Analysis of The Influences of Entrepreneurial Marketing and Government Policies to The Competitiveness of The Footwear Industry in Bogor.

(1)

IN

IN

DUSTRI

STE

SEKOLA

NSTITUT

ALAS K

EVIA SE

AH PASC

T PERTA

2012

KAKI DI B

EPTIANI

CASARJA

ANIAN BO

2

BOGOR

ANA

OGOR


(2)

i   

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Pengaruh

Entrepreneurial Marketing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Industri Alas Kaki di Bogor adalah merupakan karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Stevia Septiani NRP.H251100274


(3)

ii   

STEVIA SEPTIANI. Analysis of The Influences of Entrepreneurial Marketing and Government Policies to The Competitiveness of The Footwear Industry in Bogor. Under supervision of MA’MUN SARMA and WILSON H. LIMBONG.

Entrepreneurial marketing is the suitable approach in terms of resource constraints and problems that exist in small and medium enterprises (SMEs). Footwear industry is a sector of Small and Medium Enterprises (SMEs) that is supported by the government of Bogor. Problems of development of footwear industry are divided into two main factors: the competence of SMEs and local government policy. Based on these problems, this study aims to (1) Identify the characteristics of entrepreneurs, business characteristics and linkages both of them, (2) Identify and analyze the ability of entrepreneurial marketing, implementation of government policies and the ability of the competitiveness of small industrial footwear in Bogor, and (3) Identify and analyze the influence of entrepreneurial marketing and government policies on the competitiveness of the footwear industry in Bogor. Sample selection is done by purposive cluster sampling method. The samples in this study were 100 small business owners. This study employs three data analysis: descriptive analysis, index transformation analysis, and analysis of structural equation modeling (SEM) with partial least squares (PLS). Characteristics of footwear SME owners in Bogor is included the low-educated group. However, they have excellent expertise in the producing of footwear. Characteristics of footwear enterprises in Bogor, is categorized as the long standing and major businesses. Based on the analysis of SEM with PLS approach, it is known that the entrepreneurial marketing variables have a positive impact on the competitiveness of small industrial footwear in Bogor, while the government policies variables have an indirect effect on competitiveness through entrepreneurial marketing variables. 

Keyword: entrepreneurial marketing, competitiveness, government policy, small


(4)

iii   

RINGKASAN

STEVIA SEPTIANI. Analisis Pengaruh Entrepreneurial Marketing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Industri Alas Kaki di Bogor. Di bawah bimbingan MA’MUN SARMA dan WILSON H. LIMBONG.

Penerapan konsep pemasaran oleh para pelaku IKM dipraktekkan dengan cara yang berbeda dari buku teks pemasaran tradisional. Entrepreneurial marketing merupakan pendekatan yang lebih sesuai ditinjau dari keterbatasan sumber daya dan permasalahan yang ada pada industri kecil dan menengah (IKM). Dalam penerapan entrepreneurial marketing, pemilik IKM cenderung berorientasi pada inovasi serta melakukan strategi bottom-up (menyesuaikan produk dengan permintaan konsumen). Hal ini sangat relevan dengan karakteristik industri alas kaki yang peka pada perubahan varian model yang begitu cepat, sehingga membutuhkan strategi inovasi yang tepat dari para pelaku usaha.

Industri alas kaki merupakan salah satu sektor Industri Kecil dan Menengah (IKM) non migas yang didukung oleh pemerintah. Meski Bogor merupakan salah satu sentra industri kecil alas kaki yang potensial, namun perkembangan industri ini masih kurang signifikan. Permasalahan dalam pengembangannya terbagi menjadi dua faktor utama, yaitu kompetensi IKM dan kebijakan pemerintah daerah. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi karakteristik pelaku usaha, karakteristik usaha dan keterkaitan keduanya pada IK alas kaki di wilayah Bogor, (2) Mengidentifikasi dan menganalisis kemampuan entrepreneurial marketing, implementasi kebijakan pemerintah dan kemampuan daya saing pelaku usaha IK alas kaki di wilayah Bogor, serta (3) Mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh entrepreneurial marketing dan kebijakan pemerintah terhadap daya saing industri alas kaki di wilayah Bogor.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2012, berlokasi di Kabupaten Bogor (Kecamatan Ciomas) dan Kota Bogor (Kecamatan Bogor Selatan). Data yang digunakan mencakup data primer dan data sekunder. Data primer penelitian ini diperoleh dari informasi yang diberikan oleh pihak UPT (Unit Pelayanan Teknis) dan pelaku usaha IK alas kaki setempat. Data sekunder


(5)

iv   

dengan judul penelitian “Model Pengembangan Industri Kecil dan Rumah Tangga Alas Kaki dalam Menuju Keberlanjutan Usaha dan Menghadapi CAFTA”. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode purposive cluster sampling. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 100 orang pelaku usaha alas kaki yang termasuk pada kategori industri kecil dan industri rumah tangga. Analisis data yang digunakan meliputi: analisis deskriptif, analisis transformasi indek dan analisis

structural equation modeling (SEM) dengan pendekatan partial least squares

(PLS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pelaku usaha alas kaki di Bogor secara umum termasuk pada kategori berpendidikan rendah, masih memiliki mindset jangka pendek, namun memiliki keahlian yang sangat baik dalam memproduksi alas kaki. Karakteristik usaha alas kaki di Bogor termasuk pada usaha yang telah lama berdiri dengan kategori industri kecil, serta merupakan usaha pokok keluarga yang masih terbatas dalam hal alat produksi, modal dan SDM. Secara umum kemampuan entrepreneurial marketing yang dimiliki pelaku usaha alas kaki di wilayah Bogor termasuk pada kategori baik. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku usaha alas kaki di Bogor berpotensi untuk menjadi mandiri. Sedangkan untuk implementasi kebijakan pemerintah, sebagian besar pelaku usaha masih belum merasakan dampak dan realisasinya. Meski menghadapi berbagai macam kendala, mayoritas pelaku usaha alas kaki di wilayah Bogor memiliki kemampuan daya saing yang cukup baik.

Berdasarkan analisis SEM dengan PLS, diketahui bahwa variabel laten

entrepreneurial marketing berpengaruh positif secara langsung terhadap daya saing industri kecil alas kaki di Bogor. Variabel laten kebijakan pemerintah berpengaruh positif secara langsung pada laten entrepreneurial marketing. Sehingga, dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh tidak langsung antara kebijakan pemerintah terhadap daya saing melalui entrepreneurial marketing.


(6)

v   

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

vi   

INDUSTRI ALAS KAKI DI BOGOR

STEVIA SEPTIANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

vii   

Judul : Analisis Pengaruh Entrepreneurial Marketing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Industri Alas Kaki di Bogor Nama : Stevia Septiani

NIM : H251100274 Program Studi : Ilmu Manajemen

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, M.Ec Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Manajemen

Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(9)

viii   

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemampuan dan kekuatan, serta limpahan berkah dan rahmat-Nya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan, motivasi, do’a, dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, M.Ec dan Bapak Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan waktu, pikiran, tenaga, motivasi, arahan, nasehat dan kesabarannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

2. Bapak Dr. Ir. Muhammad Syamsun, M.Sc selaku Dosen Penguji Luar Komisi atas arahan, bantuan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

3. Bapak Dr. Mukhamad Najib, S.TP, MM selaku Dosen Penguji Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Manajemen atas saran dan masukan perbaikan yang diberikan.

4. Ibu Lindawati Kartika, S.E, M.Si selaku dosen quality control yang telah memberikan bimbingan perihal tata cara penulisan tesis yang baik dan benar. 5. Seluruh dosen pengajar PS Ilmu Manajemen IPB yang telah memberikan

bekal ilmu dan membuka wawasan secara luas dalam proses belajar penulis. 6. Seluruh staf administrasi PS Ilmu Manajemen IPB atas dukungan

pengorganisasian berbagai hal yang mendukung proses belajar hingga penyelesaian studi.

7. Tim peneliti proyek Penelitian Strategis Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud, Tahun Anggaran 2012, dengan judul penelitian “Model Pengembangan Industri Kecil dan Rumah Tangga Alas Kaki dalam Menuju Keberlanjutan Usaha dan Menghadapi CAFTA”, yang telah mengizinkan dan membantu pelaksanaan penelitian.

8. Pihak UPT (Unit Pelayanan Teknis) Pengembangan Industri Alas Kaki Kabupaten Bogor, pihak Desa Parakan, pelaku usaha alas kaki Bogor, dan


(10)

ix   

Mba Tika yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian.

9. Kedua orangtuaku, Ayahanda Asep Zaenal Muttaqin dan Ibunda Tati Tarmilah, kedua adikku Indra dan Gina, serta seluruh keluarga tercinta yang tak henti-hentinya memberikan do’a, semangat dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

10.Galih Saputra Arista yang telah memberikan do’a, motivasi serta dukungan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

11.Teman-teman PS Ilmu Manajemen Kelas Khusus Angkatan I: Ka Nina, Mba Desy, Pa Asep, Pa Ade, Teh Rinrin, Teh Yuli, Ojan, Ani, dan khususnya Ka Jw, atas segala dukungan dan bantuan dalam pembelajaran pengolahan data penelitian.

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya, baik langsung maupun tidak langsung kepada penulis.

Penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan dan memberikan manfaat dalam peningkatan kemampuan daya saing industri kecil alas kaki di Bogor, khususnya melalui entrepreneurial marketing dan kebijakan pemerintah yang optimal.

Bogor, Oktober 2012


(11)

x   

Penulis dilahirkan di Indramayu, 18 Juli 1988, sebagai putri sulung dari tiga bersaudara, dengan adik Indra Satria Purnama dan Gina Nurmalia, dari pasangan ayahanda Ir. Asep Zaenal Muttaqin, MM dan ibunda Tati Tarmilah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Papandayan I Bogor pada tahun 2000, setelah itu memasuki SMP Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2003, lalu melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 8 Bogor dan lulus pada tahun 2006.

Tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), dengan memilih mayor Manajemen, minor Ilmu Konsumen dan berhasil menyelesaikan studi pada tahun 2010. Kemudian penulis memulai pengalaman bekerja pada: perusahaan konsultan Daya Bima Consulting, pusat pendidikan Global Reach College dan sebagai asisten dosen di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Bersamaan dengan pengalaman bekerja tersebut, pada November 2010, penulis mendalami bidang ilmu manajemen dengan melanjutkan kuliah S2 pada Program Studi Ilmu Manajemen, Sekolah Pascasarjana IPB.


