Ideologi Penerjemahan Penerjemahan 1 Pengertian Penerjemahan

commit to user 16 Kalimat-kalimat yang dihasilkan pada tahap analisis tentunya belum tertata dengan baik, oleh karena itu perlu dilakukan penyusunan kembali kalimat-kalimat tersebut sesuai dengan struktur Bsa yang baku, kata-kata yang sesuai dengan ejaan yang disempurnakan, serta gaya bahasa yang sesuai, apakah itu bahasa formal, informal, sastra atau puisi sehingga dihasilkan terjemahan yang tidak kaku, mudah dipahami dan akurat. Larson 1984:3-4 juga menggambarkan proses penerjemahan menurut versinya. Menurut Larson proses penerjemahan dimulai dari adanya teks yang akan diterjemahkan, kemudian yang harus dilakukan penerjemah adalah: 1. Mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari teks bahasa sumber 2. Menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya discovering the meaning 3. Mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya re-express the meaning

2.1.1.4 Ideologi Penerjemahan

Ideologi dapat diartikan sebagai pandangan umum atau kebenaran yang dianut oleh seseorang atau komunitas. Barthez dalam Hoed 2004:1 mengatakan bahwa ideologi adalah mitos yang sudah mantap dalam suatu komunitas. Mitos di sini merujuk pada pemaknaan atas suatu gejala budaya. Ideologi yang dianut seseorang akan mengarahkan tindakannya sesuai dengan prinsip kebenaran yang dianutnya tersebut. Bassnett Lefevere dalam Venuti 1995:vii mengatakan commit to user 17 bahwa: “ Translation is, of cour se, a rewriting of a n original text. All rewritings, whatever their intention, reflect a certain ideology and a poetics a nd as such manipulate literature to function in a given society in a given way.” Pandangan Bassnett dan Lefevere menegaskan bahwa dalam proses penerjemahan, apapun tujuannya, tidak luput dan merupakan cerminan dari ideologi yang dimiliki dan berfungsi dalam masyarakat. Dalam penerjemahan ideologi berarti prinsip atau keyakinan tentang “betul-salah” atau “baik-buruk” Hoed, 2006:83. Lebih lanjut Hoed juga mengatakan bahwa ideologi muncul sebagai keyakinan mengenai seperti apa bentuk terjemahan yang terbaik dan cocok bagi pembaca Bsa. Ideologi inilah yang nantinya akan mempengaruhi metode seperti apa yang akan digunakan oleh seorang penerjemah dalam melakukan praktek penerjemahan. Di sisi lain kita juga sering menemukan kasus penerjemah menghilangkan kata-kata tertentu misalnya yang berkaitan unsur seksualitas karena masih dianggap tabu untuk dituliskan atau modulasi makna. Hal ini dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh suatu negara atau masyarakat yang bersangkutan. Secara umum ada dua ideologi dalam penerjemahan yaitu penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber dan penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran. Kedua ideologi ini saling bertentangan satu sama lain karena penerjemah yang lebih memiliki orientasi ke bahasa sumber foreignization cenderung mempertahankan bentuk asli bahasa sumber dalam terjemahan seperti struktur Bsu sehingga terjemahannya terasa tidak alamiah lagi atau seperti karya terjemahan. Penerjemah yang lebih berorientasi pada bahasa sasaran commit to user 18 domestication lebih mengupayakan agar terjemahannya terasa sebagai teks asli bukan karya terjemahan. Nida dalam Hamerlain, 2005:55 juga menyatakan pendapatnya berkaitan dengan ideologi ini: Language is not used in a context less vacuum, rather, it is used in a host of discourse contexts; contexts which are impregnated with the ideology of social systems and institutions. Because language operates within this social dimension it must, of necessity reflect, and some