Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penyelengggaraan hukuman merupakan upaya hukum yang

114

1. Uqubat Khalwat Menurut Qanun Uqubat khalwat yang ditetapkan Qanun No. 14 Tahun 2003

merupakan hasil keputusan majlis hakim di Mahkamah Syariyah, berdasarkan hukum perundang-undangan yang berlaku yang berupa Qanun. Table 3.5 menunjukkan bahwa hukuman untuk pelaku khalwat ditetapkan bersifat alternative antara cambuk dengan denda. Hukuman cambuk paling sedikit adalah tiga kali dan paling banyak sembilan kali, sedang hukuman denda paling sedikit Rp. 2.500.000,- dan paling banyak Rp. 10.000.000,-. Untuk pemberi fasilitas dan pelindung perbuatan khalwat juga disediakan hukuman alternative antara penjara dengan denda. Hukuman penjara ditetapkan antara dua sampai enam bulan, sedang denda ditetapkan antara Rp 2.500.000,- sampai Rp. 10.000.000,-. Tabel 3.5: Jenis Hukuman dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 No. Khlawat Mesum Pelaku Cambuk Kurungan Denda 1 Pelaku mesum Orang 3 – 9 kali - 2,5 – 10 juta 2 Penyedia fasilitas, penyelenggara, pelindung, atau pemberi izin khalwat Orang, badan hukum, atau aparat pemerintah - 2 – 6 bulan 5 – 15 juta Tabel di atas mengandung ketentuan Pasal 22 Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat menunjukkan bahwa Qanun menetapkan ketentuan hukuman baik kepada pelaku maupun orangbadan yang memfasilitasi terlaksananya praktek khalwat.

a. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penyelengggaraan hukuman merupakan upaya hukum yang

