21,7 5,4
100 78,3
94,6 100
20 40
60 80
100 120
30 - 39 40 - 49
50 - 59 60 - 69
Jum la
h pe nde
ri ta
a br
a si
Umur penyuntil Tahun Derajat 1
Derajat 2 Derajat 3
Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,674 artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara komposisi menyuntil dengan derajat abrasi gigi.
Nilai kontigensia sebesar 4,4. Diperoleh nilai odd ratio sebesar 1,444 yang berarti penyuntil dengan komposisi menyuntil tembakau, daun sirih, kapur, gambir, dan
pinang mempunyai resiko terhadap abrasi gigi sebesar 1,444 kali dibandingkan dengan penyuntil dengan komposisi menyuntil tembakau, daun sirih, kapur, dan
gambir.
4.3.4 Hubungan Umur dengan Derajat Abrasi Gigi
Grafik 8. Distribusi frekuensi derajat abrasi gigi berdasarkan umur penyuntil
Grafik 8 menunjukkan bahwa abrasi gigi derajat 2 semakin meningkat persentasenya seiring dengan meningkatnya umur penyuntil; abrasi gigi derajat 1
semakin menurun persentasenya seiring dengan semakin meningkatnya umur penyuntil; abrasi gigi derajat 3 tidak dijumpai pada semua kelompok umur. Hal ini
terjadi karena semakin tua umur penyuntil, permukaan labial gigi akan semakin terkikis oleh kebiasaan menyuntil, yang menyebabkan abrasi gigi derajat 1 meningkat
menjadi abrasi gigi derajat 2.
Tabel 9. Distribusi frekuensi resiko abrasi gigi berdasarkan umur penyuntil Umur
Tahun Derajat Abrasi
Total Derajat 1
Derajat 2 30 - 49
5 15,2
28 84,8
33 100
50 - 69 2
3,5 55
96,5 57
100 Total
7 7,8
83 92,2
90 100
X
2
= 3,950 df = 1
C = 0,205 p = 0,047
OR = 4,910 Uji Chi-Square, signifikan dengan p 0,05
Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,047 artinya ada hubungan yang signifikan antara umur penyuntil dengan derajat abrasi gigi. Nilai kontigensia
sebesar 20,5. Diperoleh nilai odd ratio sebesar 4,910 yang berarti penyuntil dengan umur 50 – 69 tahun mempunyai resiko terhadap abrasi gigi sebesar 4,910 kali
dibandingkan dengan penyuntil umur 30 – 49 tahun.
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Latar Belakang Pemilihan Subjek Penelitian
Penyirih adalah orang yang memiliki kebiasaan menyirih, dimana kebiasaan tersebut dilakukan secara teratur dengan frekuensi menyirih minimal sekali sehari.
Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, gambir dan pinang.
2
Kebiasaan menyirih adalah kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun, yang mulanya berkaitan erat dengan adat kebiasaan
masyarakat setempat,
1
khususnya pada perempuan penyirih suku Karo di Pancur Batu. Kebiasaan menyirih biasanya dilakukan sebagai pengisi waktu luang sambil
berjualan, berladang, maupun saat berkumpul dengan teman. Hal yang unik dalam masyarakat suku Karo adalah bahwa kebiasaan menyirih biasanya dilanjutkan dengan
kegiatan menyuntil. Kebiasaan menyirih berdampak pada meningkatnya frekuensi pengunyahan.
Meningkatnya frekuensi pengunyahan menyebabkan semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hal ini terjadi karena semakin tinggi frekuensi
pengunyahan, maka semakin sering gigi terpapar oleh gesekan mekanis yang berasal dari kontak antara gigi dengan gigi antagonisnya dalam proses pengunyahan.
Semakin sering gigi terpapar oleh gesekan mekanis akibat pengunyahan, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hilangnya substansi gigi
akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan disebut atrisi gigi. Besarnya derajat atrisi gigi akibat kebiasaan
menyirih bergantung pada empat faktor utama, yaitu lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih.
9
Menyuntil adalah suatu proses menggosok-gosokkan gumpalan suntil ke permukaan gigi sebelah labial atau bukal.
3
Gumpalan suntil adalah campuran sirih ditambah sejumlah tembakau yang dikunyah kemudian digosok-gosokkan ke
permukaan gigi sebelah labial atau bukal.
9
Kebiasaan menyuntil dapat menyebabkan