48
Tim Lindsey dan M.B. Hooker bahwa kedudukan Wali Nonggroe lebih terkait dengan symbol dibandingkan politik.
89
UU ini sebagaimana perundang-undangan lainnya, dianggap merupakan hasil kesepakatan umum masyarakat Indonesia yang tidak
mengabaikan kepentingan masyarakat Aceh secara representatif. UU ini mengimplikasikan suatu anggapan bagi masyarakat Aceh-Indonesia
bahwa NKRI telah final dan tidak lagi harus ada perjuangan rakyat untuk memisahkan diri. Kebijakan pengesahan Undang–undang ini juga
meredam antusias masyarakat Aceh untuk berpisah, di samping mencari solusi persoalan masyarakat Aceh pada fase-fase lanjutan.
Dengan perkataan lain, dengan kekhususan UU tersebut dapat dijadikan peluang oleh eksekutif dan legislative Aceh untuk membuat
qanun jinayat yang berhasil disusun tahun 2003 yang menyangkut hukuman bagi tindak pidana khamar, judi, dan khalwat sebagaimana
tersebut di atas. Ketiga Qanun ini dapat diterapkan secara lebih realistis sejak diundangkan dan pasca keluarnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh.
3. Kebijakan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006
Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa pengesahan hukum perundang-undangan merupakan wujud dinamisasi nuansa system
pemerintahan Negara yang bertujuan menuju ke arah yang lebih baik. Maka
bagi UU
No. 11
Tahun 2006
memiliki sejumlah
kekhususankespesifikan bagi Aceh. Di antara kespesifikasiannya adalah adanya penamaan-penamaan baru bagi kantor-kantor dan lembaga-
lembaga pemerintahan di provinsi Aceh. UU No. 11 Tahun 2006 ini menamakan gubernur Aceh dengan sebutan kepala pemerintah Aceh,
bukan kepala daerah sebagaimana yang berlaku pada masa silam. Hukum Islam juga dapat diterapkan sesuai dengan yang telah diatur UU
RI dan Qanun yang dijabarkan oleh Daerah dengan Pergub, Perbub, dan perundang–undangan yang bersifat otonomis lainnya. Meskipun sesuai
dengan hukum perundang-undangan yang berlaku, hukum Islam yang diterapkan mesti ada penyelerasan dengan ideologi Negara, karena
Indonesia telah terikat dengan konsensus sebelumnya yakni berideologi
89
Tim Lindsey and M.B. Hooker, Shari`a Revival in Aceh dalam R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institution, 220.
49
Negara Pancasila sejak tahun 1945. Maka demikian pula penerapan hukum Islam yang dilindungi UU ini.
90
Penanganan konflik Aceh sebelum UU ini telah melibatkan banyak pihak dan organisasi Internasional Non Govermental
Organization, yang berakhir dengan perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005. Fenomena ini menunjukkan persoalan Aceh tidak hanya
merupakan persoalan domestik bangsa Indonesia, namun telah melibatkan campur tangan dunia luar. Pasca Memorandum of
Understanding MoU tersebut menunjukkan bahwa Aceh masih merupakan salah satu provinsi di Negara kesatuan Republik Indonesia,
anggota PBB UN yang telah menandatangani Pernyataan Sejagat Hak- hak Asasi manusia the Universal Declaration of Human Rights tahun
1948. Sebagai sebuah Negara, Indonesia memiliki status yang sama dengan Negara-negara lainnya di dunia. Juga memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam menjaga perdamaian. Perkara hak asasi manusia memerlukan pembahasan mengingat perkara ini memiliki
keterkaiatan dengan pengamalan hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum jinayat Aceh.Kesepakatan HAM tersebut merupakan suatu
tatanan yang mesti dijalani oleh suatu bangsapemerintahan.
Kesepakatan-kesepakatan dunia yang menyangkut dengan HAM adalah berupa kesepakatan tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan CEDAW tahun 1979, Kesepakatan tentang Hak Anak CRC, Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras CERD tahun
1965, Kesepakatan tentang Hak Sipil dan Berpolitik ICCPR 1966, Kesepakatan
tentang Anti
penyiksaan CAT
dan lain-
lain.
