kreatifitas yang dihasilkan oleh pengelola usaha Rofiaty, 2010, yang juga merupakan cerminan dari penerapan konsep entrepreneurial marketing.
1.2 Perumusan Masalah
Bogor merupakan salah satu sentra IKM alas kaki di Jawa Barat setelah Cibaduyut, Bandung. Baik wilayah Kota maupun Kabupaten Bogor, keduanya
begitu potensial untuk pengembangan industri alas kaki. Potensi IKM alas kaki selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1, di mana data pada tabel tersebut
merupakan rekap data terkini yang dimiliki pihak Dinas terkait di masing-masing wilayah.
Tabel 1. Potensi IKM Alas Kaki di Bogor
Indikator Kabupaten Bogor
Tahun 2011 Kota Bogor
Tahun 2003
Kapasitas produksi per tahun kodi 1.863.360
3.568.272 Jumlah unit usaha orang
1.941 240
Jumlah tenaga kerja orang 18.108
3.200
Sumber: Data Diskoperindag Kabupaten Bogor dan Disperindag Kota Bogor, diolah 2012
Berdasarkan penelitian Widyastutik et al. 2010, diketahui bahwa Kota Bogor memiliki banyak IKM, namun yang berpotensi untuk dijadikan klaster
industri adalah industri alas kaki dalam hal ini sepatu dan sandal. Beberapa daerah yang menjadi sentra industri alas kaki di Kota Bogor adalah Kelurahan Cikaret,
Pamoyanan dan Mulyaharja yang ketiganya berada di Kecamatan Bogor Selatan. Di sisi lain, untuk wilayah Kabupaten Bogor, posisi IKM alas kaki sudah sesuai
dengan RPJMN, yang menetapkan industri alas kaki sebagai salah satu industri prioritas pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian
Depperin 2007 mengenai kajian pengembangan kompetensi inti daerah, dimana produk alas kaki di wilayah Kabupaten Bogor ditetapkan sebagai produk
unggulan prioritas, dengan sentra produksi berada di Kecamatan Ciomas. Potensi IK alas kaki juga dapat dilihat dari peningkatan jumlah unit usaha tiap tahunnya.
Pihak UPT Unit Pelayanan Teknis alas kaki Kabupaten Bogor menyebutkan bahwa rata-rata kenaikan jumlah pelaku usaha adalah 2,5 persen per tahun.
Dikarenakan data jumlah unit usaha yang tersedia hanya pada tahun 2010 dan 2011, maka untuk data tahun-tahun sebelumnya dilakukan penyesuaian
berdasarkan peningkatan rata-rata sesuai pernyataan dari pihak UPT Gambar 1.
Gambar 1. Trend Jumlah Unit Usaha IKM Alas Kaki Kabupaten Bogor
Sumber: Data Diskoperindag Kabupaten Bogor, diolah 2012 Meski keberadaannya begitu potensial, namun realisasi pengembangan
Industri Kecil IK alas kaki di wilayah Bogor masih belum optimal. Mayoritas IK alas kaki di wilayah Bogor masih berada pada kondisi yang tidak ideal, dimana IK
alas kaki tidak mengalami perkembangan yang signifikan dan tidak jauh berbeda kondisinya ketika awal didirikan. Pihak UPT alas kaki Kabupaten Bogor
menyebutkan bahwa hanya sekitar 5 persen IKM alas kaki yang berkembang menjadi usaha besar.
Upaya pengembangan IK alas kaki di wilayah Bogor menghadapi berbagai permasalahan, terkait dengan permodalan dan pemasaran Widyastutik et. al,
2010. Keterbatasan modal membuat sebagian besar pelaku IK alas kaki melakukan kemitraan dengan pengumpul dalam hal pengadaaan bahan baku dan
pemasaran produk. Depperin 2007 mengidentifikasi beberapa kelemahan dan kendala yang dihadapi pengrajin industri alas kaki di wilayah Kabupaten Bogor,
antara lain: a keterbatasan modal untuk pengadaan bahan baku secara mandiri, b pengrajin terpola untuk selalu mengerjakan order dari pengumpul, sehingga
kurang mampu dalam membaca peluang pasar yang masih sangat luas dan terbuka, c model yang dikerjakan masih monoton karena posisinya sebagai
follower , d modal kurang dapat dikelola dengan baik karena pembayaran yang
diterima berupa cek mundur 2 bulan, dimana berpotensi mengurangi margin yang seharusnya diterima karena dikenakan bunga sekitar 6 per bulan, dan e
teknologi proses produksi yang digunakan masih sederhana.
