B. Restorative Justice
Proses penanggulangan anak pelaku tindak pidana dilakukan secara penal dan non penal. Secara penal yaitu dengan penerapan sanksi pidana dan secara non
penal dengan tindakan diversi oleh aparat penegak hukum dan penyelesaiannya di luar peradilan formal dengan restorative justice.
Tony F. Marshall mengemukakan bahwa definisi dari restorative justice adalah :
116
116
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan restorative justice, Ibid. Hlm. 28
“restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with
the aftermath of the offence and its implications for the future. restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan
dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut
demi kepentingan masa depan
Titik awal untuk merubah sistem peradilan anak di beberapa negara dan alasan yang dikemukakan terhadap penanganan pelaku anak merupakan alasan
untuk menrapkan konsep baru yaitu restorative justice. Konsep ini relevan untuk transformasi semua bagian dari sistem peradilan pidana kepada proses yang tepat
artinya pada setiap tingkatan peradilan atau lembaga dari aparat penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana dapat dialihkan kepada proses
restorative justice. Menurut konsep restorative justice dalam penyelesaian suatu kasus tindak
pidana peran dan keterlibatan anggota masyarakat sangat penting dalam membantu memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi disekitar
lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
Berikut beberapa prinsip yang terkait dalam konsep restorative justice yang termuat dalam draft Declaration Of Basic Principles on The Use Of
Restorative Justice Programmer in Criminal Matters:
117
a Program restorative justice berarti beberapa program yang
menggunakan proses restorative justice atau mempunyai maksud mencapai hasil restorative restorative outcome
b Restorative outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai
hasil dari proses restorative justice. Contoh : restitution, community service dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan
masyarakat dan mengembalikan korban danatau pelaku
c Restorative process dalam hal ini adalah suatu proses dimana korban,
pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktip bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan
dan dicampuri oleh pihak ketiga. Contoh proses restorative mediation, conferencing dan circles.
d Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku dan individu lain atau
anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang dilibatkan dalam program restorative justice.
e Faciliator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi
memfasilitasi partisipasi keikutsertaan korban, pelaku dalam pertemuan. Penyelesaian dengan sistem restorative justice diharapkan agar semua
pihak yang merasa dirugikan akan terpulihkan kembali dan adanya penghargaan dan penghormatan terhadap korban dari suatu tindak pidana.
118
Definisi tersebut penting karena tiap negara memiliki bentuk restorative justice yang berbeda-beda akan tetapi memiliki makna atau maksud yang sama
Penghormatan yang diberikan kepada korban dengan mewajibkan pihak pelaku melakukan pemulihan kembali atas akibat tindak pidana yang telah
dilakukannya. Pemulihan yang dilakukan oleh pelaku bisa berupa ganti rugi, pekerjaan sosial atau melakukan suatu perbaikan atau kegiatan tertentu sesuai
dengan keputusan bersama yangtelah disepakati semua pihak dalam pertemuan yang dilakukan.
117
Ibid, Hlm. 37
118
Ibid, Hlm. 40
Universitas Sumatera Utara
yaitu mengembalikan korban, pelaku, dan masyarakat pada kondisi semula sebelum tindak pidana terjadi.
Menurut Van Ness untuk mengembangkan konsep restorative justice harus memperhatikan beberapa hal yaitu;
119
1. Kejahatan pada dasarnya merupaka konflik anatar individu-individu
yang menghasilkan keterlukaan pada korban, masyarakatt dan pelaku itu sendiri, hanya secara efek lanjutannya merupakan pelanggaran hukum
2. Tujuan lebih penting dari proses sistem peradilan pidana haruslah
melakukan rekonsiliasi para pihak-pihak yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada korban akibat dari kriminal yang
terjadi.
3. Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi partisipasi aktif
dari korban, pelaku dan masyarakat dan bukan dominasi oleh negara dengan mengeluarkan orang komponen yang terlibat dengan
pelanggaran dari prosespenyelesaian.
Restorative Justice merupakan suatu proses penyelesaian perkara yang dilakukan diluar peradilan formal, restorative justice mempunyai cara berfikir dan
paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang manusia tanpa semata-mata memberikan hukuman pidana. penaganan
tindak pidana dapat dilakukan dengan memperhitungkan pengaruh yang lebih luas terhadap korban, pelaku dan masyarakat.
