Di sisi lain, model struktural atau inner model adalah model yang menggambarkan signifikansi hubungan dan pengaruh antar variabel laten, yaitu
peubah EM dan KP terhadap DS. Analisis model inner akan menjawab hipotesis- hipotesis yang diajukan dalam penelitian. Proses untuk mendapatkan inner model
dilakukan melalui teknik bootstrapping dengan Smart PLS. Teknik bootstrapping adalah teknik rekalkulasi data sampel secara random untuk memperoleh nilai T-
statistik. Berdasarkan nilai T-statistik yang diperoleh, maka dapat diketahui hubungan antar variabel yang diukur. Selanjutnya, besarnya pengaruh antar
variabel dapat dilihat dari kriteria estimasi koefisien jalur untuk masing-masing path
yang ada.
4.9.1 Model Pengaruh Langsung EM dan KP terhadap DS
Pada model ini, diidentifikasi pengaruh langsung antar variabel eksogen terhadap variabel endogen dengan jumlah sampel yang lengkap 100 sampel.
Metode analisis yang digunakan bertujuan untuk mengetahui bentuk dan besarnya pengaruh EM dan KP secara langsung terhadap variabel DS. Hasil output PLS
dan bootstrapping dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 4.
4.9.1.1 Analisis Model Outer
Indikator EM dan KP yang tidak sejalan dalam mendukung DS dihilangkan. Indikator ini ditandai dengan nilai koefisiennya yang bernilai negatif.
Pada tahap awal, indikator X1.37 Gambar 7 dihilangkan dari model karena bernilai negatif diantara indikator-indikator dalam variabel EM dan KP. Setelah
proses pendropan selesai, didapatkanlah model akhir sebagaimana disajikan pada Gambar 8.
Dikarenakan semua indikator dalam model berbentuk reflektif, maka analisis model outer termasuk pada mode reflektif. Pengujian mode reflektif
terlebih dahulu dilakukan dengan menggunakan 5 kriteria yaitu: Loading factor, Composite Reliability, Average Variance Extracted
AVE, Akar kuadrat AVE, dan Cross Loading Ghozali, 2008. Berdasarkan Tabel 21, diketahui bahwa outer
model reflektif penelitian ini telah memenuhi nilai standar yang ada, baik dalam
kriteria reliabilitas dan validitas.
Tabel 21. Hasil Penilaian Kriteria dan Standar Nilai Mode Reflektif direct effect EM dan KP terhadap DS
No. Kriteria
Penjelasan Standar
Hasil penilaian
1. Loading factor
Kekuatan indikator dalam
merefleksikan laten
≥ 0,6 Semua indikator memiliki
loading factor ≥ 0,6
2. Composite
Reliability Konsistensi
internal 0,6
EM = 0,841; KP = 0,901; DS = 0,775
3. Average
Variance Extracted
AVE Validitas
konstruk 0,5
EM = 0,515; KP = 0,697; DS = 0,538
4. Akar kuadrat
AVE Validitas
diskriminan Lebih besar dari
nilai korelasi antar variabel
Semua nilai akar kuadrat AVE dari peubah laten,
lebih besar dari korelasi peubah laten lainnya
Lampiran 3. Laten variable correlation
5. Cross Loading
Validitas diskriminan
Setiap indikator memiliki loading
lebih tinggi untuk setiap laten yang
diukur, dibandingkan
dengan indikator untuk laten lainnya
Semua indikator EM, KP dan DS memiliki korelasi
yang lebih besar pada laten sendiri daripada korelasi
ke laten lainnya Lampiran 3. Cross loading
Sumber: Data sekunder, diolah 2012
Model akhir pada Gambar 8 menunjukkan bahwa, variabel laten EM dicerminkan oleh 5 indikator utama, yaitu: X1.30 frekuensi diversifikasi produk,
X1.32 tingkat keragaman produk, X1.41 kemampuan menjalin hubungan dengan usaha menengah, X1.42 kemampuan menjalin hubungan dengan usaha
besar, dan X1.43 tingkat keaktifan mencari info usaha. Hal ini berarti bahwa, berdasarkan persepsi pelaku usaha, kemampuan entrepreneurial marketing yang
baik adalah ketika setidaknya 5 indikator utama reflektif tersebut dapat terlaksana dengan optimal. Indikator X1.30 frekuensi diversifikasi produk, merefleksikan
interelasi terbesar dalam menggambarkan entrepreneurial marketing dengan nilai loading factor
0,754. Hasil tersebut memberi gambaran bahwa, keberadaan frekuensi diversifikasi produk merupakan hal yang paling dominan dalam
mencerminkan kemampuan entrepreneurial marketing, yang nantinya akan berpengaruh pada pencapaian daya saing industri alas kaki Bogor. Berdasarkan
hasil interview diketahui bahwa, frekuensi diversifikasi produk tidak memiliki kisaran waktu yang rutin, karena bisa jadi model tertentu dapat laku dan bertahan
lama. Umumnya, pelaku usaha menyesuaikan pembuatan model baru berdasarkan permintaan konsumen dan trend di pasaran. Bagi para pengrajin yang bergantung
pada permintaan pihak grosir, mereka tidak akan mengeluarkan model baru sampai model tersebut mulai melemah. Meski demikian, sebagian besar pelaku
usaha biasanya mulai lebih gencar menawarkan variasi model baru pada bulan- bulan setelah lebaran.
