Peranan PHBM dalam Pengendalian Kebakaran Hutan
a. Deteksi dini dan pelaporan kejadian kebakaran hutan. Pengendalian kebakaran hutan yang efektif memerlukan deteksi dan
pelaporan yang baik. Deteksi menunjukkan lokasi kebakaran dan informasi tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dalam pengendalian
kebakaran hutan melalui mekanisme pelaporan kejadian kebakaran. Kalau deteksi tidak efisien, kerusakan akibat kebakaran bisa menjadi demikian besar oleh karena
terlambatnya upaya-upaya penanggulangan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 1997.
Masyarakat sekitar hutan, dimana keberadaannya paling dekat dengan hutan, merupakan subjek yang paling kompeten sebagai sumber informasi untuk
kegiatan deteksi dan pelaporan kejadian kebakaran. Masyarakat yang dulu sering dianggap ancaman, sehingga pengawasan hutan diperketat, kini dijadikan mitra
Perhutani yang dapat saling membantu dalam suasana kerjasama yang menjunjung azas kekeluargaan.
Di wilayah KPH Cepu, selama ini banyak kegiatan harian masyarakat yang berlokasi dekat dengan hutan atau bahkan di dalam kawasan hutan tersebut,
namun bukan berupa interaksi negatif, seperti mengambil tunggak jati atau daun- daun jati. Dengan demikian, masyarakat dapat turut berperan mengawasi keadaan
hutan, melakukan deteksi dini dan segera melapor kepada aparat apabila sewaktu- waktu terjadi gangguan hutan, salah satunya kebakaran hutan.
Perubahan paradigma manajemen Perhutani seperti yang tercantum dalam Prinsip PHBM PLUS Pasal 6 No.1, yaitu :
Pelaksanaan PHBM PLUS diawali dengan perubahan pola pikir mindset pada semua jajaran di Perum Perhutani dari yang birokratif, sentralistik,
kaku, ditakuti, menjadi fasilitator, fleksibel, akomodatif dan dicintai. Direksi Perum Pehutani 2007
menjadikan para petugas Perhutani, khususnya yang berada di lapangan kini lebih dekat dan bersahabat terhadap masyarakat. Kondisi ini menyebabkan masyarakat
tidak lagi takut terhadap aparat. Masyarakat kini memiliki keberanian untuk bermitra dengan para petugas Perhutani dan dengan sukarela bekerja sama,
misalnya melaporkan bila terjadi kebakaran hutan di suatu area kepada petugas.
Namun kolaborasi tersebut tetap dilandasi rasa segan dan hormat antar kedua pihak dan diperkuat dengan adanya pengayoman melalui LMDH.
Dalam melakukan pelaporan, masyarakat yang mengetahui titik kejadian kebakaran segera menghubungi petugas dengan mengunjungi pos-pos penjagaan
yang tersebar di wilayah hutan, karena bila tak berkeliling petugas berjaga-jaga di pos. Metode pelaporan juga berkembang sesuai perkembangan teknologi.
Beberapa peralatan komunikasi yang digunakan sebagai sarana pelaporan antara lain radio, HT, serta handphone HP. Bagi warga yang sudah memiliki sarana
komunikasi tersebut umumnya HP dapat menghubungi petugas lebih cepat dan mudah. Laporan dari masyarakat kemudian ditindaklanjuti oleh petugas. Bila
kapasitas petugas untuk menangani kebakaran tersebut terbatas maka petugas akan meminta bantuan masyarakat.
b. Patroli lapanganhutan rutin
Adapun bentuk patroli ini ada dua macam, yaitu patroli berkeliling hutan baik dengan kendaraan atau berjalan menyisir hutan, atau dengan berjaga-jaga di
pos pengawasan hutan. Pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pengamanan lapangan. Petugas Perhutani maupun LMDH, tetap
melakukan patroli rutin ini sesuai jadwal untuk wilayah pangkuan mereka. Kegiatan ini terkadang dilakukan secara bersama-sama antara petugas Perhutani
dengan anggota LMDH yang bertugas, namun terkadang tidak.
