Adaptasi dan Antisipasi Bencana Gempa Berdasarkan Persepsi Masyarakat (Studi Kasus Kota Tarutung)
ADAPTASI DAN ANTISIPASI BENCANA GEMPA
BERDASARKAN PERSEPSI MASYARAKAT
STUDI KASUS: KOTA TARUTUNG
(Studi Kasus : Perumahan Namo Bintang)TESIS
OLEH
FERDINAN SITINJAK
087020033/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
(2)
ADAPTASI DAN ANTISIPASI BENCANA GEMPA
BERDASARKAN PERSEPSI MASYARAKAT
STUDI KASUS: KOTA TARUTUNG
(Studi Kasus : Perumahan Namo Bintang)TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Magister Teknik dalam Program Studi Magister Teknik Arsitektur
Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
OLEH
FERDINAN SITINJAK
087020033/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
(3)
Judul Tesis : ADAPTASI DAN ANTISIPASI BENCANA GEMPA BERDASARKAN PERSEPSI MASYARAKAT
STUDI KASUS: KOTA TARUTUNG Nama Mahasiswa : FERDINAN SITINJAK
Nomor Pokok : 087020033
Program Studi : TEKNIK ARSITEKTUR
Bidang Kekhususan : MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) (Salmina W. Ginting, ST, MT) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME)
Tanggal Lulus: 24 Februari 2011
(4)
Telah diuji
Pada Tanggal: 24 Februari 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc Anggota : 1. Salmina W. Ginting, ST, MT
2. Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc 3. Wahyuni Zahrah, ST, MS 4. Ir. Novrial, M.Eng
(5)
PERNYATAAN
ADAPTASI DAN ANTISIPASI BENCANA GEMPA
BERDASARKAN PERSEPSI MASYARAKAT
STUDI KASUS KOTA TARUTUNG
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini
dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Februari 2011
Ferdinan Sitinjak
087020033
(6)
A B S T R A K
Kota Tarutung termasuk kota yang rawan bencana gempa bumi, kondisi fisik kota yang rawan bencana gempa disebabkan oleh keadaan geoteknik dan geologis kota tersebut yang dilalui oleh jalur patahan aktif, jalur patahan yang menjadi sumber ancaman bencana gempa terhadap Kota Tarutung yaitu patahan aktif Toru. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang bencana alam khususnya gempa bumi dalam hubungannya dengan upaya adaptasi dan antisipasi bencana gempa dengan mempertimbangkan faktor fisik kawasan.
Penelitian ini merupakan salah satu tujuan dari UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, yakni pengikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pengurangan resiko bencana melalui perencanaan partisipatif masyarakat. Perencanaan partisipatif masyarakat dapat dilakukan melalui konsultasi lokal dengan cara menggali pendapat dan pemikiran dalam konteks kajian persepsi masyarakat. Metode penelitian ini adalah model
development dengan penelitian studi kasus, dimana pendekatan analisisnya dengan metode kuantitatif dan kualitatif, sedangkan metode pengambilan sampel dengan metode
simple random sampling yang dilakukan melalui kuesioner, wawancara dan observasi. Adapun persepsi yang akan diteliti adalah (1) bagaimana persepsi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana gempa, (2) pengetahuan masyarakat tentang bencana, (3) pengetahuan tentang upaya penyelamatan serta persepsi untuk upaya antisipasi dan adaptasi yang dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan. Dengan mengetahui persepsi dan kondisi fisik kawasan akan menghasilkan sebuah konsep mitigasi bencana gempa yang didukung oleh teori-teori yang menyangkut mitigasi bencana gempa dalam skala perkotaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat sangat proaktif dalam upaya antisipasi dan adaptasi terhadap potensi terjadi bencana dan menginginkan adanya sarana dan prasarana yang dapat melindungi dari bencana yang sewaktu-waktu terjadi, sarana dan prasarana yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah berupa penyediaan
Temporary Shelter dan Accommodation Shelter yang disertai dengan penyediaan sistem sirkulasi dengan konsep jalur evakuasi yakni menggunakan pola radial concentric system. Dalam hal pengetahuan tentang bencana secara umum masyarakat sudah mengetahui tentang potensi bencana tersebut, namun yang menjadi perhatian adalah persepsi yang kurang memahami bagaimana tindakan penyelamatan dan perlunya meningkatkan kewaspadaan masyarakat, dengan demikian sosialisasi dan penyuluhan tentang mitigasi bencana gempa dapat menjadi solusi untuk meningkatkan pemahaman tentang cara-cara hidup berdampingan dengan bencana. Berdasarkan hasil penelitian ini, pemerintah harus menjadikan program penanggulangan resiko bencana bagi daerah yang memiliki potensi terjadi bencana gempa sebagai bagian penting dalam pembangunan, upaya tersebut dapat berupa mitigasi struktural maupun non struktural.
Kata kunci : kota, persepsi, adaptasi dan antisipasi bencana gempa.
(7)
A B S T R A C T
The City of Tarutung is one of the cities which are sensitive to earthquake disaster because the geotechnical and geological conditions of the city is in the active lines of fault Toru. This study was conducted to find out how the understanding and knowledge of the local community about natural disasters especially earthquake in relation to the effort to adapt and anticipate the earthquake disaster by considering the physical factors of the area.
This study is one of the purposes stated in Law No. 24/2007 on disaster prevention, namely community participation in disaster risk reduction activities through community parcitipatory planning. Participatory community planning can be done through local consultation by digging opinions thoughts in the context of public perception studies. The research method used was a case study developent model, the samples for this study were selected through simple random sampling technique were the data for this study were obtained through questioner distribution, interview and observation, and the data obtained were analyzed through quantitive and qualitative approaches. The perception that will be examined are (1) the perception of people living in earthquake sensitive areas, (2) community knowledge about disaster, and (3) community knowledge about the rescue efforts and their perception for anticipation and adaptation efforts associated with the physical condition of the environment. Knowing the perception and the physical condition of the area will result in concept of natural earthquake disaster mitigation supported by the theories related to the mitigation of earthquake disaster in urban scale.
The result if this study showed that public perception is very proactive in anticipating and adapting the potential of a disaster and the facilities and infrastructure are needed to protect them from the disasters that may happen at any time. The facilities and infrastructure appropriate for these conditions are Temporary Shelter and Accommodation Shelter with circulatory system based on the concept of an evacuation route with a radial pattern of concentric system. In terms of disaster knowledge in general, local community already know about the disaster potential, but the problem is the perception of a lack of understanding of how to undertake the rescue and the need to increase public awareness, thus the socialization and extension on earthquake disaster mitigation can be a solution to enhance the understanding of ways of living side by side with the disaster. Based on the result of this study, the government must make disaster risk reduction programs for the areas that have potential for earthquake disaster to occur as an important part in development, and theses efforts can be in the form of structural or non-structural.
Keywords: City, Perception, Adaptation, Anticipation, Earthquake.
(8)
KATA PENGANTAR
Atas berkat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, puji syukur penulis panjatkan atas selesainya penulisan laporan penelitian ini dengan judul dengan judul ”Adaptasi dan Antisipasi Bencana Gempa Berdasarkan Persepsi Masyarakat (Studi Kasus Kota Tarutung)” Penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan Mata Kuliah Tesis pada Program Magister Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ibu Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc, selaku Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara. Ibu Beny Octofryana Yousca Marpaung, ST, MT, Ph.D, selaku Sekretaris Program Studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara. Bapak Achmad Delianur Nasution, ST, MT, IAI, selaku Koordinator Manajemen Pembangunan Kota. Ibu Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc, selaku Ketua komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pemikiran dalam membing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Ibu Salmina W. Ginting, ST, MT, selaku Anggota komisi pembimbing yang juga telah banyak meluangkan waktu dalam membimbing serta memberikan dukungan penuh dalam menyelesaikan tesis ini. Para Staff Pengajar dan Penguji Program Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara. Ibu Novi Yanthi selaku administrasi Program Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara atas kerjasama dan komunikasi yang baik selama studi. Pimpinan dan staf Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Pimpinan dan staf Dinas Cipta Karya Pemerintah Kabupaten Dairi. Pimpinan dan staf Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan. Pimpinan dan staf BMKG Provinsi Sumatera Utara. Bapak Ir. Jonathan I. Tarigan, Geolog senior, selaku Koordinator Dewan Pakar Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumut-NAD) yang telah banyak memberikan petunjuk dan pencerahan selama pelaksanaan penelitian bersama sama dengan Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan.
(9)
Isteriku tercinta Sarimawati Sitohang yang selalu mendukung saya serta anak-anakku Leonard Franz Gok Asi Sitinjak dan Jonathan Christian Maximus Sitinjak yang sangat kusayangi. Bapak (alm) dan Ibu (alm) yang selalu kurindukan dan kukenang. Teman-teman mahasiswa/i program studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara angkatan 2009, dan seluruh pihak yang berperan dalam penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas segala bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bertujuan untuk menyempurnakan tesis ini.
Mudah-mudahan tesis ini bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan yang membacanya.
Medan, Februari 2011
Penulis
Ferdinan Sitinjak
(10)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Ferdinan Sitinjak
Alamat : Jalan Coklat 8 No. 2 P. Simalingkar Medan
Agama : Katolik
Tempat/Tanggal Lahir : Tapanuli Utara-Marbun, 25 Maret 1975
Jenis Kelamin : Laki-laki
Anak ke : 9 dari 9
Nama Istri : Sarimawati Sitohang
Nama Anak : 1. Leonard F.G.A Sitinjak 2. Jonathan C.M Sitinjak
Pendidikan Formal:
1. (2004-2006), Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil, Program Studi Teknik Perencanaan Irigasi dan Rawa, Universitas Andalas Padang, keterangan lulus. 2. (1994-1997), Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Universitas Sumatera Utara,
Program Studi Konstruksi Gedung, keterangan lulus.
3. (1991-1994), SMA Negeri Doloksanggul, Program Studi Ilmu-ilmu Fisik (A1), keterangan lulus.
4. (1988-1991), SMP Negeri Bakara, keterangan lulus. 5. (1980-1988), SD Negeri Bakara, keterangan lulus.
