1
BAB
PENDAHULUAN
1
A.  Latar Belakang Masalah Konflik yang berlangsung lama antar pemerintah Pusat dan Aceh
telah  melahirkan  beberapa  peraturan  perundang-undangan.  Perundang- undangan  tersebut  tidak  hanya  merupakan  wujud  dari  resolusi  konflik
demi
konflik  di antara
keduanya namun
kerap melahirkan
penyempurnaan  pada  tatanan  hukum  perundang-undangan  nasional. Fenomena  ini  nampak pada  pengesahan undang-undang pemberian  hak
otonomi  bagi  Aceh  untuk  mengatur  “rumah  tangganya”  sendiri  self government, dalam berbagai aspek kehidupan.
Ordemasa pemerintahan yang ikut mempengaruhi  nuansa politik dan  hukum  perundang-undangan  di  Indonesia  adalah    Orde  Lama
1945-1966,  Orde  Baru  1966-1998  dan  Orde  Reformasi  1998- sekarang. Faktor esensial konflik  yang terjadi  antara Pusat  dan  Aceh
pada      Orde  Lama  adalah  peleburan  Aceh  ke  dalam  bagian  provinsi Sumatra Utara, yang berubah dari apa  yang dijanjikan pemerintah Orde
Lama untuk  memberikan otonomi  bagi Aceh untuk mengatur diri sesuai dengan  sosio-kultural  masyarakatnya  pasca  kemerdekaan,  terutama
menyangkut  dengan  penerapan  syariat  Islam.  Telah  terjadi  negosiasi politik  antara  tokoh-tokoh  Aceh  dengan  pemerintah  Pusat.  Presiden
Sukarno 1945-1966 berjanji akan memberikan hak otonom  bagi Aceh, termasuk  mendirikan  Mahkamah  Syariyah  jika  Aceh  mendukung
kedaulatan  Indonesia.  Dikatakan  Syed  Serajul  Islam    bahwa  Provinsi Aceh  lahir setelah adanya gejolak social Darul Islam  yang disebabkan
oleh  pengingkaran  janji  Sukarno  terhadap  tokoh-tokoh  Aceh.  Sukarno membagikan  pulau  Sumatra  menjadi  tiga  bagian:  Pertama,  Sumatra
Utara, yang termasuk Aceh; kedua, Tapanuli; dan ketiga Sumatra Timur. Kebijakan  ini  telah  mengurangi  hak  otonom  bagi  Aceh  sekaligus
pengingkaran terhadap janji sebelumnya.
1
1
“ Indonesian nationalist leaders gave tentative recognition  to  the PUSA’s de facto    control    of  Aceh  and  even  recognized    the  newly–established  Islamic  Courts.
Sukarno, the nationalist leader, met Daud Beureueh in June 1948  in Aceh and promised that Aceh would be  an Islamic province  if it was committed to supporting Indonesia.
2
Peleburan—yang  mengakibatkan    timbulnya      gerakan    D ār  al-
Isl ām DI  Aceh tahun 1953-1954 yang digerakkan Daud Beureueh itu
membawa  dampak  pada  pengesahan  Undang-Undang  Nomor  24  Tahun 1956  tentang  Pembentukan  Daerah  Otonom  Propinsi  Atjeh  dan
Perubahan  Peraturan  Propinsi  Sumatera  Utara.
2
Dengan  perkataan  lain, akhirnya,  pergolakan yang yang bercampur dengan gerakan NII Negara
Islam Indonesia  pimpinan Kartosuwiryo dapat dipadamkan pemerintah Pusat dengan pembentukan provinsi Aceh dan pengesahan hak otonomi.
3
Pada  masa  Orde  Baru  pimpinan  Suharto  1966-1998,  Hak Otonomi  untuk  Aceh  dari  Undang–Undang  Nomor  24  Tahun  1956    itu
tidak  direalisasikan,  bahkan  pemerintah  Pusat  mengeluarkan  UU  No.  5 Tahun  1974  tentang  pemerintahan  di  daerah  yang  mengakibatkan
penghapusan  sejumlah  hak  dan  wewenang  pimpinan  adat  di  Aceh. Kebijakan  pemerintah  Pusat  seperti  ini  memunculkan  gejolak  lagi  yang
berupa gerakan pemisahan diri dari Indonesia yang dipimpin Hasan Tiro tahun  1976  yang  memakan  waktu  30  tahun.
Pemerintahan  Suharto dengan  mengeluarkan  Undang-undang  tersebut    telah  mengakibatkan
penghapusan  wilayah  mukim  kekuasaan  adat  yang  telah  tegak  dalam wilayah    Aceh  sebelumnya  di  samping    mengubah  sebutan  “gampong”
… That declaration   came as a serious disappointment to Acehnese; it was considered a betrayal  to  preindependence    pledges  by  Sukarno    to  PUSA  leaders.  That  was  the
begining of Acehnese nationalism.” “Para pemimpin nasionalis Indonesia memberikan pengakuan    sementara  pada  pengontrolan  de  facto    PUSA    dan  bahkan  mengakui
pendirian  Mahkamah  Shariyah  baru.  Sukarno  sebagai  pemimpin  nasionalis,  telah menjumpai Daud Beureueh pada Juni 1948 di Aceh dan telah menjanjikan bahwa Aceh
akan  menjadi  sebuah  provinsi  Islam  jika  mau  mendukung  Indonesia.  …  Pernyataan janji  itu  menjelma  dalam  bentuk  pengingkaran  serius  terhadap  rakyat  Aceh;
Pengingkaran  itu  menjadi  sebuah  pengkhianatan  terhadap  sumpah-sumpah  yang diucapkan Sukarno di hadapan tokoh-tokoh PUSA sebelum kemerdekaan. Pengingkaran
itu  juga    menjadi  permulaan  bagi  nasionalisme  rakyat  Aceh”.      Lihat  Syed  Serajul Islam, The Politics of Islamic Identity in South East Asia Mexico: Thomson, 2005, 58
dan 60. Lihat juga Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar`iyyah dalam Sistem Peradilan Nasional Jakarta:  Fakultas Hukum Universiatas Indonesia,  2009, 66.
2
Repulik  Indonesia,  UU  No.  24  Tahun  1956  Lembaran  Negara  Republik Indonesia  Tahun  1956    Nomor  64,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia
Nomor 1103.
3
Abu  Ramli,  seorang  mantan  Perwira  Personalia    Resimen  VII  mengatakan bahwa hubungan antar gerakan NII di Aceh dan NII di Jawa Barat ada, namun ideologi
dan  kebijakan  politik  antara  keduanya    tidak  ada  hubungan  apa-apa.  Lihat  “NII  Jabar Tak Ada Hubungan dengan DITII di Aceh”, Waspada, 17 Mei 2011, B5.
3
dengan  “desa”  dan  “kelurahan”  sebagai  teritorial  administratif  paling bawah.
Pasca  kejatuhan  Suharto  sejak  21  Mei  1998  muncul  Orde Reformasi  di  Indonesia.  Dalam  penyelesaian  konflik  Aceh,  pemerintah
Pusat melakukan banyak melakukan upaya penyelesaian konflik perang saudara  antara  pemerintah  RI  dan  GAM,  namun  tidak  menemukan
solusi. Hasil dari berbagai negosiasi, pemerintah Pusat mengeluarkan UU No.  44  Tahun  1999  tentang  Penyelenggaraan  Keistimewaan  Provinsi
Daerah  Istimewa  Aceh,
4
yang  ditanda  tangani  presiden  B.  J.  Habibie 1998-1999;  dan  UU  No.  18  Tahun  2001  bagi  Daerah  Istimewa  Aceh
menjadi  Nanggroe  Aceh  Darussalam,  yang  ditandatangani  presiden Megawati Sukarnoputri 2001-2004.
Akhirnya  seiring  dengan  bencana  alam  tsunami  tahun  pada  26 Desember  2004
—
yang  menelan  200.000,-  jiwa  lebih,  muncul  inisiatif baru untuk menyelesaikan konflik Aceh, yakni melalui negosiasi di meja
perundingan  sehingga  menghasilkan    perjanjian  damai  yang  bersifat internasional  antara  pemerintah  Pusat  dan  Gerakan  Aceh  Merdeka
Freedom Aceh Movement pada tanggal 15 Agustus 2005. Perjanjian itu dipimpin Marty Ahtisaari di Helsinki, Finlandia. Dampak dari perjanjian
damai  tersebut  pemerintah    Indonesia  mengesahkan  UU  No.  11  Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU itu ditanda tangani presiden Susilo
Bambang Yudoyono, yang sedang berlaku hingga saat sekarang ini.
5
UU  yang  disahkan  tahun  2006  ini  menunjukkan    kewenangan pemerintah  Aceh
6
menjadi  bertambah  dalam  menjalankan  roda
4
Lihat  Republik  Indonesia,  UU  No.  5  Tahun  1974.        Lihat  juga  Republik Indonesia UU No. 44 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893.
5
Susilo  Bambang  Yudhoyono  adalah  presiden  yang  keenam  2004-sekarang. Sebelumnya,  yang  pertama  Sukarno  1959-1966;  kedua  Suharto  1966-1998;  ketiga
B.  J.  Habibie  1998-1999;  keempat  Gus  Dur  1999-2001;  dan  kelima  Megawati Sukarnoputri 2001-2004. Lihat Shahram  Akbarzadeh and Benjamin MacQuen. Islam
and  Human  Rights  in  Practice  Prospectives  across  the  Ummah  Canada:  Routledge, 2008, 144.
6
Pemerintahan  Aceh  adalah  pemerintahan  daerah  provinsi  dalam  sistem Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  berdasarkan  Undang-Undang  Dasar  Negara
Republik  Indonesia  Tahun  1945  yang  menyelenggarakan  urusan  pemerintahan  yang dilaksanakan  oleh  Pemerintah  Daerah  Aceh  dan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah
Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Lihat Bab I Pasal 1 Ayat 4 UU No. 11 Tahun 2006.
4
pemerintahan,  terutama  dalam  merealisasikan  perundang-undangan  RI yang tidak terealisasikan  sebelumnya. Bidang syariah dapat terlihat pada
Bab  XVII  Pasal  128-137,  yang    memberikan  kewenangan  bagi pemerintah  Aceh  dalam  penerapan  syariat  di  berbagai  aspek  termasuk
Jinayat.  Hal  ini  terlihat  bahwa  berbagai  qanun  syari‘at  yang sebelumnya masih bersifat kurang asosiatif, seperti Qanun-qanun turunan
UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 44 Tahun 1999, telah nampak pada realita-aplikatif dalam kehidupan masyarakat. Keppres RI No. 11 Tahun
2003  yang  menuntun  Mahkamah  Syariyah  juga  dapat  dilihat  telah menemukaan  porsi  yudisial  dalam  merealisasikan  Hukum  Jinayat  dan
lainnya. Sebelum UU No. 11 Tahun 2006,   UU No. 18 Tahun 2001 Bab
XII  Pasal  25  Ayat  2  telah      memuat  adanya  hak  otonomi  khusus
7
bagi Mahkamah  Syar’iyah  Provinsi.  Tepatnya  pada  Ayat  3  dari  UU  No.  18
Tahun  2001  dikatakan  adanya  pemberian  wewenang    kepada  legislatif dan eksekutif  Aceh untuk membuat  qanun bylaw. Mengingat UU ini,
pemerintah  NAD  merealisasikan  Qanun  No.  12  Tahun  2003  tentang khamar  dan  yang  sejenisnya,  Qanun  No.  13  tentang  judi  maisir,  dan
Qanun  No.  14  tentang  khalwat.
8
Pelaku  pelanggaran  terhadap  ketiga Qanun    ini  ditetapkan    ketentuan  hukum
h}addta‘ zīr  pencambukan  di
muka  publik  dengan  mekanisme  yang  telah  ditetapkan  dalam  qanun. Fenomena  ini    tidak  bertentangan  dengan  hukum  perundang-undangan
dan  Undang-undang  Ketatanegaraaan  Indonesia,  terutama  pasca pengamandemenan UUD 1945 sebanyak empat kali.
Sekarang, Aceh dan pemerintahannya berpijak pada  UU No. 11 Tahun  2006.  Bab  1,  Pasal  1,  Ayat  2  UU  tersebut  menyatakan    Aceh
adalah  daerah  provinsi  yang  merupakan  kesatuan  masyarakat  hukum yang  bersifat  istimewa  dan  diberikan  kewenangan  khusus  untuk
mengatur  dan  mengurus  sendiri  urusan  pemerintahan  dan  kepentingan
7
Penjelasan  tentang  Otonomi  Khusus    telah  menemukan  hasil  analisis  dari Dinas  Syariaat  Islam  NAD  periode  2003-2008.  Alyasa’  mengatakan  bahwa  Qanun
yang  biasanya  sederajat  dengan  Perda  telah  berubah  statusnya  menjadi  setingkat Peraturan Pemerintah PP yang bisa menyingkirkan Perpres dan Perda.  Lihat  Alyasa’
Abu  Bakar,  Penerapan  Syariat  Islam  di  Aceh  Banda  Aceh:  Dinas  Syariat  Islam Provinsi NAD 2008, 34.
8
Arskal  Salim,  “  Shari’a  in  Indonesia’s  Current  Transition”,  dalam  Asskal Salim  and  Azyumardi  Azra,  Shari;a  and  Politics  in  Modern  Indonesia  Singapore:
ISEAS, 2003, 224-226.
5
masyarakat  setempat  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan dalam  sistem  dan  prinsip  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia
berdasarkan  Undang-Undang  Dasar  UUD  Negara  Republik  Indonesia Tahun  1945,  yang  dipimpin  oleh  seorang  Gubernur.  Di  dalam  Ayat  4
Pasal  tersebut  juga  diakatakan,    Pemerintah  Aceh  adalah    pemerintah daerah  provinsi  dalam  sistem  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia
berdasarkan  Undang-Undang  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945 yang  menyelenggarakan  urusan  pemerintahan  yang  dilaksanakan  oleh
pemerintah  daerah  Aceh  dan  DPR  Daerah  Aceh  sesuai  fungsi  dan kewenangan masing-masing.
9
Setelah  kurun  masa  6  figur    kepresidenan,  hanya    K.  H. Abdurrahman  Wahid  Gus  Dur,    presiden  RI  ke-4  yang  mampu
mencetuskan  hak  Otonomi  untuk  pelaksanaan  syariat  di  Aceh  tahun 1999.
10
Gus  Dur  sendiri  juga  ikut  terlibat  dalam  memberikan  pendapat tentang  Syariat  Islam  Aceh.
Gus  Dur    berpendapat  dalam  diskursus hukum  Islam,  kerab  mengkritisi    pemahaman    tentang  hukum  Islam
menurut zahir  nas}s}  semata.  Gagasannya    tentang  pelaksanaan  syari’at
Islam  di  Aceh-Indonesia  telah  banyak  dicetuskan.  Beliau,  misalnya, mengatakan  maksud  dari
qis}as}  dari  ayat  al-Qur’an  tentang    Hukum Jināyāt: jiwa dibalas dengan jiwa dan  mata dengan mata dalam nas}s}
adalah  untuk  pencegahan.  Maka  penafsiran h}add  potong  tangan  bagi
tindak  pidana  pencurian  agar  tidak  diberi  makna  secara  zahiriyah  ayat. Namun  yang  penting  ada  dua  prinsip  yaitu  menghukum  dan  mencegah
punishment  and  preventiont
.
11
Pandangan  Gus  Dur  ini  juga  didukung Iman  Ghazali  Said  yang  memaknai
al-qat}’u  memotong    dengan  al- man’u mencegah.
12
Meskipun  ketiga  UU,    yakni  UU  No.  44  Tahun  1999  tentang keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001, dan UU No. 11 Tahun 2006
9
Republik Indonesia, UU No. 11 Tahun 2006 Bab 1, Pasal 1, Ayat 2 dan  Ayat 4.
10
Pandangan  ini  dicetuskan  Gus  Dur  di  Mesjid  Baiturrahman  B.  Aceh  pada tahun 2000.
11
K. H. Abdurrahman, Misteri Kata-kata,  34. Lihat juga Sukron Kamil, dkk., Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-
hak  Perempuan  dan  non-Muslim  Jakarta:  CSRC  UIN  Syarif  Hidayatullah  Jakarta, 2007,  91.
12
Iman  Ghazali  Said,  Piagam  Madinah  dan  Konstitusi  Indonesia”  dalam Masykuri  Abdillah,   ,  dkk.  Formalisasi  Syariat Islam di Indonesia  Jakarta:  Renaisan,
2005, 127
6
pernah  disahkan,    paradigma  perdebatan  hukum  di  Indonesia  yang menyangkut  dengan  Aceh  belum  sampai  ke  titik  terminasi.  Masyarakat
masih  menghadapi  diskursus  perdebatan  hukum  dalam  realita kehidupan sehari-hari. Perkembangan opini tentang Hukum Jinayat terus
bergulir.    Namun  sebagaimana  dikatakan  Alyasa‘  Abu  Bakar  bahwa pemerintah  Aceh  berusaha  ingin  menjadikan  ketiga  qanun—tentang
khamar,  judi  dan  khalwat—untuk  menjadi    sebuah  Kompilasi  Hukum Jinayat Aceh KHJA yang netral—dalam menemukan titik kesesuaian—
di  antara  Jin
āyāt  Fiqhiyah  dan  HAM.
13
Hal  ini  nampak  pada  realita materil  dari  “Qanun  Jinayat”  yang  disahkan  tersebut.  Sedangkan
Rancangan  Qanun  jinayat  “rajam”  yang  datang  belakangan—yang diajukan  DPRA  periode  2004-2009—,  tidak  disahkan  Gubernur  Aceh,
karena  kandunan  materi  hukuman  rajam  bagi  penzina muh}s}an  masih
memiliki  kontradiksi  yang  tajam  dengan  Deklarasi  HAM  Universal  dan sejumlah  hukum  atau  peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku  di
Indonesia.
14
Seiiring  dengan  perdebatan  itu,  suara  perjuangan  penegakan HAM  ikut  bergema  pasca  kejatuhan  kepala  pemerintahan  rezim  Orde
Baru Orba, Suharto 1998, dan pasca konflik Aceh  reda. Perbincangan juga  menyangkut  dengan    pelanggaran  HAM  yang  terjadi  di  Aceh  oleh
aparat  RI tidak  dapat  diungkapkan  pada  saat  konflik  Aceh  berlangsung. Konflik  Aceh pada  masa Orba  bersifat domestik  dan terisolasijauh dari
pantauan  dunia  luar  di  dalam  system  pemerintahan  ototiter.  Dengan muncul
presiden  B.J.  Habibie melanjutkan
“tongkat estafet”
kepemimpinan presiden Suharto, jantung demokrasi rakyat mulai terbuka dan berbagai undang-undang yang menyangkut dengan HAM  disahkan.
B.  J.  Habibie  mengeluarkan  UU  No.  39  Tahun  1999  tentang  Hak-Hak Asasi  Manusia  yang  mengokohkan    Komnas    HAM  yan  disahkan
berdasarkan  Keppres  No.  50  Tahun  1998
15
di  Indonesia  yang  berlaku sampai saat sekarang ini.
16
13
Alyasa‘Abu  Bakar,  Penerapan  Syariat  Islam  di  Aceh  Penerapan  Syariat Islam  di  Aceh:Upaya  Penyusunan  Fiqh  dalam  Negara  Bangsa    Banda  Aceh:  Dinas
Syariat Islam Aceh, 2008, 106-168.
14
www.mahkamahsyariyahaceh.go.id diakses 1 Mei 2010.
