45
Darussalam, sebagaimana dikatakan Tim Linsey dan M. B. Hooker.
84
Realita ini memunculkan berbagai wancana dan kebijakan terhadap peningkatan supremasi hukum di Indonesia, sehingga membawa dampak
kepada kebijakan pemerintah untuk membentuk Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2003. Kemudian dilanjutkan dengan
adanya Mahkamah Konstitusi tahun 2004. Kedua institusi peradilan ini dapat menghambat kesewenang-wenangan pejabat negara dari perilaku
yang merugikan negara dan masyarakat.
Bagi Aceh, sejarah perkembangan hukum menunjukkan bahwa pemerintah mengeluarkan UU No. 44 Tahun 1999 yang memberikan
keistimewaan renofatif bagi Aceh di bidang agama, adat-istiadat, dan Pendidikan. Dengan demikian telah ada 2 daerah Istimewa di Indonesia
yakni DI Aceh dan DI Yokyakarta. Sedangkan pasca Undang-undang Otonomi daerah telah ada lima daerah Otonomi Khusus bagi Indonesia
termasuk Papua Barat.
2. Kebijakan berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001
Dari realita di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara Negara nampak pada pengesahan
hukum perundang-undangan. Fenomena ini dapat terjadi karena pengaruh dari pusat atau dari daerah Aceh. Sejumlah UU muncul
dengan latar belakang hiruk-pikuk masyarakat yang menuntut adanya perubahan kebijakan dari masa ke masa. Demikian pula yang terjadi
terhadap UU No.18 Tahun 2001, yang membawa dampak pada pengesahan qanun Jinayat tahun 2003. Meskipun UU ini dianggap tidak
berlaku lagi pasca pengesahan UU No. 11 Tahun 2006, Qanun jinayat tahun 2003 tersebut tetap dinyatakan berlaku sampai saat sekarang ini.
85
Kebijakan UU tentang “Otonomi Khusus” ini nampak pada batang tubuh dan kandunganisinya. Menyangkut dengan syariat Islam,
84
Tim Lindsey and M.B. Hooker, “Shari‘a Revival in Aceh” dalam R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institution, 219.
85
UU No. 11 Tahun 2006 memperlihatkan bahwa wewenang yang diberikan kepada Aceh meliputi banyak sektor, kecuali keuangan, pertahanan, urusan luar
negeri, kehakiman, dan agama. Ketentuan ini sebenarnya senada juga dengan UU No. 34 Tahun 2003 tentang Otonomi Daerah—sebagai penyempurnaan dari UU No. 22
Tahun 1999 yang berlaku bagi semua daerah di Indonesia. Lihat Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi Jakarta: Rajawali Press, 2010,
218.
46
Bab XII Pasal 25 dan 26 Undang–undang ini mencantumkan item tentang pengesahan Mahkamah Syar‘iyah di Nanggroe Aceh
Darussalam, sehingga menampakkan adanya kemajuan dari sektor peradilan Islam. Sebelumnya, semua kasus kriminal mesti merujuk ke
pangadilan Umum atau pengadilan yang relevan ketika masayarakat mengajukan suatu kasus yang menyangkut dengan tindak pidana. UU ini
di samping memperkuat kebijakan-kebijakan daerah sebelumnya yang menyangkut
dengan peradilan,
juga sekurang-kurangnya
tidak melangkah ke belakang dalam proses peradilan di Aceh. Fakta yuridis
menunjukkan bahwa sebelumnya UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah Aceh telah mengesahkan Perda No. 5 Tahun 2000 tentang peradilan
syariat Islam di Aceh yang tidak memiliki lembaga peradilan yang “di- jinayat-kan”.
Pasca pengesahan UU No. 18 Tahun 2001, keterlibatan Mahkamah Syar‘iyah Aceh dalam penanganan perkara pelanggaran
syariat terletak pada hukum acara pidana yang telah diterapkan oleh Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003. Sejumlah tindak pidana lain,
tidak terkecuali perkara pelanggaran dar uriyah al-khamsah lima perkara
yang dilindungi agama, belum dapat ditegakkan dengan hukum Islam. Fenomena ini demi menjaga Konsensus 1945 yang menyatakan bahwa
Negara Indonesia bukan berdasarkan Islam.