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR ISTILAH... xvi
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 8
1.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 9
1.3.1 Ruang lingkup substansial ... 9
1.3.2 Ruang lingkup spasial ... 9
1.4 Tujuan dan Saran ... 10
1.4.1 Tujuan ... 10
1.4.2 Sasaran ... 11
1.5 Manfaat dan Relevansi Penelitian ... 11
1.6 Kerangka Pemikiran ... 11
1.7 Sistematika Penulisan ... 14
(12)
BAB II KAJIAN LITERATUR ... 16
2.1 Fenomena Gempa Bumi ... 16
2.1.1 Efek gempa bumi ... 16
2.1.2 Bencana alam geologi ... 18
2.2 Pengertian Resiko Bencana ... 18
2.2.1 Resiko (Risk)... 20
2.2.2 Ancaman/bahaya (hazard) ... 20
2.2.3 Faktor kerentanan (vulnerability)... 21
2.3 Karakteristik Kota yang Rawan Bencana Gempa... 24
2.3.1 Pengertian dan jenis-jenis bencana ... 24
2.3.2 Kondisi geoteknik dan geologis kota rawan bencana gempa ... 26
2.4 Konsep Kota yang Adaptif dan Berbasis Mitigasi Bencana ... 26
2.5 Sistem Kota ... 29
2.5.1 Aksesibilitas dan mobilitas ... 29
2.5.2 Pola permukiman dan alokasi lahan ... 30
2.5.3 Jaringan jalan dan struktur ruang kota ... 33
2.5.4 Prinsip penataan sirkulasi dan jalan penghubung ... 37
2.5.5 Keandalan bangunan rumah tinggal dan lingkungan terhadap bencana... 38
2.6 Mitigasi Bencana ... 45
2.6.1 Kesiapsiagaan ... 49
2.6.2 Sistem komunikasi dan peringatan dini ... 51
(13)
2.6.3 Arahan mitigasi bencana perkotaan ... 54
2.7 Pengertian Persepsi Masyarakat ... 56
2.7.1 Proses terjadinya persepsi ... 57
2.7.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepi ... 58
2.7.3 Persepsi terhadap lingkungan fisik ... 58
2.7.4 Persepsi sosial ... 58
BAB III METODE PENELITIAN... 60
3.1 Jenis Penelitian... 60
3.2 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 61
3.2.1 Populasi ... 61
3.2.2 Sampel ... 62
3.2.3 Teknik pengambilan sampel ... 64
3.3 Kebutuhan Data ... 64
3.4 Prosedur dan Teknik Pengumpulan Data ... 67
3.5 Variabel Penelitian ... 67
3.6 Teknik Analisis ... 69
3.6.1 Analisis fisik kota dan kawasan ... 69
3.6.2 Analisis persepsi masyarakat ... 69
3.7 Jenis dan Sumber Data ... 71
3.7.1 Data primer ... 71
3.7.2 Data sekunder ... 72
3.7.3 Metode analisis data ... 72
(14)
3.8 Metode Pelaksanaan Studi ... 73
3.9 Keterbatasan Penelitian ... 73
3.10 Lokasi Penelitian ... 74
BAB IV ANALISA KAWASAN... 77
4.1 Gambaran Umum Kota Tarutung ... 77
4.1.1 Wilayah administrasi ... 77
4.1.2 Kondisi topografi ... 78
4.1.3 Iklim dan curah hujan ... 80
4.1.4 Hidrologi ... 80
4.1.5 Morfologi ... 81
4.1.6 Geoteknik dan geologi ... 81
4.1.7 Struktur tata ruang kota tarutung ... 84
4.1.8 Perkembangan kota tarutung ... 85
4.1.9 Analisa kerentanan dan penentuan lokasi sampel... 86
4.2 Analisis Kondisi Fisik Wilayah Kajian ... 95
4.2.1 Kawasan kelurahan Huta Toruan VII ... 95
4.2.2 Kawasan kelurahan Huta Toruan X ... 103
4.2.3 Kawasan kelurahan Huta Toruan XI ... 113
4.2.4 Kawasan kelurahan Partali Toruan ... 119
4.3 Hasil Analisis Fisik Kawasan ... 124
BAB V ANALISIS DAN KONSEP PENGEMBANGAN PADA KOTA YANG RAWAN BENCANA GEMPA ... 132
5.1 Pengetahuan dan Pemahaman Tentang Bencana ... 132
(15)
5.2 Persepsi dalam Potensi Bencana Gempa ... 132
5.3 Adaptasi dan Antisipasi Bencana Gempa ... 140
5.3.1 Persepsi kewaspadaan dalam potensi bencana ... 140
5.3.2 Persepsi dalam adaptasi dan antisipasi bencana gempa ... 141
5.3.3 Kebutuhan untuk antisipasi bencana gempa ... 144
5.3.4 Analisis pergerakan pada saat bencana ... 150
5.4 Konsep Adaptasi dan Antisipasi Bencana Gempa ... 158
5.4.1 Kebutuhan dan konsep sarana evakuasi ... 158
5.4.2 Kebutuhan sarana sirkulasi ... 161
5.4.3 Arah dan jalur penyelamatan ... 166
5.5 Konsep dan Rencana Mitigasi Bencana Gempa ... 167
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 174
6.1 Kesimpulan ... 174
6.2 Saran ... 175
6.3 Rekomendasi ... 176
6.3.1 Rekomendasi untuk pemerintah kota Tarutung ... 176
6.3.2 Rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut ... 179
DAFTAR PUSTAKA ... 180
LAMPIRAN
(16)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1 Jalur Tektonik di Indonesia... 2
1.2 Peta Tektonik dan Sesar Aktif di Indonesia ... 4
1.3 Peta Percepatan Puncak di Batuan Dasar untuk Probabilitas Terlampaui 2% dalam 50 tahun... 5
1.4 Peta Jalur Patahan di Sumatera Utara ... 10
1.5 Diagram Alur Pemikiran ... 13
2.1 Proses Subduksi Akibat Pertemuan Dua Lempeng ... 18
2.2 Interaksi Antara Faktor Kerentanan (ISDR, 2004) ... 22
2.3 Pola Tata Guna Lahan ... 31
2.4 Tingkatan Kesulitan Proses Evakuasi ... 34
2.5 Kota-kota dengan Pola Jalan Tidak Teratur ... 36
2.6 Sistem Pola Jalan Radial Konsentris ... 36
2.7 Kota-Kota dengan Sistem Pola Jalan Bersudut Siku atau Grid ... 37
2.8 Tata Letak Bangunan Rumah Tinggl yang Simetris ... 39
2.9 Batas Panjang Blok Bangunan Rumah ... 39
2.10 Konsep Taman RT untuk Evacution Area ... 42
2.11 Accommodation Shelter dengan Konsep Taman Evakuasi Bencana ... 44
2.12 Skema Mitigasi Bencana (DRM Cycle-versu RedR Australia) ... 46
2.13 Kesiapsiagaan dalam Model Siklus Pengelolaan Bencana ... 50
(17)
2.14 Kesiapsiagaan dalam Proses Manajemen Bencana ...51
3.1 Kerangka Konseptual Pemikiran ... 68
3.2 Peta Lokasi Penelitian ... 75
3.3 Peta Struktur Ruang Kabupaten Tapanuli Utara ... 76
4.1 Peta Jalur Patahan di Sumatera Utara ... 83
4.2 Skema Sistem Sesar Sumatera (SFS) ... 84
4.3 Peta Karakter Fisik Kelurahan Huta Toruan VII ... 102
4.4 Kondisi Permukiman di Kawasan Kelurahan Huta Toruan X ... 104
4.5 Kawasan Jalan Sisingamaraja sebagai Kawasan Pusat Pertokoan Sekaligus sebagai Tempat Hunian dan Perkantoran... 105
4.6 Jembatan 1 dan Jembatan 2 sebagai akses utama ke dan dari Kelurahan Huta Toruan X ... 106
4.7 Kelurahan Huta Toruan X dengan Latar Belakang Bukit ... 108
4.8 Kelurahan Huta Toruan X difoto dari Kawasan Bukit (Tangsi) ... 108
4.9 Sungai Sigeon yang Membelah Kota Tarutung ... 109
4.10 Akses dan Lapangan atas Tangsi ... 110
4.11 Fasilitas Publik Gedung Sopo Partungkoan ... 110
4.12 Fasilitas Publik Rumah Sakit Umum Tarutung ... 110
4.13 Peta Karakter Fisik Kelurahan Huta Toruan X ... 112
4.14 Permukiman di Kawasan Kelurahan Huta Toruan XI ... 114
4.15 Kawasan JL. FL Tobing sebagai Kawasan Hunian Campuran ... 115
4.16 Kondisi Jalan Lingkungan di Kelurahan Huta Toruan XI ... 117
4.17 Peta Karakter Fisik Kelurahan Huta Toruan XI ... 118
(18)
4.18 Kondisi Tapak Bangunan... 120
4.19 Pola dan Bentuk Bangunan ... 121
4.20 Kondisi Jalan Protokol Jl. DI. Panjaitan ... 122
4.21 Peta Karakter Fisik Kelurahan Partali Toruan ... 123
4.22 Persentase Penilaian terhadap Sarana dan Prasarana ...… 126
4.25 Persentase Persepsi terhadap Sungai Sigeon per Kelurahan...… 129
5.1 Persepsi Responden terhadap Penyebab Gempa Bumi... 132
5.2 Persepsi Responden terhadap Akibat Gempa Bumi ... 133
5.3 Persepsi terhadap Keyakinan akan Terjadi Lagi Gempa ... 134
5.4 Sumber Informasi tentang Kegempaan... 135
5.5 Persentase Jawaban untuk Tindakan Penyelamatan ... 139
5.6 Peringkat Persepsi tentang Upaya Antisipasi dan Adaptasi Bencana Gempa ... 147
5.7 Persentase tentang Pilihan Tempat Penyelamatan Berdasarkan Persepsi ... 148
5.8 Persentase Alasan Pemilihan Lokasi Penyelamatan ... 149
5.9 Skema Pola Pergerakan Masyarakat pada Saat Bencana... 156
5.10 Pola Sirkulasi Lalulintas Eksisting dengan Pola Pergerakan Saat Bencana ... 157
5.11 Konsep Pengembangan Jalan DI. Panjaitan Sebagai Jalur Khusus ... 163
5.12 Konsep Jalur Hijau untuk Jalan DI. Panjaitan ... 164
5.13 Konsep Pengembangan Jalan Alternatif Sebagai Jalur Khusus ... 165
5.14 Konsep Penempatan Shelter dengan Pola Radial Konsentris ... 169
5.15 Konsep Penyelamatan dengan Metode Segitiga Kehidupan ... 171
(19)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1 Tabel Data Kegempaan pada Patahan Renu-Toru-Angkola ... 4
1.2 Percepatan Puncak Batuan Dasar dan Percepatan Puncak Muka Tanah… 4 2.1 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk ... 40
2.2 Fungsi dan Penerapan RTH pada Beberapa Tipologi Kawasan Perkotaan 41 3.1 Jumlah Responden di Tiap Kelurahan di Kota Tarutung ... 63
3.2 Kebutuhan Data Penelitian ... 65
3.3 Sasaran, Variabel dan Teknik Analisis Fisik Kota dan Kawasan ... 69
3.4 Sasaran, Variabel dan Teknik Analisis Persepsi Masyarakat ... 70
4.1 Wilayah Administrasi Kota Tarutung ... 78
4.2 Kemiringan Lereng di Kota Tarutung ... 79
4.3 Penentuan Skala dan Pemberian Skor... 87
4.4 Komposisi Kepadatan Penduduk dan Jumlah Rumah Tangga ... 88
4.5 Komposisi Sarana dan Prasarana di Lokasi Penelitian ... 88
4.6 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Lokasi Kajian ... 91
4.7 Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kota Tarutung .... 91
4.8 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan ... 91
4.9 Matriks Distribusi Kerentanan Di Kota Tarutung... 93
4.10 Matriks Analisis Tingkat Kerentanan Di Kota Tarutung ... 94
4.11 Dokumentasi Visual Kondisi Perumahan di Kawasan Kelurahan Huta Toruan VII... 96
(20)
4.12 Dokumentasi Visual Jalan dan Sarana Aksesibilatas di
Kawasan Kelurahan Huta Toruan VII... 98
4.13 Identifikasi Visual Lingkungan di Kawasan Huta Toruan VII ... 100
4.14 Identifikasi Visual Sarana dan Prasarana Publik di Kelurahan Huta Toruan VII ... 101
4.15 Identifikasi Kondisi Jalan di Kawasan Kelurahan Huta Toruan X ... 106
4.16 Identifikasi Sarana dan Prasarana Umum di Kawasan Kelurahan Huta Toruan X ... 111
4.17 Kondisi Fisik Bangunan Rumah di Kawasan Kel. Huta Toruan XI ... 115
4.18 Identifikasi Sarana dan Prasarana Umum di Kel. Huta Toruan XI... 116
4.19 Persentase Penilaian terhadap Sarana dan Prasarana Lingkungan ... 126
4.20 Persentase Penilaian terhadap Sungai Sigeoan ... 128
4.21 Analisis Korelasi Bivariat Persepsi terhadap Lingkungan ... 129
4.22 Hasil Analisis Fisik Kawasan... 131
5.1 Distribusi Frekwensi Kategori Persepsi Responden tentang Ciri-ciri Gempa Kuat ... 136
5.2 Distribusi Frekwensi tentang Tindakan Penyelamatan pada Saat Gempa... 139
5.3 Distribusi Frekwensi Kategori Persepsi Responden tentang Kewaspadaan dalam Mengantisipasi Bencana Gempa ... 140
5.4 Rekapitulasi Jawaban Responden tentang Fasilitas Penyelamatan... 145
5.5 Distribusi Frekwensi Kategori Persepsi Responden tentang Upaya Antisipasi dan Adaptasi terhadap Bencana Gempa ... 146
5.6 Lokasi Asal dan Tujaun Pergerakan Penduduk pada Saat Bencana ... 151
5.7 Matriks Asal dan Tujan (MAT) Pada Saat Bencana... 153
5.8 Kebutuhan Sarana Evakuasi ... 160
(21)
DAFTAR ISTILAH
Accommodation Shelter : Pengungsian yang Lebih Lama
Back Arc : Busur Belakang
Biodiversity : Derajat tingkat variasi format hidup di dalam Sebuah Ekosistim
Briefing : Pengarahan Singkat
Consentric Zone : Pola Jalur Terpusat Consentric Zone Theory : Pola Konsentrik/Terpusat Evacuation Area : Lokasi Pengungsian Expand–Contract : Model Kembang Susut
Exposure : Wilayah Terbuka
Extention : Gaya Tarik
Fault : Patahan-Patahan
Fault Rapture : Bidang Patahan
Fissuring : Rekahan/celah
Graben : Struktur-struktur Depresi
Grid : Kotak-Kotak
Inherent : Yang melekat/tidak bisa dipisahkan
Irregular System : Pola Tidak Beraturan
Latosol : Jenis tanah yang banyak mengandung unsur hara
Landslides : Longsor
Linear : Searah
Liparit Effusifa : Jenis batuan hasil letusan gunung berapi yang memiliki tingkat keasaman (pH) 3,5~5,8 Liquefaction : Amblasan akibat perubahan daya dukung oleh
gempa
Lower Class Residential : Tenaga Kerja Pabrik/Industri Mancentred : Bertitik Pusat Pada Manusia
(22)
Multiple Nuclei Theory : Teory Pusat Lipat Ganda Natural Disaster : Bencana Alam
Natural Hazard : Bahaya Alam Opportunity : Kesempatan
Placed In Harm’s Way : Tempat yang Sangat Rentan Terkena Bahaya Podsolik : Jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi
Probabilitas : Kemungkinan
Rapture : Kerusakan Pada Bumi
Reliable : Dapat dipercaya
Resilience : Pendorong
Ribbon Development : Menunjukkan Pola Memita atau Memanjang
Ring Road : Jalan Lingkar
Sector Theory : Sektor Teori
Seismic Shaking : Goncangan Gempa Bumi
Settlement : Terperosok
Subduction Zone : Zona Penunjaman Lempeng Temporary Shelter : Pengungsian Sementara
Valid : Sah
Volcanic Arc : Sabuk Vulkanik
(23)
A B S T R A K
Kota Tarutung termasuk kota yang rawan bencana gempa bumi, kondisi fisik kota yang rawan bencana gempa disebabkan oleh keadaan geoteknik dan geologis kota tersebut yang dilalui oleh jalur patahan aktif, jalur patahan yang menjadi sumber ancaman bencana gempa terhadap Kota Tarutung yaitu patahan aktif Toru. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang bencana alam khususnya gempa bumi dalam hubungannya dengan upaya adaptasi dan antisipasi bencana gempa dengan mempertimbangkan faktor fisik kawasan.
Penelitian ini merupakan salah satu tujuan dari UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, yakni pengikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pengurangan resiko bencana melalui perencanaan partisipatif masyarakat. Perencanaan partisipatif masyarakat dapat dilakukan melalui konsultasi lokal dengan cara menggali pendapat dan pemikiran dalam konteks kajian persepsi masyarakat. Metode penelitian ini adalah model
development dengan penelitian studi kasus, dimana pendekatan analisisnya dengan metode kuantitatif dan kualitatif, sedangkan metode pengambilan sampel dengan metode
simple random sampling yang dilakukan melalui kuesioner, wawancara dan observasi. Adapun persepsi yang akan diteliti adalah (1) bagaimana persepsi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana gempa, (2) pengetahuan masyarakat tentang bencana, (3) pengetahuan tentang upaya penyelamatan serta persepsi untuk upaya antisipasi dan adaptasi yang dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan. Dengan mengetahui persepsi dan kondisi fisik kawasan akan menghasilkan sebuah konsep mitigasi bencana gempa yang didukung oleh teori-teori yang menyangkut mitigasi bencana gempa dalam skala perkotaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat sangat proaktif dalam upaya antisipasi dan adaptasi terhadap potensi terjadi bencana dan menginginkan adanya sarana dan prasarana yang dapat melindungi dari bencana yang sewaktu-waktu terjadi, sarana dan prasarana yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah berupa penyediaan
Temporary Shelter dan Accommodation Shelter yang disertai dengan penyediaan sistem sirkulasi dengan konsep jalur evakuasi yakni menggunakan pola radial concentric system. Dalam hal pengetahuan tentang bencana secara umum masyarakat sudah mengetahui tentang potensi bencana tersebut, namun yang menjadi perhatian adalah persepsi yang kurang memahami bagaimana tindakan penyelamatan dan perlunya meningkatkan kewaspadaan masyarakat, dengan demikian sosialisasi dan penyuluhan tentang mitigasi bencana gempa dapat menjadi solusi untuk meningkatkan pemahaman tentang cara-cara hidup berdampingan dengan bencana. Berdasarkan hasil penelitian ini, pemerintah harus menjadikan program penanggulangan resiko bencana bagi daerah yang memiliki potensi terjadi bencana gempa sebagai bagian penting dalam pembangunan, upaya tersebut dapat berupa mitigasi struktural maupun non struktural.
Kata kunci : kota, persepsi, adaptasi dan antisipasi bencana gempa.
(24)
A B S T R A C T
The City of Tarutung is one of the cities which are sensitive to earthquake disaster because the geotechnical and geological conditions of the city is in the active lines of fault Toru. This study was conducted to find out how the understanding and knowledge of the local community about natural disasters especially earthquake in relation to the effort to adapt and anticipate the earthquake disaster by considering the physical factors of the area.
This study is one of the purposes stated in Law No. 24/2007 on disaster prevention, namely community participation in disaster risk reduction activities through community parcitipatory planning. Participatory community planning can be done through local consultation by digging opinions thoughts in the context of public perception studies. The research method used was a case study developent model, the samples for this study were selected through simple random sampling technique were the data for this study were obtained through questioner distribution, interview and observation, and the data obtained were analyzed through quantitive and qualitative approaches. The perception that will be examined are (1) the perception of people living in earthquake sensitive areas, (2) community knowledge about disaster, and (3) community knowledge about the rescue efforts and their perception for anticipation and adaptation efforts associated with the physical condition of the environment. Knowing the perception and the physical condition of the area will result in concept of natural earthquake disaster mitigation supported by the theories related to the mitigation of earthquake disaster in urban scale.
The result if this study showed that public perception is very proactive in anticipating and adapting the potential of a disaster and the facilities and infrastructure are needed to protect them from the disasters that may happen at any time. The facilities and infrastructure appropriate for these conditions are Temporary Shelter and Accommodation Shelter with circulatory system based on the concept of an evacuation route with a radial pattern of concentric system. In terms of disaster knowledge in general, local community already know about the disaster potential, but the problem is the perception of a lack of understanding of how to undertake the rescue and the need to increase public awareness, thus the socialization and extension on earthquake disaster mitigation can be a solution to enhance the understanding of ways of living side by side with the disaster. Based on the result of this study, the government must make disaster risk reduction programs for the areas that have potential for earthquake disaster to occur as an important part in development, and theses efforts can be in the form of structural or non-structural.
Keywords: City, Perception, Adaptation, Anticipation, Earthquake.
(25)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bencana gempa bumi beserta dampaknya yang terjadi belakangan ini harus disikapi secara serius oleh stakeholders bidang perencanaan dan perancangan kota. Gempa bumi yang terjadi mengakibatkan kerugian materiil dan non materiil bahkan korban jiwa yang sangat besar. Lebih dari 75% korban meninggal dunia terjadi di kota, yang diakibatkan karena keruntuhan, terbatasnya akses dan ruang evakuasi di perkotaan dan/atau kebakaran pasca gempa terjadi (Respati, 2010).
Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Eurasia (Eropah-Asia), Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, terdapat di lempeng ini, lempeng Pasifik, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya terdapat pada lempeng ini, lempeng Samudra Hindia - Australia, terdapat di Samudra Hindia dan hanya terdapat pada pulau-pulau kecil, lempeng Philiphina dekat dengan kepulauan Irian. Lempeng Hindia – Australia bergerak ke arah utara. Lempeng Pasific bergerak ke arah barat dan keduanya menghujam ke arah lempeng Eurasia (subduction zone).
Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara-Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti
(26)
letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986) seperti yang terlihat pada gambar 1.1.
Gambar 1.1 Jalur Tektonik di Indonesia
Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Pulau Sumatera terbentuk sebagai akibat penunjaman lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia. Penunjaman lempeng tersebut membentuk jajaran gunung-gunung api dan perbukitan volkanik yang dikenal dengan Bukit Barisan sepanjang daratan Sumatera dan patahan Sumatera (SF) yang membelah daratan Sumatera (Natawidjaja, 2004).
Wilayah Sumatera Utara sebelah barat merupakan daerah lintasan pertemuan lempeng Eurasia dan Lempeng Australia. Patahan-patahan (fault) yang terdapat di daerah pantai barat Sumatera Utara, seperti yang diungkapkan oleh Danny Hilman Natawidjaya (Natawidjaya, 2002), adalah patahan Renun, Angkola, Toru. Dari data-data pencatatan gempa dan fakta keberadaan berapa patahan yang beraktifitas dapat
(27)
disimpulkan, bahwa wilayah Sumatera Utara terutama daerah pantai baratnya merupakan daerah dengan potensi gempa yang tinggi. Gempa yang terjadi umumnya adalah gempa dangkal dengan kedalaman berkisar 7-100 km dengan magnitude antara 3,0-8,3 dalam skala Richter.
