di pabrik dan Kementerian Perdagangan mