Latar Belakang Masalah Konflik yang berlangsung lama antar pemerintah Pusat dan Aceh

1 BAB PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah Konflik yang berlangsung lama antar pemerintah Pusat dan Aceh

telah melahirkan beberapa peraturan perundang-undangan. Perundang- undangan tersebut tidak hanya merupakan wujud dari resolusi konflik demi konflik di antara keduanya namun kerap melahirkan penyempurnaan pada tatanan hukum perundang-undangan nasional. Fenomena ini nampak pada pengesahan undang-undang pemberian hak otonomi bagi Aceh untuk mengatur “rumah tangganya” sendiri self government, dalam berbagai aspek kehidupan. Ordemasa pemerintahan yang ikut mempengaruhi nuansa politik dan hukum perundang-undangan di Indonesia adalah Orde Lama 1945-1966, Orde Baru 1966-1998 dan Orde Reformasi 1998- sekarang. Faktor esensial konflik yang terjadi antara Pusat dan Aceh pada Orde Lama adalah peleburan Aceh ke dalam bagian provinsi Sumatra Utara, yang berubah dari apa yang dijanjikan pemerintah Orde Lama untuk memberikan otonomi bagi Aceh untuk mengatur diri sesuai dengan sosio-kultural masyarakatnya pasca kemerdekaan, terutama menyangkut dengan penerapan syariat Islam. Telah terjadi negosiasi politik antara tokoh-tokoh Aceh dengan pemerintah Pusat. Presiden Sukarno 1945-1966 berjanji akan memberikan hak otonom bagi Aceh, termasuk mendirikan Mahkamah Syariyah jika Aceh mendukung kedaulatan Indonesia. Dikatakan Syed Serajul Islam bahwa Provinsi Aceh lahir setelah adanya gejolak social Darul Islam yang disebabkan oleh pengingkaran janji Sukarno terhadap tokoh-tokoh Aceh. Sukarno membagikan pulau Sumatra menjadi tiga bagian: Pertama, Sumatra Utara, yang termasuk Aceh; kedua, Tapanuli; dan ketiga Sumatra Timur. Kebijakan ini telah mengurangi hak otonom bagi Aceh sekaligus pengingkaran terhadap janji sebelumnya. 1 1 “ Indonesian nationalist leaders gave tentative recognition to the PUSA’s de facto control of Aceh and even recognized the newly–established Islamic Courts. Sukarno, the nationalist leader, met Daud Beureueh in June 1948 in Aceh and promised that Aceh would be an Islamic province if it was committed to supporting Indonesia. 2 Peleburan—yang mengakibatkan timbulnya gerakan D ār al- Isl ām DI Aceh tahun 1953-1954 yang digerakkan Daud Beureueh itu membawa dampak pada pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara. 2 Dengan perkataan lain, akhirnya, pergolakan yang yang bercampur dengan gerakan NII Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo dapat dipadamkan pemerintah Pusat dengan pembentukan provinsi Aceh dan pengesahan hak otonomi. 3 Pada masa Orde Baru pimpinan Suharto 1966-1998, Hak Otonomi untuk Aceh dari Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1956 itu tidak direalisasikan, bahkan pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan di daerah yang mengakibatkan penghapusan sejumlah hak dan wewenang pimpinan adat di Aceh. Kebijakan pemerintah Pusat seperti ini memunculkan gejolak lagi yang berupa gerakan pemisahan diri dari Indonesia yang dipimpin Hasan Tiro tahun 1976 yang memakan waktu 30 tahun. Pemerintahan Suharto dengan mengeluarkan Undang-undang tersebut telah mengakibatkan penghapusan wilayah mukim kekuasaan adat yang telah tegak dalam wilayah Aceh sebelumnya di samping mengubah sebutan “gampong” … That declaration came as a serious disappointment to Acehnese; it was considered a betrayal to preindependence pledges by Sukarno to PUSA leaders. That was the begining of Acehnese nationalism.” “Para pemimpin nasionalis Indonesia memberikan pengakuan sementara pada pengontrolan de facto PUSA dan bahkan mengakui pendirian Mahkamah Shariyah baru. Sukarno sebagai pemimpin nasionalis, telah menjumpai Daud Beureueh pada Juni 1948 di Aceh dan telah menjanjikan bahwa Aceh akan menjadi sebuah provinsi Islam jika mau mendukung Indonesia. … Pernyataan janji itu menjelma dalam bentuk pengingkaran serius terhadap rakyat Aceh; Pengingkaran itu menjadi sebuah pengkhianatan terhadap sumpah-sumpah yang diucapkan Sukarno di hadapan tokoh-tokoh PUSA sebelum kemerdekaan. Pengingkaran itu juga menjadi permulaan bagi nasionalisme rakyat Aceh”. Lihat Syed Serajul Islam, The Politics of Islamic Identity in South East Asia Mexico: Thomson, 2005, 58 dan 60. Lihat juga Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar`iyyah dalam Sistem Peradilan Nasional Jakarta: Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, 2009, 66. 