BAB V ANALISIS DAN KONSEP PENGEMBANGAN PADA KOTA
YANG RAWAN BENCANA GEMPA
5.1 Pengetahuan dan Pemahaman tentang Bencana
Salah satu pertanyaan mendasar yang digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan masyarakat adalah apa yang dimaksud dengan bencana alam dan
penyebab terjadinya gempa bumi. Hasil analisis frekwensi menunjukkan bahwa 92.9 responden mengatakan gempa bumi sebagai akibat dari pergeseran kerak bumi
dan 82,8 mengatakan gempa juga diakibatkan gunung meletus, namun takdir Tuhan dan akibat pengeboran minyak serta akibat dari badai topan dan halilintar juga
diyakini sebagai penyebab gempa bumi. Pengetahuan tentang akibat dari gempa menunjukkan pemahaman yang tinggi dan benar, hal ini ditunjukkan dari angka
statistik persentasi yang memberikan jawaban atas pertanyaan adalah rata-rata 80,8. Distribusi pemahaman tentang penyebab gempa tersebut dijelaskan pada gambar 5.1.
Gambar 5.1 Persepsi Responden terhadap Penyebab Gempa Bumi Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2010
5.
11,1
4.
27,3
1. 92,9
2. 82,8
3.
50,5
1. Gempa akibat pergeseran kerak bumi
2. Gempa akibat dari gunung meletus
3. Gempa sebagai takdir Tuhan 4. Gempa akibat pengeboran
minyak 5. Gempa akibat badai topan dan
halilintar
Universitas Sumatera Utara
Selain pentingnya mengetahui pemahaman tentang penyebab gempa bumi, akibat dari bencana gempa bumi juga perlu dipahami oleh masyarakat. Hasil penjaringan
pendapat melalui kuesioner diperoleh gambaran bahwa 91,9 mengatakan gempa dapat
menyebabkan tsunami dan 83,3 meyakini gempa dapat menyebabkan peristiwa longsor.
Namun pemahaman tentang bahaya ikutan akibat gempa berupa peristiwa banjir dan kebakaran pada bangunan tergolong masih kurang. Kurangnya pemahaman
tentang efek sekunder berupa kejadian kebakaran dan banjir harus diantisipasi dengan cara memberikan sosialisasi dan penyuluhan terkait efek dari gempa bumi.
Sebagimana diketahui bahwa sebagian besar korban yang terjadi di perkotaan adalah sebagai efek sekunder dari gempa yaitu runtuhnya bangunan dan terjadinya
kebakaran akibat arus pendek, dan bila berada di daerah rawan longsor dan dekat dengan sempadan sungai, maka dapat mengalami longsor dan banjir. Persentase
pemahaman tentang akibat yang ditimbulkan oleh kejadian gempa bumi dapat dilihat pada gambar 5.2.
Gunung meletus
57,6 Banjir
39,4 Kebakaran
29,3
Tanah longsor 83,8
Tsunami 91,9
Gambar 5.2 Persepsi responden terhadap akibat gempa bumi Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2010
Universitas Sumatera Utara
Secara umum bahwa seluruh responden telah pernah mengalami kejadian gempa bumi, baik skala kecil, sedang dan besar, hal ini karena lama tinggal
responden umumnya di atas 20 tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber, gempa besar yang pernah terjadi tahun 1987 dengan kekuatan 6,6SR
atau skala VII MMI yang menyebabkan kerusakan bangunan berupa bangunan runtuh dan tanah terbelah-belah serta menyebabkan longsor yang sangat besar di daerah
Sipoholon dan Silakkitang, serta liquifaction amblasan di Kota Tarutung, berdasarkan data BMG, sumber gempa bumi adalah akibat pelepasan energi
pergerakan lempeng pada patahan Toru yang berpusat di Tarutung tepatnya pada 2,1
o
’LU-98,8
o
BT atau 9Km arah Barat Laut Kota Tarutung kedalaman ± 30 Km. Terkait dengan telah pernah mengalami kejadian gempa, ketika ditanya
apakah kejadian gempa bumi akan terulang kembali, hasilnya sebagian besar 74,7 meyakini bahwa kejadian gempa dapat terulang kembali dan 24,2 menjawab tidak
tahu apakah akan terjadi lagi dan hanya 1,1 menjawab tidak terjadi lagi, persentase persepsi tentang keyakinan akan terjadi lagi gempa digambarkan pada gambar 5.3.
Gambar 5.3 Persepsi terhadap Keyakinan Akan Terjadi Lagi Gempa Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2010
Ya; 74,7 Tidak; 1,1
Tidak Tahu; 24,2
Universitas Sumatera Utara
Ketika ditanya atas dasar apa sehingga yakin kejadian gempa dapat terjadi lagi, mereka menjawab karena memang sudah sering mengalami gempa sejak tinggal
di Tarutung baik gempa kuat, sedang maupun kecil dan sebagian dari berita maupun dari informasi dari teman-teman dan informasi dari media.
Dari hasil penjaringan melalui kuseioner didapat bahwa sumber informasi yang utama tentang kebencanaan khsususnya bencana gempa bumi adalah dari TV
dan media cetak seperti koran atau surat kabar, selengkapnya distribusi frekwensi tentang sumber informasi tersebut dapat dilihat pada gambar 5.4.