1747 1795
1844 1933
1941
1600 1650
1700 1750
1800 1850
1900 1950
2000
2007 2008
2009 2010
2011 jumla h
unit usa ha
Jika ditelusuri lebih lanjut, permasalahan permodalan dapat bersumber pada dua hal, yaitu: karakteristik pelaku usaha dan konsistensi dukungan
pemerintah daerah Pemda. Meski sumber dana yang tersedia cukup banyak, namun belum adanya titik temu antara debitur dan kreditur menyebabkan
minimnya pembiayaan melalui perbankan Widyastutik et. al, 2010. Kesulitan memperoleh kredit bank dimungkinkan oleh berbagai hal, antara lain: pelaku
usaha tidak memiliki laporan keuangan yang sesuai dengan persyaratan perbankan, minimnya pengetahuan pelaku usaha terhadap akses permodalan, atau
rendahnya keinginan pelaku usaha untuk mandiri dalam permodalan. Di sisi lain, konsistensi Pemda dalam mendukung industri alas kaki masih belum begitu fokus,
dimana seringkali bergantung pada kondisi pasar Ermayani et al., 2010. Apabila perdagangan alas kaki sedang lesu, Pemda cenderung beralih menggarap sektor
IK lainnya. Dalam hal pemasaran, pola pemasaran yang dilakukan para pengrajin juga
cenderung konvensional dan terbatas. Pemasaran yang terjadi selama ini adalah produk sepatu pesanan pengumpul diberikan kepada pengumpul, untuk dijual
kembali oleh para pengumpul di pasar-pasar lokal di Bogor Ermayani et al., 2010. Meski demikian, terdapat juga beberapa pelaku IK sepatu yang bersifat
mandiri, yang tidak meminjam atau menerima order dari pengumpul, berusaha dengan modal sendiri, serta memasarkan sendiri produknya ke toko-toko.
Permasalahan pemasaran juga berkaitan erat dengan karakeristik pelaku usaha dan berbagai keterbatasan sumberdaya yang mereka hadapi. Pelaku usaha yang
bersifat pengrajin cenderung memiliki jiwa wirausaha yang rendah sehingga mereka kurang berani mengambil resiko untuk mandiri. Meski pada
kenyataannya, bertindak sebagai pengusaha mandiri lebih menguntungkan dibandingkan hanya sebatas menjadi pengrajin.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam pengembangan IK alas kaki di wilayah Bogor dapat dikelompokkan ke dalam dua faktor utama: 1 faktor
internal, yaitu kompetensi pelaku usaha dan 2 faktor eksternal, yaitu kebijakan pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan penelitian Utami 2007 yang
menyatakan bahwa model pemberdayaan yang efektif bagi para pengrajin adalah dengan meningkatkan kualitas perilaku wirausaha dan kemandirian usaha, yang
didukung oleh unsur penunjang dari pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah.
Agar tetap mampu bertahan dan berkelanjutan, maka pelaku IK alas kaki harus concern terhadap daya saing usaha maupun daya saing produknya. Kunci
peningkatan daya saing IK terletak pada pengusaha IK yang memiliki jiwa kewirausahaan dan jiwa inovasi yang tinggi Susilo, 2010, yang mana hal ini
merupakan cerminan penerapan entrepreneurial marketing. Selain itu, pemerintah juga berperan penting dalam peningkatan daya saing IK. Secara spesifik dan
operasional, Pemda berkewajiban menjadi fasilitator dalam akses permodalan pengrajin alas kaki, menjadi regulator dalam melindungi usaha alas kaki melalui
kebijakan baik di tingkat input modal dan bahan baku, hingga kebijakan di tingkat pemasaran Kusumawati et.al, 2010.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka perumusan masalah penelitian yang dapat diajukan adalah:
1. Bagaimana karakteristik pelaku usaha, karakteristik usaha dan keterkaitan
keduanya pada IK alas kaki di wilayah Bogor? 2.
Sejauh mana kemampuan entrepreneurial marketing, implementasi kebijakan pemerintah dan kemampuan daya saing pelaku usaha IK alas kaki di wilayah
Bogor? 3.
Bagaimana pengaruh entrepreneurial marketing dan kebijakan pemerintah terhadap daya saing industri alas kaki di wilayah Bogor?
1.3 Tujuan Penelitian