digalakkan dalam pengeksekusian tindak pidana. Hal ini sebagimana dikatakan di dalam Pasal 27 bahwa: 1 Pelaksanaan ‘uq ūbāt dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. 2 Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan 115 penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang. 243 Sebelum tiba jadwal, sosialisasi pengeksekusian hukuman secara langsung dilakukan untuk menjadi pelajaran bagi publik. Sosialisasi ini sekurang-kurangnya, dilakukan melalui pengumuman loud speaker di wilayah kemesjidan, tempat terhukum dieksekusi. Berdasarkan penegasan Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006, maka yang menjadi tolok ukur pemberlakuan syariat adalah Qanun Jinayat yang masih diberlakukan adalah tiga qanun menyangkut dengan Jinayat termasuk Qanun No. 14 ini. Maka sejak diberlakukan, Qanun tersebut berjalan secara implementatif di Aceh, mekipun qanun itu belum mengikuti keseluruhan ketentuan Fiqh. Pelaku khalwat kadang kala terjermus ke dalam praktek zina muh}san dan gairu muh}san, masih juga dihukum dengan hukuman khalwat dengan 3-9 kali dera oleh Mahkamah Syariyah, atau diserahkan ke Pengadilan Umum untuk ditangani KUHAP hukum nasional RI. Penanganan demikian merupakan suatu pengaturan kewenangan pada system peradilan Indonesia menyangkut dengan letak penerapannya antara mana konsep Qanun yang merujuk kepada konsep Fiqh dan mana yang merujuk kepada Hukum Nasinal KUHP pada pengadilan Umum. Hal ini disebabkan bahwa dalam proses penangkapan pelaku khalwat, ada kalanya terdapat pelaku khalwat yang belum tentu adanya perzinaan. Namun praktek zina biasanya sudah pasti dilakukan secara berkhalwat. Menurut Fiqh Islam khalwat tanpa zina hubungan seksual tidak dikenakan h}add hukuman tertentu yang ditetapkan nas}. Sementara khalwat bila telah masuk ke dalam katagori zina maka sebenarnya hukuman tidak disamakan dengan hukuman khalwat 3-9 kali dera, karena Fiqh menetapkan h}add bagi pelakunya. Numun karena ketentuan dera cambuk 100 kali bagi zina gairu muh}s}an, dan rajam bagi penzina yang telah kawin belum diqanunkan, maka hukuman sering dijatuhkan seperti halnya tindak pidana khalwat yang ada dalam qanun atau merujuk ke Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP. 244 243 Dikatakan dalam Pasal 1 huruf o Qanun No. 14 Tahun 2003, Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberitugas dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidang Syari’at Islam. Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 huruf o. 244 “ Sharia Poice Arrasted for Rape”, The Jakarta Post, January 16, 2010, 1.Lihat juga Wahyu Hidayat, “WH Amankan Pasangan Mesum, “ Waspada, 02 Augustus 2010 , 8. 116 Berdasarkan ketentuan-ketentuan jinayat menurut Qanun, maka jelas terlihat adanya penafsiran yang luas dan berbeda dalam penjatuhan ‘ uqubat hukuman ta‘zir bagi pelaku khalwat. Kadang kala Mahkamah Syariyahhakim menjatuhkan hukuman yang tidak tercatum di dalam naș s} al-Quran atau al-Hadith, bahkan tidak terdapat dalam fiqh Islam yang mu‘tabaryang dapat dijadikan rujukan. Kosekuensi kejahatan yang berhubungan dengan h}add menurut Fiqh adalah tidak memaafkan hukuman bagi pelaku kesalahan yang berupa pelanggaran terhadap hak Allah, tanpa alasan tertentuketentuan tertentu yang digariskan shara‘. Al-Quran menyatakan bahwa penegakan Hukum Allah bertujuan menjunjung Agama Allah ra’fah fi din Allah. 245 Memang Qanun Jinayat Aceh tahun 2003 ini mengamalkan fiqh dalam konteks otonomi dan dalam legalisasi Negara bangsa, bukan mengamalkan fiqh secara total sebaimana diamalkan Negara- negara Islam di dunia. Realita ini merupakan konsekwensi dari ideologi Negara Pancasila, bukan berideologi Islam. Namun peluang menjalankan Hukum Islam tidak terhalang sama sekali, karena hukum Perundang-undangan RI telah memberikan celah-celah untuk pengamalan hukum Islam, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2, dengan sejumlah hukum perundang undangan lainnya. 246 Sehubungan dengan pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia, Ahmad Azhar Basyir mengatakan bahwa memang hukuman ini 245 Lihat Qs. al- Nur [25]: 2 yang artinya: “Janganlah karena kasihan terhadap keduanya penzina laki-laki dan perempuan itu mencegah kalian dari menegakkan h}add yang ditetapkan , karena penenegakan hukuman itu untuk menjunjung perintah agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hendaklah pengeksekusian itu disaksikan segolongan dari orang-orang yang beriman.” 246 Urutan Hukum perundang-undangan RI adalah: a. UUD 1945; b. TAP MPR; c. UU; d. PP; dan Peraturan Daereh. Maka UU yang menyangkut dengan Aceh seperti: UU 44 Tahun 1999, UU 18 Tahun 2001, dan UU 11 Tahun 2006 berada di bawah UUD dan TAP MPR dan tidak boleh melampaui keduanya. Namun sesuai dengan kekhususan yang disahkan untuk Aceh, kedudukan Qanun menjadi setingkat dengan Peraturan Pemerintah PP, bukan setingkat Peraturan Daerah Perda. Lihat Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 34-38. 117 akan membebaskan pelaku kejahatan dari azab Allah di hari kiamat. Dapat dimengerti, hukuman h}udud adalah perkara kontroversial di Indonesia, sejak dulu penetapan hukuman bagi penjahat adalah hukum sekuler, bukan hukum Islam. Lebih jauh, bahkan dalan Islam otoritas untuk menegakkan hukum rajam sebagai suatu hukuman yang berlaku di pemerintahan, dalam kondisi Indonesia tidak akan memungkinkan hal itu. Sesungguhnya satu di antara persoalan utama adalah dengan menerapkan hukuman h}udud akan mengakibatkan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang tidak dapat dielakkan. Hal tersebut menunjukkan adanya pemahaman yang beragam tentang makna syariat Islam di kalangan umat Islam itu sendiri. Semua muslim mengakui bahwa syariah adalah hukum Tuhan God’s law, tetapi mereka berbeda cara memahaminya, baik secara umum maupun secara terperinci in detail. 247 Modernists, traditionalists dan fundamentalists memiliki pemahaman yang berbeda mengenai Sharia, seiring dengan berbedanya pemikiran madhhab yang diikuti di kalangan sarjana-sarjana muslim. Berbeda negara, berbeda wilayah, berbeda budaya maka berbeda pula dalam memahami shariah, meskipun semua muslim percaya bahwa syariat adalah bersumber dari al-Quran dan al-sunnah Nabi Saw.

b. Teknik Pelaksanaan Pada lembaran lampiran dari penelitian ini dapat dilihat gambar