13
yang diberlakukan di Aceh sebagaimana Qanun No. 12, 13, dan 14 merupakan peluang otonomis semata, sehingga tidak bertentangan
dengan ideologi negara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
30
B. Permasalahan
1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah Studi ini mengkaji konsep dan ruang lingkup hak otonomi dan
keistemewaan bagi Aceh yang menyangkut dengan penerapan syariat Islam yang telah disahkan oleh sejumlah Undang-undang, seperti UU
No. 44 Tahun 2009, UU No. 18 Tahun 2001, UU No. 11 Tahun 2006, dan bahkan UUD 1945 sebagai konstitisi Negara. Hak otonomi dan
keistimewaan yang dimaksudkan dalam studi ini adalah hak dalam penerapan hukum jinayat sebagaimana yang terdapat dalam Qanun No.
12, 13, dan 14 Tahun 2003.
dinukum waliadin di antara agama–agama yang beerbeda-beda tumbuh pada masa Nabi Saw. Dikatakan Norrahman dalam artikelnya “Copatibility between Pancasila and
Sharia-based Islamic Teaching” yang dimuat oleh The Jakarta Post, tanggal 10 Januari 2010, 6, “ It is correct that when he migrated to Medina, Muhammad was trusted to
become the leader of plural society consisting of many tribes and religions….In a state where Muslims have been given the freedom to conduct.” Di dalam “ List of Muslim
Majority Countries” juga dinyatakan bahwa Indonesia adalah Non Religion State bukan Negara Agama. Lihat httpwww. List_of_Muslim_majority_countries.htm
diakses tanggal 7 Desember 2010.
30
Pertentangan-pertentangan hukum Jinayat dengan hukum adat di Indonesia merupakan realita keniscayaan di dalam dunia hukum. Bahkan di antara hukum Islam
itu sendiri juga kerap terjadi pertentangan karena perbedaan penafsiran dari sumbernya na
s}. Terdapat banyak perbedaan metode analogi dan pemahaman masing-masing pakar Fiqh. Pengalaman historis-keindonesian menunjukkan adanya persoalan
penerapan Hukum Pidana Islam Jināyāt yang melahirkan konflik antara golongan
madzhab i dan non-madzhabi. Golongan madh
habī kerab merujuk kitab fiqh imam madhhab yang berisi
al-ah}kam al-‘urufiyah dalam memutuskan perkara, sedangkan golojan non-madhhab tidak bermazhab menarjih zahir nas
} secara langsung dalam pemutusan perkara jinayat dan persoalan hukum lainnya. Belanda ketika menjajah
Indonesia tempo dulu memanfaatkan kondisi untuk melakukan pendekatan konflik, dengan mengadu domba antara golongan adat young people dan golongan
paderigolongan ulama old people pada awal abad ke-18 M. Lihat Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter, 16. Lihat Juga Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa
Majlis ‘Ulama al –Indun
isi: Dirasah fi al-Fikri al-Tashri ‘i al-Islami bi Indunisia 1975-1988 Jakarta: INIS, 1992, 38.
14
Peluang penerepan hukum Islam di Aceh yang dipayungi sejumlah hukum perundang-undangan tersebut, membuat studi ini meninjau
sejauh mana konsep Fiqh Islam dan HAM yang telah direalisasikan dalam pelakasanaan Qanun-qanun tersebut, terutama dalam penanganan
kasus tindak pidana dengan hukuman ‘ uqubat pencambukan.
Pandangan Fiqh terhadap pelaksanan Qanun-qanun tersebut didasarkan pada pendapat sejumlah imam mazhab Fiqh yang
berkembang dalam Islam. Sedankan pandangan hukum HAM akan dinilai dengan sejumlah pasal UDHR dan kesepakatan covenants
HAM dunia, termasuk yang sudah diratifikasi disahkan untuk menjadi Hukum Perundang-undangan RI seperti UU No. 68 Tahun 1998
sebagai tindak lanjut dari Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan CPRW; UU No. 7 Tahun 1984 sebagai tindak lanjut dari
Konvensi
Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan CEDAW; UU No. 5 Tahun 1998 sebagai tindak lanjut dari
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia Toture Convention; dan instrument HAM lainnya yang terkait yang telah diratifikasi Indonesia.
