ANALISIS METODE DIREKTIF DALAM BIMBINGAN DAN PENYULUHAN

b Group guidance 8 Dengan menggunakan kelompok, pembimbing dan konselor akan dapat mengembangkan sikap sosial, sikap memahami peranan anak bimbing dalam lingkungannya. Dalam metode kelompok diberikan group therapy penyembuhan gangguan melalui terapi. Terapi tersebut dapat diwujudkan dengan penyesuaian situasi kebersamaan hak secara keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Tujuan utama dari bimbingan kelompok adalah penyebaran informasi mengenai penyesuaian diri dengan berbagai kehidupan klien. c Client centered method metode yang dipusatkan pada klien Metode ini sering juga disebut nondirektif tidak mengarahkan. Dalam metode ini terdapat dasar pandangan bahwa klien sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berkembang sendiri; dan sebagai pencarian kemantapan diri sendiri. Jika pembimbing mempergunakan metode ini, ia harus bersikap sabar mendengarkan dengan penuh perhatian segala ungkapan batin klien yang diutarakan kepadanya. Dengan demikian pembimbing seolah-olah pasif, tetapi sesungguhnya bersikap aktif menganalisa segala apa yang dirasakan oleh klien sebagai beban batinnya. 8 Drs. Samsul Munir Amin,. Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta: PT. Perpustakaan Nasional, 2010, h. 125. d Educative method Metode ini sebenarnya hampir sama dengan metode client- centered, hanya bedanya terletak pada usaha mengorek sumber perasaan yang menjadi beban tekanan batin klien serta mengaktifkan kekuatantenaga kejiwaan melalui pengertian realitas situasi yang dialami olehnya. Oleh karena itu, inti dari metode ini adalah pemberian pencerahan terhadap unsur-unsur kejiwaan yang menjadi konflik seseorang. Selain di atas masih banyak lagi metode yang sering digunakan pembimbing dalam mengatasi masalah kliennya, seperti metode direktif dan metode lainnya.

C. METODE DIREKTIF DALAM BIMBINGAN DAN PENYULUHAN

Konseling direktif adalah suatu teori konseling yang berasosiasi dengan E.G. Williamson, dimana konselor adalah aktif seperti penasehat dan guru dan menerapkan tes-tes dan melaksanakan diagnosis untuk memecahkan kerisauan pendidikan dan pekerjaan. 9 Direktif, secara umum menunjuk pada sifat arahan atau mengarahkan suatu aktifitas terapi; suatu ancangan atau model yang banyak mengarahkan. Sejumlah ancangan bimbingan dan konseling, misalnya behavioral, sifat dan 9 Andi Mappiare A.T., Kamus Istilah Konseling dan Terapi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, h. 88-89. faktor kognitif, pernah disebut bersifat direktif, sementara ancangan humanisme dan eksistensialisme pernah digolongkan sebagai bersifat nondirektif. Direktif adalah metode yang bersifat mengarahkan. Metode ini lebih bersifat mengarahkan klien untuk berusaha mengatasi masalah yang dihadapinya. Pengarahan yang diberikan kepada klien ialah dengan memberikan secara langsung jawaban-jawaban terhadap permasalahan yang menjadi sumber kesulitan yang dihadapi klien. Direktif konseling sebenarnya merupakan bentuk psikoterapi yang paling sederhana, karena konselor dalam metode ini secara langsung memberikan jawaban-jawaban terhadap problem yang oleh klien disadari menjadi sumber kecemasannya. Metode ini tidak hanya dipergunakan oleh konselor, melainkan juga dipergunakan oleh para guru, dokter, ahli hukum dan sebagainya. Dalam rangka usaha mencari tahu tentang keadaan klien. Dengan mengetahui keadaan masing-masing klien tersbut, konselor dapat memberikan bantuan pemecahan masalah. 10 Secara ringkas konseling direktif adalah suatu metode dalam bimbingan yang bersifat mengarahkan klien untuk memecahkan masalah yang sedang dan atau akan dihadapi oleh klien. Oleh karena itu, seorang pembimbing harus memahami proses pelayanan metode direktif. Konselor yang berpegang pada pendekatan konseling direktif mengikuti rangkaian kerja yang agak mirip dengan pelaksanaan studi kasus dan 10 Drs. Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta: PT. Perpustakaan Nasional, 2010, h. 69-73. pelayanan dokter terhadap seorang pasien, yaitu: analisis atau pengumpulan data yang relevan; diagnosis atau kesimpulan tentang semua unsur pokok dalam masalah klien dan sebab musababnya; konseling atau wawancara perseorangan untuk memikirkan penyelesaian terhadap problem yang dihadapi; tindak lanjut follow up atau bantuan terhadap klien bila timbul masalah lagi dan evaluasi terhadap efektivitas bimbingan.

