188
Punishment  Konvensi  menentang  penyiksaan    dan  perlakuan  atau penghukuman  lain  yang  kejam,  tidak  manusiawi,    atau  merendahkan
martabat  manusia  yang  disepakati  pada  tanggal  9  Desember  1975. Deklarasi  dan  Prograrn  Aksi  Wina  1993  juga  sepakat  antara  lain
menghimbau
negara-negara anggota
PBB untuk
secepatnya mengesahkan  perangkat-perangkat  internasional  yang  sangat  penting  di
bidang hak asasi manusia HAM.
409
Dari  uraian  diatas  dapat  dikatakan  bahwa  dualisme  pemahaman tentang
HAM,—satu pihak
memandang bahwa
penghukuman khalwatzina  di  dalam  Islam  merupakan  pelanggaran  HAM,  sementara
pihak  lain  memandang  sebaliknya—,  berlangsung  hingga  saat  sekarang ini.
4.  Pandangan HAM Islam Perkara gender penting disinggung di sini karena praktek jarimah
khalwat  satu  pelarangan  manusia  bekerja  di  luar  rumah  dan  pencampur adukan  satu tempat antara  laki-laki dan perempuan,  menurut pandangan
Islam,    adalah  agar  terhindar  dari  praktek  khalwattuduhan khalwat.
410
CDHRI  melakukan  penyusunan  draft  HAM  untuk menghindari  pengabaian  hak    yang  sama  berkaitan  dengan    hak,  tanpa
mengabaikan  gender  jenis  kelamin–sebagaimana  diharapkan  di  dalam sebuah  dokumen  yang  disahkan  oleh  negara-negara  Islam  seperti  Iran
dan  Arab  Saudi,  di  mana  diskriminasi  yang  berdasarkan  jenis  kelamin adalah  kebijakan  Negara.  Pada  perumusan  yang  tidak  jelas  evasive,
pasal  6  menyatakan  bahwa  wanita  sama  dengan  laki-laki  dalam  kodrat kemanusiaan human dignity—namun tidak sama dalam hak rights.
Para  pegiat  HAM  Islam  dari  Pakistan  seperti  Abu  al-A’la  al- Maududi dan Tabandeh kerap memberikan komentar tentang persamaan
hak dan kebebasan bagi wanita untuk bergerak dan bekerja di luar rumah sebagaimana yang diungkapkan pasal 19 UDHR 1948. Tabendeh, pegiat
HAM Islam menyatakan pertentangannya terhadap persamaan hak antara laki-laki  dan  perempuan  yang  tercantum  dalam  Pasal  19  UDHR    jika
dimaksudkan bahwa itu merupakan persamaan kodrat antara laki-laki dan
409
Lihat  juga Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,  207.
410
Muhammad  al-Lut}fi  al-Sibag, Tahrim  al-Khalwah  bi  al-Mar’ah  al-
Ajnabiyah wa al-Ikhtilat} al-Mustahtir , 27.
189
perempuan  yang  membuat  mereka  dapat  memilih  tugas-tugas  tertentu dan dalam  membuat keputusan  yang sama. Pandangan  ini disetujui  Abu
A‘la  al-Maududi,  hanya  ia  menyetujui  kebebasan  hak  bagi  perempuan untuk  melakukan  gugatan  cerai  terhadap  suaminya  pada  keadaan-
keadaan yang memungkinkan. Mayer dalam bukunya menulis:
Tabandeh  olso  profess  his  opposition  to  the  notion  of male-female  equality  embodied  in  Article  19  of  UDHR  if  it
meant  that    a  natural  equality  exists  between  men  and  women  , fitting  them  to  undertake  identical  tasks  and  to  make  equal
decision.  …  Unlike  Tabandeh,  …However,  Maududi’s  views  on women are on record in his other writing , and they are similar to
Tabandeh’s,  with  exception  that  Maududi  believed    that  women should be able to sue for divorce on liberal grounds.
411
Dalam  Konteks  ini
Cairo  Declaration  of  Human  Rights  in  Islam
mencantumkan kriteria Islam dalam  menegaskan  hak  kebebasan wanita untuk  bergerak dan kemampuan mereka untuk memilih pekerjaan. Pasal
12
The  Cairo  Declaration  of  Human  Rights  in  Islam
menyatakan  bahwa setiap  orang  akan  memiliki  hak,  di  dalam  kerangka  Sharia  fi
ut}ur  al- shari`a.  Dalam  syariah  Islam  agar  adanya  kebebasan  bergerak  bagi
wanita,  misalnya, harus ada keizinan suami terlebih dahulu.
412
Pasal  13
Cairo  Declaration  of  Human  Rights  in  Islam
juga menyatakan  laki-laki  dan  perempuan  yang  bekerja  dinjurkan  adil  dalam
penerimaan  upah pekerjaan  tanpa diskriminasi  the employee  shall be entitled  without  any  discrimination  between  males  and  females.
Ketentuan  ini  merupakan  sebuah  langkah  yang  positif  karena  tidak menghalangi  restrick  penentuan  lapangan  pekerjaan  yang  menjanjikan
bagi wanita.
413
Pada item yang lain,
The Cairo Declaration of Human Rights
411
Ann Elizabeth Mayer,  Islam and Human Rights Tradition and Politics, 102- 104.
412
Pasal  12  CDHRI  menyatakan:  Every  man  shall  have  the  right,  within  the framework  of  the  Shariah,  to  free  movement  and  to  select  his  place  of  residence
whether  within  or  outside  his  country  and  if  persecuted,  is  entitled  to  seek  asylum  in another  country.  The  country  of  refuge  shall  be  obliged  to  provide  protection  to  the
asylum-seeker  until  his  safety  has  been  attained,  unless  asylum  is  motivated  by committing an act regarded by the Shariah as a crime.
413
Lihat Pasal 13 CDHRI 1990.