(12)

xi   

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... ii

RINGKASAN ... iii

PRAKATA ... viii

RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Alas Kaki ... 8

2.2 Jenis Usaha dan Industri ... 8

2.3 Pemasaran (Marketing) ... 10

2.3.1 Pemasaran Pelaku Industri Kecil dan Menengah (Small Medium Enterprises Marketing) ... 11

2.4 Kewirausahaan Pemasaran (Entrepreneurial Marketing) ... 12

2.4.1 Sejarah EntrepreneurialMarketing ... 13

2.4.2 Prinsip Kunci Entrepreneurial Marketing ... 14

2.5 Kebijakan Pemerintah ... 16

2.6 Daya Saing ... 16

2.7 Purposive Cluster Sampling ... 17

2.8 Participatory Action Research (PAR) ... 17

2.9 Skala Likert ... 18

2.10 Tabulasi Silang (Cross Tabulation) ... 18

2.11 Transformasi Indek ... 19

2.12 Structural Equation Modeling (SEM) ... 19

2.12.1 Bentuk SEM dengan Partial Least Squares (PLS) ... 21

2.13 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 24


(13)

xii   

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 30

3.4 Jumlah Sampel dan Metode Penarikan Sampel ... 30

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 31

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 31

3.6.1 Analisis Deskriptif Frekuensi dan Tabulasi Silang ... 31

3.6.2 Analisis Transformasi Indek ... 32

3.6.3 Analisis Structural Equation Modeling (SEM) dengan pendekatan Partial Least Squares (PLS) ... 32

3.7 Operasionalisasi Variabel ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Gambaran Umum Industri Kecil Alas Kaki di Bogor ... 37

4.2 Identitas Pelaku Usaha ... 42

4.3 Karakteristik Pelaku Usaha ... 44

4.4 Karakteristik Usaha ... 48

4.5 Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Karakteristik Usaha ... 52

4.6 Kemampuan Entrepreneurial Marketing ... 55

4.7 Implementasi Kebijakan Pemerintah ... 59

4.8 Kemampuan Daya Saing ... 62

4.9 Analisis SEM PLS Entrepreneurial Marketing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Industri Alas Kaki di Bogor ... 64

4.9.1 Model Pengaruh Langsung EM dan KP terhadap DS ... 65

4.9.1.1 Analisis Model Outer ... 65

4.9.1.2 Analisis Model Inner ... 70

4.9.2 Model Pengaruh Langsung EM terhadap DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM ... 72

4.9.2.1 Analisis Model Outer ... 72

4.9.2.2 Analisis Model Inner ... 75

4.9.3 Model Pengaruh Langsung EM terhadap DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM berdasarkan Kepemilikan Alat Produksi ... 76

4.9.3.1 Analisis Model Outer ... 77

4.9.3.2 Analisis Model Inner ... 79

4.9.4 Model Pengaruh Langsung EM terhadap DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Keluarga ... 80

4.9.4.1 Analisis Model Outer ... 81


(14)

xiii   

4.9.5 Model Pengaruh Langsung EM terhadap DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM berdasarkan

Posisi Usaha Bagi Pengusaha ... 84

4.9.5.1 Analisis Model Outer ... 85

4.9.5.2 Analisis Model Inner ... 87

4.10 Implikasi Manajerial ... 88

KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

1. Kesimpulan ... 96

2. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(15)

xiv   

No. Halaman

1. Potensi IKM Alas Kaki di Bogor ... 3

2. Perbandingan Pemasaran Tradisional dan Entrepreneurial Marketing ... 14

3. Perbedaan antara VBSEM dan CBSEM ... 21

4. Kajian Penelitian Terdahulu ... 24

5. Operasionalisasi Variabel Entrepreneurial Marketing ... 33

6. Operasionalisasi Variabel Kebijakan Pemerintah ... 35

7. Operasionalisasi Variabel Daya Saing ... 36

8. Identitas Pelaku Usaha Alas Kaki di Bogor ... 43

9. Karakteristik Pelaku Usaha Alas Kaki di Bogor ... 47

10.Karakteristik Usaha Alas Kaki di Bogor ... 51

11.Signifikansi Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Karakteristik Usaha ... 53

12.Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Jenis Usaha ... 53

13.Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Omset per Bulan (Rp) ... 54

14.Tabulasi Silang Kepemilikan Modal dan Keinginan Pindah Usaha ... 54

15.Tabulasi Silang Omset per Bulan (Rp) dan Terpenuhi Kebutuhan... 55

16.Signifikansi Hubungan Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Concept ... 56

17.Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Concept ... 57

18.Signifikansi Hubungan Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Market Intelligence ... 58

19.Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Market Intelligence Hubungan dengan Usaha Menengah ... 59

20.Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Market Intelligence Hubungan dengan Usaha Besar ... 59

21.Hasil Penilaian Kriteria dan Standar Nilai Mode Reflektif (direct effect EMdan KP terhadap DS) ... 66

22.Nilai Analisis Model Inner vs Standar (direct effect EM dan KP terhadap DS) ... 70

23.Hasil Penilaian Kriteria dan Standar Nilai Mode Reflektif (direct effect EMterhadap DS dan indirect effect KP terhadap DS melalui EM) ... 73

24.Nilai Analisis Model Inner vs Standar (direct effect EM terhadap DS dan indirect effect KP terhadap DS melalui EM) ... 75

25.Hasil Penilaian Kriteria dan Standar Nilai Mode Reflektif (direct dan indirect effect berdasarkan kepemilikan alat produksi) ... 77

26.Perbandingan Outer Loading “alat produksi memadai” vs “alat produksi kurang memadai” ... 78

27.Nilai Analisis Model Inner vs Standar (direct dan indirect effect berdasarkan kepemilikan alat produksi)... 80


(16)

xv   

28.Hasil Penilaian Kriteria dan Standar Nilai Mode Reflektif (direct dan

indirect effect berdasarkan pemenuhan kebutuhan keluarga) ... 81 29.Perbandingan Outer Loading “terpenuhi lebih dari 75%” vs “terpenuhi

kurang dari 75%” ... 82 30.Nilai Analisis Model Inner vs Standar (direct dan indirect effect

berdasarkan pemenuhan kebutuhan keluarga) ... 84 31.Hasil Penilaian Kriteria dan Standar Nilai Mode Reflektif (direct dan

indirect effect berdasarkan posisi usaha)... 85 32.Perbandingan Outer Loading “sangat menjadi sumber pendapatan utama”

vs “menjadi sumber pendapatan utama” ... 86 33.Nilai Analisis Model Inner vs Standar (direct dan indirect effect

berdasarkan posisi usaha) ... 87 34.Implikasi Manajerial dalam Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengendalian


(17)

xvi   

No. Halaman

1. Trend Jumlah Unit Usaha IKM Alas Kaki Kabupaten Bogor ... 4

2. Contoh Model Path PLS ... 23

3. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 29

4. Indek Entrepreneurial Marketing ... 56

5. Indek Kebijakan Pemerintah ... 60

6. Indek Daya Saing ... 63

7. Model Awal (direct effect & full sample) ... 67

8. Model Akhir (direct effect & full sample) ... 67

9. Model Awal (indirect effect & full sample) ... 74


(18)

xvii   

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Milestones in The Evolution of Entrepreneurial Marketing ... 101

2. Kuesioner Penelitian ... 103 3. Dokumentasi ... 107 4. Output PLS dan Bootstrapping Model Pengaruh Langsung EM dan KP

terhadap DS ... 109 5. Output PLS dan Bootstrapping Model Pengaruh Langsung EM terhadap

DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM ... 112 6. Output PLS dan Bootstrapping Model Pengaruh Langsung EM terhadap

DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM berdasarkan Kepemilikan Alat Produksi ... 115 7. Output PLS dan Bootstrapping Model Pengaruh Langsung EM terhadap

DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Keluarga... 121 8. Output PLS dan Bootstrapping Model Pengaruh Langsung EM terhadap

DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM berdasarkan Posisi Usaha bagi Pengusaha ... 127

                           


(19)

1.1 Latar Belakang

Marketing (pemasaran) merupakan salah satu disiplin ilmu yang berperan penting dalam berkembangnya suatu industri, baik industri skala besar maupun industri kecil dan menengah (IKM). Akan tetapi, bagi mayoritas pengusaha kecil, pemasaran masih menjadi salah satu masalah mendasar yang harus dihadapi. Permasalahan pemasaran pada pengusaha kecil umumnya terfokus pada tiga hal, yaitu (Hadiyati, 2009): (1) masalah persaingan pasar dan produk, (2) masalah akses terhadap informasi pasar, dan (3) masalah kelembagaan pendukung usaha kecil.

Meski pemasaran memegang peranan krusial dalam keberlanjutan sebuah bisnis, mayoritas pelaku IKM, belum menganggap pemasaran sebagai elemen kunci bisnis (Kraus et al., 2007). Pemasaran sering dilihat sebagai pemborosan sumber daya, karena sebagian besar dari mereka menganggap pemasaran hanya sebatas pada promosi penjualan yang memerlukan biaya tinggi. Para pelaku IKM selama ini mempunyai anggapan bahwa konsep pemasaran sebagai sesuatu yang dilakukan perusahaan besar (Stokes, 2000). Pemikiran ini muncul karena banyaknya buku teks yang membahas studi kasus konsep pemasaran pada perusahaan besar. Selain itu, pengetahuan mengenai masalah pemasaran tampaknya agak rendah di kalangan pelaku IKM, sehingga praktek pemasaran seperti iklan dan promosi penjualan dengan perencanaan jangka panjang, seringkali dianggap membingungkan (Hakansson dan Klandt dalam Kraus et al., 2007).

Berdasarkan kondisi tersebut diketahui bahwa konsep pemasaran yang ada (pemasaran tradisional) yang awalnya dikembangkan untuk perusahaan besar, tidak dapat langsung ditransfer ke dunia usaha kecil tanpa adaptasi. Hal itu atas dasar penerapan konsep pemasaran oleh para pelaku IKM yang dipraktekkan dengan cara yang berbeda dari buku teks pemasaran tradisional (Kraus et al., 2007). Hasil penelitian tersebut memberi gambaran bahwa dibutuhkan keberadaan


(20)

konsep pemasaran yang lebih sesuai dengan karakteristik khas yang dimiliki IKM. Entrepreneurial marketing (kewirausahaan pemasaran) merupakan pendekatan konsep yang lebih sesuai ditinjau dari keterbatasan sumber daya dan

permasalahan yang ada pada IKM (Stokes, 2000). Konsep entrepreneurial

marketing merupakan konsep yang awalnya muncul pada pelaku usaha skala kecil atau pelaku usaha yang baru memulai bisnisnya (Stokes, 2000), yang mempelajari mengenai nilai, kemampuan dan perilaku seorang wirausaha dalam menghadapi berbagai permasalahan serta mendapatkan peluang usaha (Hadiyati, 2009). Pada

penerapan entrepreneurial marketing, pemilik IKM cenderung melakukan strategi

bottom-up (menyesuaikan produk dengan permintaan konsumen) dan berorientasi inovasi. Hal ini sangat relevan dengan karakteristik industri alas kaki yang notabenenya peka terhadap perubahan varian model yang begitu cepat, sehingga membutuhkan strategi inovasi yang tepat dari para pelaku usaha.

