Dengan standar kebutuhan ruang setiap orang 1m
2
maka untuk ruang evakuasi setiap lantai dapat menampung pengungsi 300-400 orang per lantai atau total 600-800
orang dengan syarat pengungsi tidak membawa banyak barang. Pada lantai satu seluas 400m
2
, lantai dapat digunakan sebagai ruang evakuasi bencana dan di saat normal dapat difungsikan untuk kegiatan sosial, kegiatan ibadah, balai warga
RTRW, perkawinan, atau pentas seni. Lantai ini dilengkapi fasilitas dapur umum dan toilet bersama.
Pada lantai teratas berupa atap rumput seluas 250m
2
. Fasilitas dapur umum dan toilet bersama dilengkapi panel sel surya untuk menyuplai kebutuhan energi
listrik taman dan dapat ditingkatkan kapasitasnya untuk rumah tangga, sangat bermanfaat pada saat bencana terjadi ketika aliran listrik mati total. Sebagian
permukaan dinding bangunan taman dapat dipakai untuk layar pemutaran film cerita atau film penyuluhan warga.
2.6 Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada tindakan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan
sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Dalam UU No. 24 Tahun 2007, usaha mitigasi dapat berupa
prabencana, saat bencana dan pasca bencana. Prabencana berupa kesiapsiagaan atau upaya memberikan pemahaman pada penduduk untuk mengantisipasi bencana,
melalui pemberian informasi, peningkatan kesiagaan kalau terjadi bencana ada langkah-langkah untuk memperkecil resiko bencana.
Universitas Sumatera Utara
Penanganan bencana harus dengan strategi proaktif, tidak semata-mata bertindak pascabencana, tetapi melakukan berbagai kegiatan persiapan untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana. Berbagai tindakan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi datangnya bencana dengan membentuk sistem
peringatan dini, identifikasi kebutuhan dan sumber-sumber yang tersedia, penyiapan anggaran dan alternatif tindakan, sampai koordinasi dengan pihak-pihak yang
memantau perubahan alam. Dalam mitigasi dilakukan upaya-upaya untuk meminimalkan dampak dari bencana yang akan terjadi yaitu program untuk mengurangi pengaruh suatu
bencana terhadap masyarakat atau komunitas dilakukan melalui perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan, penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan data base,
pemantauan dan pengembangan. Gambar 2.12 menunjukkan skema mitigasi bencana versi RedR Australia.
Gambar 2.12 Skema mitigasi bencana DRM Cycle-versi RedR Australia Sumber: LIPI-UNESCOISDR-2006
Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang amat penting dalam penanggulangan bencana karena kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya
Universitas Sumatera Utara
bencana yang dimaksudkan untuk mengantisipasi agar korban jiwa dan kerugian materi yang ditimbulkan dapat dikurangi. Masyarakat yang berada di daerah rawan
bencana maupun yang berada di luar sangat besar perannya, sehingga perlu ditingkatkan kesadarannya, kepeduliannya dan kecintaannya terhadap alam dan
lingkungan hidup serta kedisiplinan terhadap peraturan dan norma-norma yang ada. Istilah program mitigasi bencana mengacu kepada dua tahap perencanaan yaitu:
Pertama, perencanaan sebelum kejadian untuk manajemen bencana, mencakup aktivitas-aktivitas mitigasi dan perencanaan bencana; Kedua, perencanaan serta
tindakan sesudah kejadian, meliputi peningkatan standar teknis dan bantuan medis serta bantuan keuangan bagi korban Inoghuci et.al, 2003.
Dalam mitigasi bencana dilakukan tindakan-tindakan antisipatif untuk meminimalkan dampak dari bencana yang terjadi dilakukan melalui perencanaan tata
ruang, pengaturan tata guna lahan, penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan data, pemantauan dan pengembangan. Di negara-negara maju, kesalahan dalam
pembangunan diimbangi melalui perencanaan yang matang Inoghuci et.al, 2003. Informasi tempat pengungsian saat terjadi bencana alam sangat penting
sebab penduduk yang menyelamatkan diri saat terjadinya bencana seharusnya tahu kemana
mereka harus menyelamatkan diri. Keberadaan rambu-rambu petunjuk arah penyelamatan seperti yang dilakukan di Jepang mutlak diperlukan agar masyarakat tahu
jalur yang akan dilaluinya untuk menyelamatkan diri sebelum terjadi bencana. Dengan demikian akan berkurang kepanikan masyarakat pada saat bencana akan terjadi sehingga
masyarakat bisa dengan lebih tenang dalam melakukan upaya mitigasi bencana.