190 in  Islam
menyatakan  juga  bahwa  setiap  orang  bebas  memilih  pekerjaan, dan  orang  tersebut  tidak  boleh  bekerja  di  luar  kapasitasnya.  Ketentuan
inilah  yang  mengeluarkan  perempuan  dari  bekerja  pada  wilayah  yang tidak  sesuai  bagi  mereka.  Hal  ini  kontradiktif  dengan  UDHR  pasal  23
ayat  1,  yang  menjamin  setiap  orang  memiliki  hak  untuk  bekerja  dan bebas  memilih pekerjaan, dan pasal 6 dari ICESCR, yang menjamin hak
bagi  setiap  orang  untuk  memperoleh  penghidupan  dengan  bekerja  yang dipilih secara bebas dan diinginkan.
Pasal  23
The  Cairo  Declaration  of  Human  Rights  in  Islam
juga menetapkan  bahwa  sharia  menentukan  hak  untuk  mengambil  kantor
publik,  yang  dijadikan  pegawai  berdasarkan  pengendalian  perempuan untuk berpartisipasi  dari kantor-kantor pemerintahan.
Ann Elizabeth Mayer menganggap bahwa konsep Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia menurut Islam Cairo Declaration of Human
Rights  in  Islam    ini  merupakan  salinan  Pasal    19  and  20  dari  ICCPR, yang  menangani  aspek  peradilan  kejahatan.  Hukum  shari‘ah  diakui
memiliki  perkembangan  sejarah    yang  menyangkut  dengan  penanganan prosedur  kejahatan  sampai  saat  sekarang  ini.  Hukum  Islam  pernah
ditinggalkan    pada  banyak  Negara  dan  digantikan  oleh    hukum perundang-undangan  tindak  pidana  yang  ditetapkan  Barat  Western
provenance.  Hukum  Islam  bukan  merupakan  sebuah  aspek  dari ketentuan  Islam  yang  menganjurkan  banyak  pertimbangan  atau
menghambat system peradilan modern. Di antara pernyataan Mayer yang penting dikutip adalah:
“Islamic rules on criminal procedure are not a facet of the Islamic  legacy  that  has  commanded  much  loyalty  or  that  has
constituted  a  serious  obstacle  to  the  modernization  of  criminal justice.”
414
“This  fact  makes  it  difficult  for  some  to  argue  that  the decision  to  omit  from  the  Cairo  declaration  the  safeguards  of
414
Ann Elizabeth Mayer,  Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16.
191
articles  9
415
and  14
416
of  the  ICCPR  was  “compelled  by  a generally  accepted  view  of  which  elements  in  the  Islamic  legal
legacy  deserve  high  priority.”  Article  19  b
417
of  the  Cairo Declaration states that the right “to resort to justice is guaranteed
to  everyone.”  This  formulation  is  regarded  as  fragile,  since  the declaration  gives  insufficient  guarantee    that this  right  “to  resort
justice  includes  a  fair  hearing  with  safeguard  for  both  civil  and criminal  litigants  according  to  the  rights  provided  under
415
Article 9 of ICCPR: 1  Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected
to  arbitrary  arrest  or  detention.  No  one  shall  be  deprived  of  his  liberty  except  on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.
2  Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him.
3  Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before a  judge  or  other  officer  authorized  by  law  to  exercise  judicial  power  and  shall  be
entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject
to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for execution of the judgement.
4  Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the
lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful.
5
Anyone  who  has  been  the  victim  of  unlawful  arrest  or  detention  shall  have  an enforceable right to compensation.
416
Article  14  of  ICCPR:  All  persons  shall  be  equal  before  the  courts  and tribunals. In the determination of any criminal charge against him, or of his rights and
obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent,  independent  and  impartial  tribunal  established  by  law.  The  press  and  the
public may  be excluded  from all or part of a trial for reasons of morals, public order ordre public or national security in a democratic society, or when the interest of the
private lives of the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion of the court in special circumstances where publicity  would prejudice the interests of
justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made public  except  where  the  interest  of  juvenile  persons  otherwise  requires  or  the
proceedings concern matrimonial disputes or the guardianship of children.
417
Everyone  shall  have  the  right  to  freedom  of  expression;  this  right  shall include  freedom  to  seek,  receive  and  impart  information  and  ideas  of  all  kinds,
regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice
192
international  law.”  In  addition,  article  19  d
418
states  that  “there shall  be  no  crime  of  punishment  except  as  provided  for  in  the
Shari‘ah.”
419
Mayer  juga  mengakui  bahwa  Pasal  19  dari  CDHRI  1990 bertentangan dengan Pasal 15
420
ICCPR. Menurutnya, pada hukum Islam masa  lampau,  tidak  ada  prinsip  suatu  tindakan  harus  diartikan  sebagai
suatu  kejahatan  di  dalam  naskah  hukum  yang  mendasari  tuntutan hukuman.  Bahkan  pada  ketentuan  pasal  19  CDHRI  dinyatakan
seharusnya tidak ada  hukuman kejahatan kecuali yang ditetapkan syariah yang  memberikan  peluang  untuk  pengaduan  pada  kebijakan  hukuman
ta‘z
ir,  di  mana  hakim  dapat  menaksirkan  memperkirakan  hukuman sesuai  dengan  pertimbangan  kondisi  individu  pelaku  terhadap  apa  yang
melatar belakangi suatu tindakan kriminal yang dilakukan seseorang dan kukuman  apa  yang  cocok  dijatuhkan  kepadanya.  Kebijakan  peradilan
demikian,  apakah  dalam  kategori  ta‘z ir  atau  lainnya,  adalah  secara
mendalam  dipertimbangkan  ingrained  di  dalam  system  hukum  di negara  muslim  seperti  Saudi  Arabia,  di  mana  sedikit  atau  banyaknya
dari  kodifikasi  hukum  maupun  kewenangan  pemerintah  dapat menentukan ruang lingkup dari hukum-hukum yang memberikan makna
bahwa  perhatian  lanjutan  tentang  tindakan  apa  dan  sikap  apa  yang  bisa dikategorikan  kejahatan  dan  hukuman  apa  yang  ditetapkan,  tidak
418
Pasal  Article  19  of  CDHRI:  a  All  individuals  are  equal  before  the  law, without distinction between the ruler and the ruled; b The right to resort to justice is
guaranteed to everyone; c Liability is in essence personal;  dan d There shall be no crime or punishment except as provided for in the Shariah.
419
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16.