Studi ini mengidentifikasikan masalah-maslah bagaimana Qanun Aceh tersebut mempertimbangkan dampak dari keseluruhan konvensi
HAM tersebut pada penerapan Hukum Jin āyātpenghukuman cambuk
di Aceh. Studi ini juga menyinggung alternatif kebijakan yang ditempuh konsep HAM Islam CDHRI dan UIDHR yang dapat
menghubungkan antara hukum jinayat dengan pandangan peratifikasian UU dari kovenan-kovenan HAM tersebut, mengingat hukum jinayat
bersumber dari hukum agama Islam. Dengan perkataan lain, sejumlah instrument HAM tersebut bersama dengan factor-faktor terkait, akan
menjadi suatu bahan analisa bagi studi ini.
Jadi, studi ini hanya membatasi permasalahan pada pelaksanaan syariat Islam jin
āyāt di Aceh priode Pemerintahan Aceh kontemporer yang menyangkut dengan:
a. Kebijakan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa
Aceh menjadi Naggroe Aceh Darussalam terhadap pengesahan Perda Prov. DI Aceh No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat
15
IslamHukum Jin
āyāt.
31
Penelitian juga menganalisa dampak hukum perundang-undangan tersebut terhadap pengesahan
Qānūn No. 12 Tahun 2003 tentang khamar dan Sejenisnya, Qanun No. 13 Tahun
2003 tentang Perjudian, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwāt
—
yang kerab dikenal dengan Qanun “Jinayat.” b. Realitas perspektif Fiqh Islam dan HAM terhadap pelaksanaan
Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya, Qānūn
No. 13 Tahun 2003 tentang Perjudian, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang K
halwāt c. Konsep-konsep HAM yang berkembang, yakni: UDHR 1948, ICCPR
1966, CAT 1984, CEDAW 1979, UIDHR 1981, CDHR 1990 dalam proses pengimplementasian Hukum Jin
āyāt di Aceh. 2. Perumusan Masalah
Banyak persoalan yang dihadapi Qanun Aceh yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam. Tidak semua persoalan tersebut dapat
dijawab dalam penelitian ini. Studi ini dilakukan hanya dalam rangka menjawab dua pertanyaan, yaitu: Pertama, bagaimana pelaksanaan
hukum Jinayat di Aceh menurut perspektif Fiqh Islam dan HAM ?Kedua, sejauh mana peluang hak otonomi bagi Aceh dalam penerapan Hukum
Jinayat selama pemerintahan Aceh kontemporer?
32
Kedua pertanyaan ini diberi jawaban berdasarkan pelaksanaan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun
2003. C. Tujuan Penelitian
31
Analogi dari term al-Fiqh al-Isl āmī menjadi term Hukum Islam,
sebagaimana dipaparkan Abd. Shomad, maka dari al-fqh al-jin āī—menurut penelitian
ini—juga dapat dijabarkan menjadi term “hukum jinayat” dalam tema besar Penelitian ini. Mukri Ali, dengan mengutip Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Indonesia,
mengatakan bahwa kata “hukum” berasal dari kata Arab al- h}ukm berarti menetapkan
sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Secara bahasa al- h}ukm berarti juga
mempunyai pengertian al- qad}a’ ketetepan dan al-m
āni‘ pencegahan. Lihat Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Cet. 1
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, 25. Lihat juga Mukhtar Ali, Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesisia Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009, 51.
32
Kontemporer artinya: “sezaman, semasa; bersamaan waktu; di waktu yang sama; masa kini dan dewasa ini. Lihat Badu Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, 10.
16
Adapun tujuan penelitian ini adalah sbb: 1. Untuk menguraikan bagaimana perspektif Fiqh dan DUHAM
terhadap Hukum Jinayat Aceh. 2. Untuk menguraikan mengapa Hukum Jinayat diterapkan di
Aceh.
33
3. Untuk menjelaskan
dampak sosio-legal-historis
terhadap pelaksanaan hukum jinayat di Aceh pada zaman kontemporer.
