152
b. Pandangan CEDAW dan CAT
Ditinjau dari sudut substansi jenis pidananya, qanun di Aceh tidak sama dengan hukum pidana lainnya di Indonesia yang tidak
mengenal hukuman cambuk, apalagi eksekusi yang dipertontonkan di muka umum, dengan mempublikasikan identitas terpidana. Bahkan, jika
cambukan dianggap merendahkan martabat kemanusiaan seseorang laki- lakiperempuan, jelas-jelas ia telah bertentangan dengan UUD 1945
Bab XA Pasal 18A -28J, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 7 Tahun1984 tentang Ratifikasi Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women CEDAW. Demikian pendapat Komnas Perempuan
tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
.
321
Komnas Perempuan ini juga menilai bahwa jenis pidana cambukan juga dianggap bertentangan dengan Konvensi melawan
PenyiksaanConvention Against Toture CAT yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi
Melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang lain, tidak Manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan.
Selain Komnas Perempuan, hukuman penyiksaan juga tidak didukung Amnesti Internasional. “Amnesty” meminta Pemerintah RI
mencabut hukum cambuk.
322
Tentang hukuman penyiksaan juga kerap
dibahas Komite Menentang Penyiksaan yang dibentuk pada 1987. Sesuai dengan Pasal 17, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
serta Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat ini terdiri dari 10 orang ahli yang bermoral tinggi dan diakui
keahliannya di bidang hak asasi manusia, yang dipilih oleh Negara Pihak dari warga negaranya. Anggota dipilih untuk masa jabatan empat tahun
melalui pemungutan suara secara rahasia pada persidangan Negara Pihak, dan bertindak dalam kapasitas pribadinya.
323
321
Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, “Analisis terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat”, Kertas Kebijakan, 10 Oktober
2005, 8.
322
Tempointeractive.com, “Amnesti Internasional Minta Hukuman Cambuk Dicabut”, The Atjeh Post, 2 Mei 2011, dalam http:atjehpost.comnanggroedaerah-
2416-amnesti-internasional-minta-hukuman-cambuk-dicabut-html diakses tanggal 5 April 2011.
323
Tugas Komite, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 sampai dengan 24 Konvensi adalah: mempelajari laporan-laporan tentang tindakan yang telah diambil
Negara Pihak untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan Konvensi; melakukan
153
Menanggapi permintaan “Amnesty” tersebut, Syukri Muhammad Yusuf, Kepala Seksi Bimbingan dan Penyuluhan Hukum, Dinas Syariat
Islam Aceh mengatakan Penerapan hukuman cambuk bagi para pelaku pelanggar syariat Islam di Aceh dinilai tidak bertentangan dengan Hak
asasi Manusia HAM. Menurut Syukri, perdebatan soal sanksi hukum cambuk itu terjadi karena perbedaan pandangan antara masyarakat
muslim dan para pejuang HAM barat dalam melihat aturan tersebut. Syukri mengajak para pejuang HAM Barat tidak membuka diri untuk
berdialog dengan umat Islam.
324
Memang di antara pengertian “penyiksaan yang termaktub dalam CAT adalah tidak termasuk konsekwensi hukum. Committee Against
Torture lebih cenderung memaknai “penyiksaan” dengan pemaksaan seseorang untuk memberikan pengakuan terhadap suatu interogasi dalam
suatu penyelidikan perkara untuk kepentingan pihak tertentupihak ketiga, yang biasa terjadi dalam situasi pertikaianpeperangan di antara
dua pihak.
325
Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa wajar bila
penyelidikan rahasia, apabila diputuskan bahwa hal ini diperlukan sehubungan dengan indikasi nyata adanya praktek-praktek penyiksaan secara sistematis di wilayah Negara
Pihak; menjalankan fungsi-fungsi tertentu dalam penyelesaian sengketa antar Negara Pihak sehubungan dengan penerapan Konvensi, dengan ketentuan bahwa Negara Pihak
tersebut mengakui kompetensi Komite Menentang Penyiksaan untuk melakukan fungsi tersebut; jika diperlukan mendirikan komisi pendamain ad hoc yang menyediakan jasa
baiknya bagi Negara Pihak yang terlibat sengketa untuk mencapai penyelesaian bersahabat dalam pertikaian antar negara; membahas komunikasi dari atau atas nama
individu yang berada dalam wilayah hukum Negara Pihak yang bersangkutan yang menyatakan bahwa ia menjadi korban pelanggaran ketentuan Konvensi, apabila Negara
Pihak tersebut telah mengakui kompetensi Komite dalam masalah tersebut; dan menyerahkan laporan tahunan tentang kegiatannya kepada Negara Pihak dan Majelis
Umum PBB. Lihat: Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975.
324
“Hukuman cambuk Tidak melanggar HAM”, The Atjeh Post, 23 Mei 2011 dalam
http:atjehpost.comnanggroehukum2450-hukuman-cambuk-tak-melanggar- hamq.html
diakses tanggal 5 April 2011.
325
Lihat Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975. Lihat juga Pasal 1 Ayat 1 CAT, 4 Februari 1985.
154
penghukuman “penyiksaan” mengundang perdebatan di antara pakar hukum Islam dan HAM.