420
Article 15 of ICCPR:
1
No  one  shall  be  held  guilty  of  any  criminal  offence  on  account  of  any  act  or omission  which  did  not  constitute  a  criminal  offence,  under  national  or
international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time when the criminal offence was
committed.  If,  subsequent  to  the  commission  of  the  offece,  provision  is  made  by law for the imposition of the lighter penalty, the offender shall benefit thereby; dan
2
Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according
to the general principles of law recognized by the community of nations.
193
diberikan  wewenang  kepada  publik.  Bahkan  kewengan  pertimbangan penetapan  hukuman  oleh  penguasa,  menurut  Mayer  juga,  adalah  tidak
hanya pada ta‘z ir namun juga pada h}add. Meyer mengatakan:
“The principle set forth in article 19 b
421
of the ICCPR, as  already  noted,  allows  the  shari‘ah  to  determine  crimes  and
punishments the h}add  penalties.”
422
Selain  Saudi  yang  dikatakan  Mayer  di  atas,  Iran  juga  merupakan salah satu Negara Islam  yang  memiliki prinsip  yang sama, sebagaimana
digambarkan  David Littman:
“Iran  had  reached  the  conclusion  that  those  two instruments  were  compatible  with  Islamic  law.  …  Discrepencies
… between domestic  legislation and the Covenant should  not be exaggerated. … Those differences could be overcome and a better
understanding  of  Islam,  of  Islamic  law  and  of  international  law achieved  only  by  means  of  dialogue  approached  with  an  open
mind.”
423
Terkait  dengan  Hukum  Islam  dan    HAM,  Mayer  juga menyatakan  bahwa  berusaha  memaksakan  syariah  sudah  didukung  oleh
421
For  the  protection  of  national  security  or  of  public  order  ordre  public,  or  of public health or morals.
422
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 29.
423
David Littman,   “Universal Human Rights and Human Rights in Islam,  The Journal Midstream New York,  FebruaryMarch 1999, 8.
194
kontrovesi, kekerasan, dan bahkan pertempuran perang sipil Sudan yang kedua berkaitan dengan perselisihan  anatara syariah dan konsep hak–hak
asasi manusia khususnya yang berhubungan dengan hak-hak wanita  dan non-muslim.  Aspek  hukum  yang  diperjuangkan  dari  syariah  meliputi
pembuatan  qanun  hukuman
h}udu}d  seperti  pemotongan  tangan,  rajam, pencambukan,
dan hukuman
pancung
—
beheading. Pelarangan-
pelarangan  syariah  tentang  pencemaran  nama  baik  qazaf    dan  riddah apostasy  juga  dikecualikan  dari  konsep  kebebasan  beragama  yang
dikenal secara internasional.
424
Menurut Islam, Hukum Islam tidak kejam karena  menganut  praduga  tak  bersalah  sebagaimana  yang  di  amanatkan
UDHR juga Pasal 11 ayat—1.
425
Dengan demikian  bukan semua pasal- pasal  UDHR  ditolak  oleh  Islam,  maka  tidak  mustahil  bila  Negara
anggota OKI
seperti Indonesia
juga ikut
terlibat dalam
penandatanganan sejumlah kesepakatan HAM  dengan dunia. Setiap  negara  terikat  dengan  Kovenan  Internasional  tentang  Hak
Sipil  dan  Politik  wajib  melindungi  penduduknya  dari  memiliki  hak-hak mereka  dilanggar.  Perjanjian  ini  berlaku  untuk  setiap  makhluk  hidup
manusia  di  negara  di  bawah  perjanjian  tanpa  memandang  usia,  jenis kelamin atau ras. Komite Hak Asasi Manusia didirikan pada tahun 1977
424
Dikakatakan  Mayer  juga  bahwa  pihak  publik  kadang  kala  keliru  dalam memahami  tentang  adanya  pelanggaran  hak  asasi  bila  hakimqadi  menghukum  mati
orang murtad. Hukum spesifik tidak berlaku secara global. Kita tidak boleh mengatakan Sudan melanggar HAM karena menghukum mati orang murtad. Tetapi lebih layak kita
katakan  Sudan,  mungkin,  belum  melaksanakan  hukum  Islam  secara  benar  menurut kaidah hukum  Islam  dunia.  Karena murtad  yang  di  suruh hukum mati  oleh  Nabi  Saw
adalah  murtad  dalam  kategori  pengkhianatan.  Yakni  Nabi  Saw  mengkhawatirkan  bila ada  orang  Islam  keluar  dari  agamanya  kemudian  masuk  ke  agama  lain  yang  sedang
memusuhi Islam pada saat itu, ia akan membocorkan rahasia-rahasia kenegaraan Islam Madinah kepada musuh. Di samping menjadi profokator yang mempengaruhi muslim
lainnya untuk ikut-ikutan keluar dari Islam. Murtad demikian jelas lebih terkait dengan tindak  pidana  pengkhianatan  yang  merngancam  keutuhan  hukum  Islam  dalam
keseharian  masyrakat  yang  telah  susah  payah  ditegakkkan  Nabi  Saw  dalam  proses pengubahan  umat  dari  tradisi  dan    kondisi    kejahiliahan  menjadi  Islam.  Lihat  Ann
Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 29.
425
Pasal 11 Ayat 1 dikatakan: “Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana  berhak  untuk  dianggap  tidak  bersalah  sampai  dibuktikan  kesalahannya  sesuai
dengan hukum, dalam pengadilan yang terbuka, di mana ia memperoleh semua jaminan yang dibutuhkan untuk pembelaannya”.
195
untuk  memantau  negara  pihak  yang  menyangkut  dengan    tindakan mereka yang berkaitan dengan perjanjian.
Cairo  Declaration1990  memnyetujui  penerapan    hukum  Islam menurut  kondisi  receptive  negara  tertentu  dan  komunitas  masyarakat
yang  bersangkutan.  Negara  Islam  tidak  terhalang  untuk  menerapkan hukum  pidana  bagi  pelaku  riddah,    rajam  bagi  penzina
muh}s}an  yang sudah    menikah,  buqwah  pemberontakan,    dan  kawin  campur  antara
penganut  agama  yang  berbeda  yang  dikatakan  oleh  UDHR  bahwa kebebesan  tersebut    sebagai  hak  dasar  manusia  yang  tidak  boleh
ditafsirkan  lagi  pasal  30.  Fenomena  ini  ditanggapi  Cairo  Declaration dengan    mengatakan  bahwa  Islam  masih  masih  membuka  penafsiran
menurut  syariat  Islam  tentang  pelaksanaan  hukum  Islam  jika  memang memerlukan  penafsiran  naș  pasal  25,  yang  membolehkan  para  pakar
madhhab  untuk
melakukan istinbāt}  penggalian  hukum  dan
penerapannya.