would argue, construct ideology. Berdasarkan uraian ini tersirat bahwa ideologi yang ada dalam suatu masyarakat tentu sangat berpengaruh pada penerjemahan, mengingat penerjemah itu adalah bagian dari anggota masyarakat dan terjemahan itu juga ditujukan pada masyarakat. Selain itu, dalam penerjemahan tentu ideologi ini juga berperan dalam proses penerjemahan, karena terjemahan berasal dari bahasa berbeda dengan latar budaya berbeda yang tentu memiliki banyak perbedaan terhadap kelompok kelompok lainnya. Venuti dalam Hoed 2006:84-88 mengamati adanya dua ideologi yang mengarah kedua kutub yang berlawanan. Yang pertama berorientasi pada bahasa sasaran yakni bahwa terjemahan yang betul, berterima dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan sidang pembaca yang menginginkan teks tejemahan sesuai dengan kebudayaan masyarakat bahasa sasaran, sehingga terjemahan tersebut tidak dirasa sebagai sebuah karya terjemahan. Ideologi yang lain adalah yang berorientasi pada bahasa sumber, yakni bahwa penerjemahan yang betul, berterima dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan sidang pembaca, serta penerbit yang menginginkan kehadiran kebudayaan bahasa commit to user 19 sumber atau yang menganggap kehadiran kebudayan asing bermanfaat bagi masyarkat. Simpulan ini relevan dengan pendapat Nida dan Taber 1982:1 bahwa “ Correctness must be determined by the extent to which the aver age reader for which a translation is intended will be likely to under sta nd it correctly .” Bahwa terjemahan yang baik dan benar itu adalah terjemahan yang mempertimbangkan pembaca sasarannya target reader . Pembaca yang berbeda akan memerlukan terjemahan yang berbeda, sehingga penerjemah harus menyesuaikan metode dan teknik penerjemahannya. Maka terkait dengan hal diatas, dapat ditarik simpulan bahwa benar-salahnya sebuah terjemahan terkait dengan untuk siapa terjemahan tersebut ditujukan. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ideologi berada pada tataran yang bersifat makro karena ideologi merupakan kecendrungan seperti apa terjemahan yang ingin dihasilkan terkait dengan keinginan masyarakat. Berikutnya, berdasarkan ideologi atau pandangan tersebut akan melahirkan metode penerjemahan yang diaplikasikan oleh seorang penerjemah dan teknik penerjemahan seperti apa yang digunakan. Hal ini merupakan bagaimana seorang penerjemah menyelesaikan masalah pada tataran mikro penerjemahan translation unit . Sesuai pendapat Machali 2000 bahwa ideologi muncul sebagai keyakinan mengenai seperti apa bentuk terjemahan yang terbaik dan cocok bagi pembaca Bsa. Ideologi ini nantinya akan mempengaruhi pemilihan metode yang digunakan oleh penerjemah dalam proses penerjemahan. commit to user 20 Pada praktiknya, kedua ideologi tersebut muncul dalam masyarakat. Disadari atau tidak, cara kita saat mengemukakan ulang ide, gagasan, terikat dengan ideologi keyakinan kita pada konsep yang lebih luas. Secara linguistik hal ini tercermin dari penggunaan bahasa saat mengemukakan ide tersebut yang menampilkan sikap, keyakinan, dan nilai yang dimiliki oleh suatu kelompok tertentu atau masyarakat Hatim Mason 1997:143–163. Penerjemah dengan ideologi foreignisasi cenderung mempertahankan gaya penulis asli, sehingga ia lebih cenderung menggunakan metode penerjemahan yang menekankan pada Tsu. Jika merujuk diagram V dari Newmark 1988:45 maka metode yang dipakai cenderung ke sebelah kiri. Sementara penerjemahan dengan ideologi domestikasi cenderung mengusahakan keberterimaan dalam budaya dan bahasa sasaran. Tujuannya menurut Mazi-Leskovar 2003:254 agar teks terjemahan lebih mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca sasaran. Venuti 1995:21 menyebut kecenderungan ini dengan “transparansi” dan “ domestication ” karena proses penulisan ulang penerjemahan menjadi wacana yang transparan sehingga terjemahan mudah dan lancar dibaca dan dapat memahaminya dari sudut pandang budayanya. Penerjemahan dengan ideologi ini, merujuk diagram V Newmark, cenderung menggunakan metode yang di sebelah kanan. Mazi dalam Leskovar, 2003:254 memberikan alasan kenapa penerjemahan menggunakan ideologi domestikasi dan foreinisasi. Ideologi domestikasi lahir dari pandangan yang menganggap bahwa keasingan atau keanehan yang tidak biasa dalam teks sumber dapat menjadi penghalang bagi pembaca sasaran untuk memahami teks tersebut. Sehingga perlu commit to user 21 ditransparansikan dengan konteks budaya bahasa sasaran. Sementara, foreinisasi yang mempertahankan sejumlah hal yang asing dan tidak biasa dalam bahasa sasaran tersebut dilakukan untuk mempertahankan keeksotisan teks tersebut agar menjadi menarik untuk dibaca. Kedua pandangan ini terlihat memiliki alasan untuk menerapkan ideologi mereka. Berikut adalah contoh terjemahan yang memperlihatkan kecendrungan masing-masing. Tabel 1. Contoh Terjemahan dengan Ideologi Foreinisasi Bsu Bsa I said if he wanted to take a br oa d view of the thing, it really bega n with Andrew Ja ckson. If General Ja ckson ha dn’t r un the Creek up the creek, Simon Finch would never have paddled up the Alaba ma . … Aku berkata, jika Jem ingin mengambil sudut pandang yang lebih luas, masalahnya dimulai oleh Andrew Jackson. Andaikan Jendral Jackson tidak menggiring suku Indian Creek menjauhi hulu sungai, Simon Finch tak akan pernah mendayung ke hulu sungai Alabama. … Dari contoh di atas jelaslah penerjemah mempertahankan suasana agar tercipta gambaran seperti pada teks sumber. Nama-nama tempat dengan jelas mengindikasikan bahwa seting cerita terjadi di luar dengan bahasa yang juga terpengaruh pola bahasa Inggris. Selain itu, nama-nama orang dan susunan kata dalam cerita fiksi ini juga dipertahankan sehingga pembaca merasakan karakter dalam cerita adalah orang-orang dari budaya yang berbeda dan terjemahannya terasa kaku sehingga terasa bahwa itu adalah karya terjemahan. Contoh lain terlihat pada tabel di bawah ini. commit to user 22 Tabel 2. Contoh Terjemahan dengan Ideologi Domestikasi Bsu Bsa Strict regulations prevented alienation of the family’s harta pusa ka. Movable property, a nd of that usually only the istems considered of a “personal” nature such a s jewelry might be pa wned on a short term ba sis to raise money for almost any need, but still required prior consent from ma mak a nd anyone else thought to have rights over the item to be pa wned. Only four situations were considered importa nt enough to warrant pa wning a parcel of family land: burial of family member; marriage of a spinster sister; repairs to the family house; a nd installation of the lineage penghulu. Pengaturan-pengaturan adat yang ketat mencegah terjadinya pembagian- pembagian harta pusaka secara semena-mena. Harta bergerak, bisaanya hanya merupakan harta pencarian pribadi, sperti perhiasan misalnya, mungkin saja dapat digadaikan dalam keadaan terdesak karena tuntutan keperluan darurat tertentu, namun dalam keadaan begini sekalipun, orang masih harus bermusyawarah atau memperoleh persetujuan mamak dan seorang saksi dari pihak yang melakukan pegang gadai. Dalam hal ini hanya ada empat jenis situasi yang dapat membenarkan terjadinya penggadaian harta-pusaka keluarga, yaitu apabila salah seorang anggota keluarga meninggal dunia atau mayat terbujur yang belum dikuburkan; perkawinan