Universitas Sumatera Utara
Penerapan informasi yang efektif dan program-program pendidikan, masyarakat dapat menggunakan brosur, instruksi satu lembar, uji coba sistem
peringatan secara berkala, informasi media cetak dan elektronik dan lain-lain. Beberapa informasi ini ditujukan bagi institusi-institusi seperti sekolah-sekolah,
rumah sakit, fasilitas perawatan-pemulihan, dan komunitas yang tidak bisa berbahasa setempat para wisatawan. Upaya-upaya informasi dan pendidikan ini penting
diadakan secara rutin dan komprehensif. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kota ditujukan untuk mengurangi kerugian dan kerusakan akibat bencana
yang sewaktu-waktu dapat melanda kota. Pemerintah pada daerah yang rawan bencana gempa intensif melakukan
simulasi upaya evakuasi dan penyelamatan terhadap bencana. Demikian juga media membantu dengan menayangkan program yang memberi informasi upaya
penyelamatan terhadap bencana gempa.
Dalam hal bencana yang disebabkan oleh gempa bumi di daerah perkotaan, berdasarkan fakta dan hasil penelitian beberapa pakar, menunjukkan bahwa sebagian
besar korban terjadi akibat keruntuhan dan kerusakan bangunan, seperti jatuhnya atap, runtuhnya kolom, hancurnya dinding, dll. Hal ini menunjukkan bahwa upaya
mitigasi bencana gempa bumi melalui pengembangan disain rumah tahan gempa sampai saat ini belum sepenuhnya berhasil.
Hal lain juga yang menyebabkan korban akibat bencana gempa sangat besar adalah tidak adanya lokasi evakuasi yang mampu memberikan perlindungan bagi
Universitas Sumatera Utara
warga ketika bencana terjadi yaitu berupa bangunan penyelamatan yang telah dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan dalam keadaan darurat.
Mitigasi harus memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk mengurangi pengaruh dari bencana dan kondisi yang peka dalam rangka untuk
mengurangi bencana yang lebih besar dikemudian hari. Karena itu seluruh aktivitas mitigasi difokuskan pada bencana itu sendiri atau bagianelemen dari ancaman.
Beberapa hal untuk rencana mitigasi pada masa depan dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Perencanaan lokasi dan pengaturan penempatan penduduk. 2. Memperkuat bangunan dan infrastruktur serta memperbaiki peraturan
code disain yang sesuai. 3. Melakukan usaha preventif dengan merealokasi aktiftas yang tinggi
kedaerah yang lebih aman dengan mengembangkan mikrozonasi. 4. Mensosialisasikan dan melakukan training yang intensif bagi penduduk
didaerah area yang rawan gempa. 5. Membuat sistem peringatan dini di daerah perkotaan yang rawan gempa.
2.6.1 Kesiapsiagaan Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi melalui pengorganisasian yang
tepat dan berdaya guna. Menurut Randolph Kent 1994 kesiapan bencana mencakup peramalan dan pengambilan keputusan tindakan-tindakan pencegahan sebelum
munculnya ancaman, didalamnya meliputi pengetahuan tentang gejala munculnya
Universitas Sumatera Utara
bencana, gejala awal bencana, pengembangan dan pengujian secara teratur terhadap sistem peringatan dini, rencana evakuasi atau tindakan lain yang harus diambil
selama periode waspada untuk meminimalisir kematian dan kerusakan fisik yang mungkin terjadi.
Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana dan di dalam konsep pengelolaan bencana yang berkembang saat ini, peningkatan
kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum terjadinya suatu bencana.
Di dalam proses pengelolaan bencana yang direpresentasikan sebagai model siklus, peningkatan kesiapsiagaan merupakan bagian dari proses pengelolaan risiko
bencana, seperti diperlihatkan pada gambar 2.13.