Industri alas kaki merupakan salah satu sektor Industri Kecil dan Menengah (IKM) non migas yang didukung oleh pemerintah. Dukungan dari pemerintah tersebut diperkuat dengan adanya regulasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang diatur oleh Peraturan Presiden No. 7/2005 yaitu mengenai pengembangan industri alas kaki yang dinilai berpotensi dalam pembangunan nasional. Penetapan industri alas kaki sebagai salah satu industri prioritas pembangunan nasional cukup beralasan, mengingat potensi industri alas kaki sangat menjanjikan di masa mendatang. Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menyatakan bahwa, sepanjang tahun 2011, potensi penjualan pasar dalam negeri produk alas kaki nasional mencapai

Rp 5 triliun1. Industri alas kaki memiliki pasar yang sangat besar karena

berkesinambungan dengan pertambahan jumlah penduduk.

Data Aprisindo menunjukkan bahwa hingga kini produk alas kaki impor masih mendominasi pasar lokal yaitu sebesar 60 persen. Dalam lingkungan bisnis yang turbulen, pelaku industri kecil (IK) alas kaki dituntut untuk melakukan berbagai langkah strategis agar mampu berdaya saing. Peningkatan daya saing salah satunya dapat dicapai melalui strategi inovasi yang merupakan wujud dari       

1 http://www.republika.co.id. Inpres P3DN Naikkan Transaksi Alas Kaki Rp 5 T.


(21)

kreatifitas yang dihasilkan oleh pengelola usaha (Rofiaty, 2010), yang juga

merupakan cerminan dari penerapan konsep entrepreneurial marketing.

1.2 Perumusan Masalah

Bogor merupakan salah satu sentra IKM alas kaki di Jawa Barat setelah Cibaduyut, Bandung. Baik wilayah Kota maupun Kabupaten Bogor, keduanya begitu potensial untuk pengembangan industri alas kaki. Potensi IKM alas kaki selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1, di mana data pada tabel tersebut merupakan rekap data terkini yang dimiliki pihak Dinas terkait di masing-masing wilayah.

Tabel 1. Potensi IKM Alas Kaki di Bogor

Indikator Kabupaten Bogor

(Tahun 2011)

Kota Bogor (Tahun 2003)

Kapasitas produksi per tahun (kodi) 1.863.360 3.568.272

Jumlah unit usaha (orang) 1.941 240

Jumlah tenaga kerja (orang) 18.108 3.200

Sumber: Data Diskoperindag Kabupaten Bogor dan Disperindag Kota Bogor, diolah (2012)

Berdasarkan penelitian Widyastutik et al. (2010), diketahui bahwa Kota Bogor memiliki banyak IKM, namun yang berpotensi untuk dijadikan klaster industri adalah industri alas kaki dalam hal ini sepatu dan sandal. Beberapa daerah yang menjadi sentra industri alas kaki di Kota Bogor adalah Kelurahan Cikaret, Pamoyanan dan Mulyaharja yang ketiganya berada di Kecamatan Bogor Selatan. Di sisi lain, untuk wilayah Kabupaten Bogor, posisi IKM alas kaki sudah sesuai dengan RPJMN, yang menetapkan industri alas kaki sebagai salah satu industri prioritas pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Depperin (2007) mengenai kajian pengembangan kompetensi inti daerah, dimana produk alas kaki di wilayah Kabupaten Bogor ditetapkan sebagai produk unggulan prioritas, dengan sentra produksi berada di Kecamatan Ciomas. Potensi IK alas kaki juga dapat dilihat dari peningkatan jumlah unit usaha tiap tahunnya. Pihak UPT (Unit Pelayanan Teknis) alas kaki Kabupaten Bogor menyebutkan bahwa rata-rata kenaikan jumlah pelaku usaha adalah 2,5 persen per tahun. Dikarenakan data jumlah unit usaha yang tersedia hanya pada tahun 2010 dan 2011, maka untuk data tahun-tahun sebelumnya dilakukan penyesuaian berdasarkan peningkatan rata-rata sesuai pernyataan dari pihak UPT (Gambar 1).


(22)

Gambar 1. Trend Jumlah Unit Usaha IKM Alas Kaki Kabupaten Bogor Sumber: Data Diskoperindag Kabupaten Bogor, diolah (2012)

Meski keberadaannya begitu potensial, namun realisasi pengembangan Industri Kecil (IK) alas kaki di wilayah Bogor masih belum optimal. Mayoritas IK alas kaki di wilayah Bogor masih berada pada kondisi yang tidak ideal, dimana IK alas kaki tidak mengalami perkembangan yang signifikan dan tidak jauh berbeda kondisinya ketika awal didirikan. Pihak UPT alas kaki Kabupaten Bogor menyebutkan bahwa hanya sekitar 5 persen IKM alas kaki yang berkembang menjadi usaha besar.

Upaya pengembangan IK alas kaki di wilayah Bogor menghadapi berbagai permasalahan, terkait dengan permodalan dan pemasaran (Widyastutik et. al, 2010). Keterbatasan modal membuat sebagian besar pelaku IK alas kaki melakukan kemitraan dengan pengumpul dalam hal pengadaaan bahan baku dan pemasaran produk. Depperin (2007) mengidentifikasi beberapa kelemahan dan kendala yang dihadapi pengrajin industri alas kaki di wilayah Kabupaten Bogor, antara lain: (a) keterbatasan modal untuk pengadaan bahan baku secara mandiri, (b) pengrajin terpola untuk selalu mengerjakan order dari pengumpul, sehingga kurang mampu dalam membaca peluang pasar yang masih sangat luas dan terbuka, (c) model yang dikerjakan masih monoton karena posisinya sebagai follower, (d) modal kurang dapat dikelola dengan baik karena pembayaran yang diterima berupa cek mundur 2 bulan, dimana berpotensi mengurangi margin yang seharusnya diterima karena dikenakan bunga sekitar 6% per bulan, dan (e) teknologi proses produksi yang digunakan masih sederhana.

1747

1795

1844

1933 1941

1600 1650 1700 1750 1800 1850 1900 1950 2000

2007 2008 2009 2010 2011

jumla h unit usa ha


(23)

Jika ditelusuri lebih lanjut, permasalahan permodalan dapat bersumber pada dua hal, yaitu: karakteristik pelaku usaha dan konsistensi dukungan pemerintah daerah (Pemda). Meski sumber dana yang tersedia cukup banyak, namun belum adanya titik temu antara debitur dan kreditur menyebabkan minimnya pembiayaan melalui perbankan (Widyastutik et. al, 2010). Kesulitan memperoleh kredit bank dimungkinkan oleh berbagai hal, antara lain: pelaku usaha tidak memiliki laporan keuangan yang sesuai dengan persyaratan perbankan, minimnya pengetahuan pelaku usaha terhadap akses permodalan, atau rendahnya keinginan pelaku usaha untuk mandiri dalam permodalan. Di sisi lain, konsistensi Pemda dalam mendukung industri alas kaki masih belum begitu fokus, dimana seringkali bergantung pada kondisi pasar (Ermayani et al., 2010). Apabila perdagangan alas kaki sedang lesu, Pemda cenderung beralih menggarap sektor IK lainnya.

Dalam hal pemasaran, pola pemasaran yang dilakukan para pengrajin juga cenderung konvensional dan terbatas. Pemasaran yang terjadi selama ini adalah produk sepatu pesanan pengumpul diberikan kepada pengumpul, untuk dijual kembali oleh para pengumpul di pasar-pasar lokal di Bogor (Ermayani et al., 2010). Meski demikian, terdapat juga beberapa pelaku IK sepatu yang bersifat

mandiri, yang tidak meminjam atau menerima order dari pengumpul, berusaha

dengan modal sendiri, serta memasarkan sendiri produknya ke toko-toko. Permasalahan pemasaran juga berkaitan erat dengan karakeristik pelaku usaha dan berbagai keterbatasan sumberdaya yang mereka hadapi. Pelaku usaha yang bersifat pengrajin cenderung memiliki jiwa wirausaha yang rendah sehingga mereka kurang berani mengambil resiko untuk mandiri. Meski pada kenyataannya, bertindak sebagai pengusaha mandiri lebih menguntungkan dibandingkan hanya sebatas menjadi pengrajin.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam pengembangan IK alas kaki di wilayah Bogor dapat dikelompokkan ke dalam dua faktor utama: (1) faktor internal, yaitu kompetensi pelaku usaha dan (2) faktor eksternal, yaitu kebijakan pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan penelitian Utami (2007) yang menyatakan bahwa model pemberdayaan yang efektif bagi para pengrajin adalah dengan meningkatkan kualitas perilaku wirausaha dan kemandirian usaha, yang


(24)

didukung oleh unsur penunjang dari pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah.

Agar tetap mampu bertahan dan berkelanjutan, maka pelaku IK alas kaki

harus concern terhadap daya saing usaha maupun daya saing produknya. Kunci

peningkatan daya saing IK terletak pada pengusaha IK yang memiliki jiwa kewirausahaan dan jiwa inovasi yang tinggi (Susilo, 2010), yang mana hal ini

merupakan cerminan penerapan entrepreneurial marketing. Selain itu, pemerintah

juga berperan penting dalam peningkatan daya saing IK. Secara spesifik dan operasional, Pemda berkewajiban menjadi fasilitator dalam akses permodalan pengrajin alas kaki, menjadi regulator dalam melindungi usaha alas kaki melalui kebijakan baik di tingkat input (modal dan bahan baku), hingga kebijakan di tingkat pemasaran (Kusumawati et.al, 2010).

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka perumusan masalah penelitian yang dapat diajukan adalah:

1. Bagaimana karakteristik pelaku usaha, karakteristik usaha dan keterkaitan

keduanya pada IK alas kaki di wilayah Bogor?

2. Sejauh mana kemampuan entrepreneurial marketing, implementasi kebijakan

pemerintah dan kemampuan daya saing pelaku usaha IK alas kaki di wilayah Bogor?

3. Bagaimana pengaruh entrepreneurial marketing dan kebijakan pemerintah

terhadap daya saing industri alas kaki di wilayah Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi karakteristik pelaku usaha, karakteristik usaha dan

keterkaitan keduanya pada IK alas kaki di wilayah Bogor.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis kemampuan entrepreneurial marketing,

implementasi kebijakan pemerintah dan kemampuan daya saing pelaku usaha IK alas kaki di wilayah Bogor.

3. Mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh entrepreneurial marketing dan


(25)

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan pada IK alas kaki di wilayah-wilayah sentra produksi alas kaki Bogor. Penelitian ini mengacu pada proyek Penelitian Strategis Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud, Tahun Anggaran 2012, dengan judul penelitian “Model Pengembangan Industri Kecil dan Rumah Tangga Alas Kaki dalam Menuju Keberlanjutan Usaha dan Menghadapi CAFTA”, yang menjadi sumber data penelitian. Penelitian ini memiliki lingkup general, yang membahas alas kaki secara umum. Pada penelitian ini juga tidak dilakukan perbedaan perlakuan antara pengrajin dan pengusaha mandiri. Hal ini dilakukan untuk melihat potensi

kemandirian usaha secara umum. Entrepreneurial marketing dan daya saing

diukur berdasarkan kemampuan pelaku usaha alas kaki, sedangkan kebijakan pemerintah diukur berdasarkan implementasinya yang dirasakan oleh pelaku usaha. Berdasarkan kondisi yang ada di lapangan, maka daya saing pada penelitian ini dibatasi hanya pada daya saing dalam negeri.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi

para stakeholder, khususnya para pelaku IK alas kaki dan pemerintah. Bagi para

pelaku IK alas kaki, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai potensi

mereka untuk berkembang menjadi mandiri melalui pendekatan entrepreneurial

marketing, sehingga pada akhirnya memiliki kemampuan untuk berdaya saing. Sedangkan bagi pemerintah (khususnya Pemda), hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk lebih mendukung dan memajukan keberadaan industri kecil alas kaki di Bogor, melalui implementasi kebijakan yang lebih optimal dan tepat sasaran. Bagi kalangan akademis, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai data dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta, bagi masyarakat yang ingin menambah wawasan dan

pengetahuan mengenai pengaruh entrepreneurial marketing dan kebijakan

pemerintah terhadap daya saing industri alas kaki di wilayah Bogor, dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan referensi.


(26)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alas Kaki

Alas kaki merupakan suatu produk berupa sepatu atau sandal yang

digunakan sebagai penutup telapak kaki untuk melindungi kaki terutama disekitar

telapak kaki (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2012). Jika dilihat dari fisiknya, sepatu dan sandal memiliki beberapa perbedaan. Sepatu merupakan suatu jenis alas kaki yang biasanya terdiri dari sol, hak, kap, dan tali. Sedangkan sandal merupakan salah satu model alas kaki yang terbuka pada bagian jari kaki atau tumit dalam pemakaiannya. Selain fitur fungsional dari alas kaki sebagai pelindung kaki, alas kaki juga banyak difungsikan sebagai trend fashion dalam berbusana.

2.2 Jenis Usaha dan Industri

Peraturan perundang-undangan tentang usaha kecil telah mengalami perubahan, yang mana Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Berdasarkan total aset dan total penjualan tahunan Undang-Undang tersebut mengelompokkan usaha menjadi empat kategori sebagai berikut:

1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan

usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00.

2. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan

oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasasi, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar, dengan kriteria memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan


(27)

tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00.

3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000,00.

4. Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha

dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.

Pada pengelompokkan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja, Badan Pusat Statistik (Tambunan, 2002) mengklasifikasikannya ke dalam empat kategori, yaitu:

1. Industri rumah tangga dengan jumlah tenaga kerja 1 sampai 4 orang.

Ciri industri ini adalah memiliki modal yang sangat terbatas, tenaga kerja berasal dari anggota keluarga, dan pemilik atau pengelola industri biasanya kepala rumah tangga itu sendiri atau anggota keluarganya. Misalnya: industri anyaman, industri kerajinan, industri tempe/tahu, dan industri makanan ringan.

2. Industri kecil dengan jumlah tenaga kerja 5 sampai 19 orang.

Ciri industri kecil adalah memiliki modal yang relatif kecil, tenaga kerjanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara. Misalnya: industri genteng, industri batu bata, dan industri pengolahan rotan.

3. Industri sedang dengan jumlah tenaga kerja 20 sampai 99 orang.

Ciri industri sedang adalah memiliki modal yang cukup besar, tenaga kerja memiliki keterampilan tertentu, dan pimpinan perusahaan memiliki kemampuan manajerial tertentu. Misalnya: industri konveksi, industri bordir, dan industri keramik.


(28)

10 

4. Industri besar dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang.

Ciri industri besar adalah memiliki modal besar yang dihimpun secara kolektif dalam bentuk pemilikan saham, tenaga kerja harus memiliki keterampilan khusus, dan pimpinan perusahaan dipilih melalui uji kemampuan dan

kelayakan (fit and proper test). Misalnya: industri tekstil, industri mobil,

industri besi baja, dan industri pesawat terbang.

2.3 Pemasaran (Marketing)

Kotler (2005) mengungkapkan bahwa ruang lingkup utama pemasaran adalah bagaimana memahami keinginan dan kebutuhan pelanggan untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan yang pada akhirnya menangkap nilai

dari pelanggan sebagai imbalannya. Di sisi lain, American Marketing Association

(AMA) dalam Hills (2008) memberikan definisi pemasaran yang lebih luas, dimana pemasaran dianggap sebagai seperangkat proses untuk mengelola hubungan pelanggan dengan tujuan menguntungkan organisasi dan perusahaan,

serta memberikan nilai optimal bagi para stakeholder. Ketika terjadi perubahan

nilai pada stakeholder, maka konsep pemasaran akan berubah sesuai dengan

perubahan tuntutan stakeholder dan perkembangan pasar.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, konsep pemasaran juga mengalami perkembangan dalam sudut pandang kontekstualnya. Crosier (2006) menyatakan konsep dasar dalam pemasaran tradisional dapat diklasifikasikan menjadi tiga sudut pandang, meliputi: (1) pemasaran sebagai budaya organisasi yang memperhatikan pentingnya pasar atau konsumen, (2) pemasaran sebagai proses strategis yang membahas mengenai kemampuan perusahaan dalam bersaing dan bertahan di pasar, dan (3) pemasaran sebagai serangkaian fungsi atau metode taktis dalam menetapkan pengembangan produk, menetapkan harga, melakukan promosi dan menggunakan saluran distribusi. Di samping ketiga elemen tersebut, elemen inteligensi pasar juga merupakan elemen penting dalam konsep dasar pemasaran, dimana elemen ini berkaitan dengan sistem pengumpulan informasi pasar melalui kegiatan riset pemasaran terstruktur (Kohli dan Jaworski, 2005).


(29)

2.3.1 Pemasaran Pelaku Industri Kecil dan Menengah (Small Medium EnterprisesMarketing)

Bagi mayoritas SMEs (Small Medium Enterprises) atau pelaku IKM,

pemasaran belum dianggap sebagai elemen kunci bisnis. Penelitian Kraus et al. (2007) menemukan tingginya ketergantungan pelaku IKM terhadap kriteria keuangan, khususnya laporan keuangan. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas pelaku IKM hanya berfokus pada jangka pendek, untuk kelangsungan

hidup mereka saja. Marketing sering dilihat sebagai pemborosan sumber daya.

Selain itu, pengetahuan tentang masalah pemasaran tampaknya agak rendah di kalangan pelaku IKM, dan prakteknya seperti: iklan dan promosi penjualan dengan perencanaan jangka panjang, seringkali dianggap membingungkan (Hakansson dan Klandt dalam Kraus et al., 2007).

Pertumbuhan usaha sering terjadi tanpa strategi pemasaran formal atau direncanakan selama tahun pertama pengembangan usaha. Banyak pemilik IKM cenderung percaya bahwa langkah strategis formal juga tidak akan diperlukan di kemudian hari (Kraus et al., 2007). Untuk menjaga kelangsungan hidup IKM, hampir kebanyakan dari mereka lebih mengandalkan bentuk pemasaran seperti word of mouth serta pengumpulan informasi pasar secara informal, daripada menerapkan bauran pemasaran terpadu atau riset pasar formal (Stokes, 2000).

Meski konsep pemasaran telah banyak dijelaskan dalam berbagai buku teks, namun konsep pemasaran yang ada yang awalnya dikembangkan untuk perusahaan besar, tidak dapat langsung ditransfer ke dunia usaha kecil tanpa adaptasi. Pada kenyataannya, para pelaku IKM menerapkan konsep pemasaran dengan cara yang berbeda dari buku teks pemasaran tradisional (Kraus et al., 2007). Stokes (2000) menyatakan bahwa model bauran pemasaran 4P atau 7P tidak cocok bagi pelaku IKM. Beberapa penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa dibutuhkan keberadaan pendekatan konsep pemasaran yang lebih sesuai dengan karakteristik IKM yang notabenenya memiliki keterbatasan sumber daya dan permasalahan khusus, yang berbeda dengan perusahaan besar.


(30)

12 

2.4 Kewirausahaan Pemasaran (Entrepreneurial Marketing)

Entrepreneurial marketing merupakan konsep yang awalnya muncul pada pelaku usaha skala kecil atau pelaku usaha yang baru memulai bisnisnya. Hal ini sesuai dengan pandangan Kotler dalam Bjerke dan Hultman (2002) yang mengkategorikan kewirausahaan pemasaran sebagai pemasaran dalam tahap perkembangan awal sebuah bisnis, dimana tingkat kewirausahaan cenderung tinggi dan tingkat formalisasi praktik pemasaran rendah, sehingga praktek pemasaran ini dapat mencerminkan kepribadian pemilik dan tujuan usaha.

Pernyataan tersebut didukung oleh Bjerke dan Hutltman (2002), dalam

bukunya yang berjudul “Entrepreneurial Marketing: The Growth of small firms in

the new economic era”, yang mendefinisikan entrepreneurial marketing sebagai konsep pemasaran perusahaan retailer yang tumbuh melalui kewirausahaan.

Stokes (2000) memfokuskan konsep entrepreneurial marketing pada elemen

inovasi dan pengembangan ide-ide sesuai dengan perkembangan pasar, sebagai kunci untuk kelangsungan hidup, pengembangan dan keberhasilan usaha kecil

atau baru. Pada dasarnya, entrepreneurial marketing merupakan refleksi sebuah

sikap proaktif dalam mengidentifikasi dan mengeksploitasi berbagai peluang dalam rangka mendapatkan dan mempertahankan pelanggan yang menguntungkan melalui berbagai pendekatan yang inovatif untuk mengelola resiko, mengoptimalkan sumberdaya, menciptakan nilai (Morris et al., 2002),

dengan hubungan stakeholder (marketing network) dan karakteristik wirausaha

(EM competencies) sebagai konsep dasarnya (Ionita, 2010).

