Kejadian Kebakaran Hutan di KPH Cepu
Adapun kondisi total kejadian kebakaran berupa luas areal terbakar di KPH Cepu selama periode 1996 – 2006 disajikan pada Gambar 4.
1.158,52
399,55 765,82
409,66 276,40
347,00 527,65
114,10 516,60
867,20
0,00 200,00
400,00 600,00
800,00 1.000,00
1.200,00 1.400,00
1996 1997 1998 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun kejadian kebakaran hutan L
u as ar
ea t
er b
ak ar
h a
Gambar 4 Kondisi kejadian kebakaran hutan di KPH Cepu periode tahun 1996 hingga
2006 berdasarkan luas areal yang terbakar.
Dari grafik di atas terlihat kejadian kebakaran di KPH Cepu terjadi setiap tahun dengan luasan areal terbakar yang berbeda-beda, atau dapat dikatakan
kondisi kebakarannya fluktuatif. Dalam periode tahun 1996-2006 tersebut, kisaran luas kejadian kebakaran
hutan di KPH Cepu yaitu antara 114,10 hingga 1158,52 ha. Kejadian kebakaran hutan terbesar terjadi pada tahun 1997 1158,52 ha, sedangkan luas kebakaran
hutan terkecil yaitu tahun 2005 114,10 ha. Berdasarkan data kebakaran selama 10 tahun tersebut dapat dihitung bahwa
telah terjadi kasus kebakaran hutan seluas total 5.383,50 ha yang melanda kawasan hutan KPH Cepu. Kejadian kebakaran ini tentu saja memberikan dampak
terhadap kondisi tegakan jati juga site tempat tumbuhnya yang telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar total Rp 16.412.388.000. Rata-rata setiap tahunnya
KPH Cepu mengalami penurunan kualitas luas areal hutannya seluas 489,41 ha akibat terjadinya kasus kebakaran hutan.
Tahun 1997 menjadi tahun dengan kasus kebakaran terluas dikarenakan adanya pengaruh ENSO El-Nino South Oscillation yang melanda Indonesia pada
tahun tersebut. Pengaruh ini menyebabkan musim kemarau yang terjadi jauh lebih
panjang daripada biasanya, sehingga baik ketersediaan maupun pengeringan bahan bakar hutan semakin tinggi sehingga rawan terbakar. Selain itu, karena
kering dan biasanya disertai tiupan angin maka bila terjadi kebakaran di satu titik maka penjalaran api mudah terjadi, sehingga kebakaran hutan cepat menyebar dan
meluas. Kondisi ini menyulitkan upaya pemadaman kebakaran, sehingga luas areal hutan yang terbakar pun besar.
Pada tahun 2005, tidak terjadi fenomena El-Nino, namun berlangsung Dipole Mode Negatif di Samudera Hindia serta badai tropis Tim yang membawa
uap air cukup tinggi sehingga curah hujan di wilayah barat Indonesia relatif tinggi dan potensi hujan besar Kompas 2007. Kondisi ini juga yang dimungkinkan
menjadi penyebab tahun 2005 merupakan tahun dengan luas kebakaran terkecil di KPH Cepu selama periode 1996 – 2006. Ditambah pula upaya penanganan yang
jauh lebih terpadu, mengingat telah terlaksanannya PHBM serta adanya pelatihan penanggulangan kebakaran hutan setahun sebelumnya.
Data tahun 1999 tidak akurat diakibatkan pada tahun tersebut terjadi gejolak sosial di wilayah KPH Cepu. Gejolak tersebut antara lain penjarahan hutan secara
besar-besaran, juga penyerangan terhadap fasilitas berupa sarana dan prasarana pengelolaan hutan milik Perhutani, diantaranya kasus pembakaran rumah dinas
KBKPH Cabak. Penyerangan ini dilakukan oleh penduduk dari wilayah sekitar KPH Cepu. Karena kondisi itulah, aparat Perhutani khususnya petugas lapangan
pada tahun tersebut lebih memfokuskan kegiatan pada upaya perlindungan hutan maupun keselamatan kehidupan mereka sendiri, sehingga kegiatan pengelolaan
dan pelaporan data-data keamanan, khususnya data kebakaran, tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Kondisi ini yang mempengaruhi ketersediaan data yang
tercatat di KPH. Diduga pada tahun tersebut tetap ada kebakaran hutan, bahkan dalam luasan areal yang besar.