2 Repulik Indonesia, UU No. 24 Tahun 1956 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103. 3 Abu Ramli, seorang mantan Perwira Personalia Resimen VII mengatakan bahwa hubungan antar gerakan NII di Aceh dan NII di Jawa Barat ada, namun ideologi dan kebijakan politik antara keduanya tidak ada hubungan apa-apa. Lihat “NII Jabar Tak Ada Hubungan dengan DITII di Aceh”, Waspada, 17 Mei 2011, B5. 3 dengan “desa” dan “kelurahan” sebagai teritorial administratif paling bawah. Pasca kejatuhan Suharto sejak 21 Mei 1998 muncul Orde Reformasi di Indonesia. Dalam penyelesaian konflik Aceh, pemerintah Pusat melakukan banyak melakukan upaya penyelesaian konflik perang saudara antara pemerintah RI dan GAM, namun tidak menemukan solusi. Hasil dari berbagai negosiasi, pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 4 yang ditanda tangani presiden B. J. Habibie 1998-1999; dan UU No. 18 Tahun 2001 bagi Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditandatangani presiden Megawati Sukarnoputri 2001-2004. Akhirnya seiring dengan bencana alam tsunami tahun pada 26 Desember 2004 — yang menelan 200.000,- jiwa lebih, muncul inisiatif baru untuk menyelesaikan konflik Aceh, yakni melalui negosiasi di meja perundingan sehingga menghasilkan perjanjian damai yang bersifat internasional antara pemerintah Pusat dan Gerakan Aceh Merdeka Freedom Aceh Movement pada tanggal 15 Agustus 2005. Perjanjian itu dipimpin Marty Ahtisaari di Helsinki, Finlandia. Dampak dari perjanjian damai tersebut pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU itu ditanda tangani presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang sedang berlaku hingga saat sekarang ini. 5 UU yang disahkan tahun 2006 ini menunjukkan kewenangan pemerintah Aceh 6 menjadi bertambah dalam menjalankan roda 4 Lihat Republik Indonesia, UU No. 5 Tahun 1974. Lihat juga Republik Indonesia UU No. 44 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893. 5 Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden yang keenam 2004-sekarang. Sebelumnya, yang pertama Sukarno 1959-1966; kedua Suharto 1966-1998; ketiga B. J. Habibie 1998-1999; keempat Gus Dur 1999-2001; dan kelima Megawati Sukarnoputri 2001-2004. Lihat Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen. Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah Canada: Routledge, 2008, 144. 6 Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Lihat Bab I Pasal 1 Ayat 4 UU No. 11 Tahun 2006. 4 pemerintahan, terutama dalam merealisasikan perundang-undangan RI yang tidak terealisasikan sebelumnya. Bidang syariah dapat terlihat pada Bab XVII Pasal 128-137, yang memberikan kewenangan bagi pemerintah Aceh dalam penerapan syariat di berbagai aspek termasuk Jinayat. Hal ini terlihat bahwa berbagai qanun syari‘at yang sebelumnya masih bersifat kurang asosiatif, seperti Qanun-qanun turunan UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 44 Tahun 1999, telah nampak pada realita-aplikatif dalam kehidupan masyarakat. Keppres RI No. 11 Tahun 2003 yang menuntun Mahkamah Syariyah juga dapat dilihat telah menemukaan porsi yudisial dalam merealisasikan Hukum Jinayat dan lainnya. Sebelum UU No. 11 Tahun 2006, UU No. 18 Tahun 2001 Bab XII Pasal 25 Ayat 2 telah memuat adanya hak otonomi khusus 7 bagi Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Tepatnya pada Ayat 3 dari UU No. 18 Tahun 2001 dikatakan adanya pemberian wewenang kepada legislatif dan eksekutif Aceh untuk membuat qanun bylaw. Mengingat UU ini, pemerintah NAD merealisasikan Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang khamar dan yang sejenisnya, Qanun No. 13 tentang judi maisir, dan Qanun No. 14 tentang khalwat. 