Implementasi Kebijakan Pemerintah Analysis of The Influences of Entrepreneurial Marketing and Government Policies to The Competitiveness of The Footwear Industry in Bogor.

Berdasarkan tabulasi silang diketahui bahwa, pelaku usaha yang mampu menjalin hubungan baik dengan usaha menengah dan usaha besar adalah mereka yang berpendidikan SMASMKMA dan PT Tabel 19 dan Tabel 20. Hasil ini mencerminkan bahwa, tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan berkaitan dengan kemampuan networking yang semakin baik dari pelaku usaha. Di sisi lain, dalam hal hubungan dengan pemerintah setempat, keberadaan UPT dapat menjadi salah satu solusi untuk memperoleh informasi-informasi pasar yang dibutuhkan. Tabel 19. Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Market Intelligence – Hubungan dengan Usaha Menengah Faktor Hubungan dengan usaha menengah Total Kurang mampu Cukup mampu Mampu Sangat mampu Tingkat pendidikan Tidak tamat sekolah 14 1 15 SDMI 28 4 15 47 SMPMTs 17 2 9 28 SMASMKMA 3 1 5 9 PT 1 1 Total 62 7 30 1 100 Sumber: Data sekunder, diolah 2012 Tabel 20. Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Market Intelligence – Hubungan dengan Usaha Besar Faktor Hubungan dengan usaha besar Total Kurang mampu Cukup mampu Mampu Tingkat pendidikan Tidak tamat sekolah 15 15 SDMI 34 4 9 47 SMPMTs 16 6 6 28 SMASMKMA 3 1 5 9 PT 1 1 Total 68 11 21 100 Sumber: Data sekunder, diolah 2012