Diprediksi bahwa kasus kebakaran di wilayah KPH Cepu pada tahun 2007 akan mengalami penurunan. Hal ini didasari oleh informasi kondisi iklim dan
cuaca dari badan meteorologi setempat yang menyatakan bahwa tahun 2007 termasuk iklim basah, maksudnya walaupun wilayah Cepu mengalami musim
kemarau namun masih tetap diselingi atau terjadi hujan dalam beberapa periode, sehingga temperatur tidak terlalu tinggi. Adanya iklim basah merupakan salah
satu pengaruh La-Nina yang kini melanda Indonesia diantaranya Pulau Jawa tepatnya pada bulan Sepetember hingga November WAF-LAPAN 2007. Efek
La-Nina berlawanan dengan El-Nino, La-Nina menyebabkan musim daerah tersebut cenderung basah, curah hujan tinggi. Kemarau yang berkepanjangan
diduga tidak akan terjadi selama 2007 ini, sehingga KPH Cepu dapat terhindar dari suatu pemicu kasus kebakaran hutan.
48,32
20,61 44,37
60,64 68,97
63,98 43,60
22,90 20,11
35,83 54,59
54,34
0,00 10,00
20,00 30,00
40,00 50,00
60,00 70,00
80,00
Pada Tabel 5 juga terdapat informasi mengenai kondisi kebakaran hutan tiap-tiap BKPH di KPH Cepu. Adapun hasil analisa tercantum pada Gambar 5.
dan Gambar 6.
W ono
ga dun
g C
ab ak
Ng le
bur Na
na s
Ke de
wa n
Sek ar
an B
lun gu
n Ng
lo bo
Pas ar
so re
Le do
k Ke
nd ilan
Pu cun
g
BKPH
R ata-r
ata l u
as ar
eal te
rb ak
ar H
a
Gambar 5 Rata-rata per tahun luas kebakaran hutan tiap BKPH di KPH Cepu selama periode 1996-2006.
6 7
8 10
9 8
7 10
9 10
6 9
2 4
6 8
10 12
W onogadung
C abak
Ng leburNanas
Kedew an
Se ka
ra n
Bl ungunNg
lobo Pa
sa rs
or e
Ledok Kendilan
Puc ung
BKPH J
u m
lah t
ah u
n k
e b
a kar
an Gambar 6 Frekuensi kejadian kebakaran hutan per BKPH di KPH Cepu dalam periode
1996-2006.
Pada Gambar 5 terlihat bahwa rata-rata luas kebakaran hutan yang terjadi di setiap BKPH di wilayah KPH Cepu pada periode 1996-2006 berkisar antara 20,11
ha hingga 68,97 ha. Kebakaran terluas terjadi di BKPH Cabak 68,97 ha, sedangkan kebakaran hutan terkecil terjadi pada BKPH Blungun 20,11 ha.
Gambar 6 menunjukkan kondisi kuantitatif dari kejadian kebakaran hutan, berupa jumlah tahun kejadian kebakaran yang terjadi di tiap-tiap kawasan BKPH
di dalam kawasan KPH Cepu. Adapun berdasarkan data yang ada, kisaran frekuensi jumlah terjadinya kebakaran hutan di KPH Cepu yang diperoleh yaitu
dari 6 hingga 10 tahun. Kejadian kebakaran hutan terbanyak dialami tiga BKPH yaitu BKPH Kedewan, BKPH Pasarsore dan BKPH Kendilan. Kondisi ini
disebabkan karean daerah-daerah tersebut memiliki akses yang tinggi terhadap kegiatan manusia seperti dilalui jalan raya antar Kabupaten sehingga peluang
terjadinya kebakaran hutan akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab menjadi lebih besar.
