Rangkaian Revisi Buku Zinunö: 1898

71

4.2. Rangkaian Revisi Buku Zinunö: 1898

– 2014 Perkembangan buku Zinunö menjadi sebuah bahasan penting untuk mengetahui bagaimana sebenarnya proses ini berlangsung. Salah satu perubahan yang signifikan adalah lirik. Lirik atau bahasa yang disajikan dalam buku Zinunö tidak dapat disamakan dengan bahasa yang digunakan sehari- hari. Ada sebuah kesan dalam buku Zinunö yang merupakan bahasa yang dapat menyentuh, menggugah perasaan atau emosi bahkan mampu mempengaruhi pola pikir seseorang. Sebagai buku nyanyian yang yang terikat dalam sebuah kelompok masyarakat, buku Zinunö telah menjadi sebuah identitas ono niha. Lebih lanjut Alan P. Merriam mengemukakan: “ Musik tidak dapat didefenisikan sebagai semata -mata suatu fenomena suara karena ia melibatkan kebiasaan kebiasaan dari invidu dan kelompok individ u”. Teks lagu dengan jelas mengekspresikan budaya dimana mereka menjadi bagian didalamnya. Budaya yang dimaksud adalah kebiasaan atau pola hidup yang ada ditengah- tengah masyarakat yang yang tidak stagnan tetapi terus mengalami perubahan dan perkembangan dan hal ini memberi pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan buku Zinunö. Dari buku Zinunö dapat dilihat kekayaan sejarah, budaya, kehidupan sosial, teknologi dan kearifan lokal setempat. Berbicara mengenai buku Zinunö tidak pernah terlepas dari pengaruh para missionaris pada masa awal penyebaran agama Kristen di Tano Niha. Pada awal dekade Kekristenan di pulau Nias tidak terdapat liturgi gereja. Para missionaris hanya memberitakan injil dan ono niha hanya bersikap menerima saja. Mereka diajarkan untuk tidak lagi menggunakan praktek- praktek keyakinan agama kuno mereka Universitas Sumatera Utara 72 sebelumnya ono niha mengandalkan adu yang merupakan patungsesembahan bersifat paganisme untuk melakukan berbagai macam aktifitas seperti, meminta kepada adu zatua untuk memberi mereka buruan dihutan, kemudian menyembah arwah orangtua yang telah meninggal; hal ini dapat dilihat dari peninggalan zaman megalitik dimana setiap rumah penduduk mempunyai patung dari ukiran batu yang menurut mereka adalah jelmaan dari leluhur dan beralih kepada Tuhan yang merupakan sumber dari segala berkat. Meskipun upaya penghapusan tradisi kepercayaan lama tidak sepenuhnya berjalan sesuai yang di harapkan, namun ada satu hal yang menjadi perhatian missionaris pada adat ono niha yaitu bernyanyi dan menari secara komunal Beberapa kesenian vokal tradisional Nias adalah maena, hoho, bolihae, hiwö- hiwö, ngenu- ngenu, dan fabölösi Manhart, 2004: 90-94. Para missionaris melihat bahwa ono niha suka berkumpul dan bernyanyi bersama, mereka akhirnya mengembangkan liturgi dan memperkenalkan himne barat kepada ono niha . 40 . Setelah pendidikan mulai berkembang dikalangan ono niha, pada tahun 1989 para missionaris menyusun sebuah buku nyanyian yang pertama kali digunakan dalam jemaat berjudul “Zoera Zinoeno ba Niha” Niassisches Gesang- Biichlein dicetak di Siedhoff, Bielefeld, Germany. Buku nyanyian ini disusun pertama kali oleh missionaris Jerman tidak diketahui nama misionaris tersebut berisi himne Jerman tanpa sedikitpun elemen dari budaya setempat kecuali li niha 40 Hu el, da Tuho i Telau a ua. . Cross and Adu . Disertasi