188
Punishment Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat manusia yang disepakati pada tanggal 9 Desember 1975. Deklarasi dan Prograrn Aksi Wina 1993 juga sepakat antara lain
menghimbau
negara-negara anggota
PBB untuk
secepatnya mengesahkan perangkat-perangkat internasional yang sangat penting di
bidang hak asasi manusia HAM.
409
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa dualisme pemahaman tentang
HAM,—satu pihak
memandang bahwa
penghukuman khalwatzina di dalam Islam merupakan pelanggaran HAM, sementara
pihak lain memandang sebaliknya—, berlangsung hingga saat sekarang ini.
4. Pandangan HAM Islam Perkara gender penting disinggung di sini karena praktek jarimah
khalwat satu pelarangan manusia bekerja di luar rumah dan pencampur adukan satu tempat antara laki-laki dan perempuan, menurut pandangan
Islam, adalah agar terhindar dari praktek khalwattuduhan khalwat.
410
CDHRI melakukan penyusunan draft HAM untuk menghindari pengabaian hak yang sama berkaitan dengan hak, tanpa
mengabaikan gender jenis kelamin–sebagaimana diharapkan di dalam sebuah dokumen yang disahkan oleh negara-negara Islam seperti Iran
dan Arab Saudi, di mana diskriminasi yang berdasarkan jenis kelamin adalah kebijakan Negara. Pada perumusan yang tidak jelas evasive,
pasal 6 menyatakan bahwa wanita sama dengan laki-laki dalam kodrat kemanusiaan human dignity—namun tidak sama dalam hak rights.
Para pegiat HAM Islam dari Pakistan seperti Abu al-A’la al- Maududi dan Tabandeh kerap memberikan komentar tentang persamaan
hak dan kebebasan bagi wanita untuk bergerak dan bekerja di luar rumah sebagaimana yang diungkapkan pasal 19 UDHR 1948. Tabendeh, pegiat
HAM Islam menyatakan pertentangannya terhadap persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang tercantum dalam Pasal 19 UDHR jika
dimaksudkan bahwa itu merupakan persamaan kodrat antara laki-laki dan
409
Lihat juga Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 207.
410
Muhammad al-Lut}fi al-Sibag, Tahrim al-Khalwah bi al-Mar’ah al-
Ajnabiyah wa al-Ikhtilat} al-Mustahtir , 27.
189
perempuan yang membuat mereka dapat memilih tugas-tugas tertentu dan dalam membuat keputusan yang sama. Pandangan ini disetujui Abu
A‘la al-Maududi, hanya ia menyetujui kebebasan hak bagi perempuan untuk melakukan gugatan cerai terhadap suaminya pada keadaan-
keadaan yang memungkinkan. Mayer dalam bukunya menulis:
Tabandeh olso profess his opposition to the notion of male-female equality embodied in Article 19 of UDHR if it
meant that a natural equality exists between men and women , fitting them to undertake identical tasks and to make equal
decision. … Unlike Tabandeh, …However, Maududi’s views on women are on record in his other writing , and they are similar to
Tabandeh’s, with exception that Maududi believed that women should be able to sue for divorce on liberal grounds.
411
Dalam Konteks ini
Cairo Declaration of Human Rights in Islam
mencantumkan kriteria Islam dalam menegaskan hak kebebasan wanita untuk bergerak dan kemampuan mereka untuk memilih pekerjaan. Pasal
12
The Cairo Declaration of Human Rights in Islam
menyatakan bahwa setiap orang akan memiliki hak, di dalam kerangka Sharia fi
ut}ur al- shari`a. Dalam syariah Islam agar adanya kebebasan bergerak bagi
wanita, misalnya, harus ada keizinan suami terlebih dahulu.
412
Pasal 13
Cairo Declaration of Human Rights in Islam
juga menyatakan laki-laki dan perempuan yang bekerja dinjurkan adil dalam
penerimaan upah pekerjaan tanpa diskriminasi the employee shall be entitled without any discrimination between males and females.
Ketentuan ini merupakan sebuah langkah yang positif karena tidak menghalangi restrick penentuan lapangan pekerjaan yang menjanjikan
bagi wanita.
413
Pada item yang lain,
The Cairo Declaration of Human Rights
411
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 102- 104.
412
Pasal 12 CDHRI menyatakan: Every man shall have the right, within the framework of the Shariah, to free movement and to select his place of residence
whether within or outside his country and if persecuted, is entitled to seek asylum in another country. The country of refuge shall be obliged to provide protection to the
asylum-seeker until his safety has been attained, unless asylum is motivated by committing an act regarded by the Shariah as a crime.
413
Lihat Pasal 13 CDHRI 1990.
190 in Islam
menyatakan juga bahwa setiap orang bebas memilih pekerjaan, dan orang tersebut tidak boleh bekerja di luar kapasitasnya. Ketentuan
inilah yang mengeluarkan perempuan dari bekerja pada wilayah yang tidak sesuai bagi mereka. Hal ini kontradiktif dengan UDHR pasal 23
ayat 1, yang menjamin setiap orang memiliki hak untuk bekerja dan bebas memilih pekerjaan, dan pasal 6 dari ICESCR, yang menjamin hak
bagi setiap orang untuk memperoleh penghidupan dengan bekerja yang dipilih secara bebas dan diinginkan.