Berdasarkan data mengenai luas areal terbakar pada setiap kejadian kebakaran hutan yang diklasifikasikan berdasarkan Chandler et al 1983 seperti
pada Tabel 1, kondisi kebakaran hutan dari 6 BKPH contoh di wilayah Cepu termasuk dalam kelas areal terbakar B dan C, seperti pada tabel berikut.
Tabel 6. Frekuensi kejadian kebakaran hutan berdasarkan klasifikasi luas kebakaran hutan menurut Chandler et al. 1983 dari 6 wilayah BKPH
di KPH Cepu selama tahun 2001-2006. Kelas areal
terbakar Luas areal terbakar
ha Frekuensi kejadian
kebakaran hutan Total
kejadian A
≤ 0,10 = 0
B 0,11 – 3,64
5+1+18+2+1+6+2+4+4+2+6+ 1+4+2
= 58 C
4,05 – 40,06 1+1+16+1+22+10+4+15+1+
5+5+10+17+3+1+3+3 = 118
D 40,47 – 80,94
1+1 = 2
E 121,41 – 404,29
= 0 F
404,69 – 2023,05 = 0
G ≥ 2023,45
= 0
Sumber : Data hasil olahan dalam penelitian
Sebagian besar kejadian kebakaran di 6 wilayah BKPH di Cepu tergolong ke dalam kelas C atau luas areal terbakar berkisar 4,05 hingga 40,06 ha yang
tercatat sebanyak 118 kejadian. Sedangkan kelas lainnya yaitu B masih cukup banyak ditemukan 58 kejadian. Kelas dengan luas areal yang lebih tinggi hanya
mencapai kelas D, yaitu luas kebakaran sebesar 40,47 - 80,94 ha, yang hanya berjumlah 2 kejadian.
Secara umum, luas kebakaran hutan di KPH Cepu yang berada pada kelas B dan C, yang dapat dikategorikan berada dalam kondisi baik, atau kejadian
kebakaran tidak merusak hutan dalam luasan yang besar. Kondisi ini hendaknya dapat dipertahankan bahkan dikurangi jumlah maupun luasan areal hutan terbakar.
Kejadian kebakaran hutan di KPH Cepu merupakan tipe kebakaran permukaan, maksudnya, kebakaran yang terjadi pada lantai hutan, menghabiskan
bahan bakar yang terdapat di atas permukaan tanah namun tidak mencapai tajuk pohon. Bahan bakar tersebut antara lain serasah dedaunan, ranting, anakan pohon,
limbah pembalakan, semak-semak, lapisan atas tanah, maupun biota tanah yang hidupnya di permukaan. Arah dan kecepatan penjalaran api dipengaruhi oleh arah
dan kecepatan angin serta topografi Rachmatsjah 1985.
Gambar 7 Areal bekas terbakar di BKPH Pasarsore, KPH Cepu. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa faktor penyebab kasus
kebakaran hutan di wilayah KPH Cepu ialah kegiatan manusia. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi terjadinya kasus pembakaran tersebut, antara lain :
a. Tindak pembakaran yang sengaja dilakukan oleh para pembalak liar untuk mengelabui para petugas ketika mereka menjalankan aksi pencurian kayu.