91
Kesepakatan-kesepakatan itu sudah menjadi hukum perundang- undangan yang disahkan diratifikasi ke dalam hukum periundang-
undangan Republik Indonesia.
92
90
Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh,77. Lihat juga Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar‘iyah dalam Sistem Peradilan Nasional, 110-118.
Lihat juga UU No. 11 Tahun 2006 bab XVIII pasal 10. Lihat juga Keppres No. 11 Tahun 2003.
91
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan, atau Merendahkan Martabat
Manusia Toture Convention, telah diratifikasi dengan UU RI No. 5 Tahun 1998
92
UUD 1945 yang telah empat kali diamademen inio, banyak memuat pasal- pasal yang menyangkut dengan HAM.
50
Keseluruhan kesepakatan tersebut menjadi acuan bagi perilaku hukum di Indonesia, tak terkecuali pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh.
Di antara kesepakatan-kesepakatan tersebut, ICCPR dinilai sangat rentan untuk mendapatkan sorotan publik menyangkut dengan pelaksanaan
Hukum Jinayat di Aceh. Namun latar belakang penandatanganan ICCPR itu Indonesia juga memiliki konsideran terhadap konsep HAM Islam
Deklarasi Kairo, sehingga, menunurut sejumlah pakar, pelaksanaan hukum Jinayat tidak bertentangan dengan HAM dalam pemahaman yang
menyeluruh. Bagi Indonesia Komnas HAM yang merupakan badan HAM Indonesia yang terbentuk dengan Keppres No. 50 Tahun 1993
dikuatkan dengan pengesahan UU No. 39 Tahun 1999 yang ditandatangani
oleh B. J. Habibie. Sampai saat sekarang ini, badan ini tidak akan keliru dalam memahami hukum jinayat Aceh. Komnas HAM
memahami latar belakang penandatangan ICCPR tersebut dan hak Otonomi bagi Aceh. Walaupun Komnas HAM tidak dapat membatalkan
Qanun Jinayat, penegakan HAM akan terbuka peluang bagi Indonesia dalam kerjasama bidang HAM dengan Dunia.
93
93
Syaldi Sahude, “Instrumen HAM Internasional yang Telah Diratifikasi Indonesia,” Artikel Fact Sheet, Komnas HAM dan Berbagai Sumber Lainnya , pada 8
Mei 2009, diakses tanggal 12 Desember 2010. Syaldi mengatakan bahwa instrument HAM yang telah diratifikasi adalah: 1. Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, telah
diratifikasi dengan UU No. 59 Tahun 1958; 2. Konvensi Tentang Hak Politik Kaum Perempuan – Convention of Political Rights of Women, telah diratifikasi dengan UU
No. 68 tahun 1958; 3. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan – Convention on the Elmination of Discrimination againts Women,
telah diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1984; 4. Konvensi Hak Anak – Convention on the Rights of the Child, telah diratifikasi dengan Keppres 36 tahun 1990 Protokol
Tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak dan, prostitusi Anak, dan Pornografi Anak – Optional Protocol to the Convention on the rights of The child on the
sale of children, child prostitution dan child pornography, telah ditandatangani pada tanggal 24 sepetember 2001, Protokol tambahan Konvensi Hak Anak mengenai
Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata – Optional Protocol to the Convention on the Rights of the child on the Involvement of the Children ini Armend Conflict, telah
ditandatangani pada 24 September 2001; 5. Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi dan Penyimpanan Senjata Biologis dan Penyimpanannya serta pemusnahannya
– Convention on the Prohobition of the Development, Production and Stockpilling of Bacteriological Biological and Toxic Weaponsand on their Destruction, telah
diratifikasi dengan Kepres No. 58 tahun 1991; 6. Konvensi Internasional terhadap Anti Apartheid dalam Olahraga – International Convention Againts Apartheid in Sports,
telah diratifikasi dengan UU No. 48 tahun 1993; 7. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
51
Perkara spesifik yang tertera pada UU No. 11 Tahun 2006 terdapat pada bidang syariah. Aceh memiliki kekhususan-kekhususan