426
Martino  Sardi,  seorang  pakar    HAM  dari    Komnas  HAM  RI, mengatakan  bahwa  melanggar  HAM  seseorang  bertentangan  dengan
hukum  yang  berlaku  di  Indonesia.  Hak  asasi  manusia  memiliki  wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu
Komnas  HAM.  Kasus  pelanggaran  HAM  di  Indonesia  memang  masih banyak  yang  belum  tuntas  sehingga  diharapkan  perkembangan  dunia
HAM  di  Indonesia  dapat  terwujud  ke  arah  yang  lebih  baik.  HAM  juga bervariasibermacam-macam  sebagaimana  yang  ditetapkan  Perserikatan
Bangsa-bangsa  PBB.  PBB  pada  tanggal  10  Desember  1948 memproklamasikan deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
427
Tabel 4.3: Kesesuaian dan Ketidaksesuaian antara Qanun Khalwat dengan Ketentuan HAM
426
Lihat    Pasal  25 Cairo  Declaration yang berbunyi: “The  Islamic  Shariah  is
the only Source of Reference for the Explanation or Clarification of any of the Articles of this Declaration”.
427
Martino  Sardi,  “
Macam-macam  Hak-hak  Asasi  Manusia
,”  Komnas HAM,  14 Mei  2010, 5.
196
N o
Pelaku tindak
pidanajari- mah
Hukuman dan Kesesuaiannya dengan HAM Hukuman
Perspektif HAM
Ta‘z ir
cam- buk
Ta‘z ir
kuru- ngan
Ta‘z ir
denda
U D
H R
I C
C P
R C
E D
A
W C
A T
U I
D H
R C
D H
R
I
H RW
K o
m n
as P
r. A
ly as
a` A
B
K om
na s P
r.
A ly
as a`
A B
M .H
.S y
ed
1 Pelaku
mesum 3-9
kali -
2,5-10 juta
rupiah Ts
Ts
Ts Ss
Ts Ss
Ss Ss
2 Penyedia
fasilitas -
2-6 bulan
5-15 juta
Ss Ss
Ts Ss
Ss Ss
Ss Ss
3 Pelindung
- Sda
Sda Ss
Ss
Ts Ss
Ss Ss
Ss Ss
4 Promotor
- Sda
Sda Ss
Ss
Ts ss
Ss Ss
Ss Ss
5 Pemberi
izin -
Sda Sda
Ss Ss
Ts Ss
Ss Ss
Ss Ss
Catatan: Bentuk  jarimah  tindak  pidana:  melakukan  mesum,  menyediakan  fasilitas,
mempromosikan, dan memberikan izin.
Tabel 4.3. menunjukkan bahwa Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003  terdapat  beberapa  perbedaan  pendapat  pakar  bila  dihubungkan
dengan  perspektif  HAM.  UDHR  The  Universal  Declaration  of  Human Rights menyatakakan bahwa hukum cambuk 3-9 kali bagi atau denda 2,
5 -10  juta bagi pelaku khalwat bertentangan dengan HAM. ICCPR  juga mensinyalisasi  bahwa  Qanun  ini  bertentangan  dengan  kebebasan--yang
berjenis  kelamin  laki-laki  ataupun    perempuan.  Adapun  menurut pandangan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against  Women,  yang  dipahami    Alyasa,  bahwa  Qanun  khalwat  tidak
197
bertentangan  dengan  Convention  on  the  Elimination  of  All  Forms  of Discrimination  Against  Women.  Sementara  menurut  HRW  dan  Komnas
Perempuan mengakui adanya kontradiksi antara  Qanun ini dengan salah satu konvensi HAM ini.
Selain  itu,  Committee  Against  Torture  yang  dipahami  Alyasa tidak  bertentangan  dengan  hukum  cambuk.  Sementara  yang  dipahami
oleh  Komnas  Perempuaan  bahwa  pencambukan  3-9  kali  bagi  pelaku khalwat bertentangan dengan Committee Against Torture.
Selain  konsep  HAM  dunia  dan  kovenannya  yang  terkait  tengan dampak  pelaksanaan  hukuman  khalwat  di  Aceh,  table  4.3  juga
menunjukkan  bahwa  Deklasi  Kairo  dan  Deklarasi  HAM  Islam  di  Eropa menyatakan  bahwa  hukum  cambuk  atau  denda  atas  pelaku  khalwat  dan
hukuman kurungan dan denda antara 5-15 juta bagi penyedia fasilitas dan pemberi  izin  adalah  tidak  bertentangan  dengan  HAM.  Karena  praktek
khalwat  antara  laki-dan  perempuan  yang  bukan  muhrim    adalah perbuatan  sangat  dilarang  dalam  Islam.  Dalam  hal  ini  pencambukan,
kurungan,  dan  denda  merupakan  suatu  hukuman  ta‘
zir yang dibolehkan bagi  pemerintah  kaum  muslimin  untuk  melakukan  pencegahan.
Dikatakan Anwarullah,  menurut  Islam,  hukuman  ta‘
zir  bisa    berupa cambuk,  penahanan,  banishment pencekalan,  denda,  hukuman mati,
danatau  hukuman  lainnya.
428
Abdu    al-Qadir  ‘Udah  juga  telah memaknai “ta‘
zir” dengan pengertian yang senada dengan.
429
428
Lihat Anwarullah, The Crime Law of Islam, 241-263. Lihat juga Feener, R. Michael, Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institution, 211.