Doctor. Nederland:Universiteit Utrecht. Hal.261 Universitas Sumatera Utara 73 atau bahasa Nias. Buku ini memuat 150 lagu dengan lirik untuk pentahbisan para guru jemaat dan lagu permohonan berkat fangandrö howu- howu . Lagu- lagu ini kemudian diajarkan oleh missionaris kepada ono niha secara oral. Hal ini disebabkan keterbatasan pendidikan masyarakat terutama dalam hal membaca dan menulis. Ama Watörö dalam “Waöwaö Wa’aniha” mengungkapkan bahwa ono niha sulit untuk menyanyikan melodi Eropa, mereka terbiasa menyanyikan lagu- lagu tradisional dengan notasi yang jauh berbeda dengan notasi barat. Para missionaris tidak menyadari hal ini dan bersikeras menggunakan menggunakan himne Jerman 41 . Pada tahun yang sama, semua himne Jerman yang sudah diterjemahkan kemudian dipublikasikan kedalam bahasa sehari- hari untuk digunakan oleh semua orang Kristen di Pulau Nias. Mereka juga menambahkan sejumlah doa seperti: Doa menerima Baptisan Kudus, Doa Pembukaan dan Penutupan Sekolah, Doa untuk orang sakit, Doa Syukur Penyembuhan, Doa bagi seseorang yang telah dikucilkan, Doa pada saat menabur dan menuai tanaman, dan Doa untuk kelahiran 42 . Tujuh tahun berikutnya Zoera Zinoeno ba Niha di revisi tepatnya pada tahun 1905. Buku ini berisi lirik lagu dengan notasi balok dan dicetak di Leipzig, Germany. Pada masa ini, gerakan Pertobatan Massal F angesa Dödö Sebua menginspirasi jemaat untuk tidak hanya menyanyikan himne barat tetapi juga menambah lagu-lagu yang dikenal dengan lagu Pertobatan F angesa Dödö. Tema utama dalam buku ini adalah Jalan Keselamatan, Lagu Bimbingan Menghadapi Godaan untuk Mencapai Kedamaian Surga, serta lagu Ziarah terjemahan dari Bunyan yang juga memberi 41 Anonymous, Zoera Zinuno ba Niha Niassisches Gesang-Buchlein, Ernst Siedhoff, Bielefeld, 1898. 42 Loc.cit Universitas Sumatera Utara 74 pengaruh yang kuat. Lagu ini tidak lain adalah manifestasi dari Kebangkitan Luar Biasa sehingga mengilhami ono niha untuk membentuk paduan suara. Festival paduan suara pertama kali diadakan di Gunungsitoli pada tahun 1917 dan dikenal dengan nama Pesta Raya Nyanyian owasa sinunö . Lagu- lagu tersebut sering dinyanyikan untuk mempersatukan ono niha dari berbagai desa yang berbeda. Meskipun nyanyian tersebut sangat disukai oleh ono niha, namun hal ini terkadang di larang oleh kaum missionaris, sebab ketika ono niha melakukan owasa sinuno mereka mengkombinasikannya dengan tarian maena. Hal ini dianggap berbahaya oleh missionaris karena dianggap mengembalikan tradisi lama. Namun ono niha memberi penjelasan kepada missionaris bahwa mereka bernyanyi sambil melakukan maena semata- mata karena hati yang sangat gembira dan bukan untuk ritual pemujaan. Setelah melakukan diskusi yang panjang, akhirnya missionaris memutuskan untuk tetap menggunakan maena tetapi bukan dalam gereja, namun hanya pada hari- hari raya. Mereka juga tidak mengizinkan alat musik tradisi masuk kedalam gereja seperti fondrahi membranophone, göndra membranophone, t amburu membranophone, aramba idiophone, doli-doli idiophone, faritia idiphone, tabolaea idiophone, duridana idiophone, durimbewe idiophone, tutuhao chordophone , lagia chordophone, dan zigu aerphone, kecuali pada acara pesta adat Manhart, 2004: 80-88. Sebaliknya, lonceng