Dengan membakar hutan, para petugas yang awalnya terfokus untuk mengejar
dan menangkap para pencuri tersebut, kemudian terbagi konsentrasinya untuk melakukan pemadaman kebakaran hutan terlebih dahulu. Umumnya
kesengajaan membakar hutan dilakukan oleh orang-orang yang ingin mengambil hasil-hasil hutan secara illegal yaitu dari sekeliling wilayah Cepu.
b. Faktor ketidaksengajaan, biasanya oleh penggembala yang masuk hutan dan menyalakan api untuk kebutuhan mereka, pejalan kaki atau pengendara
kendaraan yang melewati pinggiran hutan lalu menyalakan api dan membiarkannya menyala hingga api terus menjalar atau membuang korek
yang masih menyala ke lantai hutan dimana terdapat tumpahan minyak atau bensin yang tidak diketahui, kegiatan rekreasi di dalam hutan dan membakar
serasah sebagai hiburan khususnya malam hari, karena nyala api terlihat indah dan menarik. Para pelaku banyak yang belum menyadari bahaya dari
penyalaan api di dalam hutan maupun cara-cara pencegahan kebakaran hutan. Dalam mengatasinya, penyuluhan kebakaran hutan menjadi sarana utama.
c. Pembakaran dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan jiwa orang gila, yang terkadang masuk ke dalam areal hutan dan menyulut api.
Berkaitan dengan salah satu faktor penyebab kebakaran yaitu aktifitas dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab, maka umumnya daerah hutan yang
paling rawan terhadap kasus pembakaran hutan ialah areal yang berdekatan dengan akses manusia, yaitu hutan-hutan yang lokasinya berada di tepian jalan,
berdekatan dengan jalan raya. Walaupun penyebab utama kasus kebakaran hutan di wilayah KPH Cepu
ialah aktifitas manusia, namun kondisi cuaca di lokasi juga turut berpengaruh.
Berdasarkan peta curah hujan Propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, wilayah Cepu merupakan salah satu wilayah di Jawa Tengah yang kering curah hujan
rendah dan bertemperatur tinggipanas Lampiran 4. Kondisi ini memicu kejadian kebakaran hutan, diantaranya dari tingginya suhu lingkungan sebagai
suhu penyalaan dalam proses pembakaran. Selain itu, akibat kondisi daerah yang kering dan panas tanaman jati beradaptasi dengan meranggas menggugurkan
daun. Daun-daun ini akan mengering dan menjadi serasah di lantai hutan yang merupakan supply bahan bakar potensial.
Diketahui bahwa kejadian kebakaran hutan di KPH Cepu marak terjadi pada saat memasuki dan selama musim kemarau yang biasa berlangsung mulai dari
pertengahan Juli hingga akhir Oktober Gambar 8. Masa tersebut sering diistilahkan sebagai bulan-bulan kering atau bulan-bulan dimana rawan terjadi
kasus kebakaran hutan.
80 56
3 1
1 22
14 10
20 30
40 50
60 70
80 90
Ja nu
ar i
Fe br
ua ri
Ma ret
Ap ril
M ei
Juni Ju
li Agus
tus Se
pt em
ber Ok
to be
r N
ov em
be r
D es
em be
r
Bulan kejadian kebakaran hutan F
re k
ue ns
i k e
ja d
ia n k
e ba
k a
ra n hu
ta n
Gambar 8 Grafik musim kebakaran di KPH Cepu
Kejadian kebakaran di KPH Cepu mulai marak terjadi pada saat memasuki pertengahan tahun. Berdasarkan data kejadian kebakaran selama tahun 2000-
2006, kasus kebakaran hutan mulai ditemukan pada bulan April serta Juni sebanyak satu kejadian. Kebakaran hutan mulai meningkat memasuki bulan Juli
22 kasus, puncak kejadian terjadi pada bulan Agustus 80 kasus, kemudian menurun pada bulan September 58 kasus, Oktober 14 kasus, dan pada bulan
November 3 kasus. Sedangkan bulan-bulan lainnya tidak tercatat ada kejadian kebakaran hutan 0 kasus.
Terkait hal tersebut, maka upaya pencegahan berupa peringatan akan bahaya kebakaran hutan melalui penyuluhan kebakaran hendaknya dilakukan pada bulan
ketiga dan keempat, yang disertai dengan pemantauan kondisi keamanan huan. Memasuki pertengahan tahun, kegiatan patroli kebakaran hutan hendaknya lebih
diintensifkan. Kegiatan ini selain berfungsi untuk mencegah terjadinya kasus pembakaran hutan juga sebagai deteksi dini bilamana terjadi kasus kebakaran
sehingga pemadaman dapat segera dilakukan.