Menurut pandangan konsep restorative justice penanganan kejahatan yang terjadi bukan hanya menjadi tanggung jawab negara akan tetapi juga
merupakan tanggung jawab masyarakat, oleh karena itu konsep restorative justice dibangun berdasarkan pengertian bahwa kejahatan yang telah
menimbulkan kerugian harus dipulihkan.
120
119
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam hukum pidana, USU Press, Medan, 2010. Hlm.38
120
Ibid,hlm.40
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan Restorative Justice antara lain :
121
1. Pelaku
Usia pertanggungjawaban kriminal di Indonesia adalah 8 tahun dalam RKUHP 12 tahun, artinya tidak ada seorang anakpun yang berusia di
bawah 8 tahun dapat secara legal dianggap melakukan kejahatan, dan tidak dapat diproses. Anak yang masih terlalu muda tidak mampu membangun
‘tujuan kriminal’. Jika ada yang berhadapan dengan Polisi, maka orangtuanya yang harus menangani masalah tersebut. Kalau ada anak di
bawah 8 tahun yang terus menerus berhadapan dengan Polisi, maka ada masalah yang sangat serius, jadi perlu dirujuk pada jasa pelayanan sosial
atau LSM terkait. Anak yang berusia antara 8-12 tahun dapat diproses hukum atas suatu
kondisi tertentu tetapi tidak bisa dikenakan penahanan atau pemenjaraan. Untuk anak usia di bawah 12 tahun, Restorative Justice harus selalu menjadi
pertimbangan pertama dan bukan proses pidana. Rencana Restorative Justice harus tersusun dengan baik agar efektif. Dan Polisi harus selalu
mempertanyakan, apa untungnya dari sebuah proses pidana bagi anak.
121
DraftSistematikaProsedur standar operasional PSOPenanganan anak
yangberhadapan hukum,http:xa.yimg.comkqgroups...draft+sop+abh+-11- 12+mei+2010+di+bumi+wiyata+depok.doc, hal. 11 diakses pada tanggal 23 maret 2014
Universitas Sumatera Utara
Anak di atas usia 12 tahun dapat diproses pidana tetapi Restorative Justice harus tetap menjadi pertimbangan pertama untuk melihat apakah sebuah
pelanggaran hukum dapat diatasi dengan baik tanpa penuntutan. 2.
Seriusitas Kejahatan Seriusitas kejahatan selalu menjadi pertimbangan pertama untuk Restorative
Justice dan hukum telah membagi kejahatan berdasarkan tingkat seriusitasnya. Walaupun ketika menghadapi anak yang berhadapan dengan
hukum, tingkatan tersebut juga menetapkan standar yang umum tentang seriusitas perbuatan, anak berhak untuk diperlakukan berbeda dari pelaku
kejahatan dewasa, dan oleh karenanya bentuk dan tingkat intervensi pun harus tetap berbeda.
Sebagai pedoman umum, kejahatan dapat dibedakan ke dalam 3 kategori: a
Ringan b
Sedang c
Berat Tingkat ringan dan berat lebih mudah dibedakan satu sama lain, dan secara
umum, kepada perbuatan yang ringan sebisa mungkin Restorative Justice segera diberlakukan. Dalam kasus kejahatan berat, Restorative Justice
bukanlah pilihan. Tetapi untuk kejahatan sedang, yang terkadang sulit dibedakan, terdapat beberapa faktor pertimbangan yang dapat membantu.
Universitas Sumatera Utara
1 Perbuatan yang Tergolong Ringan
Beberapa perilaku yang dapat digolongkan sebagai kejahatan ringan seperti penyimpangan ringan, pencurian ringan, penyerangan ringan tanpa
menimbulkan luka, atau kerusakan ringan pada harta benda. 2
Perbuatan yang Tergolong Sedang Ini adalah tipe perbuatan dimana kombinasi antara semua kondisi yang ada
harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah tepat bila ditangani dengan Restorative Justice.
Berikut adalah beberapa contoh kasus memasuki rumah tanpa ijin yang melibatkan anak:
a Sekelompok anak melewati sebuah rumah yang pintunya tidak terkunci.