Di Indonesia, Sebelum diratifikasikannya Committee Against Torture ke dalam UU No. 5 Tahun 1998, telah berkembang sejumlah
konvensi dan deklarasi menyangkut dengan penjabaran Committee Against Torture. Selain pengertian “penyiksaan” yang terungkap di
dalam CAT, juga telah berkembang penafsiran yang dihasilkan konvensi dan deklarasi yang terkait dengan Committee Against Torture. Pengertian
penyiksaan dalam Deklarasi yang dihasilkan Deklarasi Wina 1993 adalah tindak pidana menurut ketentuan dalam hukum pidana. Deklarasi
itu juga bersifat tidak mengikat secara hukum, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan bangsa-bangsa telah menyusun rancangan
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia
yang selanjutnya diajukan kepada Sidang Majelis Umum PBB untuk disahkan. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui secara
konsensus rancangan konvensi tersebut pada tanggal 10 Desember 1984 yang menyatakan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni
1987.
326
Dengan demikian dapat dipahami bahwa fenomena tersebut juga dapat dipastikan bahwa hukuman cambuk bagi pelanggar syariat Islam
yang berupa hukuman h}add cambukan 40 kali, walaupun ada pihak yang
memaknai bahwa hukuman demikian bertentangan dengan konsep HAM Committee Against Torture sebagai “penghukuman pennyiksaan”,
masih dalam perdebatanperbedaan pemahaman. Al-Hageel, penganut hukum Islam dan HAM juga membantah tentang adanya penghukuman
kejam yang terdapat dalam perkara khamar yang ditetapkan Islam. Al- Hageel menyebutkan banyaknya bahaya terhadap peminum khamar,
sehingga
peminumnya memerlukan
penghukuman demikian.
327
Pandangan Al-Hageel ini juga dapat dikatakan tidak berlawanan dengan Committee Against Torture, karena peminum khamar
dihukum sebagai suatu konsekwensi hukum.
326
Lihat Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975.
327
Sulaiman Abdurrahman Al Hageel, Human Rights in Islam and Refutation of Miscoseived Allegations Assosiated with These Rights, 1999.
155
Maka bila mempedomani pendapat Al-Hageel dan beberapa pendapat pakar lainnya, Qanun Aceh yang menetapkan dera cambukan
bagi peminum khamar tidak ada aspek HAM yang dilanggar, berbeda dengan pandangan sepihak tentang kedua kovenan HAM tersebut.
3.
Pandangan HAM Islam Perdebatan tentang wacana Islam dan HAM yang dimulai
sejak sangat awal kemunculan Deklarasi Universal HAM hingga kini.
328
Kalangan Islam telah mempersoalkan salah satu pasal krusial pada Pasal 18 dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
DUHAM yang berisi tentang kebebasan beragama yang memasukkan di dalamnya kebebasan berpindah agama karena
negara itu mengenal hanya satu kebenaran tafsir agama dan memberlakukan hukuman mati bagi orang yang murtad.
329
Shahram dan MecQuen mengutip pendapat
Abdullah Ahmed An-Na’im yang mengatakan bahwa Islam mengakui keterlibatan manusia human agency
dalam penafsiran nas}s} yang menyangkut dengan HAM melalui proses ijtihadi.
330
Akibat adanya pertentangan antara ideologyhukum Islam dengan sebagian
pasal-pasal DUHAM
maka kalangan
Islam mendeklarasikan konsep HAM Islami. Konsep ini dapat menjadi
pelengkap bagi konsep HAM yang telah ada.
Said Rajaie-Khorassani
, perwakilan Iran untuk PBB, yang mengucapkan posisi dari negaranya
menanggapi the Universal Declaration of Human Rights dengan mengatakan bahwa UDHR adalah pemahaman sekuler dari tradisi
Yahudi-Kristen
the
Judeo-Christian
, yang
tidak dapat
328
Pasca pencetusan UDHR oleh PBB tahun1948, ada 2 dua tanggapan reaktif dari dunia, golongan yang pertama radical cultural universalism yang diwakili
oleh negara-negara barat yang berpendapat bahwa setiap individulah yeng berhak menentukan haknya, juga hak masyarakat dan negara bersarkan kongres. Sedangkan
golongan yang kedua radical cultural relativism yang diwakili oleh Negara-negara
dunia ketiga. Golongan ini berpendapat bahwa kebudayaan dan agamalah yang mengatur pedoman masyarakatnya. Lihat
http:wwwUDHRHuman rights.htm
, diakses tanggal 17 Desember 2010.
329
Pasal 18 menyebutkan bahwa setiap orang bebas untuk memeluk dan keluar dari suatu agama.
330
Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah, 3.
156
diimplementasikan oleh seorang muslim tanpa penerobosan trespassing hukum Islam.
331
Negara-negara muslim terutama Saudi Arabia mampu mempengaruhi negara anggota OKI Organisasi Komprensi Islam
untuk
mempersoalkan pasal-pasal
tersebut. Pernyataan
pertentangan tersebut dituangkan dalam Deklarasi HAM Kairo dengan menambahkan klausul “ DUHAM dapat diikuti terhadap
pasal-pasal krusial mengenai agama selama tidak bertentangan dengan Syari’ah Islam”. Dengan perkataan lain, masalah-masalah
yang dianggap krusial bagi negara-negara Islam dan mayoritas Muslim adalah masalah yang berkaitan dengan keyakinan agama
dan gender. Indonesia juga ikut serta dalam Deklarasi Kairo. Diakui Shahram dan MacQuen bahwa Indonesia memiliki utusan
representation Menteri Luar Negerinya dalam menghadiri konperensi OKI di Kairo tahun 1990, dalam rangka melindungi
Hak-hak Asasi manusia di Negara-negara Islam.
332
Namun tidak ada respon tunggal bagi negara-negara Islam terhadap DUHAM,
bahkan dalam masalah yang paling krusial sekalipun.
a. Pandangan CDHRI 1990