gereja, terompet kuningan, dan harmonium yang diimpor oleh lembaga misi 43 . Menanggapi antusiasme ono niha dalam bernyanyi, lembaga missionaris menerbitkan beberapa himne lainnya yang kemudian dicetak pada tahun 1923 di 43 Op.cit. Hal.170-171 Universitas Sumatera Utara 75 Missions Druckerei Ombolata, Nias. Pada saat itu teknologi di Nias sudah memadai dimana didesa Ombalata sudah didirikan rumah percetakan. Ditempat inilah majalah “ Toeria ” dan Buku zinunö dicetak serta dipublikasikan. Meskipun semua melodi diadaptasi dari Eropa, namun beberapa lirik diciptakan oleh ono niha sendiri sebagai pengaruh dan semangat dari Kebangkitan Luar Biasa yang sudah terjadi sebelumnya. Pada peridode ini beberapa orang Nias ikut berpartisipasi dalam menyusun buku nyanyian tersebut. Mereka adalah Penatua Lotebulo, Penatua Ama Gana‟a, Penatua Ama Janaoli, Pendeta Ama Masia, Pdt. Ligi, Penatua Sarambowo, Guru lo‟a, Penatua Tao Bini, Guru Nga, Guru Tabisa, Guru Saloe-saloe, Pdt. Ama Wiro, Ketua Adat Ama De‟ali, dan Guru Amatia, bekerja sama dengan Missionaris E. Fries; H. LAgeman, C. Ufer, Frickernschmidt; G. Marg. Dungs; G. Ottolie Schl; E. Schlipkoter. Pada tahun 1931, himne- himne yang sudah ada direvisi kembali. Revisi kali ini menghapus seluruh elemen Pesta Raya Nyanyian owasa sinunö . Buku nyanyian ini diberi nama “Buku Zinunö Mbanua Niha Keriso Protestan Ba Dano Nias Indonesia” dicetak di di Wuppertal, Germany. Sampai pada tahun ini missionaris terus mengadopsi kebudayaan Eropa untuk dibawa ke dalam gereja. Missionaris gagal melihat pentingnya kebudayaan Nias meskipun mereka mencoba mempelajari peribahasa lokal, perumpamaan, bahkan benyanyi dan menari maena. Umumnya, budaya lokal dianggap sebagai tradisi lama dan berhubungan dengan segala bentuk kekafiran yang patut untuk ditolak sepenuhnya. Akhirnya, ono niha mulai melupakan kesenian lokal. Jaap Kunst, Etnomusikolog yang pertama kali mengadakan penelitian tentang musik Nias mengatakan bahwa dia sangat menyesal tidak tiba lebih awal, Universitas Sumatera Utara 76 karena tidak ada seorangpun bersedia mengajarinya memainkan fondrahi yang biasanya dipakai oleh ere 44 untuk melakukan ritual. Meskipun beberapa pria dan wanita lanjut usia memiliki keterampilan untuk memainkannya, mereka menolak untuk mengajari Kunst karena menurut mereka istrumen dan lagu dianggap paganisme Jaap Kunst, 1939:2 Pada tahun 1969 sebuah tim disusun oleh dewan Sinode untuk merevisi kembali buku Zinunö. Alasannya adalah beberapa lirik yang diwarisi dari missionaris Eropa dianggap canggung dan tidak dapat lagi dipahami oleh jemaat. Tahun 1972 tim mulai bekerja untuk merev isi buku Zinunö. Edisi revisi terbaru diberi nama “ Buku Zinunö”. Revisi tahap ini tidak merubah konten atau isi lagu, namun hanya memperbaiki dan menyesuaikan bahasa yang digunakan. Revisi ini juga tidak memperhitungkan semangat artistik ataupun musik tradisional serta tantangan yang terjadi tengah- tengah masyarakat. BNKP tidak menambahkan himne yang signifikan namun menggunakan Kidung Jemaat, Nyanyian Rohani Mazmur, serta Kidung Ceria utnuk digunakan dalam gereja. Pada tahun 2000, sinode kembali membentuk tim revisi untuk memperbaharui kembali buku zinunö. beberapa perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut: 