Mereka lalu memasuki rumah dari pintu depan, mengambil beberapa barang dan tidak ada kerusakan sama sekali.
b Sekelompok anak memasuki sebuah rumah dengan merusak pintu dan
mengambil sejumlah kecil barang. c
Sekelompok anak berbekal obeng mendatangi sebuah rumah dengan maksud merusak jendela agar dapat masuk. Jendela dirusak, dan ketika
mereka di dalam, beberapa kerusakan tanpa terjadi. d
Sekelompok anak memasuki sebuah rumah lewat jendela yang tidak terkunci, menimbulkan kerusakan yang cukup besar pada rumah dan
mengambil sejumlah besar barang.
Universitas Sumatera Utara
Polisi masih dapat menerapkan Restorative Justice pada beberapa dari kasus-kasus tersebut.
3 Perbuatan yang Tergolong Berat
Aturan Hukum secara jelas mengidentifikasi jenis perbuatan ini sebagai kejahatan dan kepadanya Restorative Justice tidak dapat
dipertimbangkan. Misalnya pada kasus penyerangan seksual dan penyerangan fisik yang menimbulkan luka parah.
3. Sifat dan jumlah pelanggaran yang pernah dibuat sebelumnya
Kalau sebelumnya anak pernah melakukan pelanggaran hukum ringanRestorative Justice harus tetap menjadi pertimbangan. Tetapi
kesulitan untuk memberikan Restorative Justice akan muncul ketika ada sejarah bahwa anak sering melakukan perbuatan pelanggaran hukum.
Langkah harus diambil dengan sangat hati-hati dan setelah melalui pemikiran matang, dan demi kepentingan yang terbaik bagi anak.
4. Apakah anak tersebut mengakui pelanggaran tersebut
Kalau anak mengakui perbuatannya dan menyesalinya, maka ini adalah sebuah pertimbangan yang positif untuk Restorative Justice. Pengakuan atas
perbuatan tidak boleh didapatkan dengan ancaman atau bujukan atas imbalan, misalnya dengan mengatakan bahwa “kalau kamu mengaku nanti
akan diberi Restorative Justice”. Restorative Justice tidak dapat dipertimbangkan kalau anak tidak mengakui perbuatannya.
Universitas Sumatera Utara
5. Pandangan korban
a Dampak perbuatan terhadap korban
Korban-korban akan menginginkan respon yang berbeda-beda pada keadaan yang hampir sama, itu karena setiap kejahatan memberikan
dampak yang berbeda dan situasi adalah unik bagi korban. Kalau kejahatan berdampak sangat serius pada korban, meskipun anak tidak
bermaksud demikian, maka Restorative Justice mungkin tidak dapat menjadi pilihan.
b Usul yang diberikan untuk melakukan perbaikan atau meminta maaf
pada korban Perbaikan yang dilakukan untuk mengganti kerugian yang diakibatkan
adalah dengan memberikan kompensasi untuk kerugian finansial danatau harta benda. Biaya perbaikan harus diberikan apabila terdapat
kerusakan, dan barang yang diambil oleh anak harus dikembalikan. Apabila tidak memungkinkan, maka harus ada penggantian atas barang
tersebut. Termasuk juga penggantian atas nilai sentimentil barang. Selain itu, dengan permintaan anak terhadap korban menunjukkan anak
mau bertanggungjawab atas perbuatannya. Permintaan maaf dapat dilakukan melalui surat maupun secara langsung kepada korban.
c Pandangan korban tentang metode penanganan yang ditawarkan
Harus ada masukan danatau persetujuan dari korban dalam proses Restorative Justice agar pengakuan korban mengenai dampak perbuatan
turut dipertimbangkan. Kekhawatiran korban biasanya timbul sehingga
Universitas Sumatera Utara
mereka sulit menerima proses Restorative Justice. Untuk itu intervensi yang dilakukan harus tetap pantas dan proporsional dengan perbuatan
anak dan dampak yang dialami korban. 6.
Sikap keluarga anak tersebut Dukungan dari orangtua dan keluarga sangat penting agar Restorative
Justice dapat berhasil. Kalau keluarga berusaha menutup-nutupi perbuatan anak, maka rencana Restorative Justice yang efektif akan sulit untuk
diimplementasikan. Keluarga mungkin merasa malu atas tindakan anak tersebut sehingga tidak mau memberikan dukungan kepada anak tetapi
Restorative Justice tetap harus dilakukan untuk memberikan support kepada anak. Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan anak juga akan
membentuk persepsi negatif orangtuakeluarga, namun mereka juga dapat menyambut baik kemungkinan Restorative Justice untuk membantu mereka
dan anak tersebut C.