Gambar 7. Model Awal direct effect full sample
Gambar 8. Model Akhir direct effect full sample
Berdasarkan persepsi pelaku usaha, kemampuan entrepreneurial marketing
yang berkaitan dengan daya saing dicerminkan dominan oleh sub variabel concept frekuensi diversifikasi produk dan tingkat keragaman produk
serta market intelligence kemampuan menjalin hubungan dengan usaha
menengah, kemampuan menjalin hubungan dengan usaha besar dan tingkat keaktifan mencari info usaha. Sub variabel concept menjelaskan mengenai
inovasi dan diversifkasi produk, sedangkan market intelligence berkaitan dengan jaringan informal dan pengumpulan informasi pasar. Dalam hal inovasi dan
diversifikasi produk, sebagian besar pelaku usaha alas kaki telah piawai melakukannya. Mayoritas dari mereka membeli buku-buku desain alas kaki atau
majalah, untuk mencari model alas kaki terkini. Ada juga yang mendatangi sejumlah outlet-outlet alas kaki tertentu, hanya sekedar untuk melihat variasi
model alas kaki di pasaran. Bahkan, bagi sejumlah pelaku usaha yang cukup berkembang, mereka menggunakan akses internet untuk benchmarking dan
memunculkan ide-ide baru dalam berinovasi.
Pelaku usaha : “.. ide-ide untuk model sepatusandal biasanya dari majalah., main ke pasar Bogor, pasar anyar, atau ke mall.. dari buku-buku desain.. ada juga yang dari
internet.. ”
Di sisi lain, kemampuan jaringan informal dan pengumpulan informasi pasar belum terbentuk secara sempurna, terutama pada kemampuan menjalin
hubungan dengan usaha besar UB. Secara umum, kemampuan menjalin hubungan informal dengan usaha yang berskala lebih besar, berawal dari
kerjasama sistem order atau grosir. Namun, untuk order dari usaha besar UB, biasanya melalui broker atau perantara, sehingga pelaku usaha sulit untuk
berhubungan langsung dengan usaha besar yang bersangkutan. Ada juga beberapa pelaku usaha yang memulai hubungan dengan usaha yang lebih besar melalui
kegiatan pelatihan. Dengan memanfaatkan hubungan baik yang terjalin antar mereka dan usaha yang berskala lebih besar, para pelaku usaha dapat
memanfaatkan berbagai peluang yang potensial untuk kemajuan usahanya.
Pihak UPT : “Jika mereka pandai membaca peluang.. Sebetulnya sudah ada yang menembus ke usaha-usaha besar, contohnya hubungan pengrajin dengan PT. X yang
merupakan produsen safety shoes untuk ekspor.. upper-nya dibuat disni..”