Pasal 23
The Cairo Declaration of Human Rights in Islam
juga menetapkan bahwa sharia menentukan hak untuk mengambil kantor
publik, yang dijadikan pegawai berdasarkan pengendalian perempuan untuk berpartisipasi dari kantor-kantor pemerintahan.
Ann Elizabeth Mayer menganggap bahwa konsep Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia menurut Islam Cairo Declaration of Human
Rights in Islam ini merupakan salinan Pasal 19 and 20 dari ICCPR, yang menangani aspek peradilan kejahatan. Hukum shari‘ah diakui
memiliki perkembangan sejarah yang menyangkut dengan penanganan prosedur kejahatan sampai saat sekarang ini. Hukum Islam pernah
ditinggalkan pada banyak Negara dan digantikan oleh hukum perundang-undangan tindak pidana yang ditetapkan Barat Western
provenance. Hukum Islam bukan merupakan sebuah aspek dari ketentuan Islam yang menganjurkan banyak pertimbangan atau
menghambat system peradilan modern. Di antara pernyataan Mayer yang penting dikutip adalah:
“Islamic rules on criminal procedure are not a facet of the Islamic legacy that has commanded much loyalty or that has
constituted a serious obstacle to the modernization of criminal justice.”
414
“This fact makes it difficult for some to argue that the decision to omit from the Cairo declaration the safeguards of
414
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16.
191
articles 9
415
and 14
416
of the ICCPR was “compelled by a generally accepted view of which elements in the Islamic legal
legacy deserve high priority.” Article 19 b
417
of the Cairo Declaration states that the right “to resort to justice is guaranteed
to everyone.” This formulation is regarded as fragile, since the declaration gives insufficient guarantee that this right “to resort
justice includes a fair hearing with safeguard for both civil and criminal litigants according to the rights provided under
415
Article 9 of ICCPR: 1 Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected
to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.
2 Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him.
3 Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be
entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject
to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for execution of the judgement.
4 Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the
lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful.
5
Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an enforceable right to compensation.
416
Article 14 of ICCPR: All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of any criminal charge against him, or of his rights and
obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law. The press and the
public may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public order ordre public or national security in a democratic society, or when the interest of the
private lives of the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion of the court in special circumstances where publicity would prejudice the interests of
justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the
proceedings concern matrimonial disputes or the guardianship of children.
417
Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds,
regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice
192
international law.” In addition, article 19 d
418
states that “there shall be no crime of punishment except as provided for in the
Shari‘ah.”
419
Mayer juga mengakui bahwa Pasal 19 dari CDHRI 1990 bertentangan dengan Pasal 15
420
ICCPR. Menurutnya, pada hukum Islam masa lampau, tidak ada prinsip suatu tindakan harus diartikan sebagai
suatu kejahatan di dalam naskah hukum yang mendasari tuntutan hukuman. Bahkan pada ketentuan pasal 19 CDHRI dinyatakan
seharusnya tidak ada hukuman kejahatan kecuali yang ditetapkan syariah yang memberikan peluang untuk pengaduan pada kebijakan hukuman
ta‘z
ir, di mana hakim dapat menaksirkan memperkirakan hukuman sesuai dengan pertimbangan kondisi individu pelaku terhadap apa yang
melatar belakangi suatu tindakan kriminal yang dilakukan seseorang dan kukuman apa yang cocok dijatuhkan kepadanya. Kebijakan peradilan
demikian, apakah dalam kategori ta‘z ir atau lainnya, adalah secara
mendalam dipertimbangkan ingrained di dalam system hukum di negara muslim seperti Saudi Arabia, di mana sedikit atau banyaknya
dari kodifikasi hukum maupun kewenangan pemerintah dapat menentukan ruang lingkup dari hukum-hukum yang memberikan makna
bahwa perhatian lanjutan tentang tindakan apa dan sikap apa yang bisa dikategorikan kejahatan dan hukuman apa yang ditetapkan, tidak
418
Pasal Article 19 of CDHRI: a All individuals are equal before the law, without distinction between the ruler and the ruled; b The right to resort to justice is
guaranteed to everyone; c Liability is in essence personal; dan d There shall be no crime or punishment except as provided for in the Shariah.
419
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16.
420
Article 15 of ICCPR:
1
No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or omission which did not constitute a criminal offence, under national or
international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time when the criminal offence was
committed. If, subsequent to the commission of the offece, provision is made by law for the imposition of the lighter penalty, the offender shall benefit thereby; dan
2
Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according
to the general principles of law recognized by the community of nations.
193
diberikan wewenang kepada publik. Bahkan kewengan pertimbangan penetapan hukuman oleh penguasa, menurut Mayer juga, adalah tidak
hanya pada ta‘z ir namun juga pada h}add. Meyer mengatakan:
“The principle set forth in article 19 b
421
of the ICCPR, as already noted, allows the shari‘ah to determine crimes and
punishments the h}add penalties.”