Konsep Diversi dan Restorative Justice menurut UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Penerapan peradilan khusus anak telah memberikan ruang untuk pelaksanaan diversi secara luas. Perubahan-perubahan pada peradilan umum
menuju peradilan yang mengutamakan perlindungan anak dan diversi pada saat ini dapat kita lihat pada tabel berikut.
122
122
Marlina,”Penerapan konsep diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak” repository.usu.ac.id, 2008 hlm. 98 diakses pada tanggal 5 Maret 2014
Universitas Sumatera Utara
Tabel restrukturisasi peradilan pidana setelah reformasi hukum
Proses Kebijakan
Penyebab Kejahatan Tindakan Pencegahan Delinkuensi
Rindak pidana oleh anak Dekriminalisasi
Ditangkap polisi Diversi
Pengadilan Proses peradilan anak
Penjara Diskresideinstutitionalisation
Tabel diatas menggambarkan terjadinya perubahan kebijakan peradilan pidana yang ditujukan untuk melindungi anak yang melakukan tindak pidana.
Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan
pemenjaraan. Menurut standard Internasional Diversi dapat dilakukan pada setiap tahapan
proses peradilan, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, dan pelaksanaan putusan hakim, sebelumnya dalam ketentuan
hukum di Indonesia, pelaksanaan Diversi hanya dimungkinkan ditingkat penyidikan artinya hanya merupakan kewenangan dari kepolisian,
sementara di lembaga lain seperti Kejaksaan, Kehakiman, atau Lembaga pemasyarakatan belum ada aturan yang mengaturnya.
123
123
Ibid
Hal ini yang akhirnya mulai dipikirkan oleh pemerintah agar penerapan Diversi ini dapat berjalan dalam semua tahap proses peradilan.
Universitas Sumatera Utara
Sistem peradilan pidana di Indonesia ada empat komponen sub sistem yaitu kepolosian, kejaksaan, kehakiman, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Keempat subsistem ini harus bekerjasama secara terpadu, dalam pasal 7 ayat 1 UU sistem peradilan pidana anak menentukan bahwa pada tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negri wajib diupayakan diversi.
Indonesia telah membuat Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana anak yang telah mengatur Konsep diversi dan keadilan
restoratif. Menurut UU Sistem peradilan pidana anak tersebut Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses
diluar perdilan pidana.
124
124
Pasal 1 ayat 7 UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
Keberadaan diversi di Indonesia telah diakui melalui UU SPPA yang disahkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku efektif 2 dua tahun
kemudian. Pasal 7 ayat 1 UU SPPA menyatakan bahwa “Pada tingkatan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib
diupayakan diversi”. Syarat atau kriteria tindak pidana yang dapat dilakukan diversi adalah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 ayat 2 UU SPPA yang
berbunyi “Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tujuh tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana”. Diberikannya kewenangan kepada kepolisian selaku penyidik untuk
melakukan diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
anak lebih didasarkan pada kedudukan kepolisian sebagai lembaga penegak hukum yang pertama dan langsung bersinggungan dengan masyarakat, polisi pada
dasarnya mempunyai potensi yang demikian besar untuk merubah kultur masyarakat. Kewenangan dan otoritas polisi apabila dikemas secara dinamis akan
menjadi sarana bagi polisi dalam membangun masyarakat. Kewenangan dan otoritas polisi dalam konteks ini, pengalaman para bobby
di Inggris dapat menjadi acuan. Istilan bobby untuk menunjuk pada sosok polisi di Inggris berasal dari nama Robert Peel sebagai sosok polisi yang
selalu ramah, tidak memihak dan penuh humor. Sikap polisi yang demikian inilah yang pada akhirnya ter-internalisasi-kan ada masyarakat Inggris,
sehingga masyarakat Inggris berkembang menjadi masyarakat yang tertib dan teratur.
125
tahap penyidikan oleh kepolisian, yaitu: Ada beberapa keuntungan yang akan diperoleh jika diversi dilakukan pada
126
1. Kepolisian merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum dalam
subsistem peradilan pidana yang mempunyai jaringan hingga tingkat kecamatan dengan demikian, secara structural lembaga kepolisian
merupakan satusatunya lembaga penegak hukum yang paling dekat dan paling mudah dijangkau oleh masyarakat, dengan potret kelembagaan
yang demikian kepolisian merupakan lembaga penegak hukum yang paling memungkinkan untuk memiliki jaringan sampai di tingkat yang
paling bawah tingkat desa. Salah satu lembaga yang dibentuk oleh kepolisian pada tingkat desakelurahan adalah Badan Kemitraan Polisi
dan Masyarakat BKPM.
