Gambaran Umum Industri Kecil Alas Kaki di Bogor

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Industri Kecil Alas Kaki di Bogor

Secara umum, kondisi industri kecil alas kaki baik di wilayah Kabupaten maupun Kota Bogor keduanya memiliki kecenderungan yang sama, meski terdapat perbedaan pada titik awal kemunculan industri alas kaki di masing- masing wilayah. Pengrajin sepatu dan sandal muncul pertama kali sekitar tahun 1920-an di daerah Ciomas, Kabupaten Bogor. Sejak tahun 1920 sampai dengan tahun 1950 pembuatan sepatu masih menjadi usaha rumah tangga home industry , yang memproduksi sepatu kulit berkualitas tinggi. Saat itu, jumlah unit usaha alas kaki masih berjumlah sekitar 20 pelaku usaha. Para pengrajin sepatu Ciomas pertama kali mempelajari keahlian membuat sepatu dengan bekerja sebagai buruh di bengkel-bengkel sepatu di Jakarta, Tangerang dan Bogor, kemudian dengan berbekal keahlian yang diperolehnya, mereka mendirikan bengkel sepatu sendiri dan menjual produknya ke berbagai toko di Bogor, Jakarta atau kota-kota lain di Jawa Barat. Pada awalnya, mereka menjadikan industri ini sebagai upaya untuk survive dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan semakin bertambahnya jumlah usaha rumah tangga yang bergerak di bidang sepatu, pada awal tahun 1950-an, industri sepatu Ciomas berkembang pesat. Seiring dengan perkembangan tersebut, didirikanlah sebuah bentuk usaha bersama dalam wadah Kosebo Koperasi Sepatu Sandal Bogor. Pada saat itu, koperasi ini beranggotakan para pengrajin sepatu yang melayani order untuk memenuhi kebutuhan sepatu militer, dan juga untuk membantu pemasaran produk-produk bengkel disekitarnya. Kosebo berperan penting dalam pertumbuhan pengrajin sepatu di desa-desa sekitar Ciomas, sampai ketika terjadi resesi ekonomi pada tahun 1960-an yang mengakibatkan perubahan-perubahan penting dalam struktur internal dan eksternal pada industri ini. Setelah akhir 1960- an struktur internal bisnis alas kaki mengalami proses diferensiasi, yaitu dengan dilaksanakannya program stabilisasi ekonomi. Sehingga, sejumlah pengrajin skala usaha rumah tangga mengembangkan bengkel mereka dengan mempekerjakan buruhtenaga kerja. Meski memegang peranan penting dalam hal permodalan dan pemasaran alas kaki Bogor, eksistensi Kosebo dirasa kurang optimal beberapa tahun terakhir ini. Berbeda dengan koperasi alas kaki di Cibaduyut yang kompak dan dapat menjalankan fungsinya sebagai link pemasaran dengan baik, Kosebo belum mampu merealisasikan hal tersebut. Padahal, pada dasarnya Kosebo merupakan salah satu wadah yang memfasilitasi bantuan-bantuan dari pemerintah pusat. Keberadaan Kosebo yang masih belum kuat, menyebabkan para pelaku usaha kurang kompak dalam menjalankan usaha alas kaki ini. Pihak UPT : “…karena koperasi adalah salah satu yang bisa memfasilitasi bantuan dari pusat, cuma persoalannya Kosebo itu sekarang ada tuntutan untuk di reformasi, di ubah dalam hal kepengurusan..” Terjadi persaingan pasar yang cukup ketat antar pelaku usaha pada pasar yang sama. Rata-rata mereka bersaing pada faktor harga untuk mendapatkan orderan dari pihak grosir, namun ada juga beberapa di antara mereka yang bersaing dalam hal kualitas, misal menawarkan jahitan produk yang lebih rapih. Pihak UPT : “ saling menjatuhkan.. karena apa nggak kompak… misalkan para pengrajin berkumpul, mari kita pasok pasar anyar, tapi