1. Penambahan lagu Pertobatan fangesa dödö 2. Penambahan notasi Barat 44 Sebutan untuk para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2 macam ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua; Universitas Sumatera Utara 77 3. Menggunakan unsur kebudayaan Nias dengan krearif yaitu dengan memasukkan musik dan tari tradisional dikombinasikan dengan lagu kristiani. Meskipun ini adalah perkembangan baru dari pendekatan yang lebih kontekstual, namun tahap percobaan ini belum dapat diterima sepenuhnya sebagai standar untuk kebaktian dari BNKP. Buku Zinunö kembali direvisi oleh tim KMG Komisi Musik Gerejawi BNKP pada Program Kerja 2002-2007. Beberapa perubahan yang dilakukan adalah penambahan notasi angka pada setiap judul lagu, menyesuaikan lagu- lagu yang bertema Tohutohu kedalam tema yang relevan, memperbaiki lirik berdasarkan ketentuan ejaan bahasa daerah Nias yang sedang berlaku, tata bahasa, teologi serta hukum komposisi lagu dan lirik nyanyian. Penulisan teks buku Zinunö ini telah disejajarkan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan EYD Bahasa Indonesia yang sedang berlaku yakni berdasarkan keputusan Mendikbud RI Nomor 0543 aU1987 tanggal 9 September 1987 tentang Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan, dan disesuaikan dengan tata bahasa daerah Nias. Perubahan yang dilakukan di buku Zinunö ini membutuhkan waktu, tenaga, dan pikiran serta dana yang tidak sedikit, sehingga baru dapat dituntaskan dan dicetak pada tahun 2005. Edisi 2005 juga memuat lagu bertemakan F anusugi Dödö yang dapat digunakan pada acara ibadah tertentu seperti KKR, serta ibadah Penelaah Alkitab sekola wangandrö Kata pengantar Drs. Yas Harefa sebagai salah seorang personil KMG BNKP dalam buku Zinunö tahun 2005. Universitas Sumatera Utara 78 Revisi terbaru buku Zinunö BNKP dilakukan pada tahun 2014. Kelompok penyusun buku Zinuö ini dkenal dengan nama Tim Revisi Buku Zinunö BNKP dibentuk tahun 2009. Tim revisi diketuai oleh Pdt. Arr. Gea yang sebelumnya pernah menjabat sebagi ephorus BNKP. Buku nyanyian ini memuat 503 lagu termasuk himne Jerman dan lagu ciptaan ono niha bertemakan F anusugi Dödö. Buku ini juga berisi lagu bertema Wangesa Dödö ataudikenal sebagai Sinunö wangesa dödö yang dulu juga pernah digunakan untuk mengenang dan mengingatkan kembali peristiwa Pertobatan Massal F angesa Dödö Sebua yang pernah terjadi. Buku Zinunö juga mengambil beberapa lagu yang terdapat dalam Kidung Jemaat. Salah satu perbedaan buku Zinunö tahun 2014 dengan buku Zinunö sebelumnya adalah nama komposer dicantumkan hampir pada semua lagu, termasuk lagu ciptaan lokal meskipun hanya Tim Revisi saja yang dipublikasikan Kata pengantar Drs. Tuhoni Telaumbanua sebagai Ephorus BNKP dalam buku Zinunö 2014. Seiring dengan perkembangan zaman dan pola pikir masyarakat yang semakin maju demikian juga buku Zinunö akan selalu mengalami perubahan supaya mampu memenuhi kebutuhan jemaat. Hingga saat ini, elemen musik Eropa masih masih mengungguli karakter musikal yang terdapat dalam buku nyanyian ini, sehingga elemen musik Nias semakin terkikis dan hampir tidak dikenal lagi oleh masyarakat pendukungnya sendiri. Universitas Sumatera Utara 79

4.3 Sistem Transmisi Lagu Buku Zinunö Kepada Jemaat