117
akan membebaskan pelaku kejahatan dari azab Allah di hari kiamat. Dapat dimengerti, hukuman
h}udud adalah perkara kontroversial di Indonesia, sejak dulu penetapan hukuman bagi
penjahat adalah hukum sekuler, bukan hukum Islam. Lebih jauh, bahkan dalan Islam otoritas untuk menegakkan hukum rajam
sebagai suatu hukuman yang berlaku di pemerintahan, dalam kondisi Indonesia tidak akan memungkinkan hal itu. Sesungguhnya
satu di antara persoalan utama adalah dengan menerapkan hukuman
h}udud akan mengakibatkan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang tidak dapat dielakkan.
Hal tersebut menunjukkan adanya pemahaman yang beragam tentang makna syariat Islam di kalangan umat Islam itu
sendiri. Semua muslim mengakui bahwa syariah adalah hukum Tuhan God’s law, tetapi mereka berbeda cara memahaminya, baik
secara umum maupun secara terperinci in detail.
247
Modernists, traditionalists dan fundamentalists memiliki pemahaman yang
berbeda mengenai Sharia, seiring dengan berbedanya pemikiran madhhab yang diikuti di kalangan sarjana-sarjana muslim.
Berbeda negara, berbeda wilayah, berbeda budaya maka berbeda pula dalam memahami shariah, meskipun semua muslim percaya
bahwa syariat adalah bersumber dari al-Quran dan al-sunnah Nabi Saw.
b. Teknik Pelaksanaan Pada lembaran lampiran dari penelitian ini dapat dilihat gambar
seorang pelaku khalwat dieksekuasi di hadapan khalayak ramai. Gambar itu memperlihatkan seorang alqojo sedang menjatuhkan cambukannya ke
atas punggung orang yang terhukum. Algojo biasanya direkrut dari personel Wilayatul Hisbah WH yang sering dikenal sebagai polisi
syariat. Algojo ini mengayunkan cambukannya setiap kali mendengarkan suara aba-aba dari jaksa yang ditugaskan, bukan melakukan menurut
keinginannya semata-mata. Pencambukan itu juga dilakukan setelah surat putusan hakim dibacakan di panggung pencambukan itu.
Pelaksanaan hukuman ini sebagaimana ketentuan Bab VII
memuat Ketentuan ‘Uq
ūbāt Mesum. Di dalam Pasal 22 Bab tersebut dikatakan: 1 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
247
Wah}bah al-Zuh}aili, al-Fiqh al- Islami wa Adillatuhu , Juz I Damaskus: Dar
al-Fikr, 1984, 17.
118
dimaksud dalam Pasal 4, diancam dengan
‘uq ūbāt ta’zir berupa
dicambuk paling tinggi 9 sembilan kali, paling rendah 3 tiga kali danatau denda paling banyak Rp. 10.000.000,-sepuluh juta rupiah,
paling sedikit Rp 2.500.000,- dua juta lima ratus ribu rupiah.
Selain itu bagi pelaku yang tidak terlibat langsung dalam praktek khalwat, di dalam ayat 2 dikatakan, setiap orang yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diancam dengan ‘
uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 6 enam bulan, paling singkat 2 dua bulan danatau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
limabelas juta rupiah, paling sedikit Rp 5.000.000,-lima juta rupiah. Kesalahan pelaku yang mengakibatkan penghukuman seperti ini adalah
berupa penyediaan fasilitas dan perlindungan bagi terlaksananya praktek khalwat dalam masyarakat.
Selanjutnya dalam Ayat 3 dikatakan, “Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 adalah jarimah
ta‘ zir”. Selain Pasal 22 yang menetapkan jumlah cambukandanda bagi
pelaku khalwat, Pasal 23 juga menyatakan: “Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat 1 dan 2 merupakan peneriman Daerah
dan disetor langsung ke Kas Baital Mal.” Ketentuan hukuman menurut pasal-pasal provisions tersebut adalah menurut hukuman
ta’zir menurut tingkat kesalahan dalam kategori khalwat.
248
Penggunaan dana akibat pendendaan ini nampaknya Qanun tidak memaparkan secara rinci dan jelas, karena Baitul Mal merupakan suatu
Lembaga Keuangan Daerah yang membantu berbagai kepentingan Umat. Pengaturan ini dikhawatirkan terjadinya legalitas perpajakan sebagai kata
lain dari denda. Sedangkan bila dijelaskan secara rinci bagi proses penegakan hukum, misalnya, maka, berat kemungkinan, akan membawa
dampak positif dari hukuman pendendaan. Memang hukum Islam membolehkan hukuman
ta’zir dalam bentuk denda. Namun keefektifan penghukuman seperti ini sangat tergantung kepada penguasahakim.
249
Penambahan hukuman tetap berlaku bagi pelaku tindak pidana. Di dalam Pasal 24 dikatakan: “Pengulangan pelanggaran terhadap
248
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 22-23.
249
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 22 Ayat 1 sampai 3. Lihat juga Anwarullah, The Crime Law of Islam Kuala Lumpur: Pustaka Hayati, 1997, 242.
119
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, ‘uq ūbāt-nya dapat
ditambah 13 sepertiga dari ‘uqubat maksimal”.
250
Fasilitator tindak pidana khalwat juga dikenakan hukuman. Di dalam Pasal 25 dikatakan, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 dan 6: a. apabila dilakukan oleh badan hukumbadan usaha, maka ‘uq
ūbāt-nya dijatuhkan kepada penanggung
jawab. b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat 1 dan 2
dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan.
251
Dari keseluruhan pasal-pasal 22-25 yang menyangkut dengan khalwat memang sangat riskan terhadap kefektifan jalannya hukum Islam
di Aceh. Bahkan pelaksanaan Qanun khalwat agak berbeda jauh dari kaca mata Fiqh. Penghukuman ta‘
zir dalam perkara khalwat ini lebih menitik beratkan pada faktor ta‘aqquli
ijtihadi dibandingkan ta‘abbudi as}li. Dalam perkara khalwat ini pihak penyusun qanun nampaknya
belum mencantumkan ketentuan Fiqh yang sebenarnya, yang menyangkut dengan kategori-kategori kesalahan dan penghukuman.
Berat kemungkinan h{add zina belum mampu ditegakkan di tengah
percaturan hukum Islam pada era Qanun tersebut disahkan.
252
c. Izin Imam untuk Pelaksanaan Bab VIII memuat tentang pelaksanaan ‘uq