429
‘Abdu  al-Qadir ‘Udah—di dalam al- Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāranan
bi al- Qānūn al-Wad}’ī, 154—menulis:
،ﺭﺍﺬﻧ ﻻﺍﻭ ﺓﲑﻄﳋﺍ ﺢﺼﻨﻟﺎﻛ ﺕﺎﺑﻮﻘﻌﻟﺍ ﻪﻔﺗﺄﺑ ﺃﺪﺒﺗ ،ﺓﺭﺪﻘﳌﺍ ﲑﻏ ﺕﺎﺑﻮﻘﻌﻟﺍ ﻦﻣ ﺔﻋﻮﻤﳎ ﻰﻫ ﺮﻳﺯ ﺎﻐﺘﻟﺍﻭ ﻥﺃ ﻰﺿﺎﻘﻠﻟ ﻙﺮﺘﻳﻭ ،ﺓﲑﻄﳋﺍ ﻢﺋﺍﺮﳉﺍ ﰱ ﻞﺘﻘﻠﻟ ﻞﺼﺗ ﺪﻗ ﻞﺑ ،ﺪﻠﳉﺍﻭ ﺲﺒﳊﺎﻛ ﺕﺎﺑﻮﻘﻌﻟﺍ ﺪﺷﺄﺑ ﻰﻬﺘﻨﺗ ﻭ
ﺴﻔﻧ ﻭ ﻡﺮﺍ ﻝﺎﳊ ﻭ ﺔﳝﺮﺠﻠﻟ ﺔﻤﺋﻼﳌﺍ ﺔﺑﻮﻘﻌﻟﺎﻬﻨﻴﺑ ﻦﻣ ﺭﺎﺘﳜ ﻪﻘﺑﺍﻮﺳ ﻭ ﻪﺘﻴ
198
Dengan demikian
baik hukuman
ta‘ zir  discretionary
punishments  maupun h}add  seperti  yang  hanya  berlaku  bagi  pelaku
khamar dan khalwat dalam Qanun Aceh  merupakan hukuman jinaiyah
yang  terdapat  di  dalam  fiqh  Islam.
430
Sedangkan  hukuman jinaiyah
lainnya seperti  hukuman terhadap pelaku riddah keluar dari Islam dan rajam,  Qanun  juga  masih  belum  dapat  menegakkan
h}add  dan  ta‘zir. Perkara  riddah  hanya  disingung  dan  diatur    dalam      Qanun  tentang
pendangkalan aqidah, dan Pergub No. 16 Tahun  2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama.
431
Komisi  Nasional  Hak  Asasi  Manusia  Komnas  HAM  yang dikukuhkan    oleh  UU  No.  39  Tahun  1999  tentang  Hak  Asasi  Manusia
bertujuan  mengembangkan  kondisi  yang  kondusif  bagi  pelaksanaan HAM  sesuai  dengan  Pancasila,  Undang-Undang  Dasar  UUD  1945,
Piagam  Perserikatan  Bangsa-Bangsa  PBB,  dan  Deklarasi  Universal
“
Ta’zir  merupakan  kumpulan  dari  hukuman-hukuman  uqubat yang tidak ditentukan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah mulai dari hukuman
yang paling ringan seperti dengan cara menasehati pelaku pelanggaran tentang bahaya dari pelanggaran, dengan cara  memberikan  peringatan, sampai dengan
hukuman nyang lebih keras seperti kurungan penjara, dera cambuk. Bahkan hukuman  ta‘
zir  sampai  dengan  kategori  hukuman  bunuh  mati  pada  kasus
kriminal  yang  sangat  berbahaya  yang  dilakukan  pelaku.  Terhadap penghukuman  ta’zir  ini  terserah  kepada  qadi  hakim  untuk  memilih  di  antara
hukuman-hukuman  yang  sesuai  bagi  tingkat  pelangggaran  kejahatan  yang sesuai  dengan  kondisi  keadaan  pelaku  kejahatan  dengan  meninjau  pada
kepribadian  pelaku  dan  melihat    pada  kejahatan-kejahatan  sebelumnya  yang telah ia lakukan.”  Lihat
‘Abdu  al-Qadir ‘Udah, al- Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī
Muqāranan bi al-Qānūn al-Wad}’ī, 154.
430
Lihat juga Abd al-Q ādīr ‘Udah,  al-Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāranan
bi al- Qānūn al-Wad}’ī, 556. Lihat juga Ah}mad Fathi Bahansi, al-Siyasah al-Jinaiyah fi
al-Shariah al Islamiyah Bairut, 1983, 279.
431
Penerapan syariat Islam kontemporer di Aceh dimulai  sejak 1 Muharram 1423 H. Perda DI Aceh No. 5 tahun 2000 Bab I pasal 4 ayat 3 yang berbunyi:   “Setiap
warga Negara RI atau siapapun yang bertempat tinggal atau singgah di Daerah Istimewa Aceh, wajib menghormati pelaksanaan Syariat Islam di daerah.”Lihat juga Qanun No.
11 Tahun 2002 Pasal 11.
199
HAM DUHAM serta meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna  berkembangnya  pribadi  manusia  Indonesia  seutuhnya  dan
kemampuan  berpartisipasi  dalam  berbagai  bidang  kehidupan.
432
Indonesia  telah  ikut  menyetujui    Deklarasi  UDHR  tahun    1948  yang dipaparkan  Majlis  Umum  PBB.  Meskipun    deklarasi  bukan  merupakan
hukum, namun  Indonesia memiliki tanggung jawab moral dalam rangka mengahargai dan menghormati hak-hak asasi manusia di dunia.
433
UUD  1945  menetapkan  bahwa  perlindungan,  pemajuan, penegakan,  dan  pemenuhan  HAM  adalah  tanggung  jawab  negara,
terutama  Pemerintah.  Ketetapan  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat MPR  nomor  XVIIMPR1998  dan  Pasal  71  dan  Pasal  72  UU  No.  39
Tahun  1999  juga  menetapkan  bahwa  perlindungan,  pemajuan, penegakan,  dan  pemenuhan  HAM  terutama  menjadi  tanggung  jawab
Pemerintah. Tap MPR No. XVIIMPR1998  juga  menugaskan  lembaga- lembaga  negara  dan  seluruh  Aparatur  Pemerintah  untuk  menghormati,
menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh  masyarakat.  Hak  setiap  orang,  kelompok,  organisasi  politik,
organisasi  masyarakat,  lembaga  swadaya  masyarakat,  atau  lembaga kemasyarakatan  lainnya  untuk  berpartisipasi  dalam  perlindungan,
penegakan, dan pemajuan HAM diakui oleh UU No. 39 Tahun 1999.