15
Di  samping  kewenangan  menurut  UU  No.  39  Tahun  1999,  Komnas  HAM juga berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia
dengan  dikeluarkannya  UU    No.  26  Tahun  2000  tentang  Pengadilan  Hak  Asasi Manusia.  Berdasarkan  Undang-undang  ini,  Komnas  HAM  adalah  lembaga  yang
7
berwenang  menyelidiki  pelanggaran hak  asasi manusia  yang  berat.  Dalam  melakukan penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
16
Menanggapi  hukuman h}addJinayat  kontemporer  di  Aceh  dapat  melanggar
HAM,  Hasanuddin  Yusuf  Adan  mengatakan  bahwa  Hak  Azasi  Manusia  HAM  yang dalam  yang  dalam  bahasa  Inggeris  disebut  Human  Rights  akhir-akhir  ini  sudah
dijadikan  raja  oleh  sebahagian  manusia  di  dunia  raya  ini.  Padahal  ia  tidak  lebih  dari sebuah  aturan  yang  disusun  oleh  manusia  yang  diciptakan Allah  dan memiliki  banyak
kelemahan. Sementara Hukuman cambuk merupakan komponen resmi dan penting dari Hukum  Jinayah  Pidana  Islam  yang  elemen-elemennya  langsung  datang  dari  Allah
selaku pencipta lebih ditinggalkan dari pada para penyusun HAM.
Menurutnya,    memang  selama  ini  di  Aceh  banyak  orang  yang  menantang pelaksanaan  hukuman  cambuk  sebagai  salah  satu  dimensi  dari  Hukum  Islam.  Alasan
mereka selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM. Mencambuk orang yang melanggar syari’at  Islam  adalah  melanggar  HAM,  paling  tidak  demikianlah  ucapan  gamblang
mereka.  Tetapi  mereka  tidak  pernah  menguraikan  bagaimana  tata  cara  pelaksanaan Hukum Islam yang penuh kemuslihatan itu. Mereka tidak pernah mengkajinya dengan
kajian  ilmiah  dan  objektif,  yang  ada  adalah  pemahaman terhadap  ketentuan-ketentuan HAM  itu  sendiri  baik  yang  tertera  dalam  Deklarasi  Umum  Hak  Azasi  Manusia  The
Universal  Declaration  of  Human  Rights,  yang  salah  satu  instrumennya  adalah Konvensi  Hak-hak  Sipil  dan  Politik  ICCPR  yang  telah  disahkan  ke  dalam  Undang-
Undang No. 12 Tahun 2005.
Dengan  gambaran  seperti  di  atas,  maka  tidak  dapat  dengan  serta  merta seseorang  itu  menyimpulkan  bahwa  Hukuman  Cambuk  melanggar  HAM.  Apa  lagi
kalau kebanyakan yang mengatakan demikian sudah menjadi agen pihak tertentu yang menutup  mata  terhadap  kemuslihatan  Hukum  Islam  dan  keadilan  hukuman  cambuk.
Dari  segi  usia antara  HAM  atau  DUHAM  dengan hukuman  cambuk  jauh  sekali  lebih tua  hukuman  cambuk,  HAM  itu  muncul  lebih  kurang  600  tahun  setelah  lahirnya
Hukuman Cambuk. Dari segi pencipta juga tidak dapat disetarakan sama sekali karena hukuman  cambuk  milik  dan  ciptaan  Allah  sementara  HAM  buatan  manusia  yang
manusia  itu  sendiri  diciptakan,  dihidupkan,  dinafkahi,  disejahterakan  dan  diberikan rezeki  oleh  Allah  SWT.  Toh  karena  mengikuti    perkembangan  HAM  di  Eropa,  yang
berasal dari dokumen Magna Charta 1512.
Hukuman  cambuk  itu  dilaksanakan  dalam  pidana  Islam  sebagai  balasan  bagi pelanggar  Hukum  Allah  dengan  tujuan  untuk  menjerakan  pelanggar  syari’ah  dan
memberi  pelajaran  kepada  orang  lain  yang  belum  melanggarnya  agar  mereka  tunduk dan  patuh  kepada  Allah  sang  Khaliq  dan  Maha  Raja  dari  segala  raja-raja  yang  ada.
Artinya, itu merupakan salah satu hukum atau undang-undang atau peraturan baku yang positif,  objektif  dan  logis  bagi  seluruh  ummat  manusia  yang  berpikir  waras  dan  baik.
Lihat http:ummahonline
wordpress.com20100219aceh-antar-hukum- cambuk-dan-ham diakses 9 Desember 2010. Lihat juga Nazila Ghanea, Alan
Stephens and Raphael Walden, Does God Believe in Human Rights?: Studies on Religion,  Secular  Beliefs  and  Human  Rights
Boston:  Martinus  Nijhoff Publishers, 2007, 14.
8
Hak  demokrasi  rakyat  juga  dibuka  lebar  bagi  dunia.  Bahkan  isu penyuaraan  tentang  HAM  lebih  bergema  ketika  qanun  yang
menyangkut  jinayat  terutama  hukuman  pencambukan  diterapkan  di Aceh sejak tahun 2003  sampai saat sekarang ini.