Selanjutnya, variabel laten KP dicerminkan oleh indikator X2.45 frekuensi pelatihan manajerial, X2.46 frekuensi pelatihan marketing, X2.47
frekuensi pelatihan produksi, dan X2.48 frekuensi pelatihan keuangan. Masing-masing indikator KP memiliki interelasi yang tinggi dalam
menggambarkan variabel latennya, dimana semua indikator memiliki nilai
loading factor lebih dari 0,7. Jika dilihat dari pendugaan model keterkaitan
kebijakan pemerintah dengan daya saing, berdasarkan persepsi pelaku usaha diketahui bahwa kebijakan pemerintah yang baik setidaknya dicirikan dengan
terlaksananya 4 indikator reflektif KP secara optimal, yang mana semua indikator tersebut termasuk pada dimensi kebijakan fasilitasi pelatihan. Meski berbagai
kebijakan pelatihan telah dilakukan, namun keterbatasan anggaran pemerintah menyebabkan pelaksanaannya belum optimal. Fasilitasi kegiatan pelatihan yang
ada saat ini masih berada pada tahap penjajakan dan sosialisasi. Beberapa kegiatan pelatihan yang telah dilakukan pihak UPT antara lain
adalah pelatihan kewirausahaan, pengenalan pasar, manajemen keuangan, gugus kendali mutu GKM dan achiecement motivation training AMT. Pelatihan-
pelatihan tersebut dilakukan baik di Bogor maupun di luar Bogor. Para pelaku usaha dikumpulkan pada satu tempat dengan para pelaku usaha alas kaki dari
daerah lain seperti Bandung, Jakarta, Sidoarjo atau Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk menciptakan knowledge sharing diantara mereka, yang dapat memunculkan
peluang pasar, sehingga pada akhirnya mampu menciptakan kemampuan berdaya saing.
Pihak UPT : “Ketika kita ketemu dengan orang Jakarta, ketemu dengan orang Bandung, di situlah mulai terbuka peluang pasar… di Bogor ada apa, di Bandung apa, bisa tukar
pikiran”
Pelaku usaha 1: “ saya dulu pernah ikut pelatihan di Bogor.. macam-macam pelatihan terdiri dari persepatuan, pemasaran seperti penjelasan untuk keluar daerah.. ”
Variabel laten DS dicerminkan oleh indikator Y.55 peningkatan jumlah pelanggan per tahun, Y.56 peningkatan cakupan wilayah pemasaran, dan Y.57
tingkat keberhasilan produk terjual pada pelanggan baru. Hal tersebut dapat diartikan bahwa, berdasarkan persepsi pelaku usaha, ketika ketiga indikator utama
DS terlaksana dengan optimal, hal tersebut merupakan cerminan kemampuan daya saing yang baik. Masing-masing indikator DS memiliki interelasi yang
cukup tinggi dalam menggambarkan variabel latennya, dengan interelasi tertinggi dimiliki oleh indikator Y.57 tingkat keberhasilan produk terjual pada pelanggan
baru sebesar 0,847. Keberhasilan produk terjual di pelanggan baru merupakan cerminan utama dari kemampuan berdaya saing. Ukuran indikator ini berkaitan
dengan tingkat penerimaan konsumen baru terhadap model-model alas kaki yang
ditawarkan pelaku usaha. Keberhasilan produk dijual pada pelanggan baru dapat dilihat dari trend perkembangan jumlah konsumen baru yang dimiliki pelaku
usaha tiap tahunnya. Berdasarkan data di lapangan, diketahui bahwa sebagian besar pelaku usaha masih kurang signifikan dalam hal pertambahan jumlah
pelanggan baru yang mereka miliki. Namun, bagi beberapa pelaku usaha yang memiliki keahlian yang sangat baik dimana mereka mampu membuat model-
model alas kaki yang dapat mendongkrak pasar, para konsumen baru justru datang langsung menghampiri mereka.
4.9.1.2 Analisis Model Inner
Pada analisis model inner, pengujian dilakukan terhadap 2 kriteria yaitu:
R² dari peubah laten endogen dan estimasi koefisien jalur Ghozali, 2008.
Berdasarkan Tabel 22, diketahui bahwa model pengaruh langsung EM dan KP terhadap DS memberikan nilai R² sebesar 0,302. Nilai R² dapat diinterpretasikan
bahwa variabilitas laten daya saing DS dapat dijelaskan oleh variabilitas laten entrepreneurial marketing
EM dan kebijakan pemerintah KP sebesar 30,2 persen, sedangkan 69,8 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar variabel yang
diteliti.