Penerapan  hukum  Jinayat  secara  keseluruhan    di  Indonesia memang  berlawan  dengan  ideologi  Negara  Pancasila.  Karena  hukum
jinayat identik dengan hukum Islam, sementara Indonesia  bukan Negara muslim,  namun  memiliki  falsafah  tersendiri  dalam  pengamalan  ajaran
agama.    Meskipun  berbeda  dengan  Iran,  Pakistan,  Arab  Saudi,  dll, peluang  Indonesia  dalam  mejalankan  syariat  besar  karena  termasuk  ke
dalam  salah  satu  dari  59  Negara-negara  Organisasi  Koperensi  Islam OKI  yang  berdiri  tahun  1949.  Dengan  demikian  berbagai  event
konferensi yang menyangkut dengan kepentingan Islam Indonesia telah
432
Bernard  Lewis,  Islam  and  The  West  New  York:  Oxford  University Press, 1993, 112.
433
Mohd.  Mahfud  MD,  Membangun  Politik  Hukum,  Menegakkan  Konstitusi, 200.
200
berperan  serta.  Indonesia  telah  bersedia  menanda  tangangi  Deklarasi Kairo    Tahun  1990  yang  diprakarsai  Negara  Negara  Organisasi
Koperensi  Islam,  yang  membahas  tentang    Hak-hak  Asasi  Manusia berdasarkan  Islam.  Salah  satu  Negara  OKI,  Pakistan,  yang  merupakan
salah  satu  Negara  Islam  dan  Organisasi  Koperensi  Islam,  pernah mengatakan  bahwa  HAM  Islami  UIDHR
dan  CDHRI  merupakan pelengkap  komplementer  bagi  the  Universal  Declaration  of  Human
Rights Deklarasi Sejagat Hak-hak Asasi Manusia 1948. Di  Aceh,  upaya-upaya  penerapan
h}add  yang  bersumber  dari Kitab  Allah dan Sunnah Nabi Saw bagi tindak pidana zina  juga pernah
diusahakan  di  Aceh,  seperti  adanya  upaya  pengqanunanperancangan qanun
h}add rajam dan 100 kali dera yang telah disahkan DPRA periode 2004-2009. Rancangan Qanun ini  telah diusulkan pengesahannya kepada
gubernur Aceh.
434
Rancangan Qanun ini tidak dapat dilaksanakan secara positif karena belum adanya pengesahan gubernur, bahkan masih terjadi
pro-kontra di kalangan masyrakat hingga saat sekarang ini. Pihak  pro,  Fron  Pembela  Islam  FPI  Aceh  menyatakan,  Qanun
Jinayat rajam dan Hukum  Acara  Jinayat  yang  disahakan pada tanggal 14  Oktober  2009  lalu  oleh  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Aceh  DPRA
periode  2004  -  2009,  sudah  sepantasnya  diterapkan  di  Aceh.  Hal  itu ditegaskan  Ketua  Fron  Pembela  Islam  Aceh,  Yusuf  al-Qardhawi.  Yusuf
al-Qardhawi  melanjutkan,  jika  alasan  Gubernur  Aceh,  Irwandi  Yusuf tidak  menandatangani  Qanun  ini dengan alasan  masyarakat Aceh  belum
siap,  maka  sampai  kapanpun  bahkan  hingga  dunia  kiamat  tidak  akan pernah  siap.  Diakatakannya  juga,  Qanun  yang  mengatur  tindak  pidana
menurut  Islam  itu  sangat  bagus  diterapkan  di  Aceh  yang  memang menerapkan
syariat Islam.
Namun demikian
tentunya harus
disosialisasikan terlebih dahulu kepada  seluruh  masyarakat Aceh. Yusuf juga menuturkan bahwa semua keputusan akhir untuk menerapkan qanun
434
Selain rancangan qanun rajam usulan DPRA pada tahun 2009, pada tahun 2006  juga  pernah  ada  rancangan  Qanun  usulan  gubernur  tentang
h}add  pencurian  al- sirqah  yakni  Rancangan  Qanun  Prov.  NAD  Tanggal  13  Desember  2006  tentang
Pencurian,  namun  kedua  Qanun  ini  masih  dalam  bentuk  rancangan.  H{add  qazaf penuduhan  zina  seseorang  tanpa  bukti  juga  pernah    dicantumkan  dalam  rancangan
KHJA Tahun 2008. Lihat  Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa. …………………
201
ini  ada  di  tangan  pemerintahan  Irwandi-Nazar,  yang  hingga  kini  belum juga  ditandatangani  dengan  alasan  ada  sejumlah  poin  dalam  qanun  ini
tidak sesuai, dan perlu pengayaan materi lebih dalam lagi.
Sedangkan  pihak  yang  kontra,    Presiden  Badan  Eksekutif Mahasiswa  BEMA  IAIN  Ar-Raniry,  Herri  Maulizar  mengatakan,
keputusan  Gubernur  dan  DPRA  periode  2009  -  2012  untuk  menunda implementasi  qanun  jinayat  rajam  dan  qanun  hukum  acara  jinayat
sudah  tepat.  Herri  menandaskan,  Qanun  ini  harus  dikaji  kembali  secara mendalam,  karena  substansi  di  dalamnya  tidak  jelas  dan  saling
bertentangan. Dia menilai Qanun Peninggalan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh  DPRA  periode  lalu  adalah  produk  gagal,  dan  perlu  dikaji
kembali.  Pendapat  senada  juga  disampaikan  oleh  Ketua  Pelajar  Islam Indonesia  PII  kota  Banda  Aceh,  Yusri.  Yusri  mengatakan  walaupun
banyak  ormas  Islam  seperti  Fron  Pembela  Islam,  Kesatuan  Aksi Mahasiswa  Muslim  Indonesia  KAMMI,  dan  para  santri  mendesak
DPRA dan Gubernur untuk segera mengimplementasikan Qanun Jinayat, PII malah sebaliknya.