Gempa telah terjadi pada ketiga patahan itu yaitu pada tahun 1892 (118 tahun lalu) gempa di Tapanuli Selatan/Mandina dengan kekuatan 7,7 SR yang merupakan kekuatan puncak dari gempa yang terjadi di Sumatera dan setara dengan gempa San Francisco tahun 1906 yang merontokkan 28.000 bangunan, dan pada 1936 berkekuatan 7,2 SR terjadi gempa di patahan Renun yang mengguncang sangat kuat Kabupaten Karo dan menimbulkan kerusakan pada bumi (rapture) dan longsor yang meluas. Goncangan gempa Karo juga melanda hingga ke Banda Aceh yang berjarak 5000 km dari Karo. Tahun 1984 (6,4 SR) gempa melanda Pahae Jae-Taput dan tahun 1987 (6,6 SR) melanda Tarutung - Taput, kedua rangkaian gempa itu terjadi di patahan Toru. Gempa terakhir yang melanda Kabupaten Tapanuli Utara dengan kekuatan sebesar 5,2 skala richter (SR) terjadi pada tanggal 28 Februari 2010. Gempa tersebut berpusat di Tarutung tepatnya pada 2.07 LU-98.91 BT atau 9 Km arah Barat Laut kota Tarutung-Tapanuli Utara - Sumatera Utara dengan kedalaman 10 Km dan terjadi pada pukul 19:13:25 WIB. Guncangan gempa mengakibatkan rusaknya berbagai bangunan pemerintah dan masyarakat, termasuk sekolah dan rumah warga. Gempa bumi di Patahan Renun-Toru-Angkola dapat dicermati pada tabel 1.1 dan gambar 1.2.
(28)
Tabel 1.1 Tabel Data Kegempaan pada Patahan Renun-Toru-Angkola
No. Patahan Panjang
(Km) Daerah Gempa Bumi Nama Gempa
1 Renun 220 Dairi, Karo, Pakpak
Bharat, Humbahas
1921 (6,8 SR) 1936 (7,2 SR)
Tapanuli Karo 2 Toru 93
Humbahas, Toba Samosir, Tapanuli Utara
1941 (>6 SR) 1975 (>6 SR) 1984 (6,4 SR) 1987 (6,6 SR)
Tapanuli Tapanuli Pahae Jae Tarutung
3 Angkola 160
Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Mandailing Natal
1873 (>6 SR) 1892 (7,7 SR) 1934 (>6 SR)
Mandailing Tapanuli Selatan Tapanuli Selatan Sumber: BMKG Provinsi Sumatera Utara
Gambar 1.2 Peta tektonik dan Sesar Aktif di Indonesia Sumber: www.pu.go.id
Berdasarkan peta zonasi wilayah gempa yang dikeluarkan BSN pada SNI 03-1726-2002 wilayah gempa Indonesia dibagi 6 wilayah berdasarkan amplitudo pada batuan dasar dan mengklasifikasikan kondisi tanah menjadi 3 kategori, yaitu tanah keras, tanah sedang, dan tanah lunak seperti ditunjukkan pada gambar 1.3 dan tabel 1.2.
(29)
Gambar 1.3 Peta Pembagian wilayah gempa di Indonesia (Zona Resiko Gempa Bumi) Sumber: SNI-03-1726-2002
Tabel 1.2 Percepatan Puncak Batuan Dasar dan Percepatan Puncak Muka Tanah untuk Masing-masing Wilayah Gempa Indonesia
Percepatan Puncak Muka Tanah Ao (g) Wilayah Gempa Percepatan Puncak Batuan Dasar (g) Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus Cakupan Wilayah
1 0.03 0.03 0.04 0.08
2 0.10 0.12 0.15 0.23
3 0.15 0.18 0.22 0.30 Medan, Tj. Balai, Binjai
4 0.20 0.24 0.28 0.34 Kabanjahe, P. Siantar
5 0.25 0.29 0.33 0.36 Sibolga, Tarutung
6 0.30 0.33 0.36 0.36
Diperlukan Evaluasi Khusus di Setiap Lokasi Nias Sumber: SNI 03-1726-2002
Berdasarkan hasil revisi Peta Gempa Indonesia dari SNI-03-1726-2002, telah dihasilkan Peta Gempa Indonesia terbaru yaitu pada tanggal 16 juli 2010 untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun, 10% dalam 100 tahun, dan 2% dalam 50 tahun atau yang mewakili tiga level hazard (potensi bahaya) gempa yaitu 500, 1000 dan 2500 tahun, dari hasil revisi didapat kenaikan nilai percepatan batuan puncak atau respon spektra di permukaan tanah dari sebelumnya. Hal itu menunjukkan potensi dan kerentanan bencana semakin meningkat. Catatan dari Direktorat Vulkanologi dan
: 0.03 : 0.03 : 0.03 : 0.20 : 0.25 : 0.30 Wilayah (3)
Wilayah (2) Wilayah (1)
Wilayah (4) Wilayah (5) Wilayah (6) 2 1 4 3 6 5
(30)
Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami salah satunya adalah daerah Tapanuli Utara/Kota Tarutung.
Pemahaman akan resiko tinggal didaerah dengan kerawanan bencana tinggi ini harus disikapi secara bijak dan pandai menyiasati cara-cara hidup berdampingan dengan kondisi alam yang rawan bencana tersebut (Respati, 2009). Sehubungan dengan resiko bencana gempa bumi di Tarutung, Tapanuli Utara, maka perlu ada upaya antisipasi dan adaptasi bencana, upaya adaptasi dan antisipasi dapat dilakukan berdasarkan persepsi masyarakat, sebab dengan mengetahui persepsi maka dapat menjadi salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam proses perencanaan. Melalui persepsi dapat menjadi acuan dalam mengarahkan program pembangunan.
Mitigasi menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang penganggulangan bencana, merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melaui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana, dalam hal ini bencana gempa bumi, serta bertujuan mengurangi dan mencegah resiko kehilangan jiwa dan harta benda dengan pendekatan struktural dan nonstruktrural (Godschalk dkk, 1999). Kajian persepsi tentang mitigasi bencana merupakan salah satu upaya mitigasi bencana non struktural, pentingmya dilakukan kajian persepsi terkait dengan upaya mitigasi bencana adalah untuk mengakomodir pendapat dan pemikiran mayarakat.
Dengan demikian pendapat dan pemikiran yang telah menciptakan jati diri masyarakat setempat harus menjadi landasan utama dalam perencanaan dan
(31)
perancangan, tidak boleh semata-mata dengan instruksi dan doktrin secara paksa dan pukul rata (serba sama) karena dengan demikian jiwa dan semangat suatu tempat akan sirna dan program yang di terapkan tidak berhasil guna. Melalui kajian persepsi diharapkan memunculkan suatu bentuk perencanaan atau konsep-konsep yang mengarah pada perbaikan kawasan serta dapat dipertanggungjawabkan dan disepakati bersama.
Pentingnya kajian persepsi dalam upaya mitigasi bencana sesuai dengan tujuan UU No. 24 Tahun 2007 tentang penganggulangan bencana, pada Pasal 34 menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tindakan prabencana yang dilakukan dalam situasi tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana tersebut selanjutnya dijelaskan pada pasal 37 ayat 2 butir ‘’b’’ yang menyebutkan kegiatan pengurangan resiko bencana dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul terutama dilakukan dalam situasi tidak terjadi bencana, kegiatan tersebut berupa perencanaan partisipatif masyarakat.
Pasal 44 dalam UU No. 24 Tahun 2007 menyebutkan penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi: kajian kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana. Selanjunya pada pasal 45 ayat (2) butir e menyebutkan bahwa kesiapsiagaan untuk menghadapi kejadian bencana dapat dilakukan melalui penyiapan lokasi evakuasi. Hal mengapa penting partisipasi masyarakat dalam program pembangunan adalah karena kecil sekali
(32)
harapan adanya perencanaan yang efektif dalam pembangunan bila tanpa dukungan dan keterlibatan masyarakat (Myrdal, 1968).
Bentuk partisipasi masyarakat dapat berupa metode survey dan konsultasi lokal (Diana Conyers, 1981). Ada tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting dalam program pembangunan. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat lebih mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan mengetahui seluk-beluk program tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap kegiatan tersebut. Ketiga, merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri. Hal ini selaras dengan konsep man-centred development (suatu pembangunan yang dipusatkan pada kepentingan manusia).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas yang menjadi topik permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana persepsi masyarakat dalam upaya adaptasi dan antisipasi bencana gempa dalam kaitannya dengan konsep penyelamatan, berdasarkan persepsi dari masyarakat dihasilkan sebuah konsep rancangan penyelamatan dalam aplikasi konsep penataan ruang pada kota Tarutung, bagaimana kondisi fisik lingkungan yang rawan bencana gempa dalam kaitannya dengan upaya mitigasi bencana gempa.
(33)
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari ruang lingkup substansial dan spasial. Ruang lingkup substansial bertujuan membatasi materi pembahasan sedangkan ruang lingkup spasial bertujuan untuk membatasi lingkup wilayah kajian.
1.3.1 Ruang lingkup substansial
Lingkup substansial dalam penulisan ini meliputi kajian persepsi masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggal yang merupakan daerah rawan bencana gempa bumi dan dikaitkan dengan upaya antisipasi masyarakat dalam menghadapi bencana gempa bumi, dimana hasil analisis tersebut menjadi sebuah konsep secara konstekstual yang dapat digeneralisasikan di daerah lain yang memiliki potensi terjadi bencana gempa, khususnya kota-kota yang rawan bencana gempa.
1.3.2 Ruang lingkup spasial
Secara administratif daerah penelitian merupakan wilayah Kota Tarutung, Tapanuli Utara yang terdiri dari 8 desa dan 7 kelurahan dengan luas wilayah 33,23 km2 dan jumlah penduduk 25.131 jiwa. Secara geografis wilayah Kota Tarutung berada pada 01o54’-02 o 07’LU dan 98o52’-99 o 04’BT dengan ketinggian 500 -700 meter di atas permukaan laut. Alasan dijadikannya Kota Tarutung sebagai daerah penelitian adalah berdasarkan fakta sejarah dan keberadaan Kota Tarutung di wilayah zona rawan bencana gempa bumi, yang merupakan daerah lintasan salah satu segmen patahan aktif yang membelah Sumatera yaitu patahan Toru, dimana patahan tersebut merupakan sumber gempa bumi tektonik, peta jalur patahan yang terdapat di Sumatera Utara dapat dilihat pada gambar 1.4. Selain itu hal lain yang memberikan
(34)
penilaian lebih dalam penentuan lokasi kajian adalah dari aspek kedudukannya sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Utara, pusat perkantoran, pusat kegiatan ekonomi perdagangan dan jasa, kesehatan, pendidikan dan daerah permukiman serta pelayanan umum.