nilai jual kita yang nentuin karena kita punya modal sekarang.. jangan seperti ini, dengan bahan yang sama modal yang sama, disini 200kodi datang ke sebelah sini 190kodi.. ” Tahun 1970-an merupakan titik awal keterlibatan pemilik modal besar yang memperkenalkan sistem pembayaran dengan menggunakan ”bon”. Pada tahun ini pula industri kecil alas kaki mulai terlihat di wilayah Kota Bogor. Cikaret adalah sebuah desa atau perkampungan yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Sejak tahun 1970-an hingga sekarang, perkampungan ini terkenal dengan para pengrajin sepatu dan sandal yang tergolong ke dalam home industry . Sentra pengrajin alas kaki rumahan di Kota Bogor tersebar di berbagai wilayah di desa Cikaret, seperti di Cikaret Lebak Gg. Madrasah, Gg. Makam, Cikaret Hijau, Gg. Kesadaran, dll, Cikaret Tengah Gg. Pangumbahan, Gg. Emad, Gg. Basir, Gg. Flamboyan dan sekitarnya serta Cikaret Timur Gg. Kosasih mulai dari RW 07, 08, 09, 10, 11 dan 12. Jika dihitung berdasarkan persentase, diketahui bahwa pengrajin alas kaki rumahan yang ada di wilayah Cikaret, hampir 70 persen terdapat di Gg. Kosasih. Baik di wilayah Kota maupun Kabupaten Bogor, permasalahan klasik yang dihadapi oleh pelaku usaha kecil alas kaki adalah permodalan. Keterbatasan modal membuat mereka lebih memilih sebagai pengrajin yang menggunakan sistem “bon putih” daripada berusaha mandiri. Sistem “bon putih” adalah sistem kerjasama produksi antara pihak pengusaha sepatu sebagai produsen dan pihak pemberi order grosir sebagai konsumen. Pada sistem ini, grosir adalah pihak yang menentukan bahan baku dan jumlah order. Modal awal yang diberikan oleh pihak grosir untuk mendapatkan bahan baku berupa selembar bon putih atau selembar giro dengan cap atau identitas grosir, untuk dibelanjakan pada toko bahan yang telah ditentukan, dengan jumlah pesanan untuk satu minggu. Pemberian bon putih atau giro dihitung sebagai uang muka dari total pembayaran, yaitu sekitar 50 sampai 60 persen. Selanjutnya pengusaha akan memproduksi di bengkel miliknya dengan melibatkan tenaga kerja. Pada saat pengiriman barang, pihak grosir akan memberikan sejumlah uang untuk membayar tenaga kerja, dengan memperhitungkan modal awal yang telah diambil melalui bon putih atau giro, sisanya dibayar dengan menggunakan giro berjangka 1 atau 2 bulan yang dapat ditukarkan dengan uang tunai, namun dikenakan potongan tertentu. Dengan menggunakan sistem giro berjangka atau bon putih ini, pengrajin akan sangat banyak terkena charge dan harga yang berlaku pun bukan lagi harga pasar, sehingga mereka akan sangat dirugikan. Bagi pelaku usaha dengan sistem bon putih, sebagian besar hanya mengambil keuntungan dari selisih upah tenaga kerja dan penghematan bahan baku yang mereka gunakan. Hal ini diperparah dengan kejelian pihak grosir dalam mempelajari dan mengetahui biaya tenaga kerja dan bahan baku untuk setiap orderan tertentu. Keberadaan sistem bon putih yang telah berlangsung lama, mengakibatkan para pelaku usaha khususnya yang berjalan kurang dari 10 tahun cenderung tidak berani untuk mandiri. Pelaku usaha 1 : “permasalahan yang pertama modal, kedua persaingan, misalnya 1 hari ada 3 orang yang ngirim ke toko yang sama, udah jelas kan dipermainin yah, permainan uangnya, gironya diundur-undur, sekarang giro yang ada 2 bulan lebih.. kalau diuangkan kena cas, kalau giro 2 bulan lebih, biasanya 1 