435
Dengan  demikian,  ketiga  Qanun  yang  membahas  tentang pelaksanaan Hukuman  Jinayat  di  Aceh terhadap pelaku  tindak pidana
khamar, judi dan khalwat menurut Perspektif HAM, akan menghasilkan kesimpulan yang  disusun berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip
HAM:  1  The  Universal  Declaration  of  Human  Rights  UDHR  1948; International  Covenants  on  Civil  and  Politics  Rights  ICCPR  1966,
Convention against Torture CAT 1984; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women CEDAW 1979,   Cairo
Declaration  of  Human  Rights  in  Islam  CDHRI  1990,  dan    Universal Islamic Declaration of Human Rights UIDHR 1981.
435
www.mahkamahsyariyahaceh.go.id , diakses 5 Mei 2010.
202
A.  KESIMPULAN Penerapan Hukum Pidana Islam Jinayat  di Aceh dalam konteks
keindonesiaan  tidak  terlepas  dari  dampak  latar  belakang  penerapan syariat Islam dalam sosio-historis masyarakat Aceh. Sejak pra-penjajahan
1903  dan  awal  kemerdekaan  1945  masyarakat  Aceh    telah  memiliki kecenderungan  untuk  menerapkan  syariat  Islam  dengan  pembentukan
Lembaga  Qad
a’  Mah}kamah  Shariyah  untuk  peneyelesaian  persoalan hukum  sehari-hari,  meskipun  banyak  rintangan,  seperti  terhalang
peleburan  Aceh  menjadi  provinsi  Sumatra  Utara  sebelum  pengesahan UU No. 24 Tahun 1956. Namun setelah provinsi  Aceh terbentuk,  Aceh
kembali berupaya memperjuangkan penegakan syariat Islam. UU No.  44 Tahun  1999,    UU  No.  18  Tahun  2001  dan  UU  No.    11  Tahun  2006,
merupakan  aplikasi  upaya  tersebut,  yang  merefleksikan  qanun-qanun Aceh  yang  menyangkut  dengan  pelaksanaan  syariat  Islam,  termasuk
Qanun  No.  12,  13,  dan  14  Tahun  2003  yang  mengatur    tentang  aturan pelaksanaan  Hukum  Jinayat  yang  telah  berlangsung  hingga    saat
sekarang ini.
Penelitian  ini  berkisar pada konsep dan penerapan Hukum Islam yang  terkandung  dalan  ketiga  Qanun  tentang  “
Jinayah”  terbut  melalui hasil  studi  kepustakaan  dan  studi  pada  dokomen-dokumen  kasus  tindak
pidana  yang  terjadi  terutama  yang  dipublikasikan  media  massa. Pelaksanaan  Hukum  Jinayat  di  Aceh  sebagian  besar  telah  berjalan
sebagaimana yang diqanunkan.
Implementasi  Hukum  Jinayat  yang  berupa  pencambukan  baik dalam  kategori
h}udud  maupun  ta‘zir  terhadap  pelaku  tindak  pidana khamar, judi, dan mesum yang disahkan  Qanun berlangsung berdasarkan
kasus  yang  diajukan  masyarakat,  hasil  penyelidikan  opsporing  Pihak Wilayatul  Hisbah,  danatau    temuan  pihak  terkait  lainnya.  Penerapan
BAB
PENUTUP 5
203
hukum  ini  memang  kerap  mengundang    perdebatan.  Perdebatan disebabkan  kompleksitas—pemahamanpandangan  para  pakar—Hukum
Islam  dan  HAM.  Pelaksanaan  ketiga  Qanun  tersebut  didasari  perspektif fiqh, meskipun masih memerlukan penyesuaiantinjauan lanjutan, kerena
pelaksanaan  Hukum  Pidana  Islam
Jinayah  ini  berada  dalam  lingkup pelaksanan  Hak  Otonomi  Khusus  bagi  Aceh  dan  perundang-undangan
lainnya yang berlaku di Indonesia. Perdebatan  pro  dan  kontra  yang  menyangkut  dengan
pelaksanaan  Qanun  merupakan  konsekwensi  suatu  produk  hukum, sebagaimana  hukum  perundang-undangan  lainnya  juga,  Namun  ketiga
Qanun tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Ketiga qanun ini dijalankan Mahkamah Syariya dan Mahkamah Syariyah KabupatenKota
menurut  kemampuan  penguasapenegak  hukum  di  masing-masing mahkamah sesuai dengan keadaan pelaku dan tempat  kejadian perkara.
Banyak pakar hukum yang mengatakan, pelanggaran HAM tidak dapat  dihindari  bila  benar-benar  menerapkan  hukum  Islam  terutama
h}udud,  disebabkan  hukum  Islam  ditegakkan  berlandaskan  kandungan Wahyu  Allah  yang  diinterpretasikan  oleh  Nabi  Saw  dalam  hidup  dan
kehidupan  beliau.  Namun  pakar  muslim  mengatakan  bahwa  pelaku tindak pidana telah terlebih  melanggar hak  Allah, hak  manusia, dan  hak
individu  sendiri,  sebagaimana  dikatakan  Al-Hageel,  D.Y.  Witanto    dan Hasanuddin.