Gambar 2.13 Kesiapsiagaan dalam Model Siklus Pengelolaan Bencana Model ini memiliki kelemahan karena seolah-olah komponen-komponen
kegiatan pengelolaan bencana tersebut berjalan secara sekuensial berurutan, padahal sesungguhnya tidak demikian. Gambar 2.14 memperlihatkan peranan peningkatan
Fase pengurangan resiko sebelum bencana terjadi
Fase pemulihan setelah bencana terjadi
Kesiapsiagaan Mitigasi
Pencegahan Tanggap darurat
Pemulihan Pembangunan
Manajemen Risiko Manajemen Dampak
BENCANA
Universitas Sumatera Utara
kesiapsiagaan terhadap bencana dalam suatu model pengelolaan bencana yang menerapkan konsep kembang susut expand–contract, yang merepresentasikan
secara lebih baik peranan dari berbagai komponen kegiatan pengelolaan bencana yang berjalan secara paralel.
Gambar 2.14 Kesiapsiagaan dalam proses manajemen bencana Model Expand-Contract
Kegiatan tanggap darurat meliputi langkah-langkah tindakan sesaat sebelum bencana, seperti: peringatan dini bila memungkinkan meliputi penyampaian
peringatan dan tanggapan terhadap peringatan; tindakan saat kejadian bencana, seperti: melindungimenyelamatkan diri, melindungi nyawa dan beberapa jenis benda
berharga, tindakan evakuasi; dan tindakan yang harus dilakukan segera setelah terjadi bencana, seperti SAR, evakuasi, penyediaan tempat berlindung sementara, perawatan
darurat, dapur umum, bantuan darurat, survei untuk mengkaji kerusakan dan kebutuhan-kebutuhan darurat serta perencanaan untuk pemulihan segera terhadap
infrastuktur kritis, sarana sosial seperti pendidikan dan ibadah.
PASCA- PRA-BENCANA
KEDARURATAN KEJADIAN
PENCEGAHAN MITIGASI
TANGGAP REHABILITASI
KEJADIAN
Universitas Sumatera Utara
2.6.2 Sistem komunikasi dan peringatan dini Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa bencana alam geologi yang menjadi
ancaman di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang di dalamnya termasuk Kota Tarutung adalah gempa bumi tektonik. Gempa bumi tektonik sulit diprediksi
kepastian waktu dan magnitudonya hanya dapat dipetakan daerah patahan serta prakiraan kemungkinannya yaitu berdasarkan sejarah kegempaan serta karakteristik
wilayah kegempaan. Namun seperti dijelaskan para ahli bahwa apabila pernah terjadi kegempaan besar yang merusak di suatu kawasan baik satu kali maupun beberapa
kali, maka dapat dipastikan bahwa wilayah tersebut rawan terhadap gempa bumi yang paling tidak berkekuatan sama dengan yang pernah terjadi. Artinya wilayah tersebut
harus siap menghadapi kejadian gempa bumi serupa atau lebih besar dimasa yang akan datang, karena setiap kejadian gempa bumi pasti berhubungan dengan adanya
patahan aktif pada atau sekitar wilayah tersebut dan proses gempa dengan skala magnitudo tertentu mempunyai siklus atau akan selalu berulang dengan kisaran
periode ulang tertentu Natawidjaja, et. all, 1995. Dalam persitiwa bencana alam gempa bumi dapat menimbulkan bencana
ikutan seperti tanah longsor seperti di Garut, tsunami di Aceh dan kebakaran di San Francisco AS. Jadi sistem komunikasi dan peringatan dini bertujuan untuk menilai
efektivitas sebuah informasi peramalan potensi bencana dapat dikomunikasikan hingga ke tingkat komunitas yang terancam. Sehingga saat terjadi sebuah bencana
komunitas memiliki waktu untuk menyelamatkan aset-aset kehidupannya.
Universitas Sumatera Utara
Tantangan yang seringkali muncul dalam sistem peringatan dini adalah bagaimana menterjemahkan informasi teknis menjadi informasi yang mudah diterima
dan dipahami oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat bertindak pada saat yang tepat. Tantangan tersebut sebenarnya dapat di reduksi melalui keterlibatan komunitas
yang terancam dan pihak yang berwenang dalam memberikan informasi tersebut. Untuk itu maka sebuah sistem informasi peringatan dini harus memiliki parameter
sebagai berikut: pertama menjangkau sebanyak mungkin anggota masyarakat, kedua segera, ketiga tegas, jelas dan tidak membingungkan dan keempat bersifat resmi atau
disepakati oleh semua pihak. Sistem peringatan dini biasanya melalui jalur komunikasi yang menginformasikan ramalan ancaman dari suatu lembaga yang
berwenang hingga ke satuan kelompok masyarakat terkecil. Penyampaian informasi peringatan dini harus mempertimbangkan hal-hal:
1. Menginformasikan peringatan secara bertingkat ke masyarakat. Setiap perubahan tingkat peringatan bermakna pada peningkatan kewaspadaan
yang harus dilakukan masyarakat. 2. Penyeragaman dan kesepakatan informasi mengenai tanda, simbol dan
suara baik dari lembaga yang berwenang maupun dari tim siaga desa sehingga semua pihak dapat mengerti dan memahami informasi peringatan
dini yang disamapaikan. 3. Menyepakati atau penunjukan terhadap individu yang berwenang di
tingkat dusun, desa atau kota untuk membunyikan tanda peringatan dini apabila terjadi ancaman berpotensi menimbulkan risiko.