dalam di dalam bidang yurisdiksi PeradilanMahkamah Syariah, yaitu: 1 adanya ketentuan pidana jinayat yang diatur dengan qanun Pasal
125 UU No. 11 Tahun 2006; 2 adanya penundukan diri secara sukarela Pasal 129 Ayat 1; 3 Jinayah berlaku bagi non-muslim apabila delik
kejahatan tersebut tidak ada pengaturannya dalam KUHP atau perundang-undangan lain Pasal 129 Ayat 2; 4 Qanun tentang syari’at
Islam hanya dapat dibatalkan melalui yudicial review oleh Mahkamah Agung Pasal 235 Ayat 4; 5 Ketentuan tentang hukuman yang berlaku
untuk Perda, tidak berlaku untuk Qanun Syari‘at Islam Pasal 241 Ayat 4. Kekhususan Aceh demikian telah dipaparkan oleh Mawardi Ismail
seorang dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
94
Diakui Syamsuhadi Irsyad, berkaitan dengan hukum pidana Islam,
95
telah diutarakan secara gamblang di dalam kebijakan UU tentang Pemerintahan Aceh ini, yaitu: 1 syari‘at Islam yang
dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, shar’iyah dan akhlak; 2 syari’at Islam sebagaimana dimaksudkan adalah meliputi ibadah, ahwal al-
Merendahkan, atau merendahkan martabat Manusia – Toture Convention, telah diratifikasi dengan UU No. 5 tahun 1998; 8. Konvensi organisasi Buruh Internasional
No. 87, 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi – ILO International Labour Organisation Convention No. 87, 1998 Concerning
Freedom Association and Protection on the Rights to Organise, telah diratifikasi dengan UU No. 83 tahun 1998; 9. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial – Convention on the Elemination of Racial Discrimination, telah diratifikasi dengan UU No. 29 Tahun 1999; 10. Optional protokol Konvensi tentang
Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan – Convention on the Elmination of Discrimination Againt Women, telah ditandatangi pada Maret 2000 tetapi
belum bisa diratifikasi; 11. Dan Konvensi Internasional untuk penghentian Pembiayaan terorisme – International Convention for the Supression of the Financing Terrorism,
telah ditandatangani pada 24 September 2001. Lihat juga Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 206.
94
Mawardi Ismail,
Beberapa Kekhusususan
Undang-undang tentang
Pemerintahan Aceh UU No. 11 Tahun 2006 Banda Aceh: Aceh Recovery Forum, 2008, 9-10. Lihat juga Rusjdi Ali Muhammad Swa, “Melanggar Syariat, Non-
Muslim Boleh Pilih Hukuman”, Serambi Indonesia, 21 Juni 2011, 2.
95
Pasal-pasal UU No. 11 Tahun 2006 yang menyangkut dengan Jinayat Hukum Pidana Islam menunjukkan bahwa tanggung jawab pelaksanaan hukum
jinayat dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah Pusat dan pemerintah Aceh, terutama menyangkut dengan pendanaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 127
Ayat 3 UU No. 11 Tahun 2006.
52
shakhșiyah hukum keluarga, muamalah hukum perdata, jināyah
hukum pidana, qad}a’ peradilan, tarbiyah pendidikan, dakwah, shiar,
dan pembelaan Islam; dan 3 ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksudkan diatur dengan
Qanun Aceh.
96
Sebelum UU ini, Qanun Aceh tentang hukum acara pada Mahkamah Syariyah, menurut Syamsuhadi, yang dibentuk adalah: 1
hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah adalah hukum acara yang diatur dalam Qanun Aceh; dan 2 hukum acara yang berlaku
pada Mahkamah Syar’iyah sepanjang mengenai jinayah adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
97
Kewenangan Mahkamah Syariyah sebagaimana tercantum di dalam UU No. 18 Tahun 2001, menjadi meluas setelah penegesahan
UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Misalnya, dikatakan dalam Pasal 20 Bab VI UU No. 11 Tahun 2006, “Penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupatenkota berpedoman pada azas umum penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri atas asas ke-
Islaman.”