Pelaksanaan Qanun jinayat dan kesesuaiannya menurut perspektif Fiqh  terlihat  pada  lampiran  table  3.2,  3.4  dan  3.6.  Tabel  tersebut
menunjukkan  bahwa  ketiga  qanun  tersebut  menunjukkan  bahwa  hukum jinayat  yang  ditetapkan  qanun  tidak  melenceng    dari  ketentuan    Fiqh
Islam  mazhab  sunni  yang  dianggap  mu‘tabar  oleh  dunia  Islam  pasca peruntuhan  Bagdad  oleh  Holago  Khan  tahun  1258.  Keseluruhan
penghukuman dianggagap sesuai dengan Fiqh baik penghukuman dalam kategori
h}add  seperti  yang dijatuhkan atas peminum khamar  maupun ta‘z
ir. Memnag  ,  ketiga  qanun  Aceh  itu  tersebut  telah  dikodifikasikan
dengan  upaya-upaya  signifikan  agar  tidak  bertentangan  dengan  hukum Islam,  hukum  yang  berlaku  di  Indonesia,    dan  hukum    HAM.  Bukan
hanya di  Aceh, penerapan  hukum  Jinayat dalam Islam didukung konsep HAM  yang  telah  disahkan  dalam  Deklarsi  Universal  Hak-hak  Asasi
Manusia  Menurut  Islam  DIUHR  1981  dan  Deklarasi  Kairo  CDHRI 1990—yang  menyatakan  bahwa  penerapan  syariat  Islam  di  dunia  dapat
204
disesuaikan  dengan  penafsiran  fiqh  berbagai    mazhab    yang  ada  dalam Islam  menurut  kondisi  dan  situasi  umat  Islam  berada,  tak terkecuali  di
Aceh-Indonesia.  Menurut  Hukum  Islam  dam  konsep  HAM  Islam, menghukum  orang  yang  bersalah  bukan  bertujuan  untuk  menyiksa
mereka  secara  tidak  manusiawi  dan  merendahkan  martabatnya.  Namun merupakan  balasan  atas  kesalahan  yang  ia  lakukan,  di  samping
merupakan  salah  satu  cara  taubah  permohonan  ampunanpenyesalan dari  dosanya,  bila  dilakukan  dengan  suka  rela.  Tujuan  Hukum  Islam
adalah untuk mencegah kriminalitas—kesalahan yang sama—dilakukan oleh umat Islam yang lain.
Ketiga  Hukum  Jinayat  itu  telah  menjadi  hukum  positif  di Indonesia  sebagaimana  yang  telah  dikatakan  oleh  Alyasa‘    Abu  Bakar
dan  D.  Y.  Witanto  karena  telah  lulus  uji  materil  yudisial  review Mahkamah  Agung  RI  yang  dilandasi  konsideran    dengan  sejumlah
Hukum  dan  Peraturan  Perundang-undangan  yang  berlaku  lainnya. Dengan  perkataan  lain  ketiganya    tidak  menyimpang   dengan  konstitusi
Negara.  Selain  pakar  internal,  dalam  kontek  global  telah  muncul Shahram  Akbarzah,  Abdullahi  Ahmed  An-Naim,  Al-Hageel,  Syed
Serajul  Islam    dan  lain-lain  yang  dapat  menjembatani  antara  Konsep- konsep HAM yang berlaku di dunia dengan Islam.
Ketiga  Qanun  Jinayat  Aceh  tersebut  berlandaskan  hukum Islam  dalam  konteks  otonomi  dan  dalam  legalisasi  dan  legislasi
Negara bangsa,  bukan mengamalkan fiqh secara total sebagaimana di Negara-negara Islam dunia. Konstitusi RI berideologi berideologi
Pancasila,  bukan  berideologi  Islam.  Peluang  untuk  menjalankan Hukum  Islam  di  RI  tidak  terhalang  oleh  konstitusi  secara  total.
Hukum  Perundang-undangan  RI  telah  memberikan  celah-celah untuk  pengamalan  hukum  Islam,  terutama  berdasarkan  UUD  1945
Pasal  29  Ayat  1  dan  2.  Maka  demikan  halnya  yang  terjadi  di Aceh.
Kosekuensi  kejahatan,  menurut  Fiqh  adalah    tidak menghilangkan    hukuman  bagi  yang  berhak  memikulnya—seperti
qis}as}  dalam  kaitannnya  dengan  kejahatan  terhadap  jiwafisik manusia, hukuman mati bagi pelaku murtad, dan rajam bagi pelaku
zina  muhsan    sesuai  ketentuan  yang  telah  ditetapkan  Fiqh  Islam—, tanpa  alasan  yang  digariskan  shara‘  atau  ada  ketentuan  hukum
lainnya  yang  disahkan  shara‘.  Namun  Qanun  Jinayat  Aceh  belum menerapkan  hukuman
h}add  ke  taraf  yang  demikian.  Qanun
205
Jinayat  rajam  yang  dirancang  dan  telah  disahkan  DPRA  periode 2004-2009,  tidak  disahkan  gubernur—karena  banyak  peninjauan
seperti pertimbangan HAM.
Konsep  Hak  Asasi  Manusia  HAM  PBB  memiliki  kontradiksi dengan  sejumlah  ketentuan  dari  Fiqh  Jinayah  Islam.  Namun  diakui
bahwa konsep ini telah memerankan peranan penting dalam peningkatan kesadaran  hak  individu  terhadap  penciptaan  nuansa  kebebasan  secara
universal  yang  dapat  mengurangimenghilangkan  rasa    ketakutan  dari individu  dan  mengurangi  keinginan  dari  pihak-pihak  tertentu  untuk
melakukan    praktek  pengeksploitasian  manusia  dan  penyiksaan.  Maka Aceh-Indonesia    mempertimbangkan  aspek  HAM  dalam  penyusunan
Qanun—dengan  pemberlakuan  dan  pelaksanaan  Hukum  Jinayat  yang ringan sebagaimana Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003.
Para  pejuang  HAM  dan  penegak  hukum  Islam  masing-masing mengunakan  benteng  HAM  dan  hukum  Islam  dalam  rangka  mencapai
misi  mereka.  Kedua  pihak  ini  memiliki  tujuan  yang  baik  bagi kemaslahatan  manusia.  Mereka  sama-sama  mencurahkan  daya  ijtih
ad kesungguhan yang besar terhadap tujuan masing-masing.
Pelaksanaan  hukum  Jinayat  di  Aceh  dalam  perspektif    HAM dapat  dilihat  pada  lampiran  table    4.1,  4.2  dan  4.3.  Table-tabel  tersebut
menunjukkan  bahwa  hukum  executie  cambuk  yang  diterapkan  oleh Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 terdapat kedidaksesuaian  dengan
konsep UDHR dan sejumlah kovenan, di samping ada juga pendapat para pakarlembaga  HAM  yang  memahami  dan  menyimpulkan    bahwa
pelaksanaan hukum jinayat oleh ketiqa qanun itu terdapat  kesesuaiannya dengan ICCPR, CEDAW, dan CAT. Adapun  menurut konsep Deklarasi
HAM Islam UIDHR dan  CDHRI dan pendapat  sejumlah pakar HAM dunia Islam bahwa tidak ada perbedaan tentang  kesesuaian ketiga qanun
itu  dengan HAM.
B.  SARAN-SARAN