4.7 Implementasi Kebijakan Pemerintah

Mayoritas pelaku industri kecil alas kaki di wilayah Bogor masih belum merasakan implementasi dari kebijakan pemerintah daerah terhadap industri terkait. Hal ini tercermin dari hasil analisis indek yang menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah secara keseluruhan yang dirasakan pelaku usaha alas kaki baru mencapai 32 persen. Jik pemerinta kebijakan disebabka Perizinan samping i setempat, SKU Sur izin usaha secara gra ingin mem Sehingga, pelayanan Pelaku usa ga lama, ga Se pelatihan, pelaku us Selanjutny krusial da implemen G ka ditelusu ah yang pa kemudaha an oleh beb Terpadu y itu, sosialis dimana cik rat Keterang a, bahkan hi atis, namun mpersulit d tidak sedi n pemerintah ha 1 : “ SKU a susah.. ” edangkan u kemudahan saha masin ya, kebijak alam penge ntasinya oleh 20 40 60 80 Fas.mod Kemuda kemuda Gambar 5. I Sumber: D uri berda aling terasa an prosedur berapa hal yang mengak asi terkait kal bakal ke gan Usaha ingga izin m tidak dapat dan mencar ikit pelaku h. U dari Desa m untuk imple n investasi, ng-masing kan fasilita embangan i h pelaku usa 36 dal ahan investasi ahan prosedur Indek Kebi Data sekund sarkan di a di kalan r izin usah , diantaran komodir izi kemudahan emudahann pada para merk memili t dipungkiri ri keuntung usaha yan mudah, dari D ementasi k , dan persai sebesar 27 si permoda ndustri kec aha sebesar 27 2 i r izin usaha ijakan Pem der, diolah 2 mensinya, ngan pelaku ha yaitu se nya adalah in usaha sec n izin usaha nya terlihat pelaku usa iki prosedur i bahwa terd gan dari pr ng memilik Desa selalu s kebijakan p ingan usaha 7 persen, 2 alan yang cil akas kak r 36 persen. 28 29 Fas.pelatihan Persaingan u merintah 2012 implemen u usaha al ebesar 61 kemuncula cara terpusa a juga dilak dari kemud ha. Secara r yang mud dapat segili roses admin ki image ku siap siaga, bi emerintah a, baru dira 28 persen notabeneny ki, ternyata 61 n saha ntasi kebij las kaki a persen. Ha an BPT B at dan prakt kukan oleh dahan pemb prosedural, dah dan dibe ntir oknum nistrasi ters urang baik ikin langsung terkait fas asakan oleh dan 29 pe ya menjad a baru dira ijakan adalah al ini Badan tis. Di Desa berian , izin- erikan yang sebut. pada g jadi, ilitasi h para ersen. di hal sakan Kebijakan fasilitasi pelatihan merupakan kebijakan pemerintah yang paling rendah dirasakan implementasinya oleh para pelaku usaha. Hal ini dapat bersumber dari dua faktor, yaitu kompetensi pelaku usaha dan konsistensi dukungan pemerintah. Dikarenakan pemahaman yang kurang, tidak jarang kebijakan-kebijakan pemerintah yang ada kurang direspon oleh para pelaku usaha. Di sisi lain, implementasi kebijakan pemerintah yang ada dilakukan dengan anggaran yang terbatas, sehingga pendistribusiannya cenderung belum merata. Berbagai pelatihan yang ada dilakukan secara sentralisasi, dimana para pelaku usaha dikumpulkan pada satu tempat, baik di dalam atau luar wilayah Bogor, seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Pelatihan yang bersifat terpusat ini, menyebabkan para pelaku usaha harus meninggalkan bengkel kerja mereka untuk beberapa hari. Hal inilah yang juga menjadi pemicu rendahnya tingkat partisipasi mereka dalam melakukan pelatihan. Pihak UPT menyatakan bahwa setiap kebijakan pelatihan terkait kemajuan IK alas kaki telah dilakukan, walaupun masih pada tahap penjajakan atau sosialisasi. Pihak UPT : “… saya sering mencoba mengirimkan ke Sidoarjo, ke Bandung, ke Jakarta, orang-orang ga mau.. kembali kepada pengrajin mau atau tidak.. karena pengrajin kalau disuruh ke Jakarta bertanya ada ongkosnya atau tidak, gratis atau tidak, sulit.. pengrajin ninggalin bengkel satu minggu, berpikiran saya kehilangan berapa kodi” Terkait kebijakan persaingan usaha, pemerintah memang belum melakukan intervensi secara langsung. Namun, langkah-langkah seperti pembentukan kelompok usaha bersama KUB dapat mengarah pada kontrol persaingan yang sehat antar pelaku usaha alas kaki setempat. Kelompok- kelompok usaha dibentuk saat pelaku usaha mengikuti kegiatan pelatihan. Tujuan dari pembentukan kelompok usaha bersama adalah untuk menyamakan persepsi, satu suara, dan satu harga, sehingga mereka lebih kompak dan tidak saling menjatuhkan pada pasar yang sama. Pihak UPT : “ makanya dibentuk kelompok usaha bersama, tingkat Kabupaten, supaya bisa mempersatukan kebijakan.. menghindari banting-banting harga.. ” Selain kontrol persaingan antar pihak pelaku usaha dalam negeri, mereka mengeluhkan kontrol persaingan yang longgar terhadap produk-produk impor seperti Cina. Maraknya kemunculan alas kaki impor, membuat pelaku usaha alas kaki Bogor mengalami penurunan pangsa pasar. Pelaku usaha 2 : “ penghambatnya adalah barang-barang Cina.. model plastik.. semenjak masuknya barang Cina, ke barang kita jadi sepi..” Implementasi kebijakan fasilitasi permodalan yang dirasakan pelaku usaha sebesar 36 persen, memberi gambaran tentang bagaimana keikutsertaan mereka dalam koperasi. Selain melalui bank pemerintah seperti BRI, BPD atau Bank Jabar, permodalan yang diberikan secara kelompok, juga disediakan melalui koperasi. Pembagian modal per kelompok ternyata tidak serta merta disukai oleh para pelaku usaha. Sebagian dari mereka merasa terbebani terhadap permodalan sistem kelompok. Hal ini terjadi karena keharusan menjaga nama baik dalam 1 kelompok tersebut. Ketika 1 orang dalam kelompok tersebut mengalami kemacetan pembayaran, ini akan berdampak langsung pada nama baik seluruh anggota dalam kelompok. Keberadaan koperasi alas kaki Bogor yang notabenenya berfungsi sebagai penyalur modal, masih kurang terasa di kalangan pelaku usaha. Pelaku usaha 3 : “ ketua koperasi itu yang orangnya bener-bener bisa dipercaya… koperasi di kita mah ga kompak, ga kaya di Cibaduyut.. ” Berdasarkan hasil observasi, peran pemerintah setempat sebagai fasilitator permodalan dengan pihak bank, dirasa masih kurang. Fungsi pemerintah terkait permodalan yang baru dirasakan sebagian pelaku usaha adalah pemberian dana secara langsung. Pemberian dana yang terlaksana selama ini juga kurang optimal, karena pendistribusiannya yang disamaratakan untuk setiap pelaku usaha alas kaki. Dikarenakan bantuan modal yang diberikan kurang sesuai dengan kebutuhan usaha mereka, maka modal tersebut tidak digunakan untuk mengembangkan usahanya, namun masuk untuk keperluan dapur pelaku usaha.

4.8 Kemampuan Daya Saing