Berdasarkan perspektif pemasaran umum, keberadaan konsep kewirausahaan pemasaran diposisikan sebagai pelengkap teori pemasaran yang

sudah ada (Bjerke dan Hutlman, 2002). Konsep entrepreneurial marketing

bukanlah area revolusioner, yang menganggap perspektif pemasaran sebelumnya telah usang. Pendekatan ini merupakan pendekatan kotingensi yang lebih sesuai ditinjau dari keterbatasan sumber daya dan permasalahan yang ada pada IKM (Stokes, 2000).


(31)

2.4.1 Sejarah Entrepreneurial Marketing

Entrepreneurial Marketing (EM) muncul pada tahun 1982 pada sebuah

konferensi di University of Illinois, Chicago, yang disponsori oleh International

Council for Small Business and American Marketing Association (Hills, Hultman et al., 2008). Pada kesempatan tersebut topik penelitian EM didiskusikan, meskipun kepentingan akademisi pemasaran untuk topik EM masih terbatas. Pada

tahun 1986, sebuah simposium tahunan yang dilegitimasi oleh American

Marketing Association (AMA), diselenggarakan untuk didedikasikan pada area

MEI (Marketing-Entrepreneurship Interface). Sejak saat itu, minat para peneliti

EM terus tumbuh dan mereka mengorganisir upaya mereka dalam sebuah Marketing and Entrepreneurship Task Force yang kemudian menjadi Special Interest Group permanen. Topik EM mulai tersebar di Eropa dan pada tahun 1995 Academy of Marketing menyelenggarakan simposium pertama, yang dilakukan untuk melihat kesamaan antara pemasaran dan kewirausahaan. Pada tahun 1999

jurnal Research in Marketing and Entrepreneurship didirikan, sebagai tempat

khusus untuk para peneliti EM. Penelitian tentang masalah ini diperkuat dan hasilnya dipublikasikan baik di majalah dan isu-isu khusus di jurnal pemasaran (European Journal of Marketing, Marketing Education Review, Management Decision, Journal of Marketing: Theory and Practice) dan jurnal kewirausahaan (Journal of Small Business Management, International Journal of Entrepreneurship and Innovation Management).

Pada tahun 2005, jurnal internasional Entrepreneurship and Innovation

Management diciptakan di MEI, dengan tujuan untuk menghubungkan masalah

teknologi dan pemasaran. Isu khusus pada jurnal Small Business Management

tahun 2008 dan jurnal internasional Entrepreneurship and Innovation

Management tahun 2010, menunjukkan bahwa EM memasuki arus utama literatur

kewirausahaan. Pada tahun 2010, hasil dari "Charleston Summit" menyimpulkan

bahwa pemasaran menjadi komponen sekunder MEI yang didominasi oleh kewirausahaan, sehingga diperlukan upaya untuk mengintegrasikan keduanya. Meskipun EM memiliki eksistensi yang relatif panjang, tampaknya baru sekarang

ini EM berada pada fase mature, dimana perkembangan masa depan dan prospek


(32)

14 

beserta dengan dampak dari peristiwa-peristiwa dalam pengembangan MEI, selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.4.2 Prinsip kunci Entrepreneurial Marketing

Kemunculan konsep entrepreneurial marketing merupakan respon dari

beberapa hasil penelitian empiris yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara teori pemasaran tradisional dan praktek pemasaran pada pelaku usaha

dalam skala kecil (Ionita, 2012). Melalui pendekatan entrepreneurial marketing,

pengusaha kecil mampu menciptakan suatu kondisi usaha yang lebih terarah terkait dengan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Hills (2008) memaparkan proses kewirausahaan pemasaran berdasarkan empat prinsip pemasaran dan

perilaku aktivitas entrepreneurial, sehingga memudahkan dilakukannya

perbandingan antara teori pemasaran dalam buku teks standar seperti Kotler, serta

pemasaran yang telah sukses dilakukan oleh entrepreneur dan manajer dari usaha

entrepreneurial. Stokes (2000) merangkum perbedaan antara traditional marketing dan entrepreneurial marketing tersebut dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Perbandingan Pemasaran Tradisional dan Entrepreneurial Marketing

Prinsip

Pemasaran Pemasaran Tradisional Entrepreneurial Marketing

Konsep Berorientasi konsumen (dorongan pasar), pengembangan produk

melalui penilaian formal

Berorientasi inovasi (dorongan ide), penilaian kebutuhan pasar secara intuitif Strategi Pendekatan top-down: segmentasi,

targeting, dan positioning

Pendekatan bottom-up dari konsumen dan kelompok pengaruh lainnya

Metode Bauran pemasaran, 4P/7P Metode pemasaran interaktif, word-of-mouth marketing, dan penjualan langsung Inteligensi

Pasar

Riset pasar formal dan sistem inteligensi

Jaringan informal dan pengumpulan informasi

Sumber: Stokes (2000)

Meringkas perbedaan antara EM dan pemasaran tradisional berdasarkan Tabel di atas, disimpulkan bahwa (Stokes, 2000):

1. Dalam hal orientasi bisnis, ditemukan bahwa tidak seperti pemasaran

tradisional yang didefinisikan oleh orientasi pelanggan, EM didefinisikan oleh kewirausahaan dan orientasi inovasi. Jika konsep pemasaran klasik memerlukan penilaian kebutuhan pasar sebelum mengembangkan produk,


(33)

para pengusaha IKM memulainya dengan sebuah ide dan kemudian mencoba untuk menemukan pasar.

2. Pada tingkat strategis, pemasaran tradisional memerlukan pendekatan

top-down, sebuah urutan kegiatan jelas seperti segmentasi, targeting dan setelah

itu positioning. Namun, para pengusaha IKM sukses mempraktikkan proses

kebalikan dari pemasaran tradisional, yaitu pendekatan bottom-up: (i)

mengidentifikasi peluang pasar yang mungkin, kemudian mengujinya melalui

proses trial and error; (ii) setelah itu, perusahaan mulai melayani kebutuhan

beberapa klien, dan kemudian memperluasnya dengan melakukan kontak langsung dengan klien, serta mengetahui preferensi dan kebutuhan mereka; (iii) kemudian, ditambahkan pelanggan baru dengan profil yang serupa dengan klien lama mereka. Seringkali proses ini tidak sengaja, misalnya saja pelanggan baru yang datang sebagai hasil dari rekomendasi pelanggan awal. Oleh karena itu, target pasar dibentuk oleh proses eliminasi dan seleksi mandiri.

3. Pada tingkat taktis, EM tidak cocok dalam model 4P karena pengusaha IKM

mengadopsi pendekatan pemasaran interaktif, dimana mereka lebih memilih untuk memiliki kontak langsung dan pribadi dengan pelanggan. Pengusaha

berinteraksi dengan pelanggan selama personal selling dan kegiatan hubungan

pemasaran. Interaksi tersebut ditingkatkan dengan pemasaran word of mouth.

4. Dalam hal pengumpulan informasi pasar, pengusaha IKM menyadari

pentingnya pemantauan lingkungan pemasaran. Akan tetapi, mereka lebih memilih untuk menggunakan metode tidak resmi seperti pengamatan pribadi atau pengumpulan informasi melalui jaringan kontak mereka. Penolakan metode penelitian formal adalah konsekuensi logis dari fakta bahwa mereka tidak percaya pada kemampuan memprediksi masa depan.

Pengusaha IKM menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan pemasaran, karena mereka mengasosiasikan pemasaran dengan periklanan, dimana mereka tidak mampu membayar biaya komunikasi yang tinggi. Selain itu, pengusaha IKM tampaknya terlalu fokus pada kondisi saat ini, seperti isu-isu operasional dan mengabaikan isu jangka panjang lainnya. Di sisi lain, menanggapi


(34)

16 

(2010) mengungkapkan pentingnya kemampuan untuk beradaptasi dan berubah

dengan cepat untuk mengimbangi misjudgements dalam memprediksi kebutuhan

pelanggan.

2.5 Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah adalah serangkaian keputusan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang memiliki tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat (Winarno, 2002). Istilah kebijakan tersebut lebih tertuju pada konteks kebijakan Negara, yang umumnya meliputi peraturan-peraturan yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan dalam rangka merealisasikan suatu sasaran atau tujuan tertentu.

Pada penelitiannya yang berjudul “Analisis Kebijakan Pengembangan Ekonomi Lokal Industri Alas Kaki yang berkelanjutan di Kabupaten Bogor”, Kusumawati et al. (2010) mengklasifikasikan kebijakan pemerintah berdasarkan

peran pemerintah, yaitu: sebagai fasilitator dan regulator. Berdasarkan hasil

analisis leverage diperoleh lima atribut yang sensitif terhadap nilai indeks

keberlanjutan dimensi kebijakan industri alas kaki, yaitu (Kusumawati et al.,

2010): (1) kebijakan fasilitasi permodalan, (2) kebijakan fasilitasi pelatihan, (3)

kebijakan mengenai peraturan persaingan usaha, (4) kebijakan mengenai peraturan kemudahan investasi, dan (5) kebijakan mengenai peraturan kemudahan pengurusan izin. Dalam rangka mendorong industri alas kaki yang berkelanjutan, Pemerintah berkewajiban menjalankan perannya baik sebagai fasilitator dan regulator dengan tepat sasaran.

2.6 Daya Saing

Daya saing adalah suatu konsep yang biasanya merujuk kepada komitmen terhadap persaingan pasar dalam kasus perusahaan-perusahaan, dan keberhasilan dalam persaingan internasional dalam kasus negara-negara (Tambunan, 2010). Dalam mengukur daya saing IKM harus dibedakan antara daya saing perusahaan dan daya saing produk. Menurut Tambunan (2010), IKM yang berdaya saing tinggi dicirikan oleh beberapa hal berikut: pangsa pasar dalam negeri, pangsa


(35)

pasar ekspor, pangsa pasar luar negeri, laju pertumbuhan volume produksi, laju pertumbuhan ekspor, diversifikasi pasar domestik, dan diversifikasi pasar ekspor.

Sedangkan untuk mengukur daya saing produk, dapat digunakan indikator seperti: nilai produk dan kepuasan konsumen terhadap produk. Pada dasarnya keberadaan daya saing sangatlah penting dalam era bisnis saat ini. Agar tetap mampu bertahan dan dapat memanfaatkan peluang, maka IKM harus meningkatkan daya saing perusahaan maupun daya saing produknya (Susilo, 2010).

2.7 Purposive Cluster Sampling

Purposive cluster sampling adalah penggabungan atau kombinasi antara

pengambilan sampel secara purposive dan cluster sampling. Purposive sampling

adalah teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan tertentu yang mencerminkan representasi terhadap populasi atau judgment para pakar untuk mencapai tujuan penelitian (Singarimbun dan Effendi,

1995). Sedangkan cluster sampling yang paling umum digunakan yaitu sampling

area adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan kelompok-kelompok yang

terdiri dari wilayah-wilayah geografis. Penggabungan teknik sampling ini

dicerminkan dari pengamatan yang dilakukan hanya pada beberapa daerah

tertentu (key area), dimana informasi yang mendahului keadaan suatu populasi

sudah diketahui dengan benar.