Gambar 1.4 Peta jalur patahan di Sumatera Utara
Sumber: Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Dairi, 2007
1.4 Tujuan dan Sasaran
1.4.1 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi persepsi tentang pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam mengantisipasi dan menghadapi ancaman bahaya bencana gempa bumi, mengidentifikasi karakter fisik lingkungan terkait dengan faktor kebencanaan, mengindentifikasi persepsi
PATAHAN ANGKOLA
PATAHAN RENUN
PATAHAN TORU
TARUTUNG-TAPANULI UTARA
(35)
masyarakat dalam upaya adaptasi dan antisipasi bencana gempa dikaitkan dengan teori mitigasi bencana gempa dan kondisi fisik kawasan.
1.4.2 Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui persepsi dan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi bencana gempa, menghasilkan konsep adaptasi dan antisipasi becana gempa untuk mitigasi bencana yang didasarkan atas kajian persepsi dari masyarakat, memberi masukan kepada pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara sebagai bahan pertimbangan untuk program pembangunan terkait dengan mitigasi bencana.
1.5 Manfaat dan Relevansi Penelitian
Dengan mengetahui karakterisitik wilayah Kota Tarutung dan juga persepsi masyarakat dalam kaitannya dengan kerentanan terhadap bahaya ancaman gempa bumi dapat membantu menyusun perencanaan satu kawasan atau wilayah agar dapat mengoptimalkan tujuan pembangunan fisik yang berketahanan terhadap bencana dan mampu memberikan perlindungan terhadap warga kota. Hal ini juga terkait dengan tujuan dari UU No.24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dan Permendagri No. 33 Tahun 2006 tentang pedoman umum mitigasi bencana.
1.6 Kerangka Pemikiran
Kota Tarutung sebagaimana dicermati pada peta pemetaan kawasan rawan bencana gempa geologiyang berada di sepanjang jalur patahan Toru merupakan jalur sangat rawan bagi terjadinya gempa bumi yang dahsyat dikarenakan kondisi
(36)
geologinya yang memungkinkan bagi terjadinya proses pelepasan energi gempa bumi pada jalur patahan. Upaya antisipasi dalam rangka mereduksi resiko bencana gempa bumi yang pasti terjadi dimasa yang akan datang adalah suatu keharusan.
Salah satu bentuk konsep upaya mitigasi adalah penyiapan sosial masyarakat dalam hal kesadaran masyarakat (aspek sosial) tentang aspek sosial bencana, sistem peringatan, antisipasi berdasarkan kajian persepsi masyarakat (Respati, 2008). Dengan mengetahui persepsi akan dapat menjadi masukan untuk menentukan dan menetapkan arah perancangan dan penyiapan sistem mitigasi bencana alam gempa bumi. Hal yang mendasari objek penelitian ini dilakukan di Kota Tarutung adalah sebagai upaya antisipasi dalam menghadapi bencana gempa dimasa yang akan datang, dengan pertimbangan fakta sejarah kegempaan yang pernah terjadi serta kedudukan Kota Tarutung sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Utara.
Menurut (Natawidjaja, et, all, 1995), pada prinsipnya, apabila pernah terjadi kegempaan besar yang merusak di suatu lokasi atau wilayah baik satu kali maupun beberapa kali, maka dapat dipastikan bahwa wilayah tersebut rawan terhadap gempa bumi yang paling tidak berkekuatan sama dengan yang pernah terjadi . Artinya wilayah tersebut harus siap menghadapi kejadian gempa bumi serupa atau lebih besar dimasa yang akan datang, karena setiap kejadian gempa bumi pasti berhubungan dengan adanya patahan aktif pada atau sekitar wilayah tersebut, dan proses gempa bumi dengan skala magnitudo tertentu mempunyai siklus atau akan selalu berulang dengan kisaran periode ulang tertentu. Selain ancaman bahaya gempa tektonik sebagai akibat keberadaan patahan aktif Toru, menurut Badan Vulkanologi juga
(37)
adanya potensi bencana gempa vulkanik dari gunung berapi Dolok Martimbang yang berada di wilayah kecamatan Tarutung dengan jarak kurang lebih 3 km dari inti Kota Tarutung yang memiliki ketinggian kurang lebih 1679,8 meter di atas permukaan laut, namun masih dinyatakan aman.
Kerangka pemikiran di atas digambarkan dalam sebuah diagram alur pemikiran seperti pada gambar 1.5.
Gambar 1.5 Diagram Alur Pemikiran
Analisis
Tujuan Penelitian
Mengkaji karakter fisik lingkungan terkait dengan faktor kebencanaan khusunya bencana gempa
Mengkaji persepsi masyarakat tentang pengetahuan dan pemahaman mengantisipasi bencana gempa
Pertanyaan Penelitian
Bagaimana Persepsi Masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggalnya ?
Bagaimana pemahaman terhadap ancaman bencana gempa bumi dan upaya mitigasinya
Apa yang diinginkan masyarakat dalam upaya mitigasi bencana gempa.
Permasalaan Kajian Literatur K e b i j a k a n
Latar Belakang
Internal
Kondisi Fisik Alam Rawan Gempa Penduduk, Ekonomi, Soial dan Eksternal Fasilitas Pelayanan Kota Kota Tarutung sebagai Ibukota
Kabupaten Taput, Kota yang Rawan Bencana Gempa Bumi
Permasalahan Lingkungan
Identifikasi Karakeristik ekonomi,
sosial dan budaya
Identifikasi Pola berhuni masyarakat. Identifikasi Sarana, Fasilitas perkotaan Identifikasi Persepsi Masyarakat
Persepsi masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggal yang merupakan daerah rawan bencana gempa
Bagaimana pemahaman dan persepsi masyarakat dalam mengantisipasi bencana gempa.
Bentuk-bentuk adapatasi yang dilakukan masyarakat terhadap lingkungan
Upaya adaptasi dan antisipasi terhadap ancamana bencana gempa bumi
Kesimpulan dan Rekomendasi
(38)
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan dalam penyusunan tesis sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan sasaran, ruang lingkup subtansial dan spasial, Tujun dan sasaran, manfaat dan relevansi penelitian, kerangka pemikiran dan sistematika pembahasan penelitian.
Bab II Kajian Literatur
Kajian teoritis mengenai karakteristik kota yang rawan bencana gempa yaitu kondisi fisik dan upaya mitigasi bencana gempa, serta teori mengenai persepsi dalam dalam kaitannya dengan upaya mitigasi bencana gempa bumi. Uraian pada bab ini memberikan jawaban teoritis dari pertanyaan penelitian.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini berisi tentang metode dan teknik yang digunakan dalam mengolah dan menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan dan data-data dalam penelitian. Pada bab ini dijelaskan tentang lokasi dan metode pelaksanaan studi.
Bab IV Analisa Kawasan
Bab ini berisi tentang gambaran umum Kota Tarutung dan pembahasan secara mendalam dan detail kondisi fisik lokasi kajian yang mencakup kondisi topografi, geoteknik dan geologi, tata guna lahan, kegempaan, kependudukan dan kerentanan terhadap bencana gempa bumi.
(39)
Bab V Analisis dan Konsep Pengembangan pada Kota yang Rawan Bencana Gempa
Pada bab ini dibahas tentang konsep pengembangan kota dalam upaya adaptasi dan antisipasi bencana gempa yang didasarkan atas hasil kajian persepsi dan kajian kondisi fisik kawasan.
Bab VI Kesimpulan dan Saran
Materi yang diuraikan pada bab ini adalah kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi.
(40)
BAB II
KAJIAN LITERATUR
2.1. Fenomena Gempa Bumi
Planet bumi mempunyai struktur tertentu, yaitu kerak bumi, lapisan selubung, dan inti bumi yang dapat memicu terjadinya dinamika dari bagian dalam bumi yaitu tektonik dan vulkanik. Dinamika ini memberi dampak pada banyak hal, antara lain pergeseran kerak bumi yang berakibat pembentukan berbagai jenis pegunungan dan cekungan sedimen. Fenomena pergeseran kerak bumi, pertemuan (tumbukan lempeng), serta peristiwa vulkanik dapat menyebabkan terjadinya gempa.
2.1.1 Efek gempa bumi
Besar kecilnya kerusakan dan/atau korban akibat bencana Gempa di perkotaan sebenarnya merupakan efek sekundair dari kejadian Gempa bumi. Seperti kita ketahui bahwa kejadian gempa akan memberikan efek langsung dan efek sekunder. Efek langsung kejadian gempa bumi biasanya terjadi pada daerah yang relatif dekat dengan pusat gempa, seperti patahan, lipatan lapisan (lempengan bumi), beberapa gempa tidak juga menimbulkan kerusakan di bagian permukaan tanah.
Variasi kerusakan akibat bencana gempa bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni faktor alam dan faktor buatan (perencanaan dan perancangan bangunan dan/atau kota).
Sebagian besar kerusakan akibat gempa bumi lebih banyak disebabkan karena efek sekunder gempa. Efek sekunder terjadi karena adanya gerakan susulan yang
(41)
dapat mencapai pada wilayah yang lebih luas, yang menyebabkan kerusakan yang relatif besar.
Menurut J. Louie (1996), Efek sekundair ini antara lain seismic shaking, landslides, liquefaction, fissuring, settlement, triggering of aftershocks andadditional earthquakes.
Efek gempa baik langsung maupun sekunder dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu karakteristik gempa, magnitude, type, lokasi dan kedalaman pusat gempa, kondisi geologi akan mempengaruhi jarak dari pusat gempa, lintasan seismic, tipe lapisan tanah dan kelembapannya, kondisi masyarakat mengantisipasi gempa, kualitas konstruksi, kesiapan masyarakat, serta waktu terjadinya gempa.
Dalam peristiwa gempa bumi empat golongan kerusakan utama akibat gempa yaitu:
1. Ground shaking, adalah gerakan tanah akibat gempa yang merupakan unsur utama penyebab keruntuhan struktur.
2. Liquefaction, kehilangan strength pada pasir yang jenuh air akibat pembebanan siklik. Kondisi ini menyebabkan penurunan dan pergerakan lateral dari pondasi. Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi lokasi yang berpotensi liquefaction dengan menghindari pembangunan diatasnya, atau cara lain membuat fondasi dalam sehingga terhindar dari liquefaction.
3. Bidang patahan (fault rupture), Ini pergerakan patahan akibat gempa. Pergerakan dapat vertikal maupun horizontal.
(42)
4. Landslide, Sering kali terjadi sebagai akibat dari terjadinya gempa. Perlu dihindari pembangunan di atas lereng atau di kaki dari lereng.
2.1.2 Bencana alam geologi
Gempa bumi, terutama gerakan tanah yang kuat adalah contoh dari pembebanan siklik yang tidak beraturan yang meliputi sebuah cakupan yang utuh dari karakteristik dan regangan geser serta karakteristik perilaku tanah dalam region. Konsekwensi pada tanah deposit seperti liquifaksi dan kegagalan lereng, atau penurunan yang besar dalam kaitan dengan lahan densification, dapat mengakibatkan kerusakan yang fatal pada bangunan didaerah itu. Dengan begitu, didaerah seismic, kebutuhan akan analisis yang rasional dan perkiraan-perkiraan objektif yang memiliki resiko harta dan kehidupan bukan hanya kebutuhan akademis. Proses gempa tektonik secara diagramatis terlihat pada gambar 2.1 menunjukkan pertemuan dua lempengan mengalami subduksi yang menyebakan terjadinya gempa tektonik.