Ya: 92,1 Tidak: 7,9
Tidak: 83,3 Tidak: 16,7
Ya: 63,2 Tidak: 36,8
Ya: 49,6 Tidak: 50,4
Ya: 39,1 Tidak: 60,9
0,0 20,0
40,0 60,0
80,0 100,0
TV Koran, m ajalah,
bulletin dll Radio
Petugas Pemerintah
Sos ialis as i dan Sem inar
Gambar 5.4 Sumber Informasi tentang Kegempaan Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2010
Dari diagram di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah dalam memberikan informasi terkait kebencanaan khsususnya gempa bumi baik melalui
sosialisasi mapun berupa seminar tidak berperan banyak sebagai sumber informasi bagi masyarakat.
Masih terkait dengan pernah mengalami kejadian gempa, ketika ditanya bagaimana ciri-ciri tentang gempa kuat. Dari hasil penjaringan pendapat, pemahaman
Universitas Sumatera Utara
tentang ciri-ciri gempa kuat sudah benar dan tepat. Persepsi tersepsi tersebut dapat dilihat dari frekwensi pernyataan sikap tentang ciri-ciri gempa kuat tersebut pada
tabel 5.1. Tabel 5.1 Distribusi Frekwensi Kategori Persepsi Responden tentang Ciri-ciri Gempa
Kuat
Jawaban Responden Jumlah
Kumulatif Ya Tidak
P e r s e p s i F F
F Dapat mengakibatkan bangunan retak dan
roboh 85 85.9
14 14.1 99 100 Menyebabkan goyangan yang kencang hingga
tidak bisa berdiri 84 84.8
15 15.2 99 100 Getaran cukup lama dan diikuti gempa
susulan 76 76.8
23 23.2 99 100 Gempa membuat pusing dan limbung
75 75.8
24 24.2
99 100
Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2010
Dari tabel tersebut di atas, menggambarkan masyarakat sudah memahami bahwa gempa kuat dapat mengakibatkan bangunan retak-retak dan runtuh atau roboh
serta akibat goyangan hingga membuat tidak bisa berdiri dan membuat pusing dan limbung, gempa kuat memiliki getaran cukup lama yang diikuti gempa-gempa
susulan. Terkait dengan pengetahuan tentang akibat dan ciri-ciri gempa kuat, ketika ditanya apakah responden mengetahui apa yang dimaksud dengan rumah tahan
gempa dan bagaimana konsep rumah tahan gempa. Hasil penjaringan pendapat melalui kuesioner menunjukkan bahwa 73,7
dari responden sudah memahami konsep dan ciri rumah tahan gempa yakni bentuk bangunan harus simetris dan berbentuk kotak-kota tertutup, pondasi tertanam cukup
dalam dan pada tanah yang kerasstabil, menggunakan bahan atau materal yang relatif
Universitas Sumatera Utara
ringan terutama untuk bagian atap yaitu dapat menggunakan atap seng BJLS, aluminium, bambu dan kayu.
Namun pada pertanyaan apakah konsep dan ciri rumah tahan gempa tersebut sudah diterapkan di rumah masing-masing responden, ternyata umumnya menjawab
‘’tidak’’ dan ‘’ragu-ragu’’ hanya sebagian kecil yang meyakini telah menerapkannya di rumahnya yakni 24,2 dari selurah responden, sedangkan yang menjawab
‘’tidak’’ dan ‘’ragu-ragu’’ sebanyak 75,8. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan secara umum bangunan fisik di Kota
Tarutung belum memenuhi standar bangunan untuk daerah rawan gempa, sebagaimana dalam peta zonasi kegempaan yang dikeluarkan BMKG wilayah
Tapanuli Utara termasuk Kota Tarutung berada pada Wilayah Gempa V yang menurut SNI 03-1726-2002 berpotensi terjadi gempa dengan magnitude 6-9SR,
dengan interval magnitude sedemikian dipastikan bangunan akan runtuh jika tidak mengantisipasinya dengan konsep bangunan tahan gempa, sehingga dengan
komposisi pernyataan ragu-ragu dan tidak menjadi dominan yaitu 75,8 sehingga kerentanan terhadap ancaman bencana gempa menjadi lebih besar.
Dalam hal apakah peristiwa gempa bumi dapat diperkirakan kapan akan terjadi, sebagian besar menjawab gempa bumi tidak dapat diprediksi, persepsi ini sudah
benar dan memang gempa bumi khususnya gempa tektonik tidak dapat diprediksi dengan pasti kapan terjadi, namun perkiraan-perkiraan berdasarkan sejarah
kegempaan, periode perulangan kejadian gempa dan karakteristik geologinya gempa
Universitas Sumatera Utara
bumi dapat dipetakan dalam sebuah zonasi tentang terdapatnya potensi bencana gempa.
Namun yang pasti bahwa pada prinsipnya, apabila pernah terjadi kegempaan besar yang merusak di suatu lokasi atau wilayah baik satu kali maupun beberapa kali,
maka dapat dipastikan bahwa wilayah tersebut rawan terhadap gempa bumi yang paling tidak berkekuatan sama dengan yang pernah terjadi . Artinya wilayah tersebut
harus siap menghadapi kejadian gempa bumi serupa atau lebih besar dimasa yang akan datang, karena setiap kejadian gempa bumi pasti berhubungan dengan adanya
patahan aktif pada atau sekitar wilayah tersebut, dan proses gempa bumi dengan skala magnitudo tertentu mempunyai siklus atau akan selalu berulang dengan kisaran
periode ulang tertentu Natawidjaja, et, all, 1995.
5.2 Persepsi dalam Potensi Bencana Gempa