Gambar 12 Kegiatan patroli hutan rutin berjaga di pos keamanan. Petugas Seksi Keamanan di setiap LMDH biasanya sudah memiliki jadwal
patroli masing-masing. Ada yang pembagiannya seminggu sekali, atau 5 hari
sekali. Untuk LMDH ”Wana Bhakti” Desa Cabak, patroli dilakukan setiap 5 hari sekali per satu petugas, sedangkan di LMDH ”Wana Lestari” Desa Kedewan
jadwal sama hanya dilakukan oleh tiga orang anggota seksi keamanan. Pada LMDH ”Alas Rejo” Desa Sambongrejo jadwal tugas patroli setiap petugas yaitu
seminggu sekali. Adapun jadwal patroli lengkap dari ketiga LMDH tersebut diatas terdapat pada Lampiran 9. Sistem pelaksanaan patroli LMDH ”Wana Tani
Makmur” Desa Nglebur di siang hari dilaksanakan oleh petugas LMDH saja, sedangkan untuk malam hari dilakukan bersama-sama dengan petugas Perhutani.
Sedangkan pada LMDH ”Wana Jati Lestari” Desa Nglobo, patroli dilaksanakan secara berselang satu hari untuk setiap petugas.
Dalam kegiatan patroli bersama biasanya antara petugas Perhutani dengan petugas LMDH bertemu pada pos-pos penjagaan. Pos ini terdapat di beberapa titik
di dalam areal hutan, baik di dalam tegakan, atau yang dekat dari aksesibilitas umum, pada tepi jalan raya misalnya. Berjaga-jaga pada pos baik siang atau
malam hari, biasanya dilakukan bila kondisi dianggap tidak terlalu rawan.
a b
Gambar 13 Pos Penjagaan Hutan di BKPH Pasarsore a dan BKPH Cabak b. Kegiatan patroli ke dalam kawasan hutan dilakukan secara rutin, namun
khusus untuk antisipasi kejadian kebakaran, intensitas kegiatan lebih ditingkatkan pada bulan-bulan yang rawan terjadi kebakaran yaitu ketika mulai memasuki
musim kemarau, diantaranya mulai dari pertengahan Juli hingga Oktober. Pada bulan-bulan rawan kasus kebakaran tersebut, patroli yang digunakan yaitu dengan
berjalan menyusuri hutan, mengamati bilamana di suatu tegakan terdapat benda- benda yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan, seperti obat nyamuk bakar
yang sudah disulut atau dinyalakan, juga segera melakukan pemadaman bila menemukan titik apilokasi yang terbakar.
c. Penyuluhan kebakaran hutan terhadap masyarakat Untuk kegiatan ini, petugas LMDH yang terlibat yaitu petugas seksi humas
yang bekerjasama dengan seksi keamanan. Anggota seksi humas biasanya melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui ramah tamah atau ikut terlibat
dalam rapat-rapat desa, kumpul RT atau RW, dan ikut berbicara dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian
keberadaan hutan serta manfaatnya yang dapat diperoleh masyarakat sendiri, dampak negatif akibat gangguan hutan salah satunya kebakaran hutan, serta
kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan bersama dengan Perhutani, baik sistem kerjanya, peraturan, maupun keuntungan yang dapat diperoleh masyarakat.
Metode ini selain untuk bidang keamanan hutan, juga digunakan dalam sosialisasi saat penerapan PHBM.
Gambar 14 Kegiatan penyuluhan kebakaran di Desa Cabak. Selain itu, pendekatan juga dilakukan oleh petugas seksi keamanan ketika
mereka patroli, yakni dengan berbincang-bincang dengan penduduk yang sedang masuk hutan, atau juga terhadap penggembala, yang kebanyakan anak-anak dan
akan masuk ke hutan, agar mereka tidak menyalakan api yang dapat menyebabkan kebakaran hutan atau juga melakukan tindak pengrusakan hutan lainnya.
Pendekatan personal juga dilakukan secara non-formal, seperti saat mengobrol di warung atau saat berkumpul santai antar warga.
Walau terkadang mendapat tanggapan kurang enak, seperti sindiran- sindiran, namun hal ini tidak menyurutkan semangat anggota LMDH. Para
petugas tetap melakukan sosialisasi tersebut sehingga secara perlahan namun pasti mampu mengubah pandangan warga. Banyak masyarakat yang kemudian menjadi
segan atau malu bila hendak masuk hutan untuk mencuri kayu, melakukan pembakaran, atau tindak kejahatan terhadap hutan lainnya.
d. Pemadaman kebakaran hutan bersama karyawan Perhutani
Walaupun upaya pengawasan dan pencegahan telah diupayakan sedemikian rupa, kejadian kebakaran hutan dapat tetap saja muncul di hutan wilayah
pemangkuan. Biasanya kondisi ini terjadi pada bulan-bulan dengan tingkat kekeringan tinggi, sehingga rawan terjadi kebakaran hutan.