Selama musim kemarau, kondisi temperatur wilayah KPH Cepu yang memang tinggi akan semakin meningkat. Pohon jati semakin aktif menggugurkan
daun dan proses pengeringannya juga lebih cepat sehingga ketersediaan bahan bakar potensial berupa serasah dedaunan di lantai hutan tinggi. Bila ada pihak tak
bertanggungjawab yang menjadi sumber penyalaan api, maka serasah-serasah tersebut akan mudah terbakar. Selain itu, dengan tingkat kelembaban udara yang
rendah serta banyaknya angin di musim kemarau, maka bila terjadi penyalaan kebakaran, maka laju penjalaran api akan berlangsung mudah dan cepat
sehingga memperbesar luas areal yang terbakar yang akan menyulitkan proses pengendalian khususnya pemadaman. Kondisi ini yang menyebabkan maraknya
kejadian kebakaran hutan selama musim kemarau di wilayah KPH Cepu. Dari sejumlah tipe tegakan jati berdasar kelas umurnya, selama ini
kebakaran hutan jati di wilayah KPH Cepu yang mendapat penanganan serius hanya bagi tegakan-tegakan muda saja. Pihak Perhutani menilai kebakaran di
tegakan tua tidak memberikan kerugian yang besar bagi perusahaan, tidak sebesar bila terjadi kebakaran pada tegakan muda. Tanaman jati di usia tua memang
cenderung memiliki ketahanan terhadap api atau panas, karena kulit kayunya yang tebal. Sedangkan tanaman muda, belum memiliki mekanisme tersebut, sehingga
rentan terhadap kebakaran hutan. Besarnya kerugian perusahaan akibat kebakaran hutan pada tegakan-tegakan muda disebabkan karena selain perusahaan harus
mengeluarkan biaya untuk pemadaman, kebakaran hutan menyebabkan kematian tanaman sehingga diperlukan penyulaman sebanyak tanaman yang mati tersebut,
yang berarti menambah anggaran pengeluaran perusahaan. 5.2. Kondisi Pelaksanaan PHBM di KPH Cepu
Pelaksanaan PHBM di Jawa Tengah, KPH Cepu khususnya, didasari oleh beberapa peraturan terkait, diantaranya:
a. Keputusan Direksi Perum Perhutani No.136KptsDir2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat.
b. Keputusan Gubernur Jawa Tengah No.24 Tahun 2001 tanggal 22 September 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Bersama Masyarakat di Propinsi
Jawa Tengah.
c. Keputusan Kepala PT. Perhutani Persero Unit I Jawa Tengah No. 2142 KPTS I 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya
Hutan Bersama Masyarakat di Unit I Jawa Tengah, yang ditetapkan 13 Desember 2002 di Semarang, sebagai pedoman dalam aplikasi program.
d. Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 268KPTSDir2007 tanggal 8 Maret 2007 mengenai PHBM Plus, yang juga dilaksanakan di wilayah KPH Cepu.
Di KPH Cepu penerapan PHBM di lapangan dimulai tahun 2002. Pelaksanaannya berada di bawah Divisi PHBM dan Bina Lingkungan yang
dikepalai oleh seorang Kepala KSS PHBM dan Bina Lingkungan, yaitu Bapak Zaenal Abidin, yang sering disapa Pak SupLap Supervisor Lapangan. Jabatan
Kepala PHBM dan Bina Lingkungan setingkat dengan Asper. Divisi ini berkedudukan di kantor pusat KPH.