8 Pelaku pelanggaran terhadap ketiga Qanun ini ditetapkan ketentuan hukum h}addta‘ zīr pencambukan di muka publik dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam qanun. Fenomena ini tidak bertentangan dengan hukum perundang-undangan dan Undang-undang Ketatanegaraaan Indonesia, terutama pasca pengamandemenan UUD 1945 sebanyak empat kali. Sekarang, Aceh dan pemerintahannya berpijak pada UU No. 11 Tahun 2006. Bab 1, Pasal 1, Ayat 2 UU tersebut menyatakan Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberikan kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan 7 Penjelasan tentang Otonomi Khusus telah menemukan hasil analisis dari Dinas Syariaat Islam NAD periode 2003-2008. Alyasa’ mengatakan bahwa Qanun yang biasanya sederajat dengan Perda telah berubah statusnya menjadi setingkat Peraturan Pemerintah PP yang bisa menyingkirkan Perpres dan Perda. Lihat Alyasa’ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD 2008, 34. 8 Arskal Salim, “ Shari’a in Indonesia’s Current Transition”, dalam Asskal Salim and Azyumardi Azra, Shari;a and Politics in Modern Indonesia Singapore: ISEAS, 2003, 224-226. 5 masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Di dalam Ayat 4 Pasal tersebut juga diakatakan, Pemerintah Aceh adalah pemerintah daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah Aceh dan DPR Daerah Aceh sesuai fungsi dan kewenangan masing-masing. 9 Setelah kurun masa 6 figur kepresidenan, hanya K. H. Abdurrahman Wahid Gus Dur, presiden RI ke-4 yang mampu mencetuskan hak Otonomi untuk pelaksanaan syariat di Aceh tahun 1999. 10 Gus Dur sendiri juga ikut terlibat dalam memberikan pendapat tentang Syariat Islam Aceh. Gus Dur berpendapat dalam diskursus hukum Islam, kerab mengkritisi pemahaman tentang hukum Islam menurut zahir nas}s} semata. Gagasannya tentang pelaksanaan syari’at Islam di Aceh-Indonesia telah banyak dicetuskan. Beliau, misalnya, mengatakan maksud dari qis}as} dari ayat al-Qur’an tentang Hukum Jināyāt: jiwa dibalas dengan jiwa dan mata dengan mata dalam nas}s} adalah untuk pencegahan. Maka penafsiran h}add potong tangan bagi tindak pidana pencurian agar tidak diberi makna secara zahiriyah ayat. Namun yang penting ada dua prinsip yaitu menghukum dan mencegah punishment and preventiont . 11 Pandangan Gus Dur ini juga didukung Iman Ghazali Said yang memaknai al-qat}’u memotong dengan al- man’u mencegah. 12 Meskipun ketiga UU, yakni UU No. 44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001, dan UU No. 11 Tahun 2006 9 Republik Indonesia, UU No. 11 Tahun 2006 Bab 1, Pasal 1, Ayat 2 dan Ayat 4. 10 Pandangan ini dicetuskan Gus Dur di Mesjid Baiturrahman B. Aceh pada tahun 2000. 11 K. H. Abdurrahman, Misteri Kata-kata, 34. Lihat juga Sukron Kamil, dkk., Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak- hak Perempuan dan non-Muslim Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, 91. 12 Iman Ghazali Said, Piagam Madinah dan Konstitusi Indonesia” dalam Masykuri Abdillah, , dkk. Formalisasi Syariat Islam di Indonesia Jakarta: Renaisan, 2005, 127 6 pernah disahkan, paradigma perdebatan hukum di Indonesia yang menyangkut dengan Aceh belum sampai ke titik terminasi. Masyarakat masih menghadapi diskursus perdebatan hukum dalam realita kehidupan sehari-hari. Perkembangan opini tentang Hukum Jinayat terus bergulir. Namun sebagaimana dikatakan Alyasa‘ Abu Bakar bahwa pemerintah Aceh berusaha ingin menjadikan ketiga qanun—tentang khamar, judi dan khalwat—untuk menjadi sebuah Kompilasi Hukum Jinayat Aceh KHJA yang netral—dalam menemukan titik kesesuaian— di antara Jin āyāt Fiqhiyah dan HAM. 13 Hal ini nampak pada realita materil dari “Qanun Jinayat” yang disahkan tersebut. Sedangkan Rancangan Qanun jinayat “rajam” yang datang belakangan—yang diajukan DPRA periode 2004-2009—, tidak disahkan Gubernur Aceh, karena kandunan materi hukuman rajam bagi penzina muh}s}an masih memiliki kontradiksi yang tajam dengan Deklarasi HAM Universal dan sejumlah hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 14 Seiiring dengan perdebatan itu, suara perjuangan penegakan HAM ikut bergema pasca kejatuhan kepala pemerintahan rezim Orde Baru Orba, Suharto 1998, dan pasca konflik Aceh reda. Perbincangan juga menyangkut dengan pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh oleh aparat RI tidak dapat diungkapkan pada saat konflik Aceh berlangsung. Konflik Aceh pada masa Orba bersifat domestik dan terisolasijauh dari pantauan dunia luar di dalam system pemerintahan ototiter. Dengan muncul presiden B.J. Habibie melanjutkan “tongkat estafet” kepemimpinan presiden Suharto, jantung demokrasi rakyat mulai terbuka dan berbagai undang-undang yang menyangkut dengan HAM disahkan. B. J. Habibie mengeluarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang mengokohkan Komnas HAM yan disahkan berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1998 15 di Indonesia yang berlaku sampai saat sekarang ini. 16 13 Alyasa‘Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2008, 106-168. 14 www.mahkamahsyariyahaceh.go.id diakses 1 Mei 2010. 15 Di samping kewenangan menurut UU No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM juga berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia dengan dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Undang-undang ini, Komnas HAM adalah lembaga yang 7 berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat. 16 Menanggapi hukuman h}addJinayat kontemporer di Aceh dapat melanggar HAM, Hasanuddin Yusuf Adan mengatakan bahwa Hak Azasi Manusia HAM yang dalam yang dalam bahasa Inggeris disebut Human Rights akhir-akhir ini sudah dijadikan raja oleh sebahagian manusia di dunia raya ini. Padahal ia tidak lebih dari sebuah aturan yang disusun oleh manusia yang diciptakan Allah dan memiliki banyak kelemahan. Sementara Hukuman cambuk merupakan komponen resmi dan penting dari Hukum Jinayah Pidana Islam yang elemen-elemennya langsung datang dari Allah selaku pencipta lebih ditinggalkan dari pada para penyusun HAM. Menurutnya, memang selama ini di Aceh banyak orang yang menantang pelaksanaan hukuman cambuk sebagai salah satu dimensi dari Hukum Islam. Alasan mereka selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM. Mencambuk orang yang melanggar syari’at Islam adalah melanggar HAM, paling tidak demikianlah ucapan gamblang mereka. Tetapi mereka tidak pernah menguraikan bagaimana tata cara pelaksanaan Hukum Islam yang penuh kemuslihatan itu. Mereka tidak pernah mengkajinya dengan kajian ilmiah dan objektif, yang ada adalah pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan HAM itu sendiri baik yang tertera dalam Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia The Universal Declaration of Human Rights, yang salah satu instrumennya adalah Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik ICCPR yang telah disahkan ke dalam Undang- Undang No. 12 Tahun 2005. Dengan gambaran seperti di atas, maka tidak dapat dengan serta merta seseorang itu menyimpulkan bahwa Hukuman Cambuk melanggar HAM. Apa lagi kalau kebanyakan yang mengatakan demikian sudah menjadi agen pihak tertentu yang menutup mata terhadap kemuslihatan Hukum Islam dan keadilan hukuman cambuk. Dari segi usia antara HAM atau DUHAM dengan hukuman cambuk jauh sekali lebih tua hukuman cambuk, HAM itu muncul lebih kurang 600 tahun setelah lahirnya Hukuman Cambuk. Dari segi pencipta juga tidak dapat disetarakan sama sekali karena hukuman cambuk milik dan ciptaan Allah sementara HAM buatan manusia yang manusia itu sendiri diciptakan, dihidupkan, dinafkahi, disejahterakan dan diberikan rezeki oleh Allah SWT. Toh karena mengikuti perkembangan HAM di Eropa, yang berasal dari dokumen Magna Charta 1512. Hukuman cambuk itu dilaksanakan dalam pidana Islam sebagai balasan bagi pelanggar Hukum Allah dengan tujuan untuk menjerakan pelanggar syari’ah dan memberi pelajaran kepada orang lain yang belum melanggarnya agar mereka tunduk dan patuh kepada Allah sang Khaliq dan Maha Raja dari segala raja-raja yang ada. Artinya, itu merupakan salah satu hukum atau undang-undang atau peraturan baku yang positif, objektif dan logis bagi seluruh ummat manusia yang berpikir waras dan baik. Lihat http:ummahonline wordpress.com20100219aceh-antar-hukum- cambuk-dan-ham diakses 9 Desember 2010. Lihat juga Nazila Ghanea, Alan Stephens and Raphael Walden, Does God Believe in Human Rights?: Studies on Religion, Secular Beliefs and Human Rights Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007, 14. 