422
Selain Saudi yang dikatakan Mayer di atas, Iran juga merupakan salah satu Negara Islam yang memiliki prinsip yang sama, sebagaimana
digambarkan David Littman:
“Iran had reached the conclusion that those two instruments were compatible with Islamic law. … Discrepencies
… between domestic legislation and the Covenant should not be exaggerated. … Those differences could be overcome and a better
understanding of Islam, of Islamic law and of international law achieved only by means of dialogue approached with an open
mind.”
423
Terkait dengan Hukum Islam dan HAM, Mayer juga menyatakan bahwa berusaha memaksakan syariah sudah didukung oleh
421
For the protection of national security or of public order ordre public, or of public health or morals.
422
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 29.
423
David Littman, “Universal Human Rights and Human Rights in Islam, The Journal Midstream New York, FebruaryMarch 1999, 8.
194
kontrovesi, kekerasan, dan bahkan pertempuran perang sipil Sudan yang kedua berkaitan dengan perselisihan anatara syariah dan konsep hak–hak
asasi manusia khususnya yang berhubungan dengan hak-hak wanita dan non-muslim. Aspek hukum yang diperjuangkan dari syariah meliputi
pembuatan qanun hukuman
h}udu}d seperti pemotongan tangan, rajam, pencambukan,
dan hukuman
pancung
—
beheading. Pelarangan-
pelarangan syariah tentang pencemaran nama baik qazaf dan riddah apostasy juga dikecualikan dari konsep kebebasan beragama yang
dikenal secara internasional.
424
Menurut Islam, Hukum Islam tidak kejam karena menganut praduga tak bersalah sebagaimana yang di amanatkan
UDHR juga Pasal 11 ayat—1.
425
Dengan demikian bukan semua pasal- pasal UDHR ditolak oleh Islam, maka tidak mustahil bila Negara
anggota OKI
seperti Indonesia
juga ikut
terlibat dalam
penandatanganan sejumlah kesepakatan HAM dengan dunia. Setiap negara terikat dengan Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik wajib melindungi penduduknya dari memiliki hak-hak mereka dilanggar. Perjanjian ini berlaku untuk setiap makhluk hidup
manusia di negara di bawah perjanjian tanpa memandang usia, jenis kelamin atau ras. Komite Hak Asasi Manusia didirikan pada tahun 1977
424
Dikakatakan Mayer juga bahwa pihak publik kadang kala keliru dalam memahami tentang adanya pelanggaran hak asasi bila hakimqadi menghukum mati
orang murtad. Hukum spesifik tidak berlaku secara global. Kita tidak boleh mengatakan Sudan melanggar HAM karena menghukum mati orang murtad. Tetapi lebih layak kita
katakan Sudan, mungkin, belum melaksanakan hukum Islam secara benar menurut kaidah hukum Islam dunia. Karena murtad yang di suruh hukum mati oleh Nabi Saw
adalah murtad dalam kategori pengkhianatan. Yakni Nabi Saw mengkhawatirkan bila ada orang Islam keluar dari agamanya kemudian masuk ke agama lain yang sedang
memusuhi Islam pada saat itu, ia akan membocorkan rahasia-rahasia kenegaraan Islam Madinah kepada musuh. Di samping menjadi profokator yang mempengaruhi muslim
lainnya untuk ikut-ikutan keluar dari Islam. Murtad demikian jelas lebih terkait dengan tindak pidana pengkhianatan yang merngancam keutuhan hukum Islam dalam
keseharian masyrakat yang telah susah payah ditegakkkan Nabi Saw dalam proses pengubahan umat dari tradisi dan kondisi kejahiliahan menjadi Islam. Lihat Ann
Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 29.
425
Pasal 11 Ayat 1 dikatakan: “Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya sesuai
dengan hukum, dalam pengadilan yang terbuka, di mana ia memperoleh semua jaminan yang dibutuhkan untuk pembelaannya”.
195
untuk memantau negara pihak yang menyangkut dengan tindakan mereka yang berkaitan dengan perjanjian.
Cairo Declaration1990 memnyetujui penerapan hukum Islam menurut kondisi receptive negara tertentu dan komunitas masyarakat
yang bersangkutan. Negara Islam tidak terhalang untuk menerapkan hukum pidana bagi pelaku riddah, rajam bagi penzina
muh}s}an yang sudah menikah, buqwah pemberontakan, dan kawin campur antara
penganut agama yang berbeda yang dikatakan oleh UDHR bahwa kebebesan tersebut sebagai hak dasar manusia yang tidak boleh
ditafsirkan lagi pasal 30. Fenomena ini ditanggapi Cairo Declaration dengan mengatakan bahwa Islam masih masih membuka penafsiran
menurut syariat Islam tentang pelaksanaan hukum Islam jika memang memerlukan penafsiran naș pasal 25, yang membolehkan para pakar
madhhab untuk
melakukan istinbāt} penggalian hukum dan
penerapannya.