98
Memang, perwujudan Mahkamah Syariyah pada saat sekarang ini tidak terlepas dari dampak sejarah Aceh masa silam. Idri dalam
artikelnya yang berjudul “Negara di Jawa Masa Lampau; Studi tentang Masa Mataram II” dengan mengutip dari Martono mengatakan :
“Unlike the judicial system in Java, the religious courts in Aceh were conducted in various levels . The first level court
operated on the village level , and was led by an arbitrator called keuchik . The court handled only petty cases: more severe cases
were heard by the Mukim or Law Center. When one of litigant parties was not satisfied with the decision of the first level, he or
she might lodge an appeal to the Uleebalangs second-level courts . A furher appeal might be submitted to the Panglima
Sagi. If still not satisfied, then he or she might continue the
96
Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006.
97
Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syariyah dalam Sistem Peradilan Nasional Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009, 188.
98
UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 20.
53
appeal to the Sultan. It would be heard by the Supreme Court made up of: Malikul Adil, The Rich Sri Master, the Rich King
Bandhara, and Faqih Ulama”.
“Beda dengan system peradilan di Jawa, pengadilan- pengadilan agama di Aceh dibentuk dalam beberapa tingkat.
Pengadilan tingkat pertama dilangsungkan di tingkat desa, dan dipimpin oleh seorang penengah yang dinamakan keuchik.
Pengadilan hanya menangani menangani kasus-kasus ringan: kasus-kasus yang agak berat ditangani oleh Mukum atau Pusat
Hukum. Ketika seorang warga tidak puas dengan keputusan dari tingkat pertama dia dapat mengajukan banding ke Uleebalang
Pengadilan tingkat dua. Pengajuan banding yang lebih lanjut tapat diajukan ke Panglima Sagoe. Jika tidak puas, orang dapat
melanjutkan banding ke Sultan. Hal itu akan didengar oleh Mahkamah Agung yang dinamakan Malikul Adil, Yang dipertuan
Agung, Syah Bandar, dan Faqih
—
Ulama”.
99
Di era kontemporer, realita menunjukkan bahwa hak Otonomi khusus telah menjelma dalam pergantian badan peradilan Islam
Mahkamah Syariyah yang sebelumnya berada di bawah jajaran Departemen Agama RI baca: Kementerian Agama RI menjadi tunduk
kepada Mahkamah Agung RI. Maka berkenaan dengan lembaga ini dan data statistik dari penanganan kasus tindak pidana akan penulis jelaskan
selanjutnya.
Kedudukan Mahkamah Syariyah adalah Lembaga Tinggi di bawah Mahkamah Agung Negara sebagaimana dimaksudkan dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IIIMPR1978.
100
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya
99
Idri STAIN Pamangkasan, Indonesia, “Religious Court in Indonesia History and Prospect,” Journal of Indonesian Islam, Vol 3 Number 2 , Desember 2009, 302.
Lihat juga Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of Indonesia, 75.
100
Republik Indonesia, UU No. 14 Tahun 1985 Bab 1 tentang Kedudukan Mahkamah Agung pasal 1 dan 2. Lihat juga Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 huruf
i, “Mahkamah adalah Mahkamah Syar‘iyah KabupatenKota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
54
terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pengaruh lain.
101
Mahkamah syariyah provinsi bertugas merealisasikan tugas-tugas peradilan di daerah Aceh. Mahkamah Syariyah Wilayah Aceh di
samping mengemban tugas peradilan yang berkaitan dengan keperdataan ah}wal al-shakkhs}iyah, juga merealisasikan Qanun Jinayat dari Otonomi
Khusus. Maka sesuai dengan tugasnya, tanggung jawab Mahkamah Syariyah Aceh menjadi lebih luas.