D. Kajian kepustakaan dan penelitian terdahulu yang relevan Terdapat beberapa studi yang telah dilakukan yang berkaitan
dengan studi ini, antara lain: 1. Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of
Indonesia Kanada: McGill University, 1997. 2. Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and
Politics, 3rd Edition Colorado: Westview, 1999. 3. Azyumardi Azra, “Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam,” dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi menuju
33
Tujuan Hukum Islam menurut shara ‘, telah disinggung ‘Abdu al-Qadir
‘ Udah dalam al-Tashri
’ al- Jinā’i, al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānun al-Wad}’ī,
115,yaitu:
ﻦﯿﺤﻟﺎﺼﻟاداﺮﻓﻸﻟ ﻖﻠﺧﻮھءﻰﺷ ﻞﻛ ﻞﺒﻓ ﺔﻌﯾﺮﺸﻟا ﻦﻣ دﻮﺼﻘﻤﻟا ﺎﻤﻧاو ﻟوﺪﻟادﺎﺠﯾاو ،ﺔﺤﻟﺎﺼﻟاﺔﻋﺎﻤﺠﻟاو
ﻰﻟﺎﺜﻤﻟا ﻢﻟﺎﻌﻟاو ،ﺔﯿﻟﺎﺜﻤﻟا ﺔ ٠٠٠
تﺄﺗ ﻢﻟو مﻮﻘﻟ ﻢﻘﺗ وا ،ﺔﻋﺎﻤﺟ نود ﺔﻋﺎﻤﺠﻟ ﺔﻌﯾﺮﺸﻟا
ﺔﻟود نود ﺔﻟوﺪﻟ وا ،مﻮﻗ نود ﺔﻓﺎﻛ سﺎﻨﻠﻟ تءﺎﺟ ﺎﻤﻧا و ،
٠
Dalam rangka merealisasikan tujuan itu, di dalam perkara jinayah, Islam menetapkan
qis}as}, h}add, diyat dan ta‘ zīr, terhadap pelaku kejahatan tertentu. Orang
merasa takut dipotong tangannya bila ia mencuri, merasa takut dideradirajam bila ia berzina, dan merasa takut disalib bila ia memberontak bugwah terhadap imam
pemimpin yang sah. Sehubungan dengan tujuan tersebut; Qanun Aceh juga menetapkan beberapa tujuan, yakni: a. menegakkan Syari‘at Islam dan adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; b. melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan danatau perbuatan yang merusak
kehormatan; c. mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina; d. meningkatkan peran serta masyarakat dalam
mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwatmesum; e. menutup peluang terjadinya kerusakan moral. Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003.
17
Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, Cet. 1 Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2000.
4. Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQueen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah London:
Routledge, 2005. 5. R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic law in
Contemporary Indonesia Ideas and Institution Massechusset: Harvard university Press, 2007.
6. Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam Aceh, 2008. 7. Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar`iyyah dalam System Peradilan
Nasional Jakarta: Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, 2009. Karya pertama, Ratno Lukito menulis bahwa pertemuan antara
hukum adat customary law dan hukum Islam di Indonesia telah terjadi sebelum dan sesudah Indonesia merdeka 1945. Dalam karyanya itu,
Ratno telah membuat pembahasan historis yang mendiskrepsikan proses dan prosedur peradilan jinayah pada Mahkamah Syariyah Aceh.
Karya kedua, Mayer membahas tentang UDHR 1948, dan efeknya terhadap UIDHR 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights
in Islam CDHRI 1990 yang menjadi pelengkap complement bagi penegakan hukum yang berkaitan dengan pelanggaran Hak-hak asasi
manusia menurut konsep Negara-negara Islam dan Umat Islam. Ia juga mengutarakan hukuman
jinayat h}udud dan hubungannya dengan HAM. Karya ketiga, Rusjdi Ali Muhammad dalam karyanya telah
mampu menghimpun sejumlah artikel dari penulis-penulis Indonesia dalam mendukung karyanya yang menyangkut dengan implementsi
syariat Islam di Aceh.
34
Ia juga mengetengahkan tentang adanya pelanggaran HAM yang tidak disidangkan sebagai imbas dari konflik
Aceh 1976-2005. Dalam salah satu artikel yang berjudul “Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam”, Azyumardi Azra
mengatakan bahwa sejarah menyangkut Islam di Nusantara, kesultanan Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia.
34
Azyumardi Azra, “Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam” dalam Rusydi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh;
Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, cet. 1 Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2000, 30.
18
Sebelum muncul kesultanan Aceh, yang paling penting adalah Kerajaan Perlak dan Kesultanan Pase yang keduanya terletak di Ujung Timur Laut
Sumatara. Marcopolo mengunjungi Perlak pada tahumn 1292 memberikan bukti pertama tentang sebuah kesultanan Aceh di Nusantara.