Sosialisasi ketetapan atau kegiatan PHBM bagi masyarakat desa dilakukan oleh mandor penyuluh PHBM. Sebelum tahun 2004, hanya terdapat 4 mandor
penyuluh untuk seluruh BKPH di Cepu, tetapi kini telah ada seorang mandor untuk setiap BKPH, sehingga diharap kinerja serta pendekatan kepada masyarakat
akan jauh lebih efektif. Penyuluhan juga dibantu oleh TPM Tenaga Pendamping Masyarakat berjumlah 2 orang yang berasal dari LSM Obor, Blora.
Pelaksanaan PHBM di tingkat masyarakat desa masyarakat sekitar hutan dimulai dengan sosialisasi terhadap anggota masyarakat desa tersebut untuk
membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH. Lembaga yang berkekuatan hukum melalui akte notaris ini merupakan kepanjangan tangan dari
pihak Perhutani dalam memasyarakatkan PHBM kepada masyarakat, serta ujung tombak pelaksana dari program tersebut. Dari 12 BKPH di wilayah KPH Cepu,
minimal terdapat satu LMDH untuk satu BKPH. Hingga bulan Juni 2007 di wilayah KPH Cepu tercatat terdapat 37 LMDH yang sah karena sudah memiliki
akte notaris. Data lengkap mengenai LMDH yang terdapat di KPH Cepu terdapat
pada Lampiran 6.
Dalam penelitian ini, LMDH yang diamati hanya satu LMDH per BKPH untuk 6 BKPH pilihan, namun tetap memperhatikan keterwakilan area Cepu,
sehingga LMDH diambil dari BKPH contoh dari paling ujung Timur maupun ujung Barat wilayah KPH Cepu.
Tabel 7 Deskripsi kondisi beberapa LMDH di wilayah KPH Cepu
No Nama LMDH
Desa BKPH Legalitas Luas pangkuan
Sharing 1. Tunggak
Semi Temengeng Pasarsore
Akta No.614,
27062003 868.9 Ha
sudah 2. Wana
Jati Lestari
Nglobo Nglobo Akta
No.262, 27122002
1.821,5 Ha 4 BKPH
sudah 3. Wana
Lestari Kedewan Kedewan
Akta No.314
19032003 545 Ha
sudah 4. Alas
Rejo Sambongrejo Kendilan
Akta No.
496 19102004
1,939.4 Ha sudah
5. Wana Bhakti
Cabak Cabak
Akta No. 82 16122002
1,288.5 Ha sudah
6. Wana Tani
Makmur Nglebur Nglebur
Akta No.
263 27102002
3.008,2 Ha 4 BKPH
sudah Sumber : Divisi PHBM dan Bina Lingkungan KPH Cepu 2007
Mengenai pelaksanaan
PHBM, KPH Cepu memilki kelebihan yang
menguntungkan yaitu keberadaan desa-desa sekitar hutan yang saling berdekatan, sehingga akses untuk menjangkauanya cukup mudah dan cepat. Keadaan ini
sangat menolong pihak petugas PHBM KPH saat proses sosialisasi dan pembentukan lembaga di awal waktu pelaksanaan program dan hingga kini yaitu
dalam hal pemantauan kinerja lembaga. Salah satu aspek yang berpengaruh besar terhadap keberadaan LMDH yaitu
kondisi hutan di sekitar desa tersebut karena terkait erat dengan sharing yang dapat diperoleh masyarakat. Dari sejumlah LMDH di wilayah KPH Cepu, baru 19
desa yang telah memperoleh sharing melalui LMDH. Bila kondisi hutan di wilayah pangkuan desa masih baik tentu lembaga yang
dibentuk dapat memperoleh hasil dari hutan setelah mereka juga berperan aktif menjaga dan memelihara kondisi hutannya. Namun, bila hutannya sudah rusak,
tentu bila masyarakat mengerjakan tugas LMDH menjaga hutan, apa yang mereka akan peroleh belum jelas, tidak ada sharing. Kondisi inilah yang
menyebabkan masih ada 6 desa lagi yang belum mendirikan LMDH. Pihak Perhutani pun tidak menyanggupi apabila harus memberi insentif terlebih dahulu
hingga tegakan di desa tersebut baik. Namun di tahun 2007 ini, divisi PHBM berencana agar 6 desa tersebut dapat dibentuk LMDH, dengan bentuk-bentuk
