SPIRITUAL SUFISTIK Tahap perkembangan spiritual Sufistik

2. Nafs Lawwamah The Regretful Self

45 Pada tahap ini manusia mulai memiliki kesadaran terhadap perilakunya, ia dapat membedakan yang baik dan yang benar, dan menyesali kesalahan-kesalahannya. Namun, ia belum memiliki kemampuan untuk mengubah gaya hidupnya dengan cara yang signifikan. Pada tahap ini, orang seperti pecandu yang mulai memahami rasa sakit yang mereka sebabkan bagi diri mereka dan orang lain, namun kecanduan terlalu kuat untuk membuat mereka dapat berubah. Mereka yang berada pada tingkat ini tidak bebas dari godaan. Kekecewaan terhadap penghargaan orang lain atas perubahan perilakunya dapat membuatnya kembali pada tahap sebelumnya. Ia merasa mengambil jalan yang salah, karena merasa kurang dihargai. Ia kemudian terpengaruh oleh nafsu hewani yang dimilikinya. Jika ia cukup cerdas dalam menghadapi kekecewaannya, ia dapat mengatasi kemunafikan, kesombongan dan kemarahan yang dialaminya, dan akan melewati tahap ini dengan cepat. Semakin lama orang berada pada tahap ini, semakin banyak godaan yang ia terima.

3. Nafs Mulhimah The Inspired Self

46 Pada tahap ini orang mulai merasakan ketulusan dari ibadahnya. Ia benar-benar termotivasi pada cinta kasih, pengabdian dan nilai-nilai moral. Tahap ini merupakan awal dari praktik sufisme yang sesungguhnya. Pada saat 45 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, h. 307. 46 Ibid, h. 307. ini, manusia mulai mendapatkan pesan dari nuraninya sendiri: semacam bisikan tanpa kata-kata yang memberinya inspirasi tentang arah tujuan, mendorongnya dan memperkuat usahanya. Namun, terkadang kejahatan menyamar dalam bisikan tersebut dengan mendorong sesuatu yang tampaknya baik padahal tidak. Untuk belajar membedakannya, orang ini harus belajar dengan bantuan orang yang lebih berpengalaman, yaitu orang yang mampu membedakan ilham yang sesungguhnya dengan imajinasi palsu yang jahat.

4. Nafs Muthma’innah The Contented Self

47 Pada tahap ini orang merasakan kedamaian. Pergolakan pada tahap awal telah lewat. Kebutuhan dan ikatan-ikatan lama tidak lagi penting. Kepentingan diri mulai lenyap, membuat seseorang lebih dekat Tuhannya. Tingkat ini membuat seseorang menjadi berpikiran terbuka, bersyukur, dapat dipercaya, dan penuh kasih sayang. Jika seseorang menerima segala kesulitan dengan kesabaran dan ketakwaan, tidak berbeda ketika ia memperoleh kenikmatan, dapat dikatakan bahwa seseorang telah mencapai tingkat jiwa yang tenang. Dari segi perkembangan, tahap ini menandai periode transisi. Seseorang mulai dapat melepaskan semua belenggu diri sebelumnya dan mulai melakukan integrasi kembali semua aspek universal kehidupan dalam dirinya. 47 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, h. 308-309.