ini, manusia mulai mendapatkan pesan dari nuraninya sendiri: semacam bisikan tanpa kata-kata yang memberinya inspirasi tentang arah tujuan,
mendorongnya dan memperkuat usahanya. Namun, terkadang kejahatan menyamar dalam bisikan tersebut dengan mendorong sesuatu yang
tampaknya baik padahal tidak. Untuk belajar membedakannya, orang ini harus belajar dengan bantuan orang yang lebih berpengalaman, yaitu orang
yang mampu membedakan ilham yang sesungguhnya dengan imajinasi palsu yang jahat.
4. Nafs Muthma’innah The Contented Self
47
Pada tahap ini orang merasakan kedamaian. Pergolakan pada tahap awal telah lewat. Kebutuhan dan ikatan-ikatan lama tidak lagi penting.
Kepentingan diri mulai lenyap, membuat seseorang lebih dekat Tuhannya. Tingkat ini membuat seseorang menjadi berpikiran terbuka, bersyukur, dapat
dipercaya, dan penuh kasih sayang. Jika seseorang menerima segala kesulitan dengan kesabaran dan ketakwaan, tidak berbeda ketika ia memperoleh
kenikmatan, dapat dikatakan bahwa seseorang telah mencapai tingkat jiwa yang tenang. Dari segi perkembangan, tahap ini menandai periode transisi.
Seseorang mulai dapat melepaskan semua belenggu diri sebelumnya dan mulai melakukan integrasi kembali semua aspek universal kehidupan dalam
dirinya.
47
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, h. 308-309.
5. Nafs Radhiyah The Pleased Self
48
Pada tahap ini seseorang tidak hanya tenang dengan dirinya, namun juga tetap bahagia dalam keadaan sulit, musibah atau cobaan dalam
kehidupannya. Ia menyadari bahwa segala kesulitan datang dari Allah untuk memperkuat imannya. Keadaan bahagia tidak bersifat hedonistik atau
materialistik, dan sangat berbeda dengan hal yang biasa dialami orang-orang yang berorientasi pada hal yang bersifat duniawi, prinsip memenuhi
kesenangan dan menghindari rasa sakit. Jika seseorang telah sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur pada Allah, ia telah mencapai tahap
perkembangan spiritual ini.
6. Nafs Mardhiyah The Self Pleasing to God
49
Tahap ini termanifestasi melalui ikatan antara Sang Pencipta dengan yang diciptakan-Nya, melalui perasaan cinta yang mendasarinya. Sang
Pencipta menemukan manusia yang sempurna dalam kualitas yang dianugerahi-Nya ketika Ia menciptakannya. Nama atau sifat Allah
termanifestasi dalam diri manusia pada tingkat ini. Manusia yang sempurna ini telah kehilangan semua karakteristik fisik hewan yang membuatnya
menjadi tidak sempurna di bawah perintah nafsu. Sifat keilahian melekat dalam dirinya, dan ia telah melihat realitas sejati, yaitu kebenaran, karena ia
telah dianugerahi Ayn al-Yaqin, keyakinan.
48
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, h. 309.
49
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, h. 310.