kerjasama lain yang terbaik dan saling menguntungkan, seperti penanaman tebu. Keenam lembaga yang dikaji dalam penelitian ini telah memperoleh sharing
dari Perhutani. Berdasarkan wawancara, pemanfaatan dana tersebut umumnya dibagi berdasarkan persentase tertentu sesuai hasil kesepakatan lembaga, aparat
desa dan FK, dan dimanfaatkan untuk pengembangan dan kinerja lembaga sendiri, pembangunan fasilitas maupun sarana dan prasarana desa, maupun kegiatan yang
manfaatnya dapat langsung dirasakan masyarakat membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa bentuk pemanfaatan dana
sharing antara lain untuk :
a. Pembangunan gapura desa maupun papan-papan keterangan jalan-jalan desa. LMDH Alas Rejo, Desa Sambongrejo, BKPH Kendilan dan LMDH Wana
Bhakti, Cabak. b. Perbaikan jalan desa, jalan antar desa, maupun sarana desa lain.
LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur; LMDH Wana Bhakti, Cabak; dan LMDH Wana Lesatari, Kedewan.
c. Pembangunan kantor sekretariat serta Koperasi simpan pinjam LMDH. LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur dan LMDH Tunggak Semi, Desa
Temengeng, BKPH Pasarsore. d. Pembelian hewan ternak umumnya sapi, untuk dikelola bersama warga.
LMDH Wana Jati Lestari, Nglobo; LMDH Wana Bhakti, Cabak; LMDH Wana Lestari, Kedewan.
e. Kerjasama pengolahan hasil hutan, berupa kerajian meubel tunggak jati. LMDH Wana Jati Lestari, Nglobo dan LMDH Wana Tani Makmur,
Nglebur. f. Dana kinerja pengurus lembaga salah satunya dana kegiatan patroli hutan.
g. Pengadaan sarana dan prasarana kerja LMDH. h. Pembangunan sarana ibadah masyarakat desa, seperti musholla desa,
perbaikan masjid, maupun fasilitas desa lainnya. Keberhasilan suatu LMDH diukur berdasarkan besarnya sharing yang
diperoleh. Semakin besar sharing yang diterima maka lembaga dinilai semakin
berhasil atau maju sehingga semakin banyak pula kegiatan yang dapat dilakukan oleh lembaga tersebut untuk pengembangan baik kinerja lembaga itu sendiri
maupun untuk pembangunan fasilitas desa. Untuk tahun 2006 LMDH Wana Tani Makmur, Desa Cabak, BKPH Nglebur, merupakan LMDH dengan perolehan
sharing terbesar yaitu Rp 596.533.169.
a b
c d
Gambar 9 Kegiatan LMDH terkait pemanfaatan dana sharing Perhutani: a. Perangkat kerja di Sekretariat LMDH Wana Bhakti, Cabak; b. Pembangunan
kantor LMDH Wana Tani Makmur, Nglebur; c. Bengkel kerja meubel tunggak jati di LMDH Wana Jati Lestari, Desa Nglobo; d. Pemeliharaan sapi, bentuk
peningkatan kesejahteraan warga melalui LMDH
Pengurus LMDH tersusun dalam struktur organisasi LMDH. Tugas pengurus sesuai dengan jabatannya dalam struktur tersebut. Susunannya yaitu
Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris I dan II dan Bendahara I dan II, juga seksi- seksi yang terdiri atas ketua beserta anggotanya. Susunan pengurus dari beberapa
LMDH terdapat pada lampiran 8. Untuk seksi-seksi ini terkait kegiatan pengelolaan hutan, dalam lembaga terdapat 5 seksi dengan tugasnya masing-
masing, yaitu : 1. Seksi Usaha : mengembangkan usaha lembaga, modal, maupun kegiatan yang
dapat dijalankan oleh anggota baik melalui intern maupun dari luar lembaga, misalnya koordinasi pengangkutan tunggak jati oleh masyarakat.