426
Martino Sardi, seorang pakar HAM dari Komnas HAM RI, mengatakan bahwa melanggar HAM seseorang bertentangan dengan
hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu
Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia
HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. HAM juga bervariasibermacam-macam sebagaimana yang ditetapkan Perserikatan
Bangsa-bangsa PBB. PBB pada tanggal 10 Desember 1948 memproklamasikan deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
427
Tabel 4.3: Kesesuaian dan Ketidaksesuaian antara Qanun Khalwat dengan Ketentuan HAM
426
Lihat Pasal 25 Cairo Declaration yang berbunyi: “The Islamic Shariah is
the only Source of Reference for the Explanation or Clarification of any of the Articles of this Declaration”.
427
Martino Sardi, “
Macam-macam Hak-hak Asasi Manusia
,” Komnas HAM, 14 Mei 2010, 5.
196
N o
Pelaku tindak
pidanajari- mah
Hukuman dan Kesesuaiannya dengan HAM Hukuman
Perspektif HAM
Ta‘z ir
cam- buk
Ta‘z ir
kuru- ngan
Ta‘z ir
denda
U D
H R
I C
C P
R C
E D
A
W C
A T
U I
D H
R C
D H
R
I
H RW
K o
m n
as P
r. A
ly as
a` A
B
K om
na s P
r.
A ly
as a`
A B
M .H
.S y
ed
1 Pelaku
mesum 3-9
kali -
2,5-10 juta
rupiah Ts
Ts
Ts Ss
Ts Ss
Ss Ss
2 Penyedia
fasilitas -
2-6 bulan
5-15 juta
Ss Ss
Ts Ss
Ss Ss
Ss Ss
3 Pelindung
- Sda
Sda Ss
Ss
Ts Ss
Ss Ss
Ss Ss
4 Promotor
- Sda
Sda Ss
Ss
Ts ss
Ss Ss
Ss Ss
5 Pemberi
izin -
Sda Sda
Ss Ss
Ts Ss
Ss Ss
Ss Ss
Catatan: Bentuk jarimah tindak pidana: melakukan mesum, menyediakan fasilitas,
mempromosikan, dan memberikan izin.
Tabel 4.3. menunjukkan bahwa Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003 terdapat beberapa perbedaan pendapat pakar bila dihubungkan
dengan perspektif HAM. UDHR The Universal Declaration of Human Rights menyatakakan bahwa hukum cambuk 3-9 kali bagi atau denda 2,
5 -10 juta bagi pelaku khalwat bertentangan dengan HAM. ICCPR juga mensinyalisasi bahwa Qanun ini bertentangan dengan kebebasan--yang
berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan. Adapun menurut pandangan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women, yang dipahami Alyasa, bahwa Qanun khalwat tidak
197
bertentangan dengan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women. Sementara menurut HRW dan Komnas
Perempuan mengakui adanya kontradiksi antara Qanun ini dengan salah satu konvensi HAM ini.
Selain itu, Committee Against Torture yang dipahami Alyasa tidak bertentangan dengan hukum cambuk. Sementara yang dipahami
oleh Komnas Perempuaan bahwa pencambukan 3-9 kali bagi pelaku khalwat bertentangan dengan Committee Against Torture.
Selain konsep HAM dunia dan kovenannya yang terkait tengan dampak pelaksanaan hukuman khalwat di Aceh, table 4.3 juga
menunjukkan bahwa Deklasi Kairo dan Deklarasi HAM Islam di Eropa menyatakan bahwa hukum cambuk atau denda atas pelaku khalwat dan
hukuman kurungan dan denda antara 5-15 juta bagi penyedia fasilitas dan pemberi izin adalah tidak bertentangan dengan HAM. Karena praktek
khalwat antara laki-dan perempuan yang bukan muhrim adalah perbuatan sangat dilarang dalam Islam. Dalam hal ini pencambukan,
kurungan, dan denda merupakan suatu hukuman ta‘
zir yang dibolehkan bagi pemerintah kaum muslimin untuk melakukan pencegahan.
Dikatakan Anwarullah, menurut Islam, hukuman ta‘
zir bisa berupa cambuk, penahanan, banishment pencekalan, denda, hukuman mati,
danatau hukuman lainnya.
428
Abdu al-Qadir ‘Udah juga telah memaknai “ta‘
zir” dengan pengertian yang senada dengan.
429
428
Lihat Anwarullah, The Crime Law of Islam, 241-263. Lihat juga Feener, R. Michael, Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institution, 211.