2. Secara kuantitas aparat kepolisian jauh lebih banyak dibandingakan
dengan aparat penegak hukum yang lainnya, sekalipun juga disadari bahwa tidak setiap aparat kepolisian mempunyai komitmen untuk
menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak, tetapi ketersediaan personil yang cukup memadai juga akan sangat membantu proses
penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
3. Lembaga kepolisian merupakan aparat penegak hukum pertama yang
bergerak dalam proses peradilan pidana, maka diversi di tingkat kepolisian mempunyai makna memberikan jaminan kepada anak untuk
sedini mungkin dihindarkan dari bersinggungan dengan proses peradilan pidana, dengan demikian, dampak negatif akibat anak
bersinggungan dengan aparat penegak hukum dapat diminimalisir.
125
Koeno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009, hlm. 111
126
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pengaturan prosedur pelaksanaan diversi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 8 UU SPPA9 masih bersifat abstrak yaitu hanya menyebutkan bentuk
diversi melalui musyawarah berdasarkan Keadilan Restoratif yang melibatkan pelaku dan keluarganya, korban dan keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional serta masyarakat, berdasarkan pada Pasal 7 ayat 1 UU SPPA, pelaksanaan diversi ini harus dilakukan pada setiap tingkatan dalam
proses peradilan pidana anak mulai penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh penunutut umum dan pemeriksaan di pengadilan oleh hakim.
Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelakukorban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
127
Diversi melalui keadilan restoratif yang sepaham dengan budaya bangsa Indonesia sedikitnya memiliki keuntungan sebagai berikut:
128
a Dapat mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan.
b Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses
berperkara seringkali berkepanjangan dan memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
c Meningkatkan keterlibatan masyarakat atau memberdayakan pihak-
pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa. d
Memperbesar peluang masyarakat untuk mendapatkan keadilan. e
memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak,
sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi. f
Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah. g
Bersifat tertutup atau rahasia, sehingga mengurangi rasa malu keluarga. h
Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan yang dikarenakan keputusan yang diambil merupakan kehendak para
pihak, sehingga hubungan pihak-pihak bersengketa di masa depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik.
127
Pasal 1 ayat 6, Ibid.
128
Achmad Ratomi, “Prosedur pelaksanaan diversi pada tahap Penyidikan dalam penyelesaian tindak Pidana yang dilakukan oleh anak”, Hal. 9, Diakses pada tanggal 23 Maret
2014
Universitas Sumatera Utara
i Mengurangi merebaknya mafia hukum baik di tingkat penyidikan,
penututan, pengadilan maupun pada tingkat pelaksanaan putusan pengadilan.
Undang-undang sistem peradilan pidana anak juga dilaksanakan berdasarkan asas :
a. Perlindungan
b. Keadilan
c. Non dikriminasi
d. Kepentingan terbaik bagi anak
e. Penghargaan terhadap pendapat anak
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
g. Pembinaan dan pembimbingan anak
h. Proporsional
i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan
j. Penghindaraan pembalasan.
Hal tersebut sebagai tindak lanjut dari Indonesia sebagai negara pihak dalam Konvensi Hak- hak anak Convention on the rights of the child yang mengatur
prinsip perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana
anak juga dalam bagian menimbang poin d menyebutkan bahwa Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komperehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan
hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, di dalamnya terdapat konsep diversi sebagai bahan pembarua, antara lain dalam Pasal 1 angka
6, Pasal 6-12, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 28, Pasal 38, dan Pasal 49, Pada Pasal 1 angka 6 di jelaskan bahwa diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara
anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Undang-undang ini menegaskan bahwa tujuan diversi adalah untuk:
1 Mencapai perdamaian antara korban dan anak; 2 Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
3 Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; 4 Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5 Menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orang tuawalinya, korban danatau orang tuawalinya, pembimbing kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan
Restoratif. Harkristuti menjelaskan, bahwa pengaturan yang telah dihilangkan dari UU
No. 3 Tahun 1997 ke UU No. 11 Tahun 2012, yakni :
129
a. Istilah “anak nakal”
b. Cakupan pelaku ”tindak pidana” atau yang melanggar “living law”
c. Usia pertanggungjawaban pidana anak 8 tahun
d. Belum memasukkan asas-asas Beijing rule
e. Tidak secara expressis verbis menyatakan bahwa perampasan
kemerdekaan adalah measure of the last resort f.
