Kerangka Teori Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) Terhadap Industri Elektronik Rumah Tangga Di Sumatera Utara (Studi Pada PT. Neo National)

Perpustakaan Universitas Sumatera Utara adalah penelitian mengenai pembahasan dalam bidang teknik. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan apabila dikemudian hari ternyata terdapat bukti bahwa penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Teori akan berfungsi untuk memberikan petunjuk atas gejala-gejala yang timbul dalam penelitian. Teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 18 Teori sebenarnya merupakan suatu generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup faktor yang sangat luas. Kadang-kadang dikatakan orang, bahwa teori itu sebenarnya merupakan “an elaborate hypothesis”, suatu hukum akan terbentuk apabila suatu teori telah diuji dan diterima oleh ilmuwan, sebagai suatu keadaan yang benar dalam keadaan- keadaan tertentu. 19 Seperti yang dikemukakan oleh James E. Mauch dan Jack W. Birch, sebagai berikut 20 18 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994,hal. 27. : “Theory explains the relations among facts, though not completely. In turn, they guide research procedures, objectives and data collection. In this general sense, every thesis or disertation proposal should be based on 19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press., 1996, hal. 126-127. 20 James E. Maruch dan Jack W. Birch, dalam Ibid., 126-127. Universitas Sumatera Utara theory”.Kerangka teori dan kerangka konsep dalam penelitian ini akan dikemukakan beberapa teori yang dapat memberikan pedoman dan arahan untuk tercapainya tujuan penelitian ini yang berasal dari pendapat para ilmuwan dan selanjutnya disusun beberapa konsep yang bersumber dari berbagai peraturan dan perundang-undangan yang menunjang tercapainya tujuan penelitian ini. Welfare State Theory mengatakan : “Negara wajib memberikan perlindungan bagi warga negaranya”. 21 Dalam hal perlindungan kepada warga negaranya adalah dalam bentuk pemberlakuan SNI. Pemberlakuan SNI diterapkan agar pelaku usaha yang ada di Indonesia menstandardisasikan produk-produknya sesuai dengan pengaturan Standardisasi Nasional yang diterapkan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Selanjutnya, menurut John Keynes : “Negara bertanggung jawab kepada kesejahteraan rakyatnya”. Oleh karena itu, gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi staatsonthouding dan laissez faire lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. 22 21 Robert E. Goodin, Reason For Welfare : The Political Theory of the Welfare State, Studies in Moral, Political, and Legal Philosophy, New Jersey : Princeton University Press, 1988, hal. 3. Artinya pemberlakuan SNI wajib terhadap produk-produk yang berkaitan dengan keselamatan, kesehatan dan keamanan masyarakat mempunyai tujuan demi melindungi masyarakat agar 22 John Maynard Keynes, dalam Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 115. Universitas Sumatera Utara terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri. Masyarakat dalam hal ini disebut konsumen. Teori hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum, teori perlindungan hukum, dan teori manfaat hukum. Mengenai teori kepastian hukum mengandung 2 dua pengertian, yaitu 23 1. “Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan; : 2. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu”. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan”. Pandangan lain disampaikan oleh Todung Mulya Lubis yang menyatakan bahwa selain kurang memadainya infrastruktur investasi, maka hambatan utama investasi di Indonesia adalah masalah kepastian hukum. 24 23 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana Pranada Media Group, 2008, hal. 158. Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban. Kepatuhan terhadap ketertiban adalah syarat pokok untuk masyarakat yang teratur. Tujuan hukum lainnya adalah tercapainya keadilan. Untuk mencapai ketertiban, pergaulan antar manusia dalam masyarakat harus mencerminkan kepastian hukum. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan ditetapkannya hukum jika terjadi suatu peristiwa. Itulah arti kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan justiciable dari 24 Mc. Cawley, dalam Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”, Medan : Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tanpa Tahun, hal. 3. Universitas Sumatera Utara tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat mendapatkan sesuatu yang diharapkan dalam kedaan tertentu. 25 Masyarakat mengharapkan kepastian. Dengan kepastian hukum, masyarakat akan menjadi lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum. Kepastian hukum akan memungkinkan tercapainya tujuan hukum lain, yaitu ketertiban masyarakat. Penegakan hukum harus memberi manfaat pada masyarakat, selain menciptakan keadilan. Tujuan hukum menjadi tujuan dan isi dari suatu negara hukum modern. Indonesia, sebagai suatu Negara Hukum Modern, memiliki tujuan hukum untuk menciptakan keadilan, kepastian hukum, dan kesejahteraan bagi rakyat. 