D. BIMBINGAN

Secara etimologi bahasa, kata bimbingan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “guidance” yang berarti: “menunjukkan, memberikan jalan, menuntun, bimbingan bantuan, arahan, pedoman, dan petunjuk. Kata dasar dari “guidance” adalah “to guide”, yang artinya “menunjukkan, menuntun, mempedomani, menjadi penunjuk jalan, dan mengemudikan ”. Dari berbagai pengertian itu, maka yang paling umum digunakan adalah pengertian “memberikan bimbingan, dan arahan”. 11 Kemudian pengertian utuhnya adalah usaha membantu orang lain dengan mengungkapkan dan membangkitkan potensi yang dimilikinya. Sehingga dengan potensi itu, ia akan memiliki kemampuan untuk mengembangkan dirinya secara wajar dan optimal, yakni dengan cara memahami dirinya, mengenal lingkungannya, mengarahkan dirinya, mampu mengambil keputusan untuk 11 Drs. M. Lutfi, MA, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 5-6. hidupnya, dan dengannya ia akan dapat mewujudkan kehidupan yang baik, berguna, dan bermanfaat di masa kini dan masa yang akan datang. 12 Secara sederhana bimbingan adalah proses membimbing atau memberikan arahan kepada klien untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah melalui proses pengungkapan atau pembangkitan potensi yang dimiliki klien. Dengan demikian klien mampu mengembangkan diri, potensi serta bisa memahami dirinya, dan lingkungan di sekitarnya, sehingga ia bisa mengambil keputusan yang baik untuk dirinya dan bisa bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.

E. KECERDASAN SPIRITUAL

Dalam Kamus Bahasa Indonesia kecerdasan berawal dari kata benda nomina “Cerdas” yang berawalan “Ke-, dan berakhiran -an” sehingga menjadi “kecerdasan” yang berarti “sempurna perkembangan akal budinya, tajam pikiran, pandai ”. 13 Selain itu, dalam Kamus Lengkap Inggeris- Indonesia, Indonesia- Inggeris dijelaskan “educated, clever, inteligent”, yang berarti “cerdas”. 14 Simpulnya, bahwa kecerdasan adalah seseorang yang mempunyai kepandaian atau berpendidikan. 12 Drs. M. Lutfi, MA, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 6. 13 Drs. Tri Rama K, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung, h. 112. 14 Prof. Drs. S. Wojowasito – W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggeris- Indonesia- 316 hal Indonesia- Inggeris – 332 hal, Bandung: Penerbit Hasta, Cetakan Ke-16, h. 65. Secara etimologi bahasa “Spiritual‘spiritual” - ‘Spiritjual, dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “rohani, intelektuil”. 15 Spiritual menurut kamus Webster 1963 kata “spirit” berasal dari kata benda bahasa Latin “spiritus” yang berarti napas dan kata kerja “spirare” yang berarti untuk bernapas. Melihat asal katanya, untuk hidup adalah untuk bernapas, dan memiliki napas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. 16 Kemudian secara terminologi istilah pengertian spiritual banyak pendapat para tokoh di antaranya adalah: 17 1. Schreurs mendefenisikan spiritualitas sebagai hubungan personal seseorang terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada Yang Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. 2. Elkins menunjuk spiritualitas sebagai cara individu memahami keberadaan maupun pengalaman dirinya. Bagaimana individu 15 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, h. 207. 16 Ibid, h. 288. 17 Dr. Abdul Jalil, M. EI, Spiritual Enterpreneurship Transformasi Spiritualitas Kewirausahaan, Yogyakarta: LkiS Cemerlang, 2013, h. 23.