Tidak memberi ruang bagi diversi. Bentuk Perubahan yang telah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak :
129
Harkristuti Harkrisnowo, RUU Pengadilan Pidana Anak: Suatu Telaah Ringkas, 2010, hal.7
Universitas Sumatera Utara
a. Filosofi Sistem Peradilan Pidana Anak
b. Penghapusan kategori Anak Pidana, Anak Negara Dan Anak Sipil
c. Diversi dan Restorative Justice
d. Penegasan hak anak dalam proses peradilan
e. Pembatasan upaya perampasan kemerdekaan sebgai measure of the last
resort f.
Pengaturan bentuk-bentuk alternative to imprisontment Penjelasan secara rinci tentang perubahan substansi Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang yang baru, dapat dilihat sebagai berikut : a.
Landasan Filosofis 1.
Peradilan anak merupakan integral dari proses pembangunan nasional 2.
Anak, karena karakteristiknya belum matang baik secara fisik maupun psikis memerlukan perlindungan dan penanganan hukum yang khusus
dibandingkan dengan orang dewasa 3.
Berlandaskan pada prinsip non-diskriminasi dan kepentingan terbaik bagi anak
4. Merupakan kewajiban Negara, masyarakat dan keluarga untuk
melindungi anak. b.
Penghapusan kategori anak Saat ini dalam lapas anak terdapat : anak pidana, anak Negara dan anak
sipil, walau status berbeda akan tetapi pembedaan perlakuaan akan sulit dilakukan. Anak Negara dapat berada dilapas anak lebih lama dari anak
pidana. Anak sipil sudah jarang sekali dimasukkan ke dalam lapas anak.
Universitas Sumatera Utara
c. Diversi dan Restorative Justice
Tujuan dari restorative justice ialah : 1.
Bergeser dari les talionis atau retributive justice pembalasan 2.
Menekankan pada upaya pemulihan keadaan 3.
Berorientasi pada pemulihan korban 4.
Memberi kesempatan pada pelaku untuk mengungkapkan rasa sesalnya kepada korban dan sekaligus menunjukkan tanggung jawabnya
5. Memberi kesempatan pada pelaku dan korban untuk bertemu dan
mengurangi permusuhan dan kebencian 6.
Mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat 7.
Melibatkan anggota masyarakat dalam upaya pengalihan proses peradilan.
Program Diversi, yakni : 1.
Upaya untuk mencegah masuknya anak delinkuen kedalam SPP dengan megalihkan ke luar SPP Anak
2. Mencegah stigmatisasi terhadap anak pelaku kejahatan
3. Menekankan sense of responsibility pada anak atas perlilakunya yang
tidak terpuji 4.
Membutuhkan aparat hukum yang peka dan handal karena besarnya discretionary power yang diberikan kepadanya
5. Membutuhkan bantuan PK yang handal untuk membantu tercapainya
tujuan dan program diversi Upaya yang wajib dilakukan oleh penegak hukum pada setiap tahap pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
6. Memerlukan penegak hukum yang peka terhadap kebutuhan anak,
memahami hak-hak anak dan tidak mengutamakan penyelesaian melaui proses hukum.
Syarat-syarat Diversi:
130
1. Kategori tindak pidana pidana kurang dari 7 tahun
2. Usia anak makin rendah makin didorong upaya diversi
3. Hasil penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS
4. Kerugian yang ditimbulkan
5. Tingkat perhatian masyarakat
6. Dukungan lingkungan keluarga dan masyrakat
7. Persetujuan korban dan keluarganya jika masih anak-anak
8. Kesediaan pelaku dan keluarganya jika masih anak-anak.
Hasil Kesepakatan Diversi antara lain : 1.
Perdamaian dengan atau ganti rugi 2.
Meyerahkan kembali kepada orangtua orangtua asuh 3.
Mengikuti pendidikan atau pelatihan ke lembaga sosial dan atau Pelayanan masyarakat.
130
Ibid, Hlm. 18
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HAMBATAN DAN UPAYA PENANGANAN DALAM MEWUJUDKAN PERADILAN PIDANA ANAK YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK PELAKU
TINDAK PIDANA STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN
A. Hambatan dalam pelaksanaan peradilan pidana anak