2.8 Participatory Action Research (PAR)

Meski IK alas kaki merupakan industri yang potensial, namun hingga kini IK alas kaki masih menghadapi berbagai permasalahan, baik masalah internal maupun masalah eksternal. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian dengan

pendekatan Participatory Action Research (PAR) agar permasalahan yang ada

diidentifikasi berdasarkan pandangan dari stakeholder usaha terkait. Participatory

Action Research (PAR) merupakan suatu bentuk penelitian yang dilakukan secara bersama (kolaboratif) oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian dan merupakan refleksi diri bersifat kritis (Effendy, 1998). Pola penelitian melalui


(36)

18 

pendekatan Participatory Action Research (PAR) dinilai lebih ideal, karena

berbagai aspirasi dari para stakeholder dapat terwakili.

 

2.9 Skala Likert

Rensis Likert adalah penemu skala Likert yang mana skala ini sering digunakan secara luas dalam meminta responden menandai derajat persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap masing-masing serangkaian pertanyaan mengenai obyek stimulus (Malhotra, 2005). Seiring perkembangannya, skala Likert tidak hanya berhubungan dengan derajat persetujuan saja, tetapi juga terkait dengan pernyataan tentang sikap seseorang terhadap sesuatu, misalnya: senang-tidak senang, baik-tidak baik, mampu-tidak mampu, dll.

Informasi yang diperoleh dari skala Likert berupa skala pengukuran ordinal. Oleh karenanya peneliti hanya dapat membagi responden ke dalam urutan ranking atas dasar persepsinya, tanpa dapat diketahui berapa besarnya selisih antara satu tanggapan ke tanggapan lainnya. Selanjutnya, penentuan jumlah skala Likert juga merupakan hal penting dalam penelitian. Dimana penentuan jumlah skala Likert sangat terkait dengan subjektifitas peneliti. Malhotra (2005) menyatakan bahwa, untuk menghindari kecenderungan responden menjawab netral yang menyebabkan bias tanggapan, maka skala dengan jumlah kategori genap dapat digunakan.

2.10 Tabulasi Silang (Cross Tabulation)

Menurut Singarimbun dan Effendi (1995), tabulasi silang (crosstabs)

adalah suatu metode analisa sederhana yang memiliki daya menerangkan cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antarvariabel. Berdasarkan hubungan

antarvariabel, analisis crosstabs dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: (1) analisis

crosstabs – chi square untuk menguji hubungan antarvariabel data nominal dan

(2) analisis crosstabs – correlations untuk menguji hubungan antarvariabel data

ordinal. Pada analisis ini, distribusi persentase dalam sel-sel tabel frekuensi menjadi dasar untuk menyimpulkan hubungan antara variabel yang diteliti. Cara perhitungan persentase amat menentukan benar tidaknya interpretasi peneliti.


(37)

Sebagai acuan untuk mendapatkan interpretasi yang tepat, maka persentase selalu dihitung pada variabel pengaruh.

2.11 Transformasi Indek

Sumardjo (1999) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, melalui proses transformasi indek akan diketahui nilai keragaman yang terjadi pada setiap variabel penelitian yang berskala ordinal. Pengukuran parameter dilakukan untuk mendapatkan informasi tingkat pencapaian dalam kontinuum nilai total terendah (sama dengan jumlah indikator) dan tertinggi (sama dengan jumlah skor maksimum). Skor setiap indikator merupakan skala ordinalnya itu sendiri.

Dalam pedoman analisis transformasi indek, nilai indek terkecil diberikan untuk jumlah skor terendah dan nilai 100 untuk jumlah skor tertinggi dari tiap indikator. Nilai indek maksimum sangat bergantung pada banyaknya skala ordinal yang digunakan. Pada penelitian ini digunakan skala ordinal 1 sampai 4, sehingga nilai indek transformasi minimum dicapai apabila semua parameter setiap indikator menunjukkan angka skor 1 dan indek maksimum dicapai apabila nilai skor parameter setiap indikator mencapai skor 4. Berikut disajikan rumus umum transformasi indek:

Nilai indek variabel = indek indikator tiap variabel x 100 …….. (1) total indek maksimum tiap variabel

Keterangan : selang nilai indek 0 – 100

2.12 Structural Equation Modeling (SEM)

Menurut Ghozali et al. (2005), Structural Equation Modeling (SEM)

merupakan suatu teknik analisis statistik multivariat, yang memungkinkan peneliti untuk menguji pengaruh langsung dan tidak langsung antara variabel yang

kompleks, baik recursive maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran

menyeluruh mengenai suatu model. Tidak seperti analisis multivariat biasa (regresi berganda dan analisis faktor), analisis SEM dapat melakukan pengujian

model structural (uji hubungan antar peubah laten) dan model measurement (uji

hubungan antara peubah indikator dengan peubah laten) secara bersamaan.

Sehingga peneliti dapat menguji kesalahan pengukuran (measurement error) serta


(38)

20 

Pada analisis SEM pengukuran dilakukan pada dua buah peubah (construct), yaitu peubah laten dan peubah manifest. Peubah laten dalam SEM merupakan variabel-variabel yang tidak dapat diukur secara langsung. Sehingga, pengamatan pada variabel laten dilakukan melalui efek dari variabel-variabel manifest (variabel terobservasi). Variabel manifest adalah indikator-indikator yang dapat diukur (Ghozali, et al., 2005). Dalam model SEM, konstruk laten berdasarkan fungsinya dibagi menjadi dua, yaitu: variabel eksogen dan variabel endogen. Variabel eksogen adalah suatu variabel yang tidak dapat dipengaruhi oleh variabel lain (variabel independen didalam model regresi). Sedangkan variabel endogen adalah variabel yang dapat dipengaruhi variabel lain. Ghozali, et

al. (2005) juga menyatakan bahwa dalam model SEM, variabel endogen dapat

berperan menjadi variabel independen apabila variabel tersebut dapat

mempengaruhi variabel lain. Proses analisis Structural Equation Modeling

mencakup beberapa langkah, yaitu: (1) konseptualisasi model, (2) penyusunan diagram alur, (3) spesifikasi model, (4) identifikasi model, (5) estimasi parameter, (6) penilaian model fit, (7) modifikasi model, dan (8) validasi silang model.

Secara teknis SEM dibagi menjadi 2 kelompok (Tabel 3), yaitu SEM

berbasis covariance (CBSEM) yang diwakili dengan software LISREL dan SEM

berbasis variance (VBSEM) yang dapat menggunakan software SmartPLS.

Covariance based SEM (CBSEM) lebih bertujuan memberikan pernyataan tentang hubungan kausalitas atau memberikan deskripsi mekanisme hubungan

sebab-akibat. Sedangkan variance based SEM (VBSEM) dengan pendekatan

partial least squares (PLS) lebih bertujuan untuk mencari hubungan linear prediktif antar variabel (Ghozali, 2008).


(39)

Tabel 3. Perbedaan antara VBSEM dan CBSEM

No. Kriteria VBSEM CBSEM

1 Tujuan Berorientasi prediksi Berorientasi parameter

2 Pendekatan Berdasarkan variance Berdasarkan covariance

3 Asumsi Spesifikasi prediktor Multivariate normal

distribution, independence observation (parametric)

4 Estimasi Parameter Konsisten sebagai indikator dan

sample size meningkat

Konsisten 5 Skor variabel laten Secara eksplisit diestimasi Inderteminate

6 Hubungan epistemic

antara variabel laten dan indikatornya

Dapat dalam bentuk formatif maupun reflektif indikator

Hanya dengan reflektif indikator

7 Implikasi Optimal untuk ketepatan

prediksi

Optimal untuk ketepatan parameter

8 Kompleksitas model Kompleksitas besar (100 konstruk dan 1000 indikator)

Kompleksitas kecil sampai menengah (kurang dari 100 indikator)

9 Besar sampel Kekuatan analisis didasarkan pada porsi dari model yang memiliki jumlah prediktor terbesar. Minimal

direkomendasikan dari 30 sampai 100 kasus

Kekuatan analisis didasarkan pada model spesifik minimal direkomendasikan berkisar dari 200 sampai 800

Sumber: Ghozali (2008)

2.12.1 Bentuk SEM dengan Partial Least Squares (PLS)

Partial least squares (PLS) pertama kali dikembangkan oleh Herman

Wold (1996) sebagai metode umum untuk mengestimasi path model yang

menggunakan konstruk laten dengan multiple indikator (Ghozali, 2008). PLS

merupakan metode analisis yang powerful karena dapat diterapkan pada semua

jenis skala data (distribution free) dimana tidak mengasumsikan data berdistribusi

tertentu sehingga data dapat berupa nominal, kategori, ordinal, interval dan rasio. Di samping itu, pendekatan SEM dengan PLS juga tidak membutuhkan banyak asumsi dan ukuran sampel yang dibutuhkan juga tidak harus besar. Selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori, PLS juga dapat digunakan untuk membangun hubungan yang belum ada landasan teorinya atau untuk pengujian proposisi

(Ghozali, 2008). Contoh model path PLS disajikan pada Gambar 2.

Pemodelan analisis jalur dalam PLS terdiri dari 3 set hubungan, yaitu: 1. Inner Model (structural model)

Inner model menspesifikasikan hubungan antar variabel laten berdasarkan teori. Model persamaannya adalah sebagai berikut:


(40)

22 

ηj = Σi βji ηi + Σi γjbξb + ζj ………...………..….. (2)

Dimana η menggambarkan vektor endogen (dependen) variabel laten, ξ

adalah vektor variabel eksogen, ζj adalah vektor variabel residual, βji dan γjb

adalah koefisien jalur yang menghubungkan prediktor endogen dan laten eksogen sepanjang range indeks i dan b.

2. Outer Model (measurement model)

Outer model menspesifikasikan hubungan antar variabel laten dengan

indikator. Outer model terdiri dari 2 macam mode, yaitu mode reflective

(mode A) dan mode formative (mode B). Mode reflektif merupakan relasi dari

peubah laten ke peubah indikator atau “effect”. Sedangkan mode formative

merupakan relasi dari peubah indikator membentuk peubah laten “causal”.

Blok dengan indikator reflektif memiliki bentuk persamaan sebagai berikut: x = λxξ + δ

y = λyη + ε ………...………..…….. (3)

Dimana x dan y adalah indikator untuk variabel laten eksogen dan endogen.