429
‘Abdu al-Qadir ‘Udah—di dalam al- Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāranan
bi al- Qānūn al-Wad}’ī, 154—menulis:
،ﺭﺍﺬﻧ ﻻﺍﻭ ﺓﲑﻄﳋﺍ ﺢﺼﻨﻟﺎﻛ ﺕﺎﺑﻮﻘﻌﻟﺍ ﻪﻔﺗﺄﺑ ﺃﺪﺒﺗ ،ﺓﺭﺪﻘﳌﺍ ﲑﻏ ﺕﺎﺑﻮﻘﻌﻟﺍ ﻦﻣ ﺔﻋﻮﻤﳎ ﻰﻫ ﺮﻳﺯ ﺎﻐﺘﻟﺍﻭ ﻥﺃ ﻰﺿﺎﻘﻠﻟ ﻙﺮﺘﻳﻭ ،ﺓﲑﻄﳋﺍ ﻢﺋﺍﺮﳉﺍ ﰱ ﻞﺘﻘﻠﻟ ﻞﺼﺗ ﺪﻗ ﻞﺑ ،ﺪﻠﳉﺍﻭ ﺲﺒﳊﺎﻛ ﺕﺎﺑﻮﻘﻌﻟﺍ ﺪﺷﺄﺑ ﻰﻬﺘﻨﺗ ﻭ
ﺴﻔﻧ ﻭ ﻡﺮﺍ ﻝﺎﳊ ﻭ ﺔﳝﺮﺠﻠﻟ ﺔﻤﺋﻼﳌﺍ ﺔﺑﻮﻘﻌﻟﺎﻬﻨﻴﺑ ﻦﻣ ﺭﺎﺘﳜ ﻪﻘﺑﺍﻮﺳ ﻭ ﻪﺘﻴ
198
Dengan demikian
baik hukuman
ta‘ zir discretionary
punishments maupun h}add seperti yang hanya berlaku bagi pelaku
khamar dan khalwat dalam Qanun Aceh merupakan hukuman jinaiyah
yang terdapat di dalam fiqh Islam.
430
Sedangkan hukuman jinaiyah
lainnya seperti hukuman terhadap pelaku riddah keluar dari Islam dan rajam, Qanun juga masih belum dapat menegakkan
h}add dan ta‘zir. Perkara riddah hanya disingung dan diatur dalam Qanun tentang
pendangkalan aqidah, dan Pergub No. 16 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama.
431
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM yang dikukuhkan oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
bertujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar UUD 1945,
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB, dan Deklarasi Universal
“
Ta’zir merupakan kumpulan dari hukuman-hukuman uqubat yang tidak ditentukan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah mulai dari hukuman
yang paling ringan seperti dengan cara menasehati pelaku pelanggaran tentang bahaya dari pelanggaran, dengan cara memberikan peringatan, sampai dengan
hukuman nyang lebih keras seperti kurungan penjara, dera cambuk. Bahkan hukuman ta‘
zir sampai dengan kategori hukuman bunuh mati pada kasus
kriminal yang sangat berbahaya yang dilakukan pelaku. Terhadap penghukuman ta’zir ini terserah kepada qadi hakim untuk memilih di antara
hukuman-hukuman yang sesuai bagi tingkat pelangggaran kejahatan yang sesuai dengan kondisi keadaan pelaku kejahatan dengan meninjau pada
kepribadian pelaku dan melihat pada kejahatan-kejahatan sebelumnya yang telah ia lakukan.” Lihat
‘Abdu al-Qadir ‘Udah, al- Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī
Muqāranan bi al-Qānūn al-Wad}’ī, 154.
430
Lihat juga Abd al-Q ādīr ‘Udah, al-Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāranan
bi al- Qānūn al-Wad}’ī, 556. Lihat juga Ah}mad Fathi Bahansi, al-Siyasah al-Jinaiyah fi
al-Shariah al Islamiyah Bairut, 1983, 279.
431
Penerapan syariat Islam kontemporer di Aceh dimulai sejak 1 Muharram 1423 H. Perda DI Aceh No. 5 tahun 2000 Bab I pasal 4 ayat 3 yang berbunyi: “Setiap
warga Negara RI atau siapapun yang bertempat tinggal atau singgah di Daerah Istimewa Aceh, wajib menghormati pelaksanaan Syariat Islam di daerah.”Lihat juga Qanun No.
11 Tahun 2002 Pasal 11.
199
HAM DUHAM serta meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
432
Indonesia telah ikut menyetujui Deklarasi UDHR tahun 1948 yang dipaparkan Majlis Umum PBB. Meskipun deklarasi bukan merupakan
hukum, namun Indonesia memiliki tanggung jawab moral dalam rangka mengahargai dan menghormati hak-hak asasi manusia di dunia.
433
UUD 1945 menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara,
terutama Pemerintah. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR nomor XVIIMPR1998 dan Pasal 71 dan Pasal 72 UU No. 39
Tahun 1999 juga menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab
Pemerintah. Tap MPR No. XVIIMPR1998 juga menugaskan lembaga- lembaga negara dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati,
menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Hak setiap orang, kelompok, organisasi politik,
organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya untuk berpartisipasi dalam perlindungan,
penegakan, dan pemajuan HAM diakui oleh UU No. 39 Tahun 1999.