juta kena 200 ribu casnya.. apalagi jauh jaraknya, kalau gironya dari Semarang, ga mau diuangin, lain daerah kan, resikonya tinggi, klo jebol gimana ngejarnya.. giro tidak ada perjanjian, saling percaya aja..” Selain itu, masalah lain yang dihadapi para pengrajin adalah tidak seimbangnya antara harga jual produsen dan keuntungan yang diperoleh dengan harga jual langsung ke konsumen. Jika diperhatikan, harga jual dari produsen ke pihak grosir adalah kecil keuntungannya, namun setelah produk masuk ke etalase supermarket atau mall harganya jauh lebih mahal. Inilah yang membuat usaha bengkel para pengrajin tidak banyak berubah. Di samping itu, mayoritas para pelaku usaha kecil sepatusandal di Bogor belum memiliki sistem pencatatan dan pembukuan yang jelas, sehingga mereka tidak tahu secara pasti apakah mereka memperoleh keuntungan atau mengalami kerugian. Pembukuan keuangan yang kurang jelas, juga menjadi salah satu penyebab sulitnya mendapatkan pembiayaan dari pihak perbankan. Berlawanan dengan hal di atas, terdapat juga beberapa pelaku usaha yang mampu menjalankan usahanya secara mandiri. Jenis pengusaha alas kaki ini biasanya melakukan mix antara sistem mandiri dan sistem “bon putih”. Pengusaha mandiri cenderung telah memiliki laporan keuangan yang lebih baik, sehingga lebih mudah untuk mengajukan pembiayaan kepada pihak tertentu. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa terdapat sejumlah pelaku usaha yang bisa memperoleh pembiayaan dari pemerintah ataupun dari pihak luar. Pendanaan dari pemerintah yang baru-baru ini mereka peroleh adalah pinjaman adikarya, dengan bunga 6 persen per bulannya. Untuk pendanaan dari pihak luar, misalnya Sucofindo, pembiayaan yang diperoleh berkisar 10 hingga 40 juta. Modal tersebut dipergunakan untuk menjalankan usahanya secara mandiri tanpa bergantung pada pihak grosir. Faktanya, berusaha secara mandiri ternyata jauh lebih menguntungkan dibandingkan mengikuti sistem “bon putih”. Pelaku usaha 1 : “sekarang kan ga ada istilahnya uang cash, kita dipermainin, namanya juga dagang.. misalnya modal dari pasar anyar make giro, make giro kan udah lambat, udah berapa bulan lambatnya, mending gironya bagus, kayak dulu kita dengan orang Padang giro 32 juta, Padangnya kabur, itu resiko tuh, sampe sekarang belum ada kabarnya.. walaupun grosir juga sama, resikonya juga banyak.. yang bengkel juga sama, cuma kalau bengkel resikonya kecil.. kita punya bos sendiri, itulah tertekan ya kalau punya bos, bingung, harga kita pengen tinggi, ya susah.. banyak persaingan yang masuk, misalkan harga kita 300, yang lain 280, jadi susah, makanya kita nurutin bos aja.. bayarnya klo ga dicicil ya pake bon.. “ Untuk saat ini, industri kecil alas kaki pada umumnya menghasilkan alas kaki dari bahan imitasi Lampiran 3. Hal ini disebabkan karena tingginya permintaan terhadap bahan imitasi. Bahan imitasi yang lebih lunak daripada kulit asli, dirasa lebih nyaman untuk dikenakan sebagai alas kaki. Sepatu-sandal yang dihasilkan dibedakan ke dalam beberapa kategori, misal: umur dan jenis kelamin. Namun, sejak 6 tahun terakhir ini sepatu dan sandal wanita merupakan produk yang paling banyak diminati, karena sesuai dengan perkembangan mode. Bahan baku yang digunakan untuk membuat sepatu dan sandal adalah kulit imitasi serta beberapa bahan lain seperti: lapis AC, lateks, sol, tamsin, spon, hak, lem, tekson, dus, pengeras, pur