26 Penerapan Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional dikaitkan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan benturan kepentingan Pemerintah RI yang mengakibatkan terdapat hambatan PT. Neo National dalam mengimplementasikan produk Kipas Angin merk “SiJempol” tersebut. Hal ini menandakan tidak terciptanya kepastian hukum bagi pelaku usaha dalam melakukan investasi di dalam negeri. Berbeda lagi bila ditinjau dengan kemanfaatan hukum dari aliran utilitarian theory yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, menyebutkan bahwa : “the greatest happines for the greatest number of people”. Teori utilitarianisme mengemukakan bahwa kebenaran dan kesalahan dari setiap tindakan seluruhnya tergantung pada hasil yang diperoleh dari suatu perbuatan. Dengan kata lain, baik niat di balik 25 Mochtar Kusumaatmadja, dalam Marwan Effendy, Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum”, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 33. 26 Ibid., hal. 34. Universitas Sumatera Utara tindakan ataupun kebenaran yang fundamental dari tindakan yang dilakukan, hanya sebagai konsekuensi. Pendekatan ini sangat pragmatis terhadap pembuatan keputusan etis. Semacam estimasi rasional dari hasil dibuat dan tindakan untuk memaksimalkan manfaat terbesar bagi mayoritas orang. Tentu saja, dalam pemikiran sebagian orang, pendekatan ini sering berujung pada “tujuan membenarkan cara”. 27 Tetapi lain halnya bila PT. Neo National memproduksi Kipas Angin merk “SiJempol” yang tidak ber-SNI maka yang dirugikan adalah konsumen itu sendiri. Disinilah dibutuhkan pengaturan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak, oleh karena itu, masyarakat akan merasa terlindungi oleh ulah dari pelaku usaha nakal yang mencari keuntungan semata. Pengaturan SNI dan Perlindungan Konsumen tidak boleh saling bertentangan satu sama lain. Apabila terjadi pertentangan atau bertolak belakang maka akan menyebabkan kerugian bagi pelaku usaha maupun masyarakat banyak selaku konsumen. PT. Neo National yang sudah mendapatkan Izin Usaha Industri selanjutnya disebut IUI No. 532253IUITDUVII2010 tertanggal 27 Juli 2010 jelas sudah memiliki izin untuk memproduksi suatu barang. Hal ini dikarenakan suatu IUI diperoleh berdasarkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Ijin Usaha Industri, Perdagangan, GudangRuang, dan Tanda Daftar Perusahaan. Peraturan daerah tersebut merupakan turunan dari Pasal 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, yang menyatakan bahwa : 27 Jeremy Bentham dalam Bryan Magee, The Story of Philosophy : Kisah Tentang Filsafat, Edisi Indonesia, diterjemahkan Marcus Widodo dan Hardono Hadi, Yogjakarta : Kanisius, 2008, hal. 182-185. Universitas Sumatera Utara “1. Setiap pendirian perusahaan industri baru maupun setiap perluasannya wajib memperoleh Izin Usaha Industri. 2. Pemberian Izin Usaha Industri terkait dengan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri. 3. Kewajiban memperoleh Izin Usaha Industri dapat dikecualikn bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil. 4. Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Untuk ketentuan yang berada di bawahnya ditentukan oleh Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri, menyatakan bahwa : “Tata cara pelaksanaan pemberian Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan diatur lebih lanjut oleh Menteri”. Peraturan menteri yang mengatur tentang IUI adalah Peraturan Menteri Perindustrian No. 41M-INDPER62008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri. Untuk pelimpahan kewenangan kepada Kepala Daerah adalah terdapat pada Pasal 16 ayat 1 huruf a, yang menyatakan bahwa : “Kewenangan pemberian : IUI, Izin Perluasan dan TDI berada pada BupatiWalikota setempat sesuai dengan lokasi pabrik bagi jenis industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1 degan skala investasi sampai dengan Rp. 10.000.000.000,- sepuluh miliar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, kecuali jenis industri yang menjadi kewenangan Menteri”. Oleh karena berbagai ketentuan di atas, dikeluarkan Peraturan Daerah Kota Medan No. 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Ijin Usaha Industri, Perdagangan, GudangRuang, dan Tanda Daftar Perusahaan, maka disini PT. Neo National sudah mentaati peraturan perindustrian dimulai dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1995 tentang Izin Usah Universitas Sumatera Utara Industri, Peraturan Menteri Perindustrian No. 41M-INDPER62008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri. Seluruh ketentuan- ketentuan tersebut adalah peraturan yang berlaku pada PT. Neo National. Oleh karena itu, setiap peraturan tersebut sudah pasti memiliki tujuan diterapkannya. Tetapi kenyataannya kepastian hukum tidak tercapai dikarenakan kepemilikan IUI sudah ada tetapi tetap saja masih ditindak dan dipidanakan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jelas kemanfaatan hukum juga tidak terwujud karena pekerja di PT. Neo National yang begitu banyaknya membutuhkan lapangan kerja. Uraian-uraian teoritis tersebut dipandang relevan untuk menjelaskan fenomena industri elektronik rumah tangga yang ditetapkan oleh Pemerintah. Banyak pihak yang beranggapan bahwakebijakan SNI tidak konsisten dan saling bertabrakan dengan pengaturan lainnya. Lalu untuk mengkaji pandangan mana yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Teori Utility oleh Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa kegunaan hukum itu adalah demi kemaslahatan masyarakat banyak. Mengenai teori perlindungan hukum, Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum menurut Salmond,yang menyatakan bahwa : “Hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain Universitas Sumatera Utara pihak”. 