Apabila terjadi kebakaran, maka dilakukan pemadaman kebakaran hutan secepatnya agar luas kebakaran hutan tidak besar. Pemadaman dilakukan
menggunakan peralatan sederhana, seperti pemukul api tradisional atau yang sering disebut gepyokan istilah bahasa setempat, yaitu pemukul api yang terbuat
dari ranting-ranting berdaun lebar dan tahan api, membuat ilaran api, atau dengan menyingkirkan bahan-bahan bakar, serasah-serasah dedaunan jati misalnya, agar
api tidak menjalar dan meluas. Di wilayah Cepu, gepyokan yang sering digunakan yaitu ranting daun ploso, karena daunnya lebar dan cukup tahan terhadap api.
Pemadaman ini dilakukan oleh para petugas Perhutani yang berada dekat dengan lokasi kejadian kebakaran. Apabila kapasitas tenaga dinilai kurang, maka
petugas mengajak pengurus LMDH untuk ikut serta, dan apabila masih dibutuhkan tambahan tenaga lagi maka pengurus akan mengerahkan masyarakat.
Banyaknya tenaga yang diperlukan tergantung pada besarnya kebakaran yang dipengaruhi keadaan lapangan seperti ada angin atau tidak, atau dekat sungai atau
sekat alami lainnya. Keterlibatan LMDH atau masyarakat sekitar dalam pemadaman kebakaran
hutan tercantum dalam Laporan Kebakaran Hutan yang dibuat oleh KRPH dan diketahui KBKPH setiap terjadi kasus kebakaran hutan, contohnya dapat dilihat
pada Lampiran 10.
Dalam pelaksanaan kegiatannya, seksi keamanan hutan LMDH tak hanya didukung oleh pihak Perhutani saja, melainkan juga pemerintah daerah setempat,
dalam hal ini kepala desa. Contoh dukungan ini tercermin dari adanya Surat Keputusan bagi 10 anggota seksi keamanan LMDH ”Tunggak Semi” Desa
Temengeng dari ketua lembaga, pihak Perhutani serta Kepala Desa Temengeng. Dalam surat tersebut Lampiran 11 tercantum tugas dan tanggung jawab
para petugas seksi keamanan, luas areal pangkuan hutan, nama-nama para petugas, serta keterangan keikutsertaan seluruh masyarakat Desa Temengeng
Kecamatan Sambong dalam menjaga kawasan hutan. Melalui surat ini, selain memperkuat hubungan kerjasama antara LMDH, Perhutani serta pemerintah
Desa, juga menjamin adanya dukungan dan perlindungan bagi aparat oleh pihak desa juga Perhutani, apabila ada suatu masalah yang melibatkan pihak luar desa.
Keberadaan LMDH tentunya membantu pihak Perhutani selaku pengelola hutan jati dalam mengelola kawasan hutannya, mulai dari kegiatan awal berupa
pengadaan bibit, pemeliharaan serta perlindungan tegakan, hingga pemanenan. Dalam hal perlindungan hutan, khususnya kebakaran hutan, penerapan PHBM
dengan berbagai bentuk kegiatan nyatanya di lapangan seperti yang sudah dijelaskan di atas, sedikit banyak tentu berperan positif terhadap kondisi hutan.
Berdasar pada data pada Tabel 8, juga data sejumlah kejadian kebakaran hutan per petak dari 6 BKPH di KPH Cepu Lampiran 5, terlihat bahwa setelah
tahun 2002, luas kebakaran hutan yang terjadi di wilayah KPH Cepu mengalami Tabel 8 Data Rekapitulasi Gangguan Hutan : Kebakaran Hutan Tahun 2000 -
2006 KPH
Cepu Kejadian Kebakaran Hutan
Tahun Luas
ha Kerugian
x Rp 1.000 Penurunan luas
tahunan ha 2000 276
42.886 2001 400
72.957 -124
2002 867 163.483
- 467
2003 765 140.676
102 2004 516
105.890 249
2005 114 29.177
402 2006 528
114.780 -414
TOTAL 3.486 669.829
Sumber : Bagian PSDH KPH Cepu 2007 Keterangan : tanda - berarti pada tahun tersebut terjadi kenaikan luas area terbakar
Terkait hal tersebut, maka dilakukan pula penghitungan penurunan luasan tersebut kemudian dilakukan scoring sesuai standar evaluasi PHBM Direksi
Perum Perhutani 2003. Perhitungan dilakukan setiap tahun, karena evaluasi PHBM oleh Perhutani juga dilakukan setiap tahun. Dalam hal ini menilai
pengaruh pelaksanaan PHBM terhadap dampak ekologi hutan akibat gangguan keamanan hutan dimana kebakaran merupakan bagian di dalamnya.