102
Selain itu, nuansa perkembangan baru yang berlaku bagi Aceh dari realitas UU No. 11 Tahun 2006 yang disahkan pasca MoU Helsinki
15 Agustus 2005 menampakkan pengubahan nama Aceh dari “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” sebagaimana UU No. 18 Tahun 2001
menjadi “Provinsi Aceh” kembali sebagaimana UU No. 24 Tahun 1956 yang ketika itu Aceh memiliki 5 kabupaten. Pasca MoU tersebut Aceh
memiliki 21 kabupaten.
Bila UU No. 24 Tahun 1956 tersebut Aceh masih berada di antara 27 provinsi, maka eksistensi Aceh tetap sebagai salah satu provinsi dari
33 provinsi di Indonesia pasca UU No. 11 Tahun 2006. Dengan perkataan lain, UU No. 11 Tahun 2006 telah menambah nuansa baru
bagi bagi sosio-kultural-geografis pembagian territorial Aceh.
Perubahan sebutan naming bagi beberapa lembaga resmi pemerintah juga banyak dilakukan, meskipun fungsinya tetap dan
penambahan dari sebelumnya. Nama–nama instansi pemerintahan telah disesuaikan dengan kultur budaya Aceh. Aceh diberiakan peluang
yang sangat besar untuk membenah diri. Di samping memperkuat kelembagaan
daerah, memperkokoh
bidang ekonomi
yang mensejahterakan masyarakat, UU ini juga melakukan pembenahan di
sektor agama dan adat. Namun mengingat sosialisasi Undang-undang ini belum merata bagi masyarakat dan birikrasi pemerintahan, maka tidak
mustahil adanya banyak kendala, terutama ketika berada pada tahap pembahasan wewenang dan tanggungjawab antara pusat dan daerah
101
Lihat Republik Indonesia, UU No. 14 Tahun 1985 Bab 1, Pasal 1, dan pasal 2. Adnan Buyung Nasution, dalam Arus Pemikiran Konstitusionalisme Hukum
dan Peradilan Jakarta: Kata Hasta, 2007, 56-57—agak jeli menilai konteks ini. Adnan mengartikan ungkapan … “terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain” sebagai
suatu wewenang absolut pemerintah di dalam bidang pemerintahankehakiman.
102
Lihat Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA070SKX2004 tanggal 6 Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada
Mahkamah Syar‘iyah di Prov. NAD.
55
menyangkut dengan RPP Rancangan Peraturan Pemerintah yang menjadi turunan UU tersebut.
103
Dengan perkataan lain, berbagai pengesahan Undang-undang yang berupa UU No. 24 Tahun 1956, UU No. 22 Tahun 1999 , UU No.
44 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2001, dan UU No. 11 Tahun 2006 sebagai hasil dari ijm
ā‘ DPR RI bagi Aceh, menunjukkan adanya dinamisasi hukum perundang-undangan Indonesia yang menyangkut
dengan Aceh. Dinamisasi system pemerintahan Negara dalam berbagai bentuk, termasuk penerapan system otonomi daerah bertujuan untuk
menciptakan kelanggengan bagi masyarakat dalam merealisasikan kehidupannya sehari-hari, mengingat pendduduk Indonesia adalah
masyarakat yang mejemuk yang memiliki kultur dan adat istiadat yang berbeda-beda yang telah terikat di dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
104
Iklim Ke
-
bhinneka-an tersebut dapat membawa dampak pada sejumlah nuansa Hukum perundang-undangan RI, tak terkecuali Undang-
undang ini yang membahas hak pengololaan pemerintahan sendiri self government berdasarkan adat istiadat Aceh bagi masyarakat Aceh,
bahkan khusus menyangkut dengan keagamaan dan hukum. Dampak lain dari tuntutan zaman pihak DPR RI telah 4 kali mengamandemen UUD
1945.
105
Hal mendasar dari sejumlah undang-undang UU No. 44 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2001, dan UU No. 11 Tahun 2006 adalah
pengesahan Keistimewaan dan hak otonomi bagi Aceh. Khusus UU No. 11 Tahun 2006 mengatur pemberian kesempatan yang lebih luas bagi
Aceh untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia,
menumbuh
kembangkan prakarsa,
kreativitas dan
demokrasi, meningkatkan
peran serta
masyarakat, menggali
dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur
kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam
103
Fikar W Eda, “Menkeu Anulir RPP Sabang: Pemerintah Aceh Kecewa dan Merasa Ditipu Lagi”, Serambi Indonesia, 13 Agustus 2010, 1.