8 Hak demokrasi rakyat juga dibuka lebar bagi dunia. Bahkan isu penyuaraan tentang HAM lebih bergema ketika qanun yang menyangkut jinayat terutama hukuman pencambukan diterapkan di Aceh sejak tahun 2003 sampai saat sekarang ini. Memang sejak zamam Yunani kuno Hak Asasi Manusia telah muncul dan diterjemahkan sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik yang menuntut setiap individu menjunjung tinggi nilai hak tersebut tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Seorang Folosof Yunani, Aristoteles telah menulis tentang hak-hak dari warga Negara secara luas untuk memiliki dan berpartisipasi dalam urusan public ancient philosophers such as Aristoteles wrote extensively on the rights of citizens to property and participation in public affairs.” 17 Menyangkut HAM, selain menggalang kerjasama bangsa-bangsa global United Nations, secara regional, Indonesia bersama dengan Negara-negara tetangganya juga telah menyepakati beberapa kesepakatan internasional, sebagaimana dikatakan dalam sebuah dokumen tentang HAM: “Indonesia has, both by ASEAN and Islamic world standards, been diligent in accepting major human rights conventions over the past forty years. It has ratified 12 of the 16 main UN conventions, including the Universal Declaration on Human Rights UDHR, the International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR, the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights ICESCR and the International Covenant on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women CEDAW. It has also played a role in the UN General Assembly debates on the ICCPR and 17 “However, neither the Greeks nor the Romans had any concept of universal human rights; slavery, for instance, was justified both in ancient and modern times as a natural condition. Medieval charters of liberty such as the English Magna Carta were not charters of human rights, let alone general charters of rights: they instead constituted a form of limited political and legal agreement.” Lihat http:www.UDHRHuman_rights. htm, diakses tanggal 7 Desember 2010, diakses tanggal 17 Desember 2010. 9 ICESCR as a member of the Third Committee and later had an individual representative on the final committee formulating both conventions. Indonesia has often been present at, though not a leading player in, the various initiatives to draft an Islamic- based human rights declaration or convention. Indonesia had representation at the 1990 meeting of Organization of the Islamic Conference OIC member foreign ministers which adopted the Cairo Declaration on Human Rights in Islam CDHRI.” 18 Berdasarkan bunyi dokumen tersebut, Indonesia bersama Negara-negara OKI telah berperan serta dalam menyelesaikan persoalan Islam global menyangkut konsep hak asasi manusia. Konsep HAM yang dicetuskan OKI adalah berdasarkan Islam, yang dikenal dengan Deklarasi Kairo tentang hak-hak Asasi Manusia Cairo Declaration on Human Rights in Islam Agustus 1990. CDHRI ini merupakan kesepakatan Negara-negara muslim untuk menyepakati keputusan bersama yang menyangkut dengan persoalan hukuman pidana mati atas riddah dan rajam yang dikatakan melanggar hak asasi manusia oleh Pasal 18 UDHR 1948. 19 Menurut pihak ini DUHR 1948 masih bersifat relatif. Pasal 25 CDHRI mengimplikasikan bahwa OKI mengakui pluralitas mazhab fiqh dalam dunia Islam. Hukum Islam dapat diterapkan menurut daya terima receptive masyarakat di kawasan- kawasan tertentu dari belahan bumi. Sejumlah mazhab hukum Islam seperti Sunni, Shi‘i , Ja‘ farī, Mu‘tazilī, H{ānāfī, Mālikī, Shāfi’ī, H{anbalī, Wahabi, Z{ āhirī, Madhhabī, Non-Madhhab, Zuhailī, Islam Rasional kelanjutan dari paham mu‘tazilah 20 dan lain-lain dapat diamalkan umat Islam sesuai situasi dan kondisi mereka. Bahkan Organisasi Islam dunia ini juga ingin mewujudkan Islam menjadi suatu agama yang dapat membawa rahmat bagi sekalian alam, sehingga hukum Islam menjadi pedoman dalam kehidupan umat Islam dalam bermasyarakat, berbangsa 18 Lihat http:www.UDHRHuman_rights. htm, diakses tanggal 7 Desember 2010. 19 Ann Elizabeth Mayer Islam, and Human Right, Tradition and Politics Colorado: Westview Press, 1999, 23. 20 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Jakarta: Mizan, 1994, 211-283. 10 dan bernegara di manapun mereka berada, tak terkecuali bagi umat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 21 Penerapan Hukum Islam di Aceh-Indonesia didukung oleh konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945. Di dalam Pasal 29 dikatakan bahwa kebebasan beragama di Indonesia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Kandungan Konstitusi juga telah ikut melatar belakangi sejumlah Undang-undang RI yang menyangkut Aceh seperti: UU No. 44 Tahun 1999, dan UU No. 18 Tahun 200. Pasca Mou Helsinki disahkan pula UU No.11 Tahun 2006. Fenomena ini menunjukkan bahwa konstituisi Negara RI ikut melatar belakangi pengesahan dan pelaksanaan Qanun Aceh tentang “jinayah.” Di dalam Qanun Jinayat masyarakat diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah kejahatan minuman khamar, judi, dan khalwat. Peran serta umat Islam tersebut bukan dalam bentuk “main hakim sendiri”, namun berdasarkan proses peradilan di Mhkamah. Jika tidak menoleh ke aspek HAM, uqubat cambuk yang diatur Qanun akan lebih efektif karena memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko serius bagi keluarga, jenis hukuman ini juga memadai biaya lebih murah yang ditanggung pemerintah dibandingkan jenis ‘uqubat lainnya, seperti penahanan, yang lebih banyak menghabiskan dana dalam proses penghukuman pelaku kejahatan. Urensi qanun jinayat juga merupakan salah satu upaya pemerintah Aceh untuk menghindari kevakuman hukum dalam kancah upaya merealisasikan hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan pidana. Lembaga Mahkamah Syariyah dan Wilayatul Hisbah diberikan tugas dalam upaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi cambuk dan pengawasan pelaku tindak pidana yang telah diqanunkan . 22 Ketua Dewan Da‘wah Islam Indonesia wilayah Aceh, Hasanuddin menegaskan bahwa hukuman cambuk sama sekali tidak melanggar HAM dan tidak akan melanggar HAM kalau eksekutor menjalankannya mengikuti ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebaliknya, malah HAM itu sendiri yang selama ini menjajah hukum Islam khususnya hukuman cambuk. Pegiat HAM di seluruh penjuru dunia harus belajar Hukum Islam dan belajar rasionalisasi Hukum Islam 21 CDHRI 1990 Pasal 25. 22 Lihat qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 1, 16, dan 17 ; Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 dan 16; dan Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 dan 13. 11 agar tidak berprasangka jahat terhadap Hukum Allah ini. Jangan mengedepankan Hak Azasi Manusia hanya dalam batas-batas yang menguntungkan mereka saja dengan berupaya menghambat berjalannya Hukum Islam di negara dan wilayah mayoritas muslim seperti di Aceh. Itu tidak berhak sama sekali, semua manusia bebas beragama adalah salah satu ketentuan HAM, karena sudah bebas beragama maka bebas pula bagi mereka untuk menjalankan ketentuan agamanya. 23 Hukuman ini merupakan salah satu ketentuan agama Islam yang wajib dilaksanakan oleh semua muslim di seluruh alam. Karenanya tidak berhak pihak lain dengan mengatasnamakan HAM menghambat, melarang dan mencemooh berlakunya kukuman cambuk di Aceh karena itu dibenarkan oleh ketentuan HAM dunia berkenaan dengan kebebasan beragama. 