Memang  sejak  zamam  Yunani  kuno  Hak  Asasi  Manusia  telah muncul  dan  diterjemahkan  sebagai  hak  yang    melekat  pada  diri  setiap
manusia  sejak  awal  dilahirkan  yang  berlaku  seumur  hidup  dan  tidak dapat  diganggu  gugat  siapa  pun.  Sebagai  warga  negara  yang  baik  yang
menuntut  setiap  individu    menjunjung  tinggi  nilai  hak  tersebut  tanpa membeda-bedakan  status,  golongan,  keturunan,  jabatan,  dan  lain
sebagainya.  Seorang  Folosof  Yunani,  Aristoteles  telah  menulis  tentang hak-hak dari warga Negara secara luas untuk memiliki dan berpartisipasi
dalam  urusan  public  ancient  philosophers  such  as  Aristoteles  wrote extensively  on  the  rights  of  citizens  to  property  and  participation  in
public affairs.”
17
Menyangkut HAM, selain menggalang kerjasama bangsa-bangsa global  United  Nations,  secara  regional,  Indonesia  bersama  dengan
Negara-negara tetangganya juga telah menyepakati beberapa kesepakatan internasional,  sebagaimana  dikatakan  dalam  sebuah  dokumen  tentang
HAM:
“Indonesia  has,  both  by  ASEAN  and  Islamic  world standards,  been  diligent  in  accepting  major  human  rights
conventions over the past forty years. It has ratified 12 of the 16 main  UN  conventions,  including  the  Universal  Declaration  on
Human Rights UDHR, the International Covenant on Civil and Political  Rights  ICCPR,  the  International  Covenant  on
Economic,  Social,  and  Cultural  Rights  ICESCR  and  the International  Covenant  on  the  Elimination  of  All  Forms  of
Discrimination Against Women CEDAW. It has also played a role  in  the  UN  General  Assembly  debates  on  the  ICCPR  and
17
“However, neither the Greeks nor the Romans had any concept of universal human rights; slavery, for instance, was justified both in ancient and modern times as a
natural  condition.  Medieval  charters  of  liberty  such  as  the  English  Magna  Carta  were not charters of human rights, let alone general charters of rights: they instead constituted
a form
of limited
political and
legal agreement.”
Lihat http:www.UDHRHuman_rights.  htm,  diakses  tanggal  7  Desember  2010,  diakses
tanggal 17 Desember 2010.
9
ICESCR as a  member of the Third Committee and  later had  an individual  representative  on  the  final  committee  formulating
both  conventions.  Indonesia  has  often  been  present  at,  though not a leading player in, the various initiatives to draft an Islamic-
based  human  rights  declaration  or  convention.  Indonesia  had representation at the 1990 meeting of Organization of the Islamic
Conference  OIC  member  foreign  ministers  which  adopted the Cairo Declaration on Human Rights in Islam CDHRI.”
18
Berdasarkan  bunyi  dokumen  tersebut,  Indonesia  bersama Negara-negara OKI telah berperan serta dalam  menyelesaikan persoalan
Islam global menyangkut konsep hak asasi manusia. Konsep HAM yang dicetuskan  OKI  adalah  berdasarkan  Islam,  yang  dikenal  dengan
Deklarasi  Kairo  tentang  hak-hak  Asasi  Manusia  Cairo  Declaration  on Human  Rights  in  Islam  Agustus  1990.  CDHRI  ini  merupakan
kesepakatan  Negara-negara  muslim  untuk  menyepakati  keputusan bersama yang menyangkut dengan persoalan hukuman pidana mati atas
riddah  dan  rajam  yang  dikatakan  melanggar  hak  asasi  manusia  oleh Pasal  18  UDHR  1948.
19
Menurut  pihak  ini    DUHR  1948  masih  bersifat relatif.
Pasal  25  CDHRI  mengimplikasikan  bahwa  OKI  mengakui pluralitas    mazhab  fiqh  dalam  dunia  Islam.  Hukum  Islam  dapat
diterapkan  menurut  daya  terima  receptive  masyarakat  di  kawasan- kawasan  tertentu  dari  belahan  bumi.  Sejumlah  mazhab  hukum  Islam
seperti Sunni, Shi‘i , Ja‘
farī, Mu‘tazilī, H{ānāfī, Mālikī, Shāfi’ī, H{anbalī, Wahabi,  Z{
āhirī,  Madhhabī,  Non-Madhhab,  Zuhailī,  Islam  Rasional kelanjutan dari paham mu‘tazilah
20
dan lain-lain  dapat diamalkan umat Islam sesuai situasi dan kondisi mereka. Bahkan Organisasi Islam dunia
ini    juga  ingin  mewujudkan    Islam  menjadi  suatu  agama  yang  dapat membawa  rahmat  bagi  sekalian  alam,  sehingga  hukum  Islam  menjadi
pedoman  dalam
kehidupan  umat  Islam  dalam  bermasyarakat,  berbangsa
18
Lihat  http:www.UDHRHuman_rights.  htm,  diakses  tanggal  7  Desember 2010.
19
Ann  Elizabeth  Mayer  Islam,  and  Human  Right,  Tradition  and  Politics Colorado: Westview Press, 1999,  23.