28 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. 29 Untuk mengetahui pelaku usaha yang tidak memenuhi SNI dalam menentukan perbuatan melawan hukumnya maka diperlukan teori hukum perlindungan konsumen, antara lain Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat yang memerlukan perlindungan hukum adalah masyarakat yang menggunakan suatu produk disebut konsumen. 30 1. “Let the buyer beware caveat emptor; Asas ini berasumsi bahwa : : “Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Ketidakmampuan itu bisa karena keterbatasan pengetahuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual beli keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli. Sekarang mulai diarahkan menuju kepada caveat venditor pelaku usaha yang perlu berhati- hati”. 2. The due care theory; Doktrin ini menyatakan bahwa : 28 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 53. 29 Ibid., hal. 69. 30 Dina W. Kariodimedjo, “Persentasi : Mata Kuliah Konsentrasi Perlindungan Konsumen”, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, 2005, hal. 8. Universitas Sumatera Utara “Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produknya, baik barang ataupun jasa. Selama berhati-hati, pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan, pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian”. 3. The privity of contract; Prinsip ini menyatakan bahwa : “Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. Fenomena kontrak-kontrak standar yang banyak beredar di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha”. 4. Kontrak bukan syarat; Prinsip ini tidak mungkin dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum”. Dalam hal adanya konsumen yang dirugikan maka beban pembuktiannya adalah berada pada konsumen itu sendiri. Hal ini disebut dengan beban pembuktian terbalik. Biasanya apabila menggugat, konsumen harus membuktikan bahwa produsen melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian di pihak konsumen. Dari perspektif konsumen akan lebih adil apabila pembuktian ada pada produsen, produsen harus membuktikan bahwa produsen telah melakukan proses produksi sesuai dengan prosedur yang ada. 31 Namun, apabila dalam contoh kasus dalam penelitian ini, yaitu pelaku usaha yang memproduksi barang tidak sesuai SNI, di dalam Pasal 8 ayat 1 huruf a dan j 31 Pasal 22 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa : “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”. Universitas Sumatera Utara Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak diatur beban pembuktiannya. Oleh karena itu, jelas pembuktian ada pada tangan PPNS-PK, seharusnya apabila pelaku usaha yang tidak memiliki SNI tetap memproduksi produk dengan alasan untuk mengimplementasi SNI maka pelaku usaha tersebut tidak dapat dipersalahkan. Hal ini dikarenakan pengaturan mengenai implementasi SNI sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Sebaiknya juga dalam contoh kasus posisi dalam penelitian ini, yang menjadi penyidik dalam kasus posisi ini adalah berasal dari Kementerian Perindustrian. Tetapi yang diterapkan, penyidik berasal dari Kementerian Perdagangan. Dikarenakan ada celah di dalam Pasal 24 ayat 5 Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, menyatakan bahwa : “Sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berupa sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 32 Selanjutnya, untuk menganalisis dan menjawab permasalahan mengenai hambatan yang dialami PT. Neo National digunakanlah Legal System Theory teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Teori sistem hukum memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sistem substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum. Hal inilah yang merugikan setiap pelaku usaha yang akan melakukan implementasi SNI. 33 32 Sebelumnya lihat : Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, menyatakan bahwa : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 dan 2 dapat dikenakan sanksi administratif dan atau sanksi pidana”. Penggunaan teori ini didasarkan pada 33 Lawrence M. Friedman. American Law An Introduction, Second Edition, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta : Tata Nusa, 2001, hal. 7. Universitas Sumatera Utara pandangan bahwa pembahasan terhadap penegakan hukum perlindungan konsumen tidak bisa disandarkan pada analisis aspek substansi peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga harus dipandang dalam suatu kerangka sistemik yang juga meliputi pembahasan terhadap struktur hukumnya yang meliputi lembaga-lembaga terkait dalam penegakannya, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK, Komite Audit Nasional KAN, Balai Riset dan Standardisasi BARISTAND, dan PPNS khusus terkait dengan tindak pidana perlindungan konsumen. Selain itu, perlu juga diperhatikan aspek kultural, yang dalam penelitian ini lebih difokuskan pada kultur aparaturnya lebih khusus lagi terkait ketidak- profesionalan dan ketidak-proporsionalan PPNS dalam menyidik permasalahan hukum yang dihadapi PT. Neo National. Dengan pendekatan teori sistem hukum ini diharapkan didapatkan suatu gambaran deskripsi yang utuh tentang berbagai aspek yang dirumuskan dalam permasalahan.

2. Kerangka Konsep