Penerapan hukum Jinayat secara keseluruhan di Indonesia memang berlawan dengan ideologi Negara Pancasila. Karena hukum
jinayat identik dengan hukum Islam, sementara Indonesia bukan Negara muslim, namun memiliki falsafah tersendiri dalam pengamalan ajaran
agama. Meskipun berbeda dengan Iran, Pakistan, Arab Saudi, dll, peluang Indonesia dalam mejalankan syariat besar karena termasuk ke
dalam salah satu dari 59 Negara-negara Organisasi Koperensi Islam OKI yang berdiri tahun 1949. Dengan demikian berbagai event
konferensi yang menyangkut dengan kepentingan Islam Indonesia telah
432
Bernard Lewis, Islam and The West New York: Oxford University Press, 1993, 112.
433
Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 200.
200
berperan serta. Indonesia telah bersedia menanda tangangi Deklarasi Kairo Tahun 1990 yang diprakarsai Negara Negara Organisasi
Koperensi Islam, yang membahas tentang Hak-hak Asasi Manusia berdasarkan Islam. Salah satu Negara OKI, Pakistan, yang merupakan
salah satu Negara Islam dan Organisasi Koperensi Islam, pernah mengatakan bahwa HAM Islami UIDHR
dan CDHRI merupakan pelengkap komplementer bagi the Universal Declaration of Human
Rights Deklarasi Sejagat Hak-hak Asasi Manusia 1948. Di Aceh, upaya-upaya penerapan
h}add yang bersumber dari Kitab Allah dan Sunnah Nabi Saw bagi tindak pidana zina juga pernah
diusahakan di Aceh, seperti adanya upaya pengqanunanperancangan qanun
h}add rajam dan 100 kali dera yang telah disahkan DPRA periode 2004-2009. Rancangan Qanun ini telah diusulkan pengesahannya kepada
gubernur Aceh.
434
Rancangan Qanun ini tidak dapat dilaksanakan secara positif karena belum adanya pengesahan gubernur, bahkan masih terjadi
pro-kontra di kalangan masyrakat hingga saat sekarang ini. Pihak pro, Fron Pembela Islam FPI Aceh menyatakan, Qanun
Jinayat rajam dan Hukum Acara Jinayat yang disahakan pada tanggal 14 Oktober 2009 lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRA
periode 2004 - 2009, sudah sepantasnya diterapkan di Aceh. Hal itu ditegaskan Ketua Fron Pembela Islam Aceh, Yusuf al-Qardhawi. Yusuf
al-Qardhawi melanjutkan, jika alasan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf tidak menandatangani Qanun ini dengan alasan masyarakat Aceh belum
siap, maka sampai kapanpun bahkan hingga dunia kiamat tidak akan pernah siap. Diakatakannya juga, Qanun yang mengatur tindak pidana
menurut Islam itu sangat bagus diterapkan di Aceh yang memang menerapkan
syariat Islam.
Namun demikian
tentunya harus
disosialisasikan terlebih dahulu kepada seluruh masyarakat Aceh. Yusuf juga menuturkan bahwa semua keputusan akhir untuk menerapkan qanun
434
Selain rancangan qanun rajam usulan DPRA pada tahun 2009, pada tahun 2006 juga pernah ada rancangan Qanun usulan gubernur tentang
h}add pencurian al- sirqah yakni Rancangan Qanun Prov. NAD Tanggal 13 Desember 2006 tentang
Pencurian, namun kedua Qanun ini masih dalam bentuk rancangan. H{add qazaf penuduhan zina seseorang tanpa bukti juga pernah dicantumkan dalam rancangan
KHJA Tahun 2008. Lihat Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa. …………………
201
ini ada di tangan pemerintahan Irwandi-Nazar, yang hingga kini belum juga ditandatangani dengan alasan ada sejumlah poin dalam qanun ini
tidak sesuai, dan perlu pengayaan materi lebih dalam lagi.
Sedangkan pihak yang kontra, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa BEMA IAIN Ar-Raniry, Herri Maulizar mengatakan,
keputusan Gubernur dan DPRA periode 2009 - 2012 untuk menunda implementasi qanun jinayat rajam dan qanun hukum acara jinayat
sudah tepat. Herri menandaskan, Qanun ini harus dikaji kembali secara mendalam, karena substansi di dalamnya tidak jelas dan saling
bertentangan. Dia menilai Qanun Peninggalan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRA periode lalu adalah produk gagal, dan perlu dikaji
kembali. Pendapat senada juga disampaikan oleh Ketua Pelajar Islam Indonesia PII kota Banda Aceh, Yusri. Yusri mengatakan walaupun
banyak ormas Islam seperti Fron Pembela Islam, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia KAMMI, dan para santri mendesak
DPRA dan Gubernur untuk segera mengimplementasikan Qanun Jinayat, PII malah sebaliknya.
435
Dengan demikian, ketiga Qanun yang membahas tentang pelaksanaan Hukuman Jinayat di Aceh terhadap pelaku tindak pidana
khamar, judi dan khalwat menurut Perspektif HAM, akan menghasilkan kesimpulan yang disusun berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip
HAM: 1 The Universal Declaration of Human Rights UDHR 1948; International Covenants on Civil and Politics Rights ICCPR 1966,
Convention against Torture CAT 1984; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women CEDAW 1979, Cairo
Declaration of Human Rights in Islam CDHRI 1990, dan Universal Islamic Declaration of Human Rights UIDHR 1981.