20
Harun Nasution,  Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Jakarta: Mizan, 1994, 211-283.
10
dan bernegara di manapun mereka berada, tak terkecuali bagi umat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
21
Penerapan  Hukum  Islam  di  Aceh-Indonesia  didukung  oleh konstitusi  negara  Undang-undang  Dasar  1945.  Di  dalam    Pasal  29
dikatakan    bahwa    kebebasan  beragama  di  Indonesia  berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Kandungan Konstitusi juga telah ikut melatar
belakangi  sejumlah  Undang-undang  RI  yang  menyangkut  Aceh  seperti: UU No. 44 Tahun 1999, dan  UU No. 18 Tahun 200. Pasca Mou Helsinki
disahkan  pula  UU  No.11  Tahun    2006.  Fenomena  ini  menunjukkan bahwa    konstituisi  Negara  RI  ikut  melatar  belakangi  pengesahan  dan
pelaksanaan Qanun Aceh tentang “jinayah.”
Di  dalam  Qanun  Jinayat  masyarakat  diberikan  peranan  untuk mencegah  terjadinya  jarimah  kejahatan  minuman  khamar,  judi,  dan
khalwat.  Peran  serta  umat  Islam  tersebut  bukan  dalam  bentuk  “main hakim  sendiri”,   namun  berdasarkan proses peradilan di  Mhkamah. Jika
tidak  menoleh  ke  aspek  HAM,  uqubat  cambuk  yang  diatur  Qanun  akan lebih  efektif  karena  memberi  rasa  malu  dan  tidak  menimbulkan  resiko
serius bagi keluarga, jenis hukuman ini juga memadai biaya lebih murah yang ditanggung pemerintah dibandingkan  jenis  ‘uqubat  lainnya, seperti
penahanan,  yang  lebih  banyak  menghabiskan  dana  dalam  proses penghukuman  pelaku  kejahatan.  Urensi  qanun  jinayat    juga  merupakan
salah  satu  upaya  pemerintah  Aceh    untuk  menghindari  kevakuman hukum dalam kancah upaya merealisasikan hukum perundang-undangan
yang  berlaku  di  Indonesia  yang  terkait  dengan  pidana.  Lembaga Mahkamah Syariyah dan Wilayatul Hisbah diberikan  tugas dalam upaya
penyelidikan,
penyidikan, penuntutan,
eksekusi cambuk
dan pengawasan pelaku tindak pidana yang telah diqanunkan
.
22
Ketua  Dewan  Da‘wah  Islam  Indonesia  wilayah  Aceh, Hasanuddin  menegaskan  bahwa  hukuman  cambuk  sama  sekali  tidak
melanggar  HAM  dan  tidak  akan  melanggar  HAM  kalau  eksekutor menjalankannya  mengikuti  ketentuan  Allah  SWT  dan  Rasul-Nya.
Sebaliknya,  malah  HAM  itu  sendiri  yang  selama  ini  menjajah  hukum Islam  khususnya  hukuman  cambuk.  Pegiat  HAM  di  seluruh  penjuru
dunia harus belajar Hukum Islam dan belajar rasionalisasi Hukum Islam
21
CDHRI 1990 Pasal 25.
22
Lihat qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 1, 16, dan 17 ; Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 dan 16; dan Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 dan 13.
11
agar  tidak  berprasangka  jahat  terhadap  Hukum  Allah  ini.  Jangan mengedepankan  Hak  Azasi  Manusia  hanya  dalam  batas-batas  yang
menguntungkan  mereka  saja  dengan  berupaya  menghambat  berjalannya Hukum  Islam  di  negara  dan  wilayah  mayoritas  muslim  seperti  di  Aceh.
Itu  tidak  berhak  sama  sekali,  semua  manusia  bebas  beragama  adalah salah  satu  ketentuan  HAM,  karena  sudah  bebas  beragama  maka  bebas
pula  bagi  mereka  untuk  menjalankan  ketentuan  agamanya.
23
Hukuman ini merupakan salah satu ketentuan agama Islam yang wajib dilaksanakan
oleh  semua  muslim  di  seluruh  alam.  Karenanya  tidak  berhak  pihak  lain dengan
mengatasnamakan HAM
menghambat, melarang
dan mencemooh berlakunya kukuman cambuk di Aceh karena itu dibenarkan
oleh  ketentuan  HAM  dunia  berkenaan  dengan  kebebasan  beragama.
24
Senada  dengan  Hasanuddin,  Sulieman  Abdul  Rahman  Al-Hageel  telah membuat penafsiran lebih moderat. Ia menegaskan bahwa orang muslim
telah  terikat  dengan  ketentuan  Islamnya,  maka  hukum taklifi  berlaku
atasnya.  Fenomena  seperti  ini  menurutnya  tidak  dapat  dikatakan melanggar HAM.