Gambar 2.1 Proses Subduksi Akibat Pertemuan Dua Lempeng Sumber: Subarya, dkk, 2006
2.2. Pengertian Resiko Bencana
Berdasarkan potensi bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan resiko ‘bencana’ yang akan terjadi di perkotaan Indonesia tergolong tinggi.
(43)
Resiko bencana pada wilayah perkotaan Indonesia yang tinggi tersebut disebabkan oleh potensi bencana yang dimiliki wilayah-wilayah tersebut yang memang sudah tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi pula.
Sementara faktor lain yang mendorong semakin tingginya resiko bencana ini adalah menyangkut pilihan masyarakat. Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang rawan terhadap bencana dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau kesempatanlainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut.
Secara umum bencana dapat didefinisikan sebagai kejadian luar biasa yang terjadi secara perlahan ataupun secara tiba-tiba, dimana masyarakat yang mengalaminya harus merespon dengan tindakan yang luar biasa. Menurut definisi ISDR (2004) yang dimaksud dengan bencana adalah adanya gangguan yang luar biasa terhadap suatu tatanan masyarakat yang menyebabkan kerugian kepada masyarakat luas, baik berupa materi, maupun kerusakan lingkungan dan melebihi kemampuan dari masyarakat tersebut untuk mengatasi bencana yang menimpanya dengan sumber daya yang dimiliki.
Konsep pengertian bencana dapat diformulasikan dalam hubungan suatu persamaan Resiko Bencana (R) sebagai fungsi dari ancaman atau bahaya (A), kerentanan (K), dan kemampuan/ketahanan (m), dimana keterkaitan masing-masing faktor tersebut diperlihatkan pada persamaan:
R =
m K A
Dari persamaan di atas dapat ditarik kesimpulan umum bahwa resiko bencana merupakan hasil dari tindakan langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan ancaman dan kerentanan yang bergantung pada kemampuan/ketahanan dari suatu ……….(2.1)
(44)
tantangan lingkungan juga kemasyarakatannya dalam menghadapi dan menanggulangi ancaman dan kerentanan tersebut.
2.2.1. Resiko (risk)
Resiko dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian baik itu berupa materi, korban nyawa, kerusakan lingkungan, atau secara umum dapat diartikan sebagai kemungkinan yang dapat merusak tatanan sosial, masyarakat dan lingkungan yang disebabkan oleh interaksi antara ancaman dan kerentanan.
Indonesia sebagai suatu kawasan dimana tingkat ancaman bahaya dan kerentanan yang cukup tinggi serta kemampuan untuk bertahannya relatif cukup rendah maka Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu kawasan dengan tingkat resiko bencana yang cukup tinggi.
Tingkat resiko suatu wilayah bergantung hal-hal berikut Alam/geografi/geologi (kemungkinan terjadinya fenomena), kerentanan masyarakat yang terpapar terhadap fenomena bencana alam, Kerentanan fisik daerah (kondisi dan banyaknya bangunan), konteks strategis daerah, kesiapan masyarakat setempat untuk tanggap darurat.
2.2.2. Ancamana/bahaya (hazard)
Bahaya atau ancaman dapat didefinisikan sebagai suatu kejadian atau kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, kerugian materi atau korban jiwa. Berdasarkan waktu kejadiannya, faktor bahaya dibedakan menjadi (MPBI, 2004):
(45)
1. Tiba-tiba/tidak terduga (gempa bumi, tsunami, dll).
2. Bertahap, terduga dan teramati (wabah penyakit, aktivitas gunung merapi, dll).
3. Periodik, terduga dan teramati (banjir, pasang surut, kekeringan, dll).
2.2.3. Faktor kerentanan (vulnerability)
Kerentanan dapat artikan sebagai suatu kondisi yang menentukan bilamana bahaya alam (natural hazard) yang terjadi dapat menimbulkan bencana alam (natural disaster). Kerentanan menunjukkan nilai dari potensi kerugian pada suatu wilayah akibat bencana alam, baik itu nilai lingkungan, materi, korban jiwa, tatanan sosial dan lainnya. Jenis-jenis kerentanan dapat dilihat berikut ini (PRNMB, DIKTI, 2004): (1) kerentanan sosial, (2) kerentanan kelembagaan, (3) kerentanan sistem, (4) kerentanan Ekonomi, (5) kerentanan lingkungan, (6) kerentanan akibat praktik-praktik yang tidak bersifat pembangunan berkelanjutan.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa ancaman bahaya alamakan menjadi bencana alam apabila terjadi pada suatu wilayah yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Resiko pada dasarnya berkaitan dengan kondisi kerentanan dari faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang perlu dikaji dan diolah (ISDR, 2004). Sedangkan yang dimaksud dengan manajemen resiko dimana tujuan utamanya adalah untuk meminimalisir kerentanan terhadap ancaman yang ada melalui peningkatan individu, institusional serta kapasitas sosial yang rentan.
Kerentanan merupakan gambaran dari kondisi fisis, sosial, ekonomi serta lingkungan, hal ini dibentuk secara kontinyu dari perilaku, kebiasaan, budaya,
(46)
ekonomi dan pengaruh politik terhadap individu, rumah tangga, komunitas dan lingkungan. Pada gambar 2.2 diperlihatkan 4 komponen yang merupakan faktor kerentanan yang berbeda, di tunjukkan oleh area irisan dari 4 lingkaran tersebut memperlihatkan keempat aspek tersebut saling berinteraksi satu sama lainnya.
Gambar 2.2 Interaksi antara faktor kerentanan (ISDR, 2004)
Berdasarkan definisi dari ISDR (2004), kerentanan dikelompokan menjadi 4 faktor, yaitu:
1. Fisik, faktor kerentanan fisikal pada umumnya merujuk pada perhatian serta kelemahan atau kekurangan pada lokasi serta lingkungan terbangun. Hal ini dapat diartikan sebagai wilayah terbuka atau tempat yang sangat rentan terkena bahaya. Kerentanan fisik dapat ditunjukkan oleh misalnya tingkat kepadatan penduduk, permukiman terpencil, lokasi, desain serta material yang dipergunakan untuk infrastruktur dan perumahan, kondisi geomorfologi area terbangun serta elemen fisis lainnya.
2. Sosial, elemen yang berkaitan dengan faktor kerentanan sosial adalah yang berhubungan dengan kehidupan individu, komunitas, dan masyarakat pada
Lingkungan Sosial
Fisik
Ekonomi
(47)
umumnya. Hal tersebut termasuk aspek yang berkaitan dengan tingkat melek huruf dan pendidikan, jaminan keamanan dan ketenangan, jaminan hak asasi manusia, sistem pemerintahan yang baik, persamaan sosial, nilai sosial positif, ideologi dan lain-lain. Selain itu isu gender, kelompok usia, akses ke fasilitas kesehatan juga merupakan elemen kerentanan sosial. Fasilitas fisik dalam komunits, seperti keterbatasan infrastruktur dasar, misalnya sediaan air bersih dan sanitasi, fasilitas kesehatan, hal tersebut juga dapat meningkatkan kerentanan sosial. Kearifan lokal serta kebiasaan atau tradisi dapat menjadi bagian untuk meningkatkan kapabilitas sosial.
3. Ekonomi, tingkat kerentanan ekonomi sangatlah bergantung pada status ekonomi dari masyarakat, komunitas serta tingkat diatasnya. Selain itu jumlah kaum miskin, komposisi jumlah perempuan yang tidak berimbang dan para manula juga akan meningkatkan kerentanan ekonomi, karena kelompok ini dianggap paling rentan apabila terjadi bencana, karena pada umumnya kelompok ini memiliki keterbatasan kemampuan dalam upaya
recovery akibat bencana. Ekonomi yang lemah pada umumnya akan meningkatkan tingkat kerentanan ekonomi. Selain itu keterbatasan akses terhadap Infrastuktur pendukung perekonomian seperti akses jalan, perbankan, pasar juga berpengaruh pada tingkat kerentanan ekonomi.
4. Lingkungan (ekologi), aspek kunci dari kerentanan lingkungan termasuk didalamnya peningkatan penurunan sumberdaya alam serta status degradasi sumberdaya. Dengan kata lain kekurangan dari resilience dalam sistim
(48)
ekologi serta terbuka terhadap zat beracun serta polutan berbahaya, merupakan elemen penting dalam membentuk kerentanan lingkungan.
Dengan meningkatnya kerentanan lingkungan seperti berkurangnya biodiversity, penurunan mutu tanah atau kelangkaan air bersih akan dengan mudahnya mengancam jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi masyarakat yang bergantung pada produksi lahan, hutan serta lingkungan laut untuk mata pencahariannya.
2.3. Karakteristik Kota yang Rawan Bencana Gempa
2.3.1Pengertian dan jenis-jenis bencana
Bencana dapat diartikan sebagai suatu kejadian yang tiba-tiba atau musibah besar yang mengganggu susunan dasar dan fungsi normal dari suatu masyarakat atau komunitas. Bencana juga dapat dimaknai sebagai suatu kejadian atau serangkaian kejadian yang memberi, meningkatkan jumlah korban atau kerusakan atau kerugian harta benda, infrastruktur, pelayanan-pelayanan yang penting atau sarana kehidupan pada satu skala yang berada di luar kapasitas normal dari komunitas-komunitas (Coburn et.al, 1994).
Secara sporadis bencana muncul masih dalam koridor penjelasan ilmiah namun prediksi bencana merupakan satu misteri ilmiah. Bencana datangnya tidak terduga, sehingga yang paling diutamakan adalah proses minimalisasi bencana dan bagaimana cara menanggulangi sehingga bisa dilakukan tindakan preventif. Bencana alam, dilihat dari penyebabnya dapat dibedakan atas sedikitnya tiga jenis yaitu: (1) bencana geologis, (2) klimatologis dan (3) ekstra-terestrial. Bencana alam geologis merupakan bencana alam yang disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal dari dalam bumi meliputi
(49)
gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Bencana alam klimatologis adalah bencana yang ditimbulkan oleh cuaca yang sudah dapat diprediksi kedatangannya, arah, dan lokasi yang akan dilanda bencana. Bencana alam ekstra-terestrial adalah bencana yang terjadi akibat hantaman meteor atau benda dari angkasa luar yang kedatangannya tidak dapat diprediksi (Brahmantyo dan Puradimaja, 2005).
Pengertian gempa bumi menurut Boen dalam Sudibyakto (2000) adalah suatu gejala fisik yang ditandai dengan bergetarnya bumi dengan berbagai intensitas, getaran-getaran tersebut terjadi karena terlepasnya suatu energi secara tiba-tiba. Namun gejala-gejala geologis tersebut juga dapat berakibat terjadinya bencana geologis lainnya selain gempa bumi seperti gunung meletus, tanah longsor, banjir dan juga tsunami.