Universitas Sumatera Utara
4. Penggunaan alat sistem informasi peringatan dini yang tepat guna. Peralatan informasi peringatan dini yang digunakan tidaklah harus
berteknologi tinggi dan mahal, yang penting dapat berfungsi efektif dan cepat dalam memberikan informasinya. Disamping itu pemilihan alat
peringatan dini harus mempertimbangkan waktu ancaman berlangsung mulai dari sumber ancaman hingga
sampai di areal pemukiman. Masyarakat pedesaan pada umumnya memiliki alat-alat tradisional yang
berfungsi untuk menyampaikan informasi peringatan. 5. Penempatan alat peringatan dan papan informasi di tempat yang strategis
sehingga semua orang bisa mengetahui dan mendengarnya. 6. Saran tindakan yang harus dilakukan oleh masyarakat harus konkret dan
spesifik, saran mengenai tindakan yang tidak boleh dilakukan masyarakat sehingga dapat mengurangi risiko.
7. Bahasa penyampaian informasi sesederhana mungkin dan dalam bahasa lokalsetempat agar dapat dimengerti seluruh orang.
8. Melakukan latihan simulasi sistem komunikasi dan peringatan dini yang teratur dalam periode tertentu di kawasan yang rawan bencana. Hal ini
bertujuan untuk membentuk kebiasaan dan melatih naluri penduduk untuk selalu siap siaga dalam menghadapi ancaman. Disamping itu sebagai
kontrol dan penilaian efektivitas dari sistem komunikasi dan peringatan dini yang dilakukan di sebuah kawasan rawan bencana serta pengecekan
Universitas Sumatera Utara
apakah alat komunikasi dan peringatan dini masih berfungsi dengan baik atau tidak.
2.6.3 Arahan mitigasi bencana perkotaan Kepadatan penduduk yang terpusat di perkotaan, ditambah dengan
pertumbuhan penduduknya yang cukup tinggi proses intensifikasi menyebabkan daerah perkotaan tersebut menjadi rawanrentan terhadap bencana. Permintaan lahan
untuk perumahan dan indusri proses ekstensifikasi juga menyebabkan bertambahnya area yang potensial terhadap bencana. Mengingat bahwa mitigasi
ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko akibat bencana terhadap manusia dan harta bendanya, maka prioritas perlu diberikan untuk kawasan-kawasan
perkotaan yang secara inherent mengandung potensi resiko yang tinggi jika terjadi bencana sebagai akibat akumulasi dari tingkat kerentanan yang relatif lebih tinggi bila
dibandingkan dengan wilayah lain yang secara umum kurang terbangun, dengan potensi bahaya yang dimilikinya.
Secara umum dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan
dengan pembangunan konstruksi fisik, sedangkan mitigasi non struktural antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan yang disesuaikan dengan kerentanan
wilayahnya dan memberlakukan peraturan pembangunan. Mitigasi bencana meliputi pengenalan dan adaptasi terhadap bahaya alam dan
buatan manusia, serta kegiatan berkelanjutan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko panjang, baik terhadap kehidupan manusia maupun harta benda. Salah satu
Universitas Sumatera Utara
arahan kebijakan mitigasi perkotaan adalah menitikberatkan pada sosialisasi bencana, dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.
Kebijakan ini dilakukan dengan program peningkatan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan, diklat maupun sosialisasi. Kebijakan penting lainnya
melakukan evaluasi dan merevisi RTRK untuk kawasan terbangun, penerapan kebijakan ini dilakukan melalui program penambahan Ruang Terbuka yang ada
dalam rangka memfasilitasi terbentuknya fungsi-fungsi intergrasi sosial masyarakat sekaligus sebagai tempat evakuasi bila terjadi bencana.
2.7 Pengertian Persepsi Masyarakat