25
Hukuman  yang  menjerakan  pelaku  tindak  pidana  terdapat  pula oleh  Statuta  Roma  tentang  Mahkamah  Pidana  Internasional  yang
ditetapkan oleh Konperensi Diplomatik PBB di Plenipotentiaries pada 17 Juli 1998. Pasal 7 Statuta Roma menyatakan “tindakan penyiksaan yang
sudah menyebar luas atau secara sistematis dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang menyebabkan penderitaan atau terluka secara fisik maupun
mental  dianggap  sebagai  kejahatan  terhadap  kemanusiaan.  Penyiksaan didefinisikan  sebagai  tindakan  yang  menyebabkan  rasa  sakit  atau
penderitaan  baik  secara  fisik  maupun  mental  terhadap  seseorang  dalam tahanan  atau  seorang  tersangka  dalam  hukum;  terkecuali  apabila
merupakan  bagian  dari  sanksi  hukum  dan  tidak  menyebabkan  adanya penderitaan.”
26
23
Pasal 18 ayat 1  UDHR 1948
24
Hasanuddin  Yusuf  Adan,  “Aceh  Antara  Hukuman  Cambuk  dan  HAM,”
http:ummahonline wordpress.com20100219aceh-antar-hukum-cambuk-dan-ham
diakses 9 Desember 2010.
25
Sulieman  Abdul  Rahman  Al-Hageel,  Human  Rights  in  Islam  and Refutation  of  the  Misconceived  Allegations  Associated  with  this  Rights,    2nd  edition
Arab Saudi: HRH Prince Sultan Ibn ‘Abdul-Aziz al- Sa‘ud, 1999 , 23.
26
Lihat Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional yang ditetapkan oleh Konperensi Diplomatik PBB di Plenipotentiaries pada 17 Juli 1998.
12
Berbeda dengan pandangan tersebut,  ada juga pandangan muslim
liberal  yang  tidak  setuju  dengan  penghukuman h}add  dalam  Islam.
Realita ini terlihat pada contoh yang diberikan Sukron Kamil dkk dalam
Syariat  Islam  dan  HAM:  Dampak  Perda  Syariah  terhadap  Kebebasan Sipil , Hak-hak Perempuan dan Non-Muslim bahwa terdapat pandangan
Fazlur  Rahman,  seorang  cendekiawan  neo-modernis  yang  hijrah  dari Pakistan  ke  Amerika  karena  merasa  tidak  ada  kebebasan  akademik  di
negaranya. Menurutnya,  hukum
h}add potong tangan  yang ditetapkan Pakistan  merupakan  sesuatu  yang  mengerikan  dan  merupakan  tradisi
hukum  masyarakat   Arab,  yang tidak  mesti diterapkan di  luar Arab.
27
Dengan  perkataan  lain  baik  Gus  Dur,  Sukron  Kamil,  ataupun  Fazlur Rahman  telah  ikut  mengintepretasikan  hukum  Islam  jinayat  menurut
pandangan modern.
Selain  itu,  pelaksanaan  Qanun  Aceh  mendapat  pantauan  pegiat HAM.  Pihak  Human  Right  Watch    HRW  melakukan  penelitian
menyangkut  dengan  adanya  pelanggaran  HAM  pada  realisasi  Qanun Aceh.  Setelah  melakukan  penelitian  mulai  bulan  Mei-April  2010  di
Aceh, HRW  merekomendasikan kepada pihak terkait agar membatalkan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat, dan mengamandemen Qanun
No.  11  Tahun  2002  tentang  busana  muslimah.  Wakil  Direktur  HRW Asia,  Elaine  Pearson  mengatakan  bahwa  HRW  pada  dasarnya  bersikap
netral  atas  penerapan  syariat  di  Aceh,  dan  mereka  sebenarnya  tidak punya  posisi  pada  syariat  kecuali  bila  bertentangan  dengan  HAM  yang
dilindungi  Undang-undang  dan  berbagai  konvensi  HAM  yang diratifikasi Indonesia.
28
Berdasarkan  uraian  di  atas  studi  ini  ingin  membahas  tentang bagaimana  pandangan  fiqh  dan  HAM  terhadap  pelaksanaan  hukum
jinayat—yang  sejak  zaman  dahulu  didambakan  masyarakat  Aceh  dalam konteks  negara  kebangsaan  baca:  negara  bangsa    yang  berdasarkan
Pancasila pada saat sekarang ini.
29
Dengan pekataan lain, hukum jinayat
27
Sukron  Kamil  dan  Chaider  S.  Bamualim,  Syariat  Islam  dan  HAM,  Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim,
91.
28
“Hukum  dan  Kriminalitas”,  Gatra.Com,  tanggal  9  Desember  2010,  1 dalam http:www.gatra.comartikel.php?id=143697  diakses tanggal 15-02-2011.
29
Kondisi  kemajemukan  kehidupan  umat  beragama    telah  di  atur  sejak  Nabi Saw.  Nabi  Saw  membentuk      Piagam  Madinah  Madinah  Charter  yang  mengayomi
semua  ummat,  tanpa  membentuk  Negara  Islam.  Prinsip  toleransi  dan  sikap  lakum
13
yang  diberlakukan  di  Aceh  sebagaimana  Qanun  No.  12,  13,  dan  14 merupakan  peluang  otonomis  semata,  sehingga  tidak  bertentangan
dengan ideologi negara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
30
B.  Permasalahan