435
www.mahkamahsyariyahaceh.go.id , diakses 5 Mei 2010.
202
A. KESIMPULAN Penerapan Hukum Pidana Islam Jinayat di Aceh dalam konteks
keindonesiaan tidak terlepas dari dampak latar belakang penerapan syariat Islam dalam sosio-historis masyarakat Aceh. Sejak pra-penjajahan
1903 dan awal kemerdekaan 1945 masyarakat Aceh telah memiliki kecenderungan untuk menerapkan syariat Islam dengan pembentukan
Lembaga Qad
a’ Mah}kamah Shariyah untuk peneyelesaian persoalan hukum sehari-hari, meskipun banyak rintangan, seperti terhalang
peleburan Aceh menjadi provinsi Sumatra Utara sebelum pengesahan UU No. 24 Tahun 1956. Namun setelah provinsi Aceh terbentuk, Aceh
kembali berupaya memperjuangkan penegakan syariat Islam. UU No. 44 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006,
merupakan aplikasi upaya tersebut, yang merefleksikan qanun-qanun Aceh yang menyangkut dengan pelaksanaan syariat Islam, termasuk
Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 yang mengatur tentang aturan pelaksanaan Hukum Jinayat yang telah berlangsung hingga saat
sekarang ini.
Penelitian ini berkisar pada konsep dan penerapan Hukum Islam yang terkandung dalan ketiga Qanun tentang “
Jinayah” terbut melalui hasil studi kepustakaan dan studi pada dokomen-dokumen kasus tindak
pidana yang terjadi terutama yang dipublikasikan media massa. Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh sebagian besar telah berjalan
sebagaimana yang diqanunkan.
Implementasi Hukum Jinayat yang berupa pencambukan baik dalam kategori
h}udud maupun ta‘zir terhadap pelaku tindak pidana khamar, judi, dan mesum yang disahkan Qanun berlangsung berdasarkan
kasus yang diajukan masyarakat, hasil penyelidikan opsporing Pihak Wilayatul Hisbah, danatau temuan pihak terkait lainnya. Penerapan
BAB
PENUTUP 5
203
hukum ini memang kerap mengundang perdebatan. Perdebatan disebabkan kompleksitas—pemahamanpandangan para pakar—Hukum
Islam dan HAM. Pelaksanaan ketiga Qanun tersebut didasari perspektif fiqh, meskipun masih memerlukan penyesuaiantinjauan lanjutan, kerena
pelaksanaan Hukum Pidana Islam
Jinayah ini berada dalam lingkup pelaksanan Hak Otonomi Khusus bagi Aceh dan perundang-undangan
lainnya yang berlaku di Indonesia. Perdebatan pro dan kontra yang menyangkut dengan
pelaksanaan Qanun merupakan konsekwensi suatu produk hukum, sebagaimana hukum perundang-undangan lainnya juga, Namun ketiga
Qanun tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Ketiga qanun ini dijalankan Mahkamah Syariya dan Mahkamah Syariyah KabupatenKota
menurut kemampuan penguasapenegak hukum di masing-masing mahkamah sesuai dengan keadaan pelaku dan tempat kejadian perkara.
Banyak pakar hukum yang mengatakan, pelanggaran HAM tidak dapat dihindari bila benar-benar menerapkan hukum Islam terutama
h}udud, disebabkan hukum Islam ditegakkan berlandaskan kandungan Wahyu Allah yang diinterpretasikan oleh Nabi Saw dalam hidup dan
kehidupan beliau. Namun pakar muslim mengatakan bahwa pelaku tindak pidana telah terlebih melanggar hak Allah, hak manusia, dan hak
individu sendiri, sebagaimana dikatakan Al-Hageel, D.Y. Witanto dan Hasanuddin.
Pelaksanaan Qanun jinayat dan kesesuaiannya menurut perspektif Fiqh terlihat pada lampiran table 3.2, 3.4 dan 3.6. Tabel tersebut
menunjukkan bahwa ketiga qanun tersebut menunjukkan bahwa hukum jinayat yang ditetapkan qanun tidak melenceng dari ketentuan Fiqh
Islam mazhab sunni yang dianggap mu‘tabar oleh dunia Islam pasca peruntuhan Bagdad oleh Holago Khan tahun 1258. Keseluruhan
penghukuman dianggagap sesuai dengan Fiqh baik penghukuman dalam kategori
h}add seperti yang dijatuhkan atas peminum khamar maupun ta‘z
ir. Memnag , ketiga qanun Aceh itu tersebut telah dikodifikasikan
dengan upaya-upaya signifikan agar tidak bertentangan dengan hukum Islam, hukum yang berlaku di Indonesia, dan hukum HAM. Bukan
hanya di Aceh, penerapan hukum Jinayat dalam Islam didukung konsep HAM yang telah disahkan dalam Deklarsi Universal Hak-hak Asasi
Manusia Menurut Islam DIUHR 1981 dan Deklarasi Kairo CDHRI 1990—yang menyatakan bahwa penerapan syariat Islam di dunia dapat
204
disesuaikan dengan penafsiran fiqh berbagai mazhab yang ada dalam Islam menurut kondisi dan situasi umat Islam berada, tak terkecuali di
Aceh-Indonesia. Menurut Hukum Islam dam konsep HAM Islam, menghukum orang yang bersalah bukan bertujuan untuk menyiksa
mereka secara tidak manusiawi dan merendahkan martabatnya. Namun merupakan balasan atas kesalahan yang ia lakukan, di samping
merupakan salah satu cara taubah permohonan ampunanpenyesalan dari dosanya, bila dilakukan dengan suka rela. Tujuan Hukum Islam
adalah untuk mencegah kriminalitas—kesalahan yang sama—dilakukan oleh umat Islam yang lain.