Sedangkan λx dan λy merupakan matriks loading yang menggambarkan

koefisien regresi sederhana yang menghubungkan variabel laten dengan

indikatornya. Residual diukur dengan δ dan ε sebagai kesalahan pengukuran.

Blok dengan indikator formatif memiliki persamaan sebagai berikut: ξ = λx X + δξ

η = λy Y + δη ………...………..….. (4)

Dimana ξ adalah vektor variabel eksogen, λx dan λy adalah koefisien regresi

berganda dari variabel laten dan blok indikator, serta δξ dan δη adalah residual

dari regresi. 3. Weight Relation

Inner dan outer model memberikan spesifikasi yang diikuti dalam estimasi algoritma PLS. Nilai kasus untuk setiap variabel laten yang di estimasi dalam PLS sebagai berikut:

ξb = ΣkbWkbXkb ………...………. (5)

ηi= ΣkiWkiXki ………...………..…... (6)

Dimana, Wkb dan Wki = k weight yang digunakan untuk membentuk estimasi


(41)

indikator yang nilai weight-nya didapat dengan prosedur estimasi PLS seperti

dispesifikasikan oleh inner dan outer model dimana η adalah vektor variabel

laten endogen (dependen) dan ξ adalah vektor variabel laten eksogen

(independen).

Gambar 2. Contoh Model Path PLS Keterangan :

ƒ ξ = Ksi, variabel laten eksogen

ƒ η = Eta, variabel laten endogen

ƒ λx = Lamnda (kecil), loading factor variabel laten eksogen

ƒ λy = Lamnda (kecil), loading factor variabel laten endogen

ƒ β = Beta (kecil), koefisien pengaruh endogen terhadap endogen

ƒ γ = Gamma (kecil), koefisien pengaruh eksogen terhadap endogen

ƒ ζ = Zeta (kecil), galat model

ƒ δ = Delta (kecil), galat pengukuran pada variabel laten eksogen

ƒ ε = Epsilon (kecil), galat pengukuran pada variabel laten endogen

Berikut adalah konversi model path (Gambar 2) ke dalam bentuk persamaan PLS:

¾ Outer model :

™ Untuk variabel laten eksogen 1 (reflektif)

ƒ x1 = λx1ξ1 + δ1 ………...………..….. (7)

ƒ x2 = λx2ξ1 + δ2 ………...………..….. (8)


(42)

24 

™ Untuk variabel laten eksogen 2 (formatif)

ƒ ξ2 = λx4 X4 + λx5 X5 + λx6 X6 + δ4 ………... (10)

™ Untuk variabel laten endogen 1 (reflektif)

ƒ y1 = λy1η1 + ε1 ………...………..….. (11)

ƒ y2 = λy2η1 + ε2 ………...………..….. (12)

™ Untuk variabel laten endogen 2 (reflektif)

ƒ y3 = λy3η2 + ε3 ………...………..….. (13)

ƒ y4 = λy4η2 + ε4 ¾ Inner model :

™ η1 = γ1ξ1 + γ2ξ2 + ζ1 ………...……….. (14)

™ η2 = β1η1 + γ3ξ1 + γ4ξ2 + ζ2 ………...…………. (15)

2.13 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Adapun beberapa hasil penelitian terdahulu yang dijadikan acuan oleh penulis disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kajian Penelitian Terdahulu Nama peneliti dan

tahun

Judul penelitian Temuan penelitian

Azril Amor (2004) Kajian strategi

pemasaran industri kecil sepatu (studi kasus di desa Ciomas, Kabupaten Bogor)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif strategi pemasaran yang dapat dilakukan adalah: (1) mempertahankan mutu sepatu sebagai salah satu keunggulan produk IK Ciomas dan melakukan pemberian label yang menjadi merk dagang sepatu IK Ciomas, dengan memperhatikan permintaan konsumen, (2) meningkatkan dan memantapkan saluran distribusi, dengan lebih menekankan hubungan yang saling menguntungkan dengan mitra, distributor, dan grosir sepatu, (3) melakukan promosi dengan cara mengadakan pameran di berbagai tempat yang potensial untuk pasar sasaran dan bekerjasama dengan pemerintah setempat menciptakan Ciomas sebagai tujuan wisata sepatu.

Angga Sulistiono dan Mumuh Mulyana (2010)

Strategi pengembangan pemasaran IKM pengrajin sepatu sandal

Peningkatan kreatifitas dalam pembuatan sepatu sandal menjadi sangat diperlukan sehingga model sepatu sandal yang diproduksi lebih bervariasi. Keanekaragaman produk menjadi salah satu strategi dalam memikat minat dari para konsumen, sehingga diperoleh peningkatan omset penjualan. Di samping itu, penetrasi pasar harus dilakukan secara intensif. Konsumen yang dihadapi oleh para pengrajin adalah konsumen yang


(43)

Nama peneliti dan tahun

Judul penelitian Temuan penelitian

sensitif akan harga. Strategi penetrasi pasar menjadi langkah terbaik untuk menggaet konsumen dengan karakterisrik tersebut. Karena dalam langkah tersebut akan dipergunakan strategi penetapan harga yang relatif terjangkau dan menarik bagi konsumen.

Widyastutik, Heti Mulyati, Eka Intan K. Putri (2010)

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan klaster UMKM alas kaki di Kota Bogor yang berdaya saing

Klaster yang berada di Kota Bogor termasuk ke dalam klaster tidak aktif. Hal ini dicirikan dengan kurangnya interaksi yang intensif antar anggota dan keterkaitan antara industri terkait maupun industri pendukung masih rendah. Responden sekitar 85% menginginkan proses pembentukan klaster industri terbentuk dengan sendirinya, misalnya karena kesamaan jenis usaha, atau kesamaan bahan baku yang dibutuhkan. Jenis kemitraan yang dilakukan hanya sebatas kerjasama perdagangan umum. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pengembangan klaster UMKM adalah modal sosial (X5) dan kondisi permintaan (X2). Riny Kusumawati,

Hermanto Siregar, Sugeng Budiharsono, dan Wonny A. Ridwan (2010)

Analisis kebijakan pengembangan ekonomi lokal industri alas kaki yang berkelanjutan di Kabupaten Bogor

Berdasarkan hasil analisis ALEDIA diperoleh status pengembangan ekonomi lokal industri alas kaki di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, memiliki nilai sebesar 34,84 dengan status buruk (tidak berkelanjutan). Setelah dilakukan analisis

leverage dan perbaikan pada sektor-sektor kunci, status pengembangan ekonomi lokal industri alas kaki di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, sebesar 55,82 dengan status baik (berkelanjutan). Alternatif kebijakan yang diusulkan dalam penelitian ini adalah (1) kebijakan fasilitas permodalan; (2) kebijakan persaingan usaha; dan (3) promosi pemasaran.

Y. Sri Susilo (2010) Strategi meningkatkan daya saing UMKM dalam menghadapi implementasi CAFTA dan MEA

Kemampuan bertahan UMKM sangat ditentukan oleh daya saing perusahaan dan daya saing produknya. Kunci peningkatan daya saing UMKM terletak pada pengusaha/pemilik UMKM yang memiliki jiwa kewirausahaan dan jiwa inovasi yang tinggi. Dengan meningkatnya daya saing perusahaan, akan mendorong terciptanya daya saing produk. Hal lain yang harus menjadi prioritas UMKM adalah meningkatkan kerjasama antar unit UMKM dan juga meningkatkan jaringan kerjasama dengan stakeholders. Pemerintah juga berperan penting dalam peningkatan daya saing UMKM. Dengan iklim usaha yang kondusif yang diciptakan pemerintah, maka akan memudahkan UMKM untuk meningkatkan daya saingnya.


(44)

26 

Tabel 4. (Lanjutan 2) Nama peneliti dan

tahun

Judul penelitian Temuan penelitian

Ernani Hadiyati (2009) Kajian pendekatan pemasaran kewirausahaan dan kinerja penjualan usaha kecil

Pemasaran adalah masalah mendasar yang juga dihadapi oleh pengusaha kecil. Dari hasil analisis regresi linier berganda diketahui bahwa, variabel pemasaran kewirausahaan yang meliputi konsep, strategi, metode dan intelegensi pasar berpengaruh terhadap kinerja penjualan, baik secara simultan maupun parsial. “Strategi” dalam hal ini pendekatan bottom-up

(menyesuaikan produk dengan selera konsumen) merupakan variabel pemasaran kewirausahaan yang memiliki pengaruh paling besar terhadap kinerja penjualan. David Stokes (2000) Putting

entrepreneurship into marketing : the processes of entrepreneurial marketing

Pengusaha dan pemilik usaha kecil menafsirkan pemasaran dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan standar teori pada buku teks. Penelitian terhadap empat konsep kunci pemasaran, menunjukkan cara-cara pemasaran kewirausahaan berbeda dengan teori pemasaran tradisional. Pemilik usaha kecil cenderung berorientasi inovasi, didorong oleh ide-ide baru dan intuitif terhadap pasar, bukan berorientasi pada pelanggan atau didorong oleh penilaian yang ketat terhadap kebutuhan pasar. Mereka membuat target pasar dengan pendekatan

bottom-up, bukan mengandalkan segmentasi

top-down. Mereka lebih memilih metode pemasaran interaktif dibandingkan 4P atau 7P. Mereka mengumpulkan informasi pasar melalui jaringan informal daripada sistem inteligen formal. Pendekatan pemasaran kewirausahaan adalah pendekatan konsep yang tepat ditinjau dari keterbatasan sumber daya dan permasalahan yang ada pada usaha kecil.

Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian terdahulu antara lain adalah pada objek penelitian, variabel yang diteliti dan alat analisis yang digunakan. Jika beberapa penelitian terdahulu menelusuri potensi industri kecil

alas kaki di wilayah Bogor secara partial, penelitian ini justru mengkaji potensi

industri kecil alas kaki di wilayah Bogor secara menyeluruh, baik pada wilayah Kota maupun Kabupaten Bogor. Selanjutnya, perbedaan variabel yang diteliti dan alat analisis yang digunakan merujuk pada penelitian Hadiyati (2009). Jika pada

penelitian Hadiyati (2009) mengkaji pengaruh entrepreneurial marketing terhadap

kinerja penjualan dengan menggunakan analisis regresi, maka pada penelitian ini


(45)

marketing dan kebijakan pemerintah terhadap daya saing dengan menggunakan

analisis structural equation modeling (SEM) melalui pendekatan partial least

squares (PLS).

2.14 Hipotesis Penelitian

Arikunto (2002) menyatakan bahwa hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian dan dibuktikan melalui pengujian pada data yang terkumpul. Berdasarkan tujuan penelitian serta tinjauan penelitian terdahulu, maka hipotesis penelitian yang dapat dirumuskan adalah:

H1 : Entrepreneurial marketing berpengaruh positif terhadap daya saing

industri alas kaki di wilayah Bogor.