2. Seksi SDH : ikut mengamati, melihat dan menjaga kekayaan atau potensi hutan: ikut serta dalam risalah tegakansensus kayu.
3. Seksi Keamanan: terlibat langsung dalam usaha menjaga keamanan hutan, melalui patroli atau kegiatan lainnya di bawah komando pihak Perhutani.
4. Seksi Humas: sebagai mediator dan komunikator lembaga kepada
masyarakat. Humas
mensosialisasikan ketetapan-ketetapan Perhutani, LMDH,
kepada masyarakat, juga sebagai jembatan aspirasi maupun respon warga terhadap LMDH dan Perhutani agar hubungan semua pihak terjalin baik.
5. Seksi Produksi : ikut menghitung produksi Perhutani per tahunnya di wilayah pangkuan tersebut, seperti hasil tebangan, juga besar sharing untuk lembaga.
Gambar 10 Pengangkutan tunggak, bentuk usaha LMDH dan warga. Evaluasi kinerja setiap LMDH desa dilakukan oleh Forum Komunikasi
PHBM FK PHBM tingkat desa. Umumnya FK PHBM di KPH Cepu dari
LMDH yang diamati beranggotakan sekitar 10 orang. Keterlibatan FK dalam kegiatan LMDH yaitu melalui pertemuan rutin atau rapat pleno bersama yang
diadakan 3-4 bulan sekali. Sebelum tahun 2006, masih ditemukan jabatan rangkap, dimana pengurus
LMDH juga sebagai anggota FK. Kondisi ini menyebabkan penilaian kurang objektif karena hasil pelaksanaan kegiatan dinilai oleh pelaksana itu sendiri.
Namun kini hal tersebut tidak ditemukan lagi. Dengan sosialisasi lebih intensif maka pemahaman masyarakat mengenai evaluator mulai baik, sehingga pihak-
pihak yang seharusnya berperan sebagai FK mulai menjalankan tugasnya dan pengurus LMDH semata-mata sebagai badan legislatif, murni bertugas sebagai
pengkoordinasi juga pelaksana kegiatan. Sejauh ini kendala utama pelaksanaan PHBM adalah kurangnya pemahaman
dan sosialisasi program, tak hanya kepada masyarakat, bahkan bagi kalangan aparat Perhutani sekalipun. Pelaksanaan PHBM belum sepenuhnya mendapat
dukungan dari aparat Perhutani, masih ada sejumlah oknum yang tidak suka dengan terbukanya sistem pengelolaan hutan juga adanya sistem berbagi terhadap
masyarakat sekitar hutan. Untuk itu, kini semakin digiatkan bentuk-bentuk sosialisasi. Penerapan sistem PHBM Plus merupakan bentuk perbaikan
mekanisme sikap aparat Perhutani terhadap masyarakat. Hal ini terlihat dari persyaratan pertama dalam Bab IV Pasal 4 Pedoman PHBM Plus 2007, yaitu:
harus ada perubahan pola pikir mindset pada semua aparat Perum Perhutani dari penguasa menjadi fasilitator, dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dari ditakuti
menjadi dicintai. Sehingga masyarakat tidak lagi antipati terhadap aparat maupun program-program Perhutani, melainkan mau turut serta terlibat karena kini
Perhutani lebih membuka diri bagi masyarakat sekitar hutan yang dikelolanya. Selain itu, belum adanya kolaborasi antar LMDH membuat perkembangan
antar LMDH sangat terlihat perbedaannya. Bila ada model kerjasama berupa investasi dana dari LMDH dengan sharing besar terhadap LMDH dengan sharing
kecil, atau kerjasama pengolahan potensi desa maka pemerataan kemajuan masyarakat maupun LMDH dalam satu wilayah KPH tersebut jauh lebih baik.