perawan tua perawan tua belum bersuami; memperbaiki rumah gadang yang rusak rumah gadang ketirisan; dan akhirnya bertegak penghulu. Teks di atas sangat penuh muatan budaya, pada Tsa, terlihat beberapa penjelasan yang dimunculkan oleh penerjemah untuk memunculkan suasana pada situasi yang ingin digambarkannya, sementara hal tersebut tidak terdapat dalam Bsu. Hal ini sesuai dengan prinsip penambahan yang diajukan Savory. Seperti kata “ personal nature” dimodulasi dan dieksplisitkan menjadi “harta pencarian pribadi”. Hal ini juga pada kutipan keduanya yang banyak memuat tambahan addition yang sebenarnya tidak ada dalam bahasa sumber. Jika ditilik pendapat commit to user 23 Savory bagian ini menunjukkan ide yang sama disampaikan dengan gaya yang berbeda, bersifat lokalisasi, dari penerjemah. Berkaitan dengan penerjemahan cerita anak, Venuti dalam Oittinent, 2000:74 juga memberikan analisisnya terhadap penerjemahan cerita anak. Ia lebih memilih kecendrungan foreinisasi dari pada domestikasi dalam menerjemahkan cerita anak karena menurut Venuti, “ there are several reasons why foreignization is desira ble a nd domestication to be rejected. He finds domestication ethnocentric racism a nd violence, which may only be attacked by challenging the domina nt aesthetics a nd foreignizing texts ”. Dalam hal ini Venuti sepertinya mengabaikan beberapa faktor dari Bsa karena dengan kecendrungan foreingnisasi maka hasil yang didapat dalam Bsa bisa saja tidak terbaca, kurang keakuratannya dan lain sebagainya karena dua bahasa mempunya banyak perbedaan, baik dalam hal budaya maupun dalam hal tata bahasanya. Menurut Oittinent, ada baiknya dalam menerjemahkan cerita anak dengan menggunakan kecendrungan domestikasi dengan beberapa adaptasi terutama yang berkaitan dengan unsur-unsur budaya. Dengan demikian cerita terjemahan dapat dimengerti oleh anak-anak dan unsur budaya yang terdapat dalam Bsu pun tidak hilang. Sebenarnya seiring dengan perkembangan ilmu penerjemahan ada ideologi lain yang berkembang selain domestikasi dan foreinisasi. Ideologi yang berkaitan dengan isu kesetaraan gender, politik, kolonialisme, dan lain-lain. Hal ini banyak dibahas dalam Venuti. Ideologi gender sexism ideology misalnya, seperti yang terdapat dalam tulisan Lakoff 1975 yang menggambarkan adanya ideologi commit to user 24 pembedaan jender yang merendahkan wanita dalam tataran kebahasaan Machali, 2000:124. Secara sosiolinguistik hal ini juga disadari bahwa dalam masyarakat terbentuk suatu streotipe bahwa wanita cenderung memperoleh atribut lemah, penurut, pasif. Bahkan jika dilihat di kamus beberapa imej negatif juga lebih banyak dilekatkan pada wanita. Sementara laki-laki cenderung memperoleh atribut perkasa, aktif, pengambil inisiatif dan sederet imej positif lain. Pandangan yang terbentuk dalam masyarakat tersebut berbeda untuk masing-masing budaya. Kemudian ada juga yang dinamakan ideologi agama. Teks yang mencederai agama sering ditolak oleh masyarakat. Perbedaan ideologi ini biasanya muncul pada teks yang bersinggungan dengan kepercayaan dan agama. Seperti tulisan Salman Rushdie “ Satanic Verses ” tidak akan diterima jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, ideologi agama religious idelogy juga mewarnai bentuk terjemahan yang berfungsi dalam keagaaman. Misalnya, Nida Taber 1982 dalam Venuti, 1995:21. cenderung mendukung ideologi domestikasi karena bertujuan keberterimaan dan kepahaman pembaca terhadap Alkitab sebagai teks sakral. Hal yang sama juga dipercayai oleh teolog Prancis, Francis I yang menolak terjemahan literal Kitab Perjanjian Lama.

2.1.1.5. Metode Penerjemahan