Luas areal terbakar untuk tahun 2002 yaitu sebesar 867 Ha, untuk tahun 2003 luasan mengalami penurunan sebesar 102
Ha yaitu menjadi 765 Ha. Pada tahun 2004 luas areal yang terbakar yaitu sebesar 516 Ha, yang berarti turun
sebesar 249 Ha dari tahun 2003. Pada tahun 2005, luas areal yang terbakar yaitu 114 Ha, mengalami penurunan sebesar 402 Ha dari luas kebakaran hutan di tahun
2004. Adapun dari ketiga tahun tersebut, laju penurunan luas areal terbakar rata- rata dari ketiga tahun tersebut yaitu 251 ha
Untuk penilaian kebakaran hutan dilihat dari penurunan luas areal terbakarnya Lampiran 13. Untuk tahun 2003, dengan penurunan luas sebesar
11,76 102 Ha memperoleh skor 1 dari standar evaluasi. Kebakaran tahun 2004, penurunaan luas kebakaran sebesar 32,55 249 Ha memperoleh skor 1
dari standar yang sama, sedangkan untuk kebakaran hutan tahun 2005, luas areal yang terbakar mengalami penurunan 77,91 402 Ha memperoleh skor 5, yang
merupakan skor tertinggi dalam standar evaluasi. Kejadian kebakaran hutan di wilayah KPH Cepu memang diakibatkan oleh
aktivitas manusia yang menggunakan api, namun juga sangat dipengaruhi kondisi cuaca. Dari ketiga tahun yang mengalami penurunan kejadian kebakaran hutan,
tahun 2005 merupakan tahun dengan laju penurunan terbesar, dan hal ini merupakan prestasi yang baik antara Perhutani maupun masyarakat di wilayah
KPH Cepu dalam hal penanggulangan kebakaran hutan. Namun, pencapaian prestasi ini juga tak luput terkait dengan faktor alam.
Kondisi cuaca pada masa itu yang terbilang normal, tidak ada pengaruh El- Nino melainkan terdapat fenomena badai tropis Tim yang membuat pemampatan
awan cukup tinggi sehingga potensi terjadinya hujan tinggi. Namun, kondisi berbeda terjadi di tahun 2006, dimana terjadi fenomena angin monsoon dari timur
yang bersifat kering dan telah menyebabkan kekeringan ekstrem hampir di 80
wilayah Jawa Tengah, bahkan untuk wilayah Jateng bagian timur yang langganan kekeringan seperti Blora, Rembang, Pati, Grobogan, Klaten, Wonogiri, dan
Sragen tidak akan ada hujan Kompas 2006. Kondisi inilah yang mengakibatkan kasus kebakaran hutan besar-besaran kembali melanda wilayah hutan Cepu,
sehingga total luas areal terbakar tahun 2006 kembali meningkat. Analisa peranan PHBM terkait pengendalian kebakaran hutan ini juga
diujicoba secara uji statistik terhadap data luas kebakaran hutan antara tahun- tahun sebelum pelaksanaan dengan tahun setelah pelaksanaan PHBM di KPH
Cepu dengan metode Paired sample T-test dan diperoleh hasil berupa p-value sebesar 0,811.
Nilai tersebut p-value lebih besar dari 0,05, maka asumsi Ho diterima, yang berarti adanya PHBM tidak berpengaruh nyata terhadap upaya pengendalian
kebakaran hutan di KPH Cepu. Berdasarkan uji tersebut diperoleh juga perbedaan rata-rata sebesar -3,34. Perbedaan ini masih termasuk dalam range nilai, yaitu
nilai terendah : -33,32 dan nilai tertinggi : 26,65. Namun karena dari hasil uji probabilitas p-value hubungan keduanya tidak nyata, maka dapat dikatakan
bahwa penerapan PHBM tidak berpengaruh nyata dalam upaya mengendalikan kasus kebakaran hutan di KPH Cepu.