Ce, benang, dll. Proses pembuatan alas kaki ini menggunakan beberapa peralatan yaitu: mesin jahit untuk menjahit kulit muka sandal bagian atas, amleng, kayu oven, tang, dan palu; melalui 4 kategori pekerjaan yang terdiri dari: pengerjaan muka, pengerjaan bawah, pengerjaan bensol dan pengepakan. Umumnya para pekerja di bengkel alas kaki bekerja normal selama 6 hari kerja dari jam 07.00 sampai dengan jam 16.00 dengan perhitungan penghasilan tergantung jumlah kodi yang dihasilkan dan tingkat kesulitan pembuatan sepatu. Rata-rata pekerja sehari menghasilkan produksi sebanyak 4 kodi per hari dengan rata-rata penghasilan per kodi bervariasi mulai dari Rp. 17.500kodi untuk tukang muka, Rp. 20.000kodi untuk tukang bawah dan Rp. 500,-buah untuk tukang pengepakan. Besaran pendapatan per minggu rata-rata per pekerja adalah antara Rp. 75.000 sampai dengan Rp. 300.000. Bagi pelaku usaha dengan sistem bon putih, sistem pemberian upah pekerja dibayarkan setiap hari Sabtu sore setelah hasil produksi dipasarkan ke Toko yang sudah menjadi mitra pemasaran. Pada saat musim ramai peak season, 3 bulan sebelum bulan puasa hingga menjelang Idul Adha, seluruh bengkel sibuk menerima pesanan sepatu dan sandal dari pihak grosir atau loper, yang mana pekerjaan dapat berlangsung dari pagi hingga larut malam. Pada bulan ramai, sebagian besar pelaku usaha lebih berani untuk menggunakan modal sendiri, hal ini dilakukan karena pada bulan-bulan ramai mereka memiliki keyakinan barang-barang tersebut akan laku di pasaran. Pelaku usaha 1 : “kalau sepatu ada musim ramainya, kalau mau puasa, udah aja jangan kemana-mana, diem aja di rumah, produksi.. uang itu pada datang.. bukan barang cari uang, tapi uang cari barang.. ” Di musim-musim sepi, pengusaha industri alas kaki biasanya melakukan pengurangan tenaga kerja. Sehingga, buruh-buruh bengkel alas kaki biasanya mencari pekerjaan lain di wilayah sekitar. Bagi pelaku usaha yang bisnisnya belum terlalu kuat, jika tidak ada orderan dari pihak grosir, mereka sama sekali tidak berproduksi, bahkan para pekerja cenderung menjadi pengangguran. Kondisi seperti ini dialami sekitar 2 hingga 3 bulan dalam 1 tahun. Produk alas kaki merupakan salah satu produk unggulan di Kota Bogor, bahkan telah menjadi produk unggulan prioritas di Kabupaten Bogor. Hal ini terlihat dari penyerapan tenaga kerja di sektor industri alas kaki yang cukup besar. Di sisi lain, berdasarkan ukuran makro Produk Domestik Regional Bruto PDRB Kabupaten Bogor, diketahui bahwa industri sekunder dalam hal ini termasuk industri alas kaki, menyumbangkan kontribusi terbesar terhadap nilai PDRB, yaitu sebesar 66 persen. Pihak UPT : “... pengrajin itu bagian dari ekonomi dan industri.. dan merupakan PDRB terbesar.. investasi kita yang tertinggi adalah sekundersandang.. inilah yang dipakai untuk ukuran indikator makro.. ” Penyebaran produk alas kaki Bogor telah menjangkau keseluruh penjuru tanah air. Produk alas kaki buatan pengrajin dipasarkan dengan menggunakan merk pemasar. Beberapa merk branded segmen menengah atas yang biasa dijual di mall-mall besar, merupakan pihak grosir atau pemesan setia pengrajin alas kaki Bogor. Hal ini menunjukkan bahwa para pelaku IK alas kaki di Bogor sudah berpengalaman dalam memproduksi sepatu bermutu dengan berbagai varian model yang disesuaikan dengan permintaan pasar.

4.2 Identitas Pelaku Usaha