104
http:www. IslamicLawoftheWorldIndonesia.htm diakses tanggal 17
November 2010.
105
Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, 21.
56
memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan
bermasyarakat. Untuk melaksanakan berbagai kewenangan dalam rangka kekhususan, Maka DPR NAD merealisasikan kewenagan ini dalam
bentuk Qanun-qanun, termasuk qanun-qanun “jinayat” tahun 2003.
Pelaksanaan system hukum di Lembaga peradilan Islam Aceh memang masih mendapat pengontrolan dari Mahkamah Agung RI.
Pemerintah juga membuka peluang untuk meningkatkan penerimaan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam termasuk
kemungkinan tambahan penerimaan selain yang telah diatur dalam undang-undang ini. UU ini menempatkan titik berat otonomi khusus pada
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pelaksanaannya diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota atau nama lain secara proporsional.
Kekhususan ini merupakan peluang yang berharga untuk melakukan penyesuaian
struktur, susunan,
pembentukan dan
penamaan pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan
semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, diatur dalam Peraturan Daerah yang disebut dengan
Qanun. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah
Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam,
yang dapat
mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis dan Mahkamah
Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun. Dalam hal pemberian otonomi khusus sebagaimana dimaksud undang-undang ini,
Pemerintah berkewajiban memfasilitasi dan mengoptimalkan perannya dalam rangka percepatan pelaksanaan otonomi khusus yang disahkan
kepada Provinsi NanggroeAceh Darussalam.
106
Sebelum sejumlah UU Keistimewaan Aceh 1999, UU Otonomi Khusus 2001, dan UUPA 2006 tersebut disahkan khusus menyangkut
dengan Aceh, pengamalan hukum produk orde lama seperti UU No. 24 Tahun 1956 tidak dapat direalisasikan karena kandas dengan peralihan
orde pemerintahan. Ada anggapan sebenarnya UU ini memadai bagi
106
Lihat UU No. 112006 pasal XVIII. Lihat juga Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA070SKX2004 tanggal 6 Oktober 2004 tentang Pelimpahan
Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar‘iyah di Prov. NAD.
57
Aceh dalam melakukan pembenahan diri, yang tidak harus melakukan perubahan melalui cara “ angkat senjata” dalam mensikapi tuntutan.
Payung hukum tentang kebijakan pencetusan Otonomi Daerah dilatarbelakangi Pasal 1 Ayat 1, Pasal 5 Ayat 1, Pasal 18B Ayat 1,
dan Pasal 20 Ayat 1 Undang- Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IVMPR1999
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IVMPR2000
tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Propinsi Atjeh dan
Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara yang sebelumnya digabungkan menyatu dengan provinsi Sumatra Utara;
107
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, yang disahkan oleh presiden B. J. Habibie pada tanggal 4 Oktober 1999 di Jakarta.
Dalam UU No. 11 Tahun 2006 Bab XIII Ketentuan Peralihan Pasal 27 menyangkut dengan Sengketa-wewenang antara Mahkamah
Syar’iyah dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama
dan tingkat terakhir.
108
Selanjutnya Pasal 28 mengatur tentang susunan organisasi, perangkat Daerah, jabatan dalam pemerintahan Daerah, dan
peraturan perundang-undangan yang ada tetap berlaku hingga dibentuk Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan undang-
undang ini.
107
Lembaran Negara Tahun 1956 No. 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103. UU ini disahkan oleh presiden pertama RI, Sukarno.
108
Jaenal Aripin mengatakan, beberapa produk peraturan perundang-undangan yang diubah adalah tentang kekuasaan kehakiman dan badan-badan pelaksananya:
yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Peadilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Dengan
demikian demikian dapat dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman mencapai puncak supremasinya. Lihat Jaenal Aripin, Reformsi Hukum di Indonesia dan Implikasinya
terhadap Peradilan Agama: Analisis terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Era Reformasi 1998-2008, 4. Lihat juga UU No. 4 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU
No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, LN-RI Tahun 2004 No. 8, TLN-RI No. 4358.
