Kebijakan berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999

43 44 Tahun 1999 adalah sejenis peraturan daerah yang yang berada di bawah Peraturan Pemerintah PP, namun dengan kekhususan yang diperoleh dari Undang–undang Negara UU No. 11 Tahun 2006 ia menempati peringkat Peraturan Pemerintah yang tidak dapat disingkirkan oleh PP dan Keputusan Presiden. Alyasa‘ menambahkan bahwa UUD 1945 Pasal 24 Ayat 2 menyatakan bahwa lingkungan peradilan sudah ditetapkan hanya 4 lingkungan yaitu: 1 Lingkungan Peradilan Umum: 2 Lingkungan Peradilan Agama; 3 Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; dan Lingkungan Peradilan Militer. 80 Selain itu, secara realita — menurut Alyasa‘ — telah ada 4 kebijakan berkenaan dengan penerapan syariat Islam di Aceh pasca kemerdekaan RI, yakni: 1 kebijakan berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999; 2 kebijakan berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001; dan 3 Kebijakan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006. 81

1. Kebijakan berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999

Pengesahan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh oleh pemerintah Indonesia mewujudkan sejumlah kebijakan daerah yang terkandung dalam turunan UU tersebut. Salah satu dari peranakan UU tersebut adalah aplikasi Peraturan Daerah Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Perda ini merupakan suatu nuansa Islami yang turut memberikan peluang bagi masyarakat Aceh untuk menciptakan nuansa keislaman di Aceh. Undang–undang tersebut menyatakan bahwa pemberian keistimewaan kepada Aceh menimbang sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah. Kehidupan religius rakyat Aceh juga telah membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kehidupan masyarakat Aceh yang 80 Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 34- 38. Lihat juga Tap MPR R I No. IIIMPR1978 yang menyinggung kedudukan Mahkamah Syar’iyah Aceh. 81 Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 13-75. 44 religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan Islam. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penyelenggaraan pemerintahan daerah Aceh memerlukan adanya jaminan kepastian hukum dalam melaksanakan segala urusan. Maka Undang-undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi hukum normatif bagi upaya tersebut. Fenomena seperti ini telah disebutkan Arsekal Salim dalam Challenging the Secular State: the Islamization of Law in Modern Indonesia. 82 Pasca pengambil alihan kekuasaan pemerintahan oleh Orde Baru New Orde yang dipimpin Suharto tahun 1966, hak keistimewaan bagi Aceh yang tercantum dalam UU No. 24 Tahun 1956 tidak direalisasikan. Semua hak dan kebijakan daerah diambil alih oleh pemerintah pusat — terutama setelah pengesahan UU No. 5 Tahun 1975. Korupsi, Kolusi, Nepotisme di berbagai pelanggaran HAM lainnya juga merajalela di dalam kehidupan birokrasi Orde Baru. Pemerintahan ororiter ini berakhir dengan “ditabuhkannya genderang” perang terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme yang di diprakarsai Amein Rais tokoh pencetus reformasi pada tahun 1998 — yang menyebabkan pergantian kepresidenan dari Suharto kepada wakilnya, B. J. Habibie. Dikatakan Moch. Nur Ikhwan bahwa dengan peralihan kepemimpinan ini tindakan-tindakan rejim represif the regime’s repressive actions di Aceh semakin lama semakin berkurang. 83 B. J. Habibie yang melanjutkan “tongkat estafet” pemerintahan Suharto, berusaha membuka pintu demokrasi dengan cepat sesuai tuntutan keadaan. Di antara bentuk pemerintahan demokrasi dengan memberikan kewenangan-kewenangan legislatif yang signifikan kepada daerah-deerah, termasuk otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh 82 Arsekal Salim dalam Challenging the Secular State: the Islamization of Law in Moderen Indonesia Honolulu: University of Hawai`I Press, 2008,143-144. Lihat juga UU No. 44 Tahun 1999. 83 Moch. Nur Ikhwan, “the Politics of Sharia‘atization: Central Governmental and Regional Discourses of Shari`a Implementation in Aceh” dalam R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution, 194. 45 Darussalam, sebagaimana dikatakan Tim Linsey dan M. B. Hooker. 84 Realita ini memunculkan berbagai wancana dan kebijakan terhadap peningkatan supremasi hukum di Indonesia, sehingga membawa dampak kepada kebijakan pemerintah untuk membentuk Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2003. Kemudian dilanjutkan dengan adanya Mahkamah Konstitusi tahun 2004. Kedua institusi peradilan ini dapat menghambat kesewenang-wenangan pejabat negara dari perilaku yang merugikan negara dan masyarakat. Bagi Aceh, sejarah perkembangan hukum menunjukkan bahwa pemerintah mengeluarkan UU No. 44 Tahun 1999 yang memberikan keistimewaan renofatif bagi Aceh di bidang agama, adat-istiadat, dan Pendidikan. Dengan demikian telah ada 2 daerah Istimewa di Indonesia yakni DI Aceh dan DI Yokyakarta. Sedangkan pasca Undang-undang Otonomi daerah telah ada lima daerah Otonomi Khusus bagi Indonesia termasuk Papua Barat.

2. Kebijakan berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001