Tabel 22. Nilai Analisis Model Inner vs Standar direct effect EM dan KP terhadap DS
No. Kriteria
Penjelasan Standar
Hasil penilaian
1. R² dari peubah
laten endogen Variabilitas
konstruk endogen yang dapat
dijelaskan oleh variabilitas konstruk
eksogen Chin 1998
mengelompokkan nilai R² sebesar 0,67;
0,33; dan 0,19 sebagai
“substansial”, “moderat” dan
“lemah”
R² untuk DS = 0,302
2. Estimasi
koefisien jalur Evaluasi terhadap
nilai koefisien, meliputi pengaruh
nyata melalui Bootstrap
dan besarnya nilai
koefisien Pengaruh nyata jika,
T-statistik T-tabel. Pada alpha 5 persen,
nilai T-tabel adalah 1,96
Nilai T-statistik: EM - DS = 9,812
KP - DS = 0,002 Nilai koefisien:
EM - DS = 0,549 KP - DS = -0,000
Sumber: Data sekunder, diolah 2012
Melalui metode bootstrapping pada Smart PLS, diperoleh nilai T-statistik sebagai acuan menilai signifikansi statistik model penelitian dengan menguji
hipotesis untuk tiap jalur hubungan. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel EM memiliki pengaruh yang nyata terhadap DS, dengan nilai T-statistik sebesar 9,812
lebih besar dari T-tabel. Sedangkan variabel KP tidak berpengaruh secara nyata terhadap DS, dengan nilai T-statistik hanya sebesar 0,002 lebih kecil dari T-
tabel. Besarnya pengaruh laten eksogen terhadap laten endogen dapat dilihat dari besaran nilai koefisien jalur. Diketahui bahwa variabel laten EM memiliki
pengaruh positif langsung terhadap DS, dengan koefisien jalur sebesar 0,549. Dengan demikian hipotesis 1 H1 dapat diterima. Hal yang berbeda terjadi pada
variabel laten KP yang tidak berpengaruh langsung terhadap DS, maka hipotesis 2 H2 pada penelitian ini ditolak.
Pengaruh yang tidak signifikan antara kebijakan pemerintah KP terhadap kemampuan daya saing DS, dapat disebabkan karena mayoritas pelaku usaha
mengaku belum merasakan implementasi optimal dari berbagai kebijakan pemerintah KP yang ada. Peran pemerintah sebaiknya lebih diprioritaskan pada
pembenahan kompetensi pelaku usaha, sehingga ketika pelaku usaha telah memiliki kompetensi yang baik, kemampuan daya saing akan terbentuk dengan
sendirinya. Keterbatasan anggaran dan jumlah pelaku usaha alas kaki yang banyak dengan kenaikan populasi 2,5 persen per tahun, menjadi salah satu
penyebab rendahnya pemerataan optimalisasi kebijakan pemerintah.
Pihak UPT : “1 tahun kuota yang ikut pelatihan 20 orang per desa.. pelatihan dilakukan giliran, yang ini sudah kewirausahaan, desa ini belum.. contoh : pelatihan gkm baru
sosialisasi, belum pemantapan dan penerapan.. pengrajin yang tercatat ada 2.000 orang, jika 1 tahun dibatasi 10-100 orang yang ikut pelatihan, berapa tahun perubahan yang
harus dilakukan.. ”
Di sisi lain, besarnya koefisien pengaruh entrepreneurial marketing EM terhadap daya saing DS dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi
kemampuan entrepreneurial marketing yang dimiliki pelaku usaha kecil alas kaki, maka akan semakin tinggi pula kemampuan daya saing dalam industri alas kaki.
Pada industri alas kaki, inovasi dan kreasi model sangat diperlukan agar konsumen tidak merasa jenuh dengan model produk yang monoton. Selain itu,
penguatan jaringan informal dan pengumpulan informasi pasar juga diperlukan untuk melihat peluang-peluang potensial dan mengetahui trend yang sedang
diminati di pasaran. Sehingga, kemampuan entrepreneurial marketing dalam hal concept
yang mengedepankan inovasi dan diversifikasi produk, serta market intelligence
dalam hal jaringan informal dan pengumpulan informasi pasar, merupakan faktor-faktor dominan yang dapat dilaksanakan untuk memenangkan
persaingan pasar alas kaki yang notabenenya peka terhadap perubahan model. Peningkatan kemampuan daya saing pelaku usaha yang disebabkan oleh
peningkatan kemampuan entrepreneurial marketing, dapat dicerminkan oleh pencapaian yang optimal dari ketiga indikator utama daya saing yaitu: jumlah
pelanggan per tahun, cakupan wilayah pemasaran dan tingkat keberhasilan produk terjual pada pelanggan baru.
4.9.2 Model Pengaruh Langsung EM terhadap DS dan Pengaruh Tidak