Gempa bumi bisa disebabkan oleh berbagai sumber, antara lain: (1) letusan gunung berapi (erupsi vukalnik), (2) tubrukan meteor, (3) ledakan bawah tanah (seperti uji nuklir), dan (4) pergerakan kulit Bumi (Rusydi, 2004). Di bawah lempengan bumi ada magma yang bergerak. Gerakan ini menghasilkan gaya yang dirasakan oleh lempengan terutama pada daerah sambungan antar lempeng. Gerakan ini membuat tanah di atasnya dan juga magma di bawahnya bergetar. Getaran ini akan diteruskan sampai ke permukaan tanah yang disebut gempa bumi (Rusydi, 2004).
Bencana alam gempa bumi sampai sekarang belum bisa diprediksikan secara akurat karena pengetahuan kita pada how the earthquake happens hanya sanggup memprediksi gempa dengan orde presisi ratusan atau bahkan ribuan tahun.
(50)
Bencana yang mungkin terjadi setelah gempa bumi adalah tanah longsor, banjir dan kebakaran. (Eisner and Gallion, 1994).
2.3.1. Kondisi geoteknik dan geologis kota rawan bencana gempa
Kondisi fisik kota yang rawan bencana gempa disebabkan oleh keadaan geoteknik dan geologis kota tersebut yang dilalui oleh jalur patahan. Wilayah Indonesia dipengaruhi oleh zona pertemuan empat lempeng besar dunia yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, Pasifik dan Philipina. Pengaruh dari pertemuan lempeng dunia ini kepada kondisi seismik tektonik kawasan Indonesia menjadikan wilayah Indonesia memiliki kerawanan yang tinggi (Wardani, et.al, 2005).
Sesungguhnya kemungkinan terjadinya gempa bumi dapat diprediksikan walaupun tempat dan waktu kejadian belum bisa dipastikan, dengan mengetahui sejarah kegempaan yang terjadi di suatu wilayah dapat diprediksikan masa pengulangan gempa selanjutnya. Masa pengulangan terjadinya gempa-gempa besar dari beberapa penelitian memperlihatkan kurun waktu ratusan tahun pada lokasi yang sama (Canahar, et.al, 2005). Dengan mengetahui sejarah kegempaan yang ada, daerah yang dulunya pernah mengalami gempa dapat mempersiapkan daerahnya untuk menghadapi gempa yang dapat datang kapan saja.
2.4. Konsep Kota yang Adaptif dan Berbasis Mitigasi Bencana
Konsep dasar penataan ruang adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan aman dari bencana, untuk itu di setiap wilayah rawan bencana perlu dilengkapi: fasilitas perlindungan baik berupa bentuk alami maupun bangunan, jalur
(51)
penyelamatan menuju ketempat yang lebih aman dan tempat aman untuk penyelamatan dapat berupa bangunan, alami dan lain-lain (Djauhari Noor, 2007).
Hancur dan terkoyaknya fisik kota akibat bencana alam seperti gempa bumi, banjir dan lain-lain yang membawa kesengsaraan penghuni kota tidak dapat begitu saja kita menyalahkan fenomena alam tersebut. Namun yang perlu kita salahkan adalah diri kita sendiri yang mengembangkan atau membuat fisik kota menjadi tidak adaptif terhadap bencana alam seperti disebutkan di atas.
Pengembangan kota sebaiknya tidak hanya dikembangkan berdasarkan aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural saja, namun sebaiknya kota juga dikembangkan berdasarkan aspek kebijakan teknis sebagai berikut:
1. Struktur bangunan dan sistem infrastruktur di perkotaan sebaiknya dikembangkan dengan sistem tahan terhadap gaya lateral atau gempa bumi. 2. Penyediaan ruang-ruang terbuka dan jauh dari kemungkinan runtuhnya
bangunan yang lebih banyak sebagai tempat berlindung dan tempat penyelamatan ketika terjadi gempa bumi.
3. Vegetasi sebagai tata hijau kota sebaiknya dipilih model tanaman keras yang tidak mudah tumbang.
4. Air hujan harus diberikan ruang yang cukup agar dapat menyerap dalam tanah sehingga menjadi cadangan air tanah dan selebinya dibuang dengan saluran bebas sampah dengan dimensi yang cukup agar tidak menimbulkan banjir.
(52)
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa resiko bencana selain terkait dengan fenomena alam yang bersifat given juga sangat berhubungan dengan proses pembangunan yang dilakukan oleh manusia.
Disatu sisi keberadaan ancaman bencana alam menempatkan pembangunan menjadi beresiko, tetapi di sisi lain, pembangunan yang dilakukan oleh manusia dapat menimbulkan atau membangkitkan resiko bencana, tetapi sebaliknya ada juga pembangunan yang dilakukan oleh manusia yang dilakukan sesuai dengan karakter suatu kawasan dapat mengurangi resiko bencana. Berdasarkan pemikiran tersebut maka perencanaan pembangunan sebaiknya dilakukan untuk menghindari dan mengurangi ancaman bencana yang ada. Banyak kasus khususnya di Indonesia, dimana pembangunan wilayah tanpa melalui perencanaan yang baik dan menyeluruh dapat menimbulkan/memacu tingginya tingkat resiko bencana, khususnya untuk ancaman bencana geologi dikawasan daerah patahan.
Pembangunan di kawasan patahan yang tidak terencana dengan baik dan khas sebagai satu kawasan yang unik dapat meningkatkan tingkat kerentanan kawasan tersebut, dimana dengan semakin berkembangnya kawasan tersebut otomatis dibarengi oleh proses urbanisasi dan konversi lahan yang tidak terkendali secara keseluruhan, sangat mengundang resiko bencana untuk kawasan tersebut.
Kebijaksanaan Mitigasi perkotaan merupakan suatu kerangka konseptual yang disusun untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana terutama di daerah perkotaan. Mitigasi bencana meliputi pengenalan dan adaptasi terhadap bahaya alam buatan manusia, serta kegiatan berkelanjutan untuk mengurangi atau
(53)
menghilangkan resiko panjang, baik terhadap kehidupan manusia maupun harta benda.
Tujuan utama dari penyusunan kebijaksanaan mitigasi bencana perkotaan adalah mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk perkotaan, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan sumber daya alam, sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan perkotaan, meningkatkan pengetahuan masyarakat perkotaan dalam menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup bekerja dengan aman.
2.5. Sistem Kota
2.5.1Aksesibilitas dan mobilitas
Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui suatu sistem jaringan (Tamin, 1997).
Faktor yang menyatakan tingkat aksesibilitas adalah waktu tempuh, meskipun ada juga yang menyatakan dengan faktor jarak. Suatu tempat yang berjarak jauh belum tentu dapat dikatakan mempunyai aksesibilitas rendah atau sebaliknya, karena terdapat faktor lain dalam menentukan aksesibilitas yaitu waktu tempuh. Dari sisi jaringan transportasi, kualitas pelayanan transportasi pasti berbeda-beda baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Terkait dengan jalur evakuasi, tidak ada ketentuan yang baku tentang ukuran jalur evakuasi namun secara umum yang harus diperhatikan adalah apakah jalur
(54)
tersebut dapat dilalui dengan baik dan cepat, untuk jalur evakuasi di luar bangunan hendaknya bisa memuat dua kendaraan jika saling berpapasan tidak menghalangi proses evakuasi. Kemudian ada tempat pengungsian sementara yang merupakan tempat aman dan tempat pengungsian akhir.
Yang menjadi perhatian tentang jalur evakuasi adalah jalur evakuasi cukup lebar bisa dilewati 2 kendaraan atau lebih, harus menjauh dari sumber ancaman dan efek dari ancaman, harus baik dan mudah di lalui, harus disepakati bersama oleh masyarakat, aman dan teratur.
2.5.2 Pola permukiman dan alokasi lahan
Pertumbuhan kota, selain memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat juga dapat menyebabkan bencana karena mendorong lebih banyak orang yang tinggal di wilayah yang berbahaya dan rentan bencana. Pendatang dan penduduk kumuh rentan terutama karena mereka sering bertempat tinggal ditempat yang berbahaya seperti di kanal atau pinggiran saluran dan sering tidak memiliki pelayanan dasar yang memadai (Inoghuci, 2003).
Sebagaimana kota di Indonesia, pola permukiman penduduk cenderung berada di sepanjang pinggir jalan dan di sepanjang bantaran sungai dan umumnya membentuk kelompok-kelompok bangunan hunian maupun tempat usaha yang cenderung tidak teratur. Hal ini tidak terlepas dari kehidupan sosial budaya penduduk.
Munculnya pola pemukiman yang mengabaikan bahaya dan berada di kawasan rawan bencana, dan juga berada pada daerah dataran rendah yang terlalu dekat dengan kemiringan lereng yang curam karena pada kawasan tertentu gempa
(55)
bumi yang terjadi dapat disertai dengan longsor atau banjir, memberikan resiko yang besar ketika terjadi bencana (Eisner and Gallion,1994). Budaya masyarakat Indonesia khususnya kaum petani yang menetap di wilayah rawan bencana tentunya memerlukan pemahaman sosial dan antropologi budaya lokal agar strategi penempatan pemukiman mereka di daerah bebas ancaman gempa berhasil dengan efektif.
Secara teoritis luasan kawasan penggunaan lahan telah terpolakan dalam’’teori tata guna lahan perkotaan’’. Teori ini mencakup atas penggunaan lahan bagi perumahan, industri, perbelanjaan/niaga dan sebagainya. Pola tata guna lahan ini dikemukaan oleh B.W. Burgess dengan teori ’’pola konsentrik/terpusat (consentric zone theory)”, Hummer Hoyt dengan ’’teori sektor (sector theory)’’ dan R.D. Mc Kenzic dengan teori ’’pusat lipat ganda (multiple nuclei theory).
Mereka membuat suatu pola penggunaan lahan di perkotaan. Teori-teori tersebut digambarkan seperti pada gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Pola Tata Guna Lahan Sumber: Kivell, Philip, 1993
Pada gambar 2.3 dapat dijelaskan pola jalur terpusat (consentrdic zone) oleh Burgess menjelaskan bahwa penggunaan lahan di perkotaan mempunyai atau pola
(56)
bahwa pusat kota merupakan sumbu yang dikelilingi (dilingkari) oleh lahan-lahan yang sesuai dengan penggunaannya.
Pola consentric zonedapat diterangkan sebagai berikut:
1. Pusat Kota Central Business Distric (CBD) terdiri dari bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan pusat perbelanjaan.
2. Merupakan jalur alih, yang terdapat rumah-rumah sewaan, kawasan industri dan perumahan buruh.
3. Jalur wisma buruh yang yang terdapat kawasan perumahan untuk tenaga kerja pabrik/industri (lower class residential).
4. Jalur madya wisma, yang terdapat kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja (kantoran) dan kaum madya (medium class residenial). 5. Di luar lingkaran terdapat jalur ’’pendugdag’’ atau ’’penglajon’’ dimana
terdapat masyarakat golongan madya dan golongan atas atau (high class residential).
Teori sektor oleh H. Hoyt dapat diterangkan sebagai berikut: 1. Sektor ini terdapat pusat kota atau CBD.
2. Kawasan ini terdapat kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan. 3. Sektor ini dekat dengan pusat kota pada bagian sebelah menyebelahnya
terdpata kawasan murbawisma yaitu kawasan tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh (low income housing).