58
UU tersebut juga tidak melakukan perubahan kebijakan daerah yang telah diatur Qanun Aceh sebelumnya. Dengan demikian qanun
jinayat dan yang bernuansa Islam lainnya tidak mengalami pembatalan. Dikatakan dalam Pasal 29, Semua peraturan perundang-undangan yang
ada sepanjang tidak diatur dengan undang-undang Otonomi Khusus ini dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Fenomena ini ditegaskan lagi dalam Pasal 30 yang menyatakan bahwa semua Peraturan Daerah yang ada dinyatakan sebagai Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut.
109
Wilayah mukim, yang pada masa orde baru terabaikan karena pengesahan UU No, 5 tahun 1997, diusahakan untuk hidup kembali.
110
Dalam Bab III UU No. 11 Tahun 2006 diatur tentang Kewenangan Provinsi NAD. Tepatnya di dalam pasal 3 ditegaskan bahwa: 1
kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam undang-undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan
otonomi khusus; dan 2 Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur pada ayat 1 tetap berlaku sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Selain mukim perkara kekuasaan pemuka adat di Aceh juga diutarakan dalam Bab VI UU ini. Bab ini lebih memfokuskan tentang
kedudukan lembaga legislatif di Provinsi NAD . Bahkan perkara ini juga diatur di dalam Bab VII, yang berkenaan dengan tokoh dan wewenang
tokoh adat di Aceh sebagai pemersatu masyarakat. Dikatakan di dalam Bab VII ini: 1 Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang
merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam; 2 Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe bukan merupakan
109
Lihat UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 27-29.
110
“
Mukim” adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah KecamatanSagoe Cut atau nama lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim. Selanjutnya
gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim atau nama lain yang menempati
wilayah tertentu, yang dipimpin oleh keuchik yang berhak menyelenggarakan urusan pemerintahan di desa. Hal yang terkait dengan ini juga diutarakan dalam Bab II UU
No. 18 Tahun 2001.
59
lembaga politik dan pemerintahan; dan 3 Hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
111
Dalam bidang yudikatif, dalam rangka merealisasikan penegakan hukum, lembaga-lembaga yang melengkapi susunan pemerintahan
seperti lembaga kepolisian tetap diperlukan. Bab VIII tentang Badan Eksekutif Nanggroe Aceh Darussalam telah menegaskan hal ini; Bab X
membahas tentang Kepolisian daerah provinsi NAD; dan bab XI tentang kejaksaan di Provinsi NAD.
Di dalam Bab XI Pasal 24 dikatakan, “1 Tugas kejaksaan dilakukan oleh kejaksaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai
bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia; 2 Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan
oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan 3 Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Jaksa Agung.”
Lebih lanjut dalam Bab XII tentang Mahkamah Syariyah di Provinsi NAD Pasal 25 menyatakan: “1 Peradilan Syariat Islam di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari system peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari
pengaruh pihak manapun; 2 Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, didasarkan atas syariat Islam dalam
sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; 3 Kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat 2 diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Dikatakan dalam Pasal 26, 1 Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 1 terdiri atas Mahkamah Syar’iyah
KabupatenSagoe dan KotaBanda atau nama lain sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah Syar‘iyah Provinsi sebagai pengadilan
tingkat banding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; 2 Mahkamah Syar’iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada
Mahkamah Agung Republik Indonesia; 3 Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Negara atas
usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan Gubernur
111
Lihat UU No. 11 Tahun 2006 Bab VI dan VII. Menurut pemberitaan Harian Serambi Indonesia, DPRA pada akhir 2010 sedang melakukan perancangan
Qanun tentang Wali Nanggroe. Lihat Serambi Indonesia, tanggal 1 Desember 2010, 1.
60
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.
112
C. Pengaturan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 1. Hukum Jinayat Menurut Qanun