Kesultanan Aceh yang mulanya bukan sebuah kerajaan penting di bagian paling barat laut Sumatra, di bawah kekuasaan Ali Munghayat Syah w.
1530 berhasil mepersatukan bagian kerajaan kecil yang terbelah secara tajam di kawasan utara Sumatra menjelang awal abad ke 16. Pernyataan
Azyumardi Azra tersebut menunjukkan bahwa kerajaan Aceh menerapkan syariat Islam dalam system pemerintahannya secara k
affah menyeluruh.
Karya keempat, Akbarzadeh
35
dan MacQueen
36
mengetengahkan perkembangan hak asasi manusia dan bagaimana harapannya terhadap
kenyataan tentang hak-hak asasi manusia di Indonesia, dan mengetengahkan perbedaan antara konsep HAM Universal antara
persepsi Islam dan persepsi dunia Differences between Islamist and universalist human rights codes. Dalam ungkapan aslinya Akbarzadeh
mengatakan:
“Ada lima perkara utama yang menjadi keberatan pihak Islam terhadap Hak-hak Asasi Manusia Sejagat, sebagaimana
tercantum di dalam naskah-naskah UDHR dan ICCPR, yaitu: 1 hak untuk mengubah agama; 2 hak untuk kawin campur antar
agama, khususnya seorang wanita muslimah untuk mengawini lelaki non-muslim; 3 hak-hak untuk mencampuradukkan di
antara masyarakat beragama; 4 kebebasan untuk mengamalkan ajaran agama atau kepercayaan; dan 5 persamaan gender.
Semua perkara ini sangat dipengaruhi oleh persepsi sejarah Islam dan kepercayaan di bawah ancaman musuh-musuhnya.”
“There are five main areas of Islam’s objection to universalist notions of human rights, as embodied in documents
such as the UDHR and ICCPR. These are: 1 the right to
35
Seorang professor di bidang penelitian tentang keislaaman di Universitas Melbourne, Australia.
36
Seorang penasehat badan penelitian tentang keislaman di Universitas Melbourne, Australia.
19
change religion; 2 the right to inter-religious marriages particularly a Muslim woman marrying a non-Muslim man; 3
the right to proselytize among religious communities; 4 freedom to practice a religion or belief; and 5 gender equality.
All of these have been strongly influenced by the historical perceptions of Islamists and the belief that Islam is under attack
from its foes”.
37
Item ke-4 dan ke-5 dari ungkapan Shahram tersebut agak terkait dengan pelaksanaan Qanun No, 12, 13, dan, 14 Tahun 2003.
Karya kelima, R. Micheal Feener dan Mark E. Cammack telah menghimpun sejumlah artikel yang mengupas tentang hukum perundang-
undangan RI yang terkait dengan pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia. Di dalam sebuah artikel yang berjudul “Sharia Revival in
Aceh,” Tim Lindsey bersama H. B. Hooker, Ross Clarke, dan Jerami Kingsley telah menguraikan peran Dinas Syariat Islam Shari`a Office,
Majlis Permusyawaratan Ulama dalam pecetusan Qanun-Qanun, dan peran Mahkamah Syariyah dan Wilayatul Hisbah di Aceh dalam
merelisasikan Qanun-Qanun Jinayat. Karya keenam, Alyasa‘ Abu Bakar sebagai ketua Dinas
Syariat Islam Aceh periode 2003-2008 membahas tentang syariat Islam Aceh dari berbagai fase pengesahan Undang-undang yang berkaitan
dengan syariat Islam. Ia juga telah memberikan maksud dari Otonomi Khusus dalam aspek Peradilan Islam Mahkamah Syariyah bagi Aceh,
dan di periode kepemimpinannya, tiga Qanun yang berkaitan dengan syariat Islam Jinayat dicetuskan.
Karya ketujuh, Syamsuhadi Irsyad telah mampu membuat uraian tentang peran dan kedudukan Qanun Jinayat dalam system
peradilan nasional. Setelah mengalisa perundang-undangan yang relevan ia menyimpulkan telah ada perkembangan hukum pidana Islam yang
menjadi hukum positif di Indonesia melalui implementasi Qanun di Aceh.
E. Signifikansi Penelitian