Ketiga Hukum Jinayat itu telah menjadi hukum positif di Indonesia sebagaimana yang telah dikatakan oleh Alyasa‘ Abu Bakar
dan D. Y. Witanto karena telah lulus uji materil yudisial review Mahkamah Agung RI yang dilandasi konsideran dengan sejumlah
Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku lainnya. Dengan perkataan lain ketiganya tidak menyimpang dengan konstitusi
Negara. Selain pakar internal, dalam kontek global telah muncul Shahram Akbarzah, Abdullahi Ahmed An-Naim, Al-Hageel, Syed
Serajul Islam dan lain-lain yang dapat menjembatani antara Konsep- konsep HAM yang berlaku di dunia dengan Islam.
Ketiga Qanun Jinayat Aceh tersebut berlandaskan hukum Islam dalam konteks otonomi dan dalam legalisasi dan legislasi
Negara bangsa, bukan mengamalkan fiqh secara total sebagaimana di Negara-negara Islam dunia. Konstitusi RI berideologi berideologi
Pancasila, bukan berideologi Islam. Peluang untuk menjalankan Hukum Islam di RI tidak terhalang oleh konstitusi secara total.
Hukum Perundang-undangan RI telah memberikan celah-celah untuk pengamalan hukum Islam, terutama berdasarkan UUD 1945
Pasal 29 Ayat 1 dan 2. Maka demikan halnya yang terjadi di Aceh.
Kosekuensi kejahatan, menurut Fiqh adalah tidak menghilangkan hukuman bagi yang berhak memikulnya—seperti
qis}as} dalam kaitannnya dengan kejahatan terhadap jiwafisik manusia, hukuman mati bagi pelaku murtad, dan rajam bagi pelaku
zina muhsan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan Fiqh Islam—, tanpa alasan yang digariskan shara‘ atau ada ketentuan hukum
lainnya yang disahkan shara‘. Namun Qanun Jinayat Aceh belum menerapkan hukuman
h}add ke taraf yang demikian. Qanun
205
Jinayat rajam yang dirancang dan telah disahkan DPRA periode 2004-2009, tidak disahkan gubernur—karena banyak peninjauan
seperti pertimbangan HAM.
Konsep Hak Asasi Manusia HAM PBB memiliki kontradiksi dengan sejumlah ketentuan dari Fiqh Jinayah Islam. Namun diakui
bahwa konsep ini telah memerankan peranan penting dalam peningkatan kesadaran hak individu terhadap penciptaan nuansa kebebasan secara
universal yang dapat mengurangimenghilangkan rasa ketakutan dari individu dan mengurangi keinginan dari pihak-pihak tertentu untuk
melakukan praktek pengeksploitasian manusia dan penyiksaan. Maka Aceh-Indonesia mempertimbangkan aspek HAM dalam penyusunan
Qanun—dengan pemberlakuan dan pelaksanaan Hukum Jinayat yang ringan sebagaimana Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003.
Para pejuang HAM dan penegak hukum Islam masing-masing mengunakan benteng HAM dan hukum Islam dalam rangka mencapai
misi mereka. Kedua pihak ini memiliki tujuan yang baik bagi kemaslahatan manusia. Mereka sama-sama mencurahkan daya ijtih
ad kesungguhan yang besar terhadap tujuan masing-masing.
Pelaksanaan hukum Jinayat di Aceh dalam perspektif HAM dapat dilihat pada lampiran table 4.1, 4.2 dan 4.3. Table-tabel tersebut
menunjukkan bahwa hukum executie cambuk yang diterapkan oleh Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 terdapat kedidaksesuaian dengan
konsep UDHR dan sejumlah kovenan, di samping ada juga pendapat para pakarlembaga HAM yang memahami dan menyimpulkan bahwa
pelaksanaan hukum jinayat oleh ketiqa qanun itu terdapat kesesuaiannya dengan ICCPR, CEDAW, dan CAT. Adapun menurut konsep Deklarasi
HAM Islam UIDHR dan CDHRI dan pendapat sejumlah pakar HAM dunia Islam bahwa tidak ada perbedaan tentang kesesuaian ketiga qanun
itu dengan HAM.
B. SARAN-SARAN