(57)
4. Sektor ini agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan. Terdapat sektor madya wisma atau perumahan kaum madya (middle income housing).
5. Sektor ini terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas (high income housing).
Teori pusat lipat ganda atau Multiple Nucleimerupakan teori R.D. Mc kenzic dengan keterangan sebagai berikut:
1. Pusat kota atau CBD.
2. Kawasan niaga dan industri ringan.
3. Kawasan murbawisma, tempat tinggal kualitas rendah. 4. Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah. 5. Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi.
6. Kawasan industri berat.
7. Pusat niaga, perbelanjaan lain di pinggiran.
8. Upakota (sub urban), untuk kawasan madyawisma dan adiwima. 9. Upakota (sub urban) kawasan industri.
2.5.3 Jaringan lalan dan struktur ruang kota
Pada kota yang memiliki pola jaringan jalan berbentuk grid, untuk kawasan yang memiliki kepadatan tinggi tingkat kemudahan dalam mitigasi sangat sulit hal ini disebabkan pada setiap siku jalan (persimpangan) menjadi titik-titik kemacetan karena penuhnya kendaraan dari setiap blok-blok bangunan yang akan melalui siku jalan dan memperlambat laju kendaraan disana seperti yang terlihat pada gambar 2.4.
(58)
Demikian juga sebaliknya untuk kawasan yang berkepadatan rendah tingkah mitigasinya lebih mudah karena kepadatan lalulintas relatif lebih kecil. Kemudahan dalam proses mitigasi turut menentukan tingkat resiko dan korban yang ditimbulkan ketika suatu daerah dilanda bencana. Jaringan-jaringan yang saling menghubungkan dan memberikan lebih dari satu jalur menuju tempat evakuasi (Coburn, et.al, 1994).
Gambar 2.4 Tingkatan Kesulitan Proses Evakuasi Sumber: Shuici, 2005
Jalur-jalur jalan untuk mitigasi perlu disesuaikan dengan struktur bangunan yang ada sehingga masyarakat dapat mengamankan diri menuju tempat tempat penyelamatan sementara atau permanen dengan cepat (Darwanto, 2005).
Pelebaran jalan-jalan di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan tinggi untuk memudahkan proses evakuasi (Coburn, et.al, 1994). Selain pelebaran jalan maka perlu adanya jalan-jalan baru dari daerah perkotaan yang memiliki kepadatan tinggi menuju tempat-tempat yang aman. Jalan tersebut merupakan jalan koridor dari pusat kota yang dapat mengurangi titik-titik kemacetan di persimpangan jalan akibat pola jaringan jalan yang berbentuk grid dan kelebihan kapasitas jalan. Jaringan jalan pada kota yang rawan bencana gempa sebaiknya direncanakan sebagai satu kesatuan dengan rencana umum tata ruang kota. Rencana tata ruang tersebut mengarah pada
(59)
kelancaran evakuasi serentak dan besar-besaran dengan pola jaringan radial yang lebar dan dilengkapi jalan lingkar yang berlapis-lapis.
Kota yang rawan bencana harus ditata ulang dengan jaringan jalan yang mengarah ke upaya mitigasi massal yaitu pola menyebar ke arah daerah yang ditetapkan sebagai area evakuasi dengan jalan raya radial yang dilengkapi dengan jalan lingkar (ring road) secukupnya (Soehartono, 2005).
Pengertian jalan sesuai dengan Undang-Undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas. Pola jaringan jalan merupakan salah satu unsur terpenting dari morfologi kota. Beberapa pola jaringan jalan menurut Northam (dalam Yunus, 2004) adalah sebagai berikut:
1. Sistem pola jalan tidak teratur, pada sistem ini terlihat adanya ketidak teraturan sistem jalan baik ditinjau dari segi lebar maupun arah jalan. Ketidakteraturan ini terlihat pada polajalan yang melingkar-lingkar, lebarnya bervariasi dengan cabang-cabang yang banyak. Ketidakteraturan ini tercipta karena keadaan topografi kota yang mengharuskan demikian. Bagi kota yang tidak mempunyai kendala medan, ketidakteraturan tersebut menunjukkan tidak adanya perencanaan untuk menertibkan unsur-unsur morfologi kotanya dan ini biasanya terjadi pada kota yang baru tumbuh. Sistem pola jalan tidak teratur seperti ditunjukkan pada gambar 2.5.
(60)
Gambar 2.5 Kota-kota dengan Pola Jalan Tidak Teratur Sumber: Yunus, 2004
2. Sistem pola jalan radial konsentris, dalam sistem ini ada beberapa sifat khusus yaitu mempunyai pola jalan konsentris dan radial, bagian pusatnya merupakan daerah kegiatan utama sekaligus tempat pertahanan terakhir dari suatu kekuasaan, punya keteraturan geometris, serta jalan besar menjari dari titik pusat dan membentuk “asterisk shaped pattern”. Gambar 2.6 merupakan salah satu contoh ideal dari bentuk sistem pola jalan radial konsentris.
Gambar 2.6 Asterisk Shaped Pattern - Palma Nouva, 1593 Sumber: Yunus, 2004
3. Sistem pola jalan bersudut siku atau grid, pada kota dengan sistem pola jalan bersudut siku atau, bagian-bagian kotanya dibagi sedemikian rupa menjadi blok-blok empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang pararel
(61)
longitudinal dan transversal membentuk sudut siku-siku. Jalan-jalan utama membentang dari pintu gerbang utama kota sampai pada bagian pusat kota. Sistem ini merupakan pola yang cocok untuk pembagian lahan dan pengembangan kota akan tampak teratur dengan mengikuti pola yang telah terbentuk. Gambar 2.7 berikut adalah contoh sistem pola jalan bersudut siku atau grid.
Gambar 2.7 Kota-kota dengan Sistem Pola Jalan Bersudut Siku Atau Grid Sumber: Yunus, 2004
2.5.4 Prinsip penataan sirkulasi dan jalan penghubung
Prinsip penataan sirkulasi dan jalan penghubung mengacu kepada Peraturan Menteri No. 06/PRT/M/2006 dan Peraturan Menteri No. 30/PRT/M/2006. Dimana prinsip-prinsip penataan tersebut meliputi:
(1)
(2)
(3)
TEMPORARY SHELTER CONCEPT
Contoh 1 Taman Rukun Tetangga Sumber : Permen PU No. 05 Tahun 2008
Contoh Taman Rukun Tetangga (RT) Sumber: Permen PU No. 05 Tahun 2008
KONSEP
Model Taman Evakuasi Bencana untuk area evakuasi dalam konsep Temporary Shelter. Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkup 1 (satu) RT, khususnya untuk keperluan mitigasi bencana yakni sebagai lokasi evakuasi (evacuation area) sesuai dengan tipologi kawasan perkotaan yang rawan bencana, selain fngsi tersebut juga untuk sarana kegiatan sosial di lingkungan RT
(4)
tersebut. Luas taman ini adalah minimal 1 m2 per penduduk RT, dengan luas minimal 250 m2. Lokasi taman berada pada radius kurang dari 300 meter dari rumah-rumah penduduk yang dilayani. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas taman. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman, juga terdapat minimal tiga pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.
ACCOMMODATION SHELTER CONCEPT
KONSEP TAMAN EVAKUASI BENCANA Sumber : Nirwono Joga
KONSEP
Model Taman Evakuasi Bencana sebenarnya dilatarbelakangi pengembangan konsep
taman bale kambang yang sudah lama dikenal masyarakat tradisional Jawa dan Bali. Konsep ini
dikembangkan sesuai kebutuhan antisipasi bencana karena memiliki kelenturan dan kemudahan modifikasi sesuai kondisi dan bentuk lahan di setiap lokasi. Taman memiliki dua bentuk dasar
taman dan bale kambang (mengambang/melayang/menggantung). Bale merupakan bentuk
tradisional yang biasa digunakan untuk tempat berkumpul, bersantai, atau bersosialisasi di teras rumah.
Pengembangan taman evakuasi bencana mensyaratkan fungsi ekologis (sumur resapan
air yang berdaya resap air tinggi, pohon penghasil oksigen), ekonomis (kebersihan dan kesehatan
warga, berkebun), edukatif (ruang belajar alam dan kegiatan pendidikan lain misalnya kegiatan
ibadah, kerajinan tangan), evakuasi (ruang penyelamatan bencana banjir, kebakaran, gempa
bumi), konservasi energi (suplai energi surya, biogas), dan estetis (kebersihan, kesehatan, dan
keindahan lingkungan). SPESIFIKASI
1. Lantai dasar taman dibangun sumur resapan air tersusun dari koral, pasir, pecahan batu bata, ijuk, dan batu belah, seluas 75 persen dari luas taman. Sisanya, 25 persen, berupa tandon air untuk cadangan air bersih pada musim kemarau dan kebakaran.
2. Di atas sumur resapan air dan tandon air dibuat taman koral yang berfungsi sebagai taman terapi kesehatan bagi warga dan pasar dadakan, sesuai kesepakatan warga. Lantai dasar dilengkapi fasilitas pos siskamling dan kantor RT/RW.
(5)
3. Dengan standar kebutuhan ruang setiap orang 1 m2 maka untuk ruang evakuasi setiap lantai dapat menampung pengungsi 300-400 orang per lantai atau total 600-800 orang dengan syarat pengungsi tidak membawa banyak barang.
4. Pada lantai satu seluas 400m2, lantai dapat digunakan sebagai ruang evakuasi bencana dan
di saat normal dapat difungsikan untuk kegiatan sosial, kegiatan ibadah, balai warga RT/RW, perkawinan, atau pentas seni. Lantai ini dilengkapi fasilitas dapur umum dan toilet bersama.
5. Pada lantai teratas berupa atap rumput seluas 250m2. Fasilitas dapur umum dan toilet
bersama dilengkapi panel sel surya untuk menyuplai kebutuhan energi listrik taman dan dapat ditingkatkan kapasitasnya untuk rumah tangga, sangat bermanfaatpada saat bencana terjadi ketika aliran listrik mati total. Sebagian permukaan dinding bangunan taman dapat dipakai untuk layar pemutaran film cerita atau film penyuluhan warga.
6. Penyediaan tangga ramp melingkar mengelilingi bangunan taman dimaksudkan memudahkan proses evakuasi saat bencana, menjadi jogging track mengelilingi taman, dan berfungsi selasar untuk menampung berbagai kegiatan anak-anak. Sepanjang tangga ramp dan lantai atas dibatasi bak tanaman sayuran dan apotek hidup. Desain pondasi bangunan ini harus mampu menerima goncangan kekuatan gempa lebih dari 0,5 g atau lebih 10 SR.
7. Taman dilengkapi tangki air minum, pompa hidran, toilet portabel, papan petunjuk, alat komunikasi, serta bungker sebagai gudang makanan dan obat-obatan. Dari 500 meter persegi, seratus meter persegi diisi penanaman pohon besar. Bencana memang tidak bisa diperkirakan dengan tepat, tetapi upaya mitigasi bencana tetap perlu disiapkan untuk meminimalkan korban nyawa dan harta.
(6)
Model Rambu-Rambu Evakuasi
Model Rambu-rambu Evakuasi
Sumb