H2 : Kebijakan pemerintah berpengaruh positif terhadap daya saing industri

alas kaki di wilayah Bogor.

H3 : Kebijakan pemerintah berpengaruh positif terhadap entrepreneurial


(46)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Bogor merupakan salah satu sentra IKM alas kaki terbesar di Jawa Barat. Potensi industri alas kaki di wilayah ini diyakini sangat prospektif untuk terus dikembangkan. Hal ini tercermin dari penetapan produk alas kaki sebagai produk unggulan prioritas di Kabupaten Bogor. Namun, ironisnya mayoritas pelaku IK alas kaki di wilayah Bogor masih berada pada kondisi yang tidak ideal, dimana IK alas kaki tidak mengalami perkembangan yang signifikan dan tidak jauh berbeda kondisinya ketika awal didirikan. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa rendahnya perkembangan IK alas kaki di wilayah ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: (1) faktor internal, yang berkaitan dengan kompetensi pelaku usaha dan (2) faktor eksternal, terkait konsistensi dukungan pemerintah dan karakteristik industri alas kaki.

Agar tetap mampu bertahan dan berkelanjutan, maka pelaku IK alas kaki perlu meningkatkan daya saing perusahaan maupun daya saing produknya. Kunci peningkatan daya saing IK terletak pada kompetensi pelaku usaha yang tercermin

dalam penerapan entrepreneurial marketing, yang juga didukung oleh peran

pemerintah melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro terhadap kemajuan

industri alas kaki. Melihat begitu pentingnya entrepreneurial marketing dan

kebijakan pemerintah dalam mengoptimalkan daya saing industri alas kaki, maka dilakukan analisis pengaruh antar variabel-variabel tersebut melalui analisis SEM dengan pendekatan PLS, dimana pencapaian pada masing-masing variabel tersebut telah diketahui sebelumnya melalui analisis transformasi indek.

Karakteristik pelaku usaha memainkan peranan penting dalam membentuk

kemampuan entrepreneurial marketing dan karakteristik usaha yang ada.

Sehingga, pada penelitian ini dilakukan juga analisis tabulasi silang (cross

tabulation) terhadap variabel-variabel tersebut untuk melihat potensi keberlanjutan IK alas kaki di Bogor secara umum.


(47)

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian

Transformasi indek cross

tab

Karakteristik usaha

cross

tab Konsistensi

dukungan Pemerintah Karakteristik

industri alas kaki

SEM dengan

PLS

Potensi Bogor sebagai sentra alas kaki

Kurang berkembangnya IK alas kaki

Faktor internal Faktor eksternal

Kompetensi pengusaha

Kebijakan Pemerintah Karakteristik

pelaku usaha

Entrepreneurial Marketing

Daya Saing

SEM dengan

PLS

Analisis Pengaruh Entrepreneurial Marketing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Industri Alas Kaki di Bogor

Rekomendasi bagi para stakeholder


(48)

30 

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian berlokasi di wilayah pengembangan industri alas kaki di Bogor. Untuk wilayah Kabupaten Bogor, sentra produksi alas kaki yang diteliti adalah Kecamatan Ciomas, sedangkan di Kota Bogor sentra alas kaki yang diteliti adalah Kecamatan Bogor Selatan. Penelitian dilakukan selama 3 bulan, yaitu sejak bulan Juni sampai dengan Agustus 2012.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari informasi yang diberikan oleh pihak UPT Pengembangan Industri Alas Kaki Kabupaten Bogor dan pelaku usaha IK alas kaki Kabupaten dan Kota Bogor. Sebagian besar data primer berjenis informasi kualitatif. Sedangkan data sekunder pada penelitian ini menggunakan sebagian dari data Penelitian Strategis Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud, Tahun Anggaran 2012, dengan judul penelitian “Model Pengembangan Industri Kecil dan Rumah Tangga Alas Kaki dalam Menuju Keberlanjutan Usaha dan Menghadapi CAFTA”, yang umumnya berjenis kuantitatif.

3.4 Jumlah Sampel dan Metode Penarikan Sampel

Sampel penelitian adalah pelaku industri kecil dan industri rumah tangga alas kaki di sentra-sentra produksi alas kaki di wilayah Bogor. Pemilihan sampel dilakukan dengan prosedur penarikan sampel non probabilitas dengan

menggunakan metode purposive cluster sampling. Penetapan wilayah penelitian,

didasarkan pada database yang diberikan oleh pihak Kota dan Kabupaten, yang

mana daerah tersebut memiliki konsentrasi yang tinggi sebagai sentra produksi alas kaki di masing-masing Kota dan Kabupaten Bogor. Perbandingan populasi pelaku usaha alas kaki di wilayah sentra IKM alas kaki Kota dan Kabupaten Bogor adalah 1:3. Maka, sampel yang digunakan adalah 25 pelaku usaha Kota Bogor dan 75 pelaku usaha Kabupaten Bogor atau total sampel sebanyak 100 orang pelaku usaha.


(1)

terhadap DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM

berdasarkan Posisi Usaha Bagi Pengusaha

Gambar Model PLS:

Model Awal – Sangat menjadi sumber pendapatan utama


(2)

Model Awal – Sumber pendapatan utama


(3)

Output PLS:

Laten variable correlation – Sangat menjadi sumber pendapatan utama

DS EM KP

DS 1.000000

EM 0.515359 1.000000

KP 0.138751 0.508094 1.000000

Laten variable correlation – Sumber pendapatan utama

DS EM KP

DS 1.000000

EM 0.484751 1.000000

KP 0.076301 0.410953 1.000000

Cross loadings – Sangat menjadi sumber pendapatan utama

DS EM KP

X1.30 0.562616 0.868914 0.411106

X1.31 0.273731 0.657339 0.271467

X1.32 0.453773 0.725526 0.194476

X1.33 0.278307 0.709532 0.493408

X1.36 0.224646 0.617865 0.428376

X2.47 0.022016 0.275809 0.600867

X2.51 0.095888 0.437617 0.779346

X2.52 0.162177 0.356608 0.755861

Y.55 0.625169 0.167623 -0.101375

Y.56 0.606139 0.214112 -0.010191


(4)

Cross loadings – Sumber pendapatan utama

DS EM KP

X1.31 0.263808 0.722428 0.171983

X1.33 0.477463 0.685600 0.336086

X1.36 0.353055 0.720546 0.375284

X1.40 0.451741 0.782487 0.302481

X1.41 0.357706 0.778434 0.320436

X1.42 0.309844 0.786217 0.328208

X1.43 0.202378 0.793648 0.245134

X2.45 -0.215308 0.232060 0.857037

X2.46 0.068367 0.357092 0.955725

X2.47 0.118408 0.293433 0.764283

X2.48 0.068367 0.357092 0.955725

X2.50 0.142013 0.446813 0.799431

Y.55 0.621208 0.225364 0.020997

Y.56 0.953630 0.544159 0.136479

Y.58 0.627616 0.182771 -0.081529

Output Bootstrapping:

Path Coefficients (Mean, STDEV, T-Values) – Sangat menjadi sumber

pendapatan utama

Original

Sample (O)

Sample Mean (M)

Standard Deviation (STDEV)

Standard Error (STERR)

T Statistics (|O/STERR|) EM ->

DS 0.599671 0.614404 0.087113 0.087113 6.883826

KP ->

DS -0.165938 -0.169886 0.112275 0.112275 1.477958

KP ->


(5)

Path Coefficients (Mean, STDEV, T-Values) – Sumber pendapatan utama

Original Sample (O) Sample Mean (M) Standard Deviation (STDEV) Standard Error (STERR) T Statistics (|O/STERR|) EM ->

DS 0.545524 0.557020 0.079429 0.079429 6.868087

KP ->

DS -0.147884 -0.087169 0.132308 0.132308 1.117724

KP ->

EM 0.410953 0.438306 0.053412 0.053412 7.694045

Outer Loadings (Mean, STDEV, T-Values) – Sangat menjadi sumber

pendapatan utama

 

Original Sample (O) Sample Mean (M) Standard Deviation (STDEV) Standard Error (STERR) T Statistics (|O/STERR|) X1.30 <-

EM 0.868914 0.868691 0.024302 0.024302 35.755468

X1.31 <-

EM 0.657339 0.643105 0.087817 0.087817 7.485346

X1.32 <-

EM 0.725526 0.728171 0.056862 0.056862 12.759347

X1.33 <-

EM 0.709532 0.720415 0.063499 0.063499 11.173835

X1.36 <-

EM 0.617865 0.597958 0.080748 0.080748 7.651792

X2.47 <-

KP 0.600867 0.572451 0.176525 0.176525 3.403869

X2.51 <-

KP 0.779346 0.757161 0.130492 0.130492 5.972377

X2.52 <-

KP 0.755861 0.738257 0.130002 0.130002 5.814236

Y.55 <-

DS 0.625169 0.616856 0.138247 0.138247 4.522112

Y.56 <-

DS 0.606139 0.578493 0.129290 0.129290 4.688200

Y.57 <-


(6)

Outer Loadings (Mean, STDEV, T-Values) – Sumber pendapatan utama

Original Sample (O) Sample Mean (M) Standard Deviation (STDEV) Standard Error (STERR) T Statistics (|O/STERR|) X1.31 <-

EM 0.722428 0.734514 0.044228 0.044228 16.334200

X1.33 <-

EM 0.685600 0.694266 0.045597 0.045597 15.035997

X1.36 <-

EM 0.720546 0.713171 0.049163 0.049163 14.656218

X1.40 <-

EM 0.782487 0.786214 0.036767 0.036767 21.282160

X1.41 <-

EM 0.778434 0.778210 0.036443 0.036443 21.360598

X1.42 <-

EM 0.786217 0.777791 0.043365 0.043365 18.130323

X1.43 <-

EM 0.793648 0.804342 0.055560 0.055560 14.284529

X2.45 <-

KP 0.857037 0.735372 0.261032 0.261032 3.283261

X2.46 <-

KP 0.955725 0.917636 0.083129 0.083129 11.496845

X2.47 <-

KP 0.764283 0.705248 0.142363 0.142363 5.368562

X2.48 <-

KP 0.955725 0.917636 0.083129 0.083129 11.496845

X2.50 <-

KP 0.799431 0.797014 0.047901 0.047901 16.689335

Y.55 <-

DS 0.621208 0.621837 0.083441 0.083441 7.444913

Y.56 <-

DS 0.953630 0.953864 0.014698 0.014698 64.880306

Y.58 <-

DS 0.627616 0.635865 0.136446 0.136446 4.599725