Walaupun setelah tahun 2002 luas kebakaran hutan memang berkurang, hanya saja dari hasil uji menggunakan two sample paired t-test keefektifan
peranan PHBM tidak berpengaruh nyata. Hal ini disebabkan nilai hasil rata-rata luas areal terbakar pada tahun-tahun sebelum pelaksanaan PHBM tetap lebih kecil
dibandingkan luas area terbakar di tahun-tahun setelah pelaksanaan. Berdasarkan nilai, terlihat bahwa luas kebakaran hutan tidak mengalami penurunan tetapi
meningkat, sehingga membuat peran serta masyarakat melalui LMDHPHBM seakan tidak ada atau tidak terlihat jelas.
Dari hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa prestasi Perhutani dengan pelaksanaan PHBM dalam penanganan gangguan keamanan hutan berupa kasus
kebakaranpembakaran hutan belum sangat optimal. Kondisi tersebut tidak seperti pengaruh kegiatan terhadap kasus gangguan hutan lainnya, seperti pencurian
kayu. Ada beberapa hal yang diduga mempengaruhi terjadinya hal tersebut, diantaranya :
a. Keterbatasan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan
Walaupun kasus kebakaran hutan marak terjadi di wilayah hutan KPH Cepu, namun kondisi ini sepertinya belum dinilai menjadi permasalahan utama
bagi perusahaan pengelola hutan ini. Hal ini terlihat dari penanganan kebakaran hutan yang ada selama ini. Selama ini belum dibentuk tim khusus terkait masalah
kebakaran hutan, baik patroli maupun pemadam kebakaran hutan. Kegiatan keamanan masih dilakukan secara bersamaan dan gabungan, baik untuk
menangani pencurian juga kebakaran. Selain itu sarana dan prasarana untuk penanggulangan kebakaran kurang memadai, bahkan tidak ada. Sebagai contoh
sarana pengawas berupa menara pengawas menara api. Sarana ini pernah ada, namun karena pemanfaatannya kurang maka kini kondisinya kurang terawat.
Salah satu menara pengawas yang kondisinya masih baik dan masih digunakan yaitu menara pandang yang terdapat di Gubug Payung. Pemanfaatan menara
inipun kini lebih mengarah sebagai sarana pariwisata.
Gambar 15 Menara pengawas hutan di Gubug Payung, BKPH Pasarsore. Bila terjadi kebakaran hutan, upaya pemadaman hanya sebatas
menggunakan alat-alat yang ada di lapangan, seperti ranting-ranting daun yang tebal dan tahan api, seperti tanaman ploso atau membuat ilaran api.
Pelatihan kebakaran hutan pernah diadakan pada tahun 2004, namun hanya sekali dan tidak ditindaklanjuti. Pada saat pelatihan tersebut, ada beberapa desa
yang memperoleh alat-alat pemadaman kebakaran, namun kini kondisi alat sudah tidak memadai untuk digunakan sesuai fungsinya.
Contoh kasus di Desa Nglebur, alat pemukul api yang sudah rusak lalu dialih fungsikan dengan memanfaatkan pegangan alat tersebut sebagai patok
untuk membuat papan peringatan. Walau demikian, pengurus LMDH desa tersebut berinisiatif untuk mengupayakan pengadaan alat pemadam kebakaran
Yamato Sprayer-30L, yang pengadaannya tidak khusus untuk kebakaran hutan saja tetapi lebih kepada pengamanan industri tunggak yang dikelola oleh pengurus
LMDH desa tersebut LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur.
Gambar 16 Alat pemadam kebakaran milik pengurus LMDH. b. Kebersamaan kerja antara aparat dan masyarakat belum terjalin utuh.
Pelaksanaan patroli kebakaran hutan masih dilakukan terpisah antara petugas dan masyarakat. Bila memungkinkan, baru terkadang diadakan patroli
bersama. Belum tercipta sinergitas seutuhnya dalam pelaksanaan dan pembagian tugas. maupun penyusunan jadwal kegiatan patroli belum disusun secara bersama
antara petugas dari Perhutani dan masyarakat LMDH. Penyusunan jadwal hendaknya dilakukan menjelang musim kemarau, dan patroli kolaboratif tersebut
dilakukan secara intensif saat musim kemarau atau bulan-bulan rawan kebakaran. Dengan pembagian peran tersebut diharapkan kendala keterbatasan tenaga untuk
patroli pencegahan kebakaran hutan dapat diantisipasi.