel input-output terdiri dari suatu kerangka matrik berukuran
“n x n” dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran mendeskripsikan suatu hubungan tertentu. Untuk memberikan gambaran yang
lengkap, maka Tabel 1 menyajikan format tabel ecological input-output. Tabel 1 Struktur Tabel Ecological Input-Output
Permintaan Antara Permintaan Akhir
Sektor Produksi Alokasi Output
Susunan Input 1
… j
… n
Konsumsi Rumah Ta
ngga Konsumsi
Pemerintah Pembentukan
Modal Tetap Stok
Ekspor Total
Output Ecological
Commodity Outputs
Input Antara Sektor Produksi
1 .
. .
i .
. .
n X
11
… …
… X
i1
… …
… X
n1
… …
… …
… …
… …
… X
1j
… …
… X
ij
… …
… X
nj
… …
… …
… …
… …
… X
1n
… …
… X
in
… …
… X
nn
RT
1
… …
… RT
i
… …
… RT
n
KP
1
… …
… KP
i
… …
… KP
n
PM
1
… …
… PM
i
… …
… PM
n
S
1
… …
… S
i
… …
… S
n
E
1
… …
… E
i
… …
… E
n
O
1
… …
… O
i
… …
… O
n
N
1
… …
… N
i
… …
… N
n
Upah dan gaji Rumah Tangga
L
1
… L
j
… L
n
Nilai Tambah Lain V
1
… V
j
… V
n
Impor M
1
… M
j
… M
n
Total Input I
1
… I
j
… I
n
Ecological Commodity Inputs
R
1
… R
i
… R
n
2.6. Ecological Footprint
Sachs 2003, diacu dalam Anielski 2005 mengatakan bahwa : “The world is no longer divided by the ideologies of ‘left’ and ‘right,’ but by those who accept
ecological limits and those who don’t.” “Dunia tidak lagi dibagi oleh ideologi ‘kiri’
16 dan ‘kanan’ tetapi oleh mereka yang menerima adanya keterbatasan ekologis
dan mereka yang tidak”. Oleh karena itu, perhatian terhadap keberlanjutan ekologi menjadi kewajiban bagi seluruh umat manusia. Dengan kata lain
diperlukan suatu pendekatan. Salah satu konsep pendekatan yang coba ditawarkan adalah ecological footprint sebagai panduan kebijakan dan alat
perencanaan untuk keberlanjutan pembangunan. Ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan
dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat Adrianto 2006. Selain itu menurut Anielski 2005 ecological footprint adalah suatu alat untuk memonitor
kemajuan ke arah keberlanjutan. Ini merupakan salah satu langkah penyampaian mengenai perbandingan konsumsi manusia yang secara langsung dengan
batasan produktivitas sumberdaya alam. Ini merupakan suatu alat menarik untuk berkomunikasi, mengajar, dan perencanaan dengan menggunakan kriteria
ekologis minimum untuk keberlanjutan. Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel
dan Rees 1996 dalam bukunya yang berjudul : Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. Setiap diri kita memerlukan areal untuk
konsumsi pangan dan papan footprint pangan dan papan, untuk bangunan, jalan, TPA dan lain-lain degraded land footprint, dan perlu hutan dan juga
lautan untuk mengabsorbsi kelebihan CO
2
pada saat membakar BBM energy footprint. Jumlah footprint tersebut merupakan apa yang disebut ecological
footprint diri kita. Venetoulis et al. 2004 menambahkan ecological footprint merupakan
suatu alat untuk mengukur dan meneliti konsumsi sumberdaya alam oleh manusia dan output buangan di dalam konteks sumberdaya alam dapat
diperbaharui dan memiliki kapasitas regenerasi biocapacity. Pendekatan ini memberikan penilaian yang bersifat kuantitatif mengenai produktifitas area
secara biologi yang diperlukan untuk menghasilkan sumberdaya baik makanan, energi dan material serta untuk menyerap buangan dari individu, kota, wilayah,
atau negara. Pada saat kita makan nasi, maka jumlah nasi yang kita konsumsi selama
satu tahun memerlukan sejumlah areal yang khusus diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan nasi kita. Tidak penting lokasi areal itu dimana, tetapi pasti
ada areal di permukaan bumi yang telah berproduksi untuk kita. Kertas dan kayu yang kita gunakan setiap tahun juga memerlukan sejumlah areal hutan yang
17 khusus diperuntukkan untuk keperluan kita. Demikian pula areal untuk rumah,
perkantoran, kawasan perkotaan, jalan dan lain-lain, merupakan areal yang harus tersedia untuk kita sebagai areal yang secara ekologis telah ”terdegradasi”
karena secara biologis tidak produktif lagi. Mengingat areal di permukaan bumi yang terbatas, ekspansi seseorang terhadap komponen-komponen kebutuhan
tersebut pasti akan mengurangi atau berakibat kerugian pada orang lain. Analisis ecological footprint dari kebutuhan nyata tersebut dapat memberikan gambaran
pada tingkat mana permukaan bumi dapat mendukung pola konsumsi manusia ketika populasi bertambah dan standar hidup di negara berkembang juga
meningkat Palmer 1999. Secara konseptual ecological footprint tidak boleh melebihi biocapacity.
Biocapacity dapat diartikan sebagai daya dukung biologis, atau daya dukung saja. Ferguson 2002 mendefinisikan biocapacity sebagai ukuran ketersediaan
areal produktif secara ekologis. Sementara itu daya dukung lingkungan dalam kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi
tersebut, yang didukung oleh biocapacity yang ada. Daya dukung lingkungan carrying capacity adalah total biocapacity dibagi dengan total ecological
footprint. Menurut Rees 1996 yang dikutip dalam Wackernagel dan Yount 1998,
analisis ecological footprint adalah suatu indikator area-based yang digunakan untuk mengukur intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas
menghasilkan limbah di suatu area khusus dalam hubungan dengan kapasitas area untuk menyediakan aktivitas tersebut.
Wackernagel dan Yount 1998 menjelaskan bahwa analisis ecological footprint didasarkan pada dua fakta sederhana. Pertama, kita dapat menelusuri
banyaknya sumberdaya yang dikonsumsi pada suatu populasi manusia dan kebanyakan populasi tersebut menghasilkan buangan. Kedua, bahwa
sumberdaya dan aliran buangan tersebut dapat dikonversi ke suatu area yang produktif untuk keperluan menyediakan sumberdaya dan asimilasi buangan.
Setiap proses kehidupan akan memiliki ecological footprint dengan ukuran yang berbeda. Pada skala global, manusia secara keseluruhan dapat
dibandingkan dengan total kekayaan alam dan jasa yang tersedia. Ketika manusia dalam pemanfaatannya masih di dalam kemampuan alam melakukan
regenerasi, maka keberlanjutan sebagai konsekuensinya.
III. METODOLOGI