24 Senada dengan Hasanuddin, Sulieman Abdul Rahman Al-Hageel telah membuat penafsiran lebih moderat. Ia menegaskan bahwa orang muslim telah terikat dengan ketentuan Islamnya, maka hukum taklifi berlaku atasnya. Fenomena seperti ini menurutnya tidak dapat dikatakan melanggar HAM. 25 Hukuman yang menjerakan pelaku tindak pidana terdapat pula oleh Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional yang ditetapkan oleh Konperensi Diplomatik PBB di Plenipotentiaries pada 17 Juli 1998. Pasal 7 Statuta Roma menyatakan “tindakan penyiksaan yang sudah menyebar luas atau secara sistematis dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang menyebabkan penderitaan atau terluka secara fisik maupun mental dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Penyiksaan didefinisikan sebagai tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau penderitaan baik secara fisik maupun mental terhadap seseorang dalam tahanan atau seorang tersangka dalam hukum; terkecuali apabila merupakan bagian dari sanksi hukum dan tidak menyebabkan adanya penderitaan.” 26 23 Pasal 18 ayat 1 UDHR 1948 24 Hasanuddin Yusuf Adan, “Aceh Antara Hukuman Cambuk dan HAM,” http:ummahonline wordpress.com20100219aceh-antar-hukum-cambuk-dan-ham diakses 9 Desember 2010. 25 Sulieman Abdul Rahman Al-Hageel, Human Rights in Islam and Refutation of the Misconceived Allegations Associated with this Rights, 2nd edition Arab Saudi: HRH Prince Sultan Ibn ‘Abdul-Aziz al- Sa‘ud, 1999 , 23. 26 Lihat Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional yang ditetapkan oleh Konperensi Diplomatik PBB di Plenipotentiaries pada 17 Juli 1998. 12 Berbeda dengan pandangan tersebut, ada juga pandangan muslim liberal yang tidak setuju dengan penghukuman h}add dalam Islam. Realita ini terlihat pada contoh yang diberikan Sukron Kamil dkk dalam Syariat Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil , Hak-hak Perempuan dan Non-Muslim bahwa terdapat pandangan Fazlur Rahman, seorang cendekiawan neo-modernis yang hijrah dari Pakistan ke Amerika karena merasa tidak ada kebebasan akademik di negaranya. Menurutnya, hukum h}add potong tangan yang ditetapkan Pakistan merupakan sesuatu yang mengerikan dan merupakan tradisi hukum masyarakat Arab, yang tidak mesti diterapkan di luar Arab. 27 Dengan perkataan lain baik Gus Dur, Sukron Kamil, ataupun Fazlur Rahman telah ikut mengintepretasikan hukum Islam jinayat menurut pandangan modern. Selain itu, pelaksanaan Qanun Aceh mendapat pantauan pegiat HAM. Pihak Human Right Watch HRW melakukan penelitian menyangkut dengan adanya pelanggaran HAM pada realisasi Qanun Aceh. Setelah melakukan penelitian mulai bulan Mei-April 2010 di Aceh, HRW merekomendasikan kepada pihak terkait agar membatalkan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat, dan mengamandemen Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang busana muslimah. Wakil Direktur HRW Asia, Elaine Pearson mengatakan bahwa HRW pada dasarnya bersikap netral atas penerapan syariat di Aceh, dan mereka sebenarnya tidak punya posisi pada syariat kecuali bila bertentangan dengan HAM yang dilindungi Undang-undang dan berbagai konvensi HAM yang diratifikasi Indonesia. 28 Berdasarkan uraian di atas studi ini ingin membahas tentang bagaimana pandangan fiqh dan HAM terhadap pelaksanaan hukum jinayat—yang sejak zaman dahulu didambakan masyarakat Aceh dalam konteks negara kebangsaan baca: negara bangsa yang berdasarkan Pancasila pada saat sekarang ini. 29 Dengan pekataan lain, hukum jinayat 27 Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim, 91. 28 “Hukum dan Kriminalitas”, Gatra.Com, tanggal 9 Desember 2010, 1 dalam http:www.gatra.comartikel.php?id=143697 diakses tanggal 15-02-2011. 29 Kondisi kemajemukan kehidupan umat beragama telah di atur sejak Nabi Saw. Nabi Saw membentuk Piagam Madinah Madinah Charter yang mengayomi semua ummat, tanpa membentuk Negara Islam. Prinsip toleransi dan sikap lakum 13 yang diberlakukan di Aceh sebagaimana Qanun No. 12, 13, dan 14 merupakan peluang otonomis semata, sehingga tidak bertentangan dengan ideologi negara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 30

B. Permasalahan