Tentang status
Aceh dalam
ketatanegaraan Indonesia
kontemporer telah juga disebutkan di dalam Wikipidea: “Sejumlah Provinsi yakni Aceh, Jakarta, Yokyakarta, dan
Papua Barat memiliki keistimewaan hukum yang lebih besar dan lebih tinggi derajat otonomi dari pemerintah pusat dibandingkan
daerah-daerah lain. Pemerintah Aceh, contohnya, memiliki hak untuk membuat system hukum yang independen, pada tahun 2003
Aceh membentuk sebuah hukum syariat. Yokyakarta diberikan kawasan khusus karena dikenal peran pentingnya di republik di
dalam revolusi Indonesia. Papua yang yang dulunya dikenal Irian Jaya, sekarang Papua Barat, dianugerahi status otonomi khusus
pada tahun 2001. Jakarta adalah kawasan ibu kota Negara yang khusus”
“The provinces of Aceh, Jakarta, Yokyakarta, and West Papua have greater legislative privileges and a higher degree of
autonomy from the central government than the other provinces.
47
The Acehnese government, for example, has the right to create an independent legal system; in 2003, it instituted a form of Sharia
Islamic law. Yogyakarta was granted the status of Special Region in recognition of its pivotal role in supporting Indonesian
Republicans during the Indonesian Revolution. Papua, formerly known as Irian Jaya, now West Papua, was granted special
autonomy status in 2001 Jakarta is the countrys special capital region”.
86
Di antara tokoh Aceh Ahmad Farhan Hamid, dianggap memiliki andil dalam menagani proses pengesahan dan penyusunan UU No. 18
Tahun 2001—tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi provinsi Nanggroe Aceh Darusalam—ini. Sebagai
Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Daerah DPD Aceh, ia ikut meyumbangkan pemikiran bagi perwujudan UU hingga ditantatangani
presiden Megawati Sukarnoputri dan diundangkan menjadi Undang- undang RI pada bulan Mei 2001.
87
Bustami dengan mengutip beberapa pakar dari Aceh mengatakan bahwa kata “Nanggroe” sebagaimana
halnya frase “Wali Nanggroe” yang tertera dalam UU No. 18 Tahun 2001 dapat diartikan Negara, dan juga berarti suatu kawasaan di dalam
suatu Negara. Pengggunaan kata “ Nanggroe” dalam UU No. 18 Tahun 2001 membuat jiwa masyarakat menerima penamaan ini.
88
Dikatakan
86
http:en.wikipedia.orgwikiQanun, diakses tanggal 29 November 2010. Lihat juga UUD 1945 Pasal 18B Ayat 1, “ Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Lihat juga Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik
Hukum, Menegakkan Konstitusi, 226.
87
Di antara kekhususan dalam Undang-undang ini adalah meberikan peluang pembentukan Mahkamah Syariyah Shari‘a Courts dan implementasi syaraiat Islam
di provinsi Aceh. Lihat Moch. Nur Ikhwan, “the Politics of Shari‘atization: Central Governmental and Regional discourses of Shari‘a Implementation in Aceh” dalam R.
Michael Feener and E. Cammck, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institutions, 196.
88
Lihat Pasal 10 Ayat 3 UU No. 18 Tahun 2001. Lihat juga Bustami, “Wali Nanggroe:MonarchidalamRepublik”,http:www.acehfeature.orgindex.phpsitedetailart
ikel771Wali-Nanggroe-Monarki-dalam-Republik
48
Tim Lindsey dan M.B. Hooker bahwa kedudukan Wali Nonggroe lebih terkait dengan symbol dibandingkan politik.
89
UU ini sebagaimana perundang-undangan lainnya, dianggap merupakan hasil kesepakatan umum masyarakat Indonesia yang tidak
mengabaikan kepentingan masyarakat Aceh secara representatif. UU ini mengimplikasikan suatu anggapan bagi masyarakat Aceh-Indonesia
bahwa NKRI telah final dan tidak lagi harus ada perjuangan rakyat untuk memisahkan diri. Kebijakan pengesahan Undang–undang ini juga
meredam antusias masyarakat Aceh untuk berpisah, di samping mencari solusi persoalan masyarakat Aceh pada fase-fase lanjutan.
Dengan perkataan lain, dengan kekhususan UU tersebut dapat dijadikan peluang oleh eksekutif dan legislative Aceh untuk membuat
qanun jinayat yang berhasil disusun tahun 2003 yang menyangkut hukuman bagi tindak pidana khamar, judi, dan khalwat sebagaimana
tersebut di atas. Ketiga Qanun ini dapat diterapkan secara lebih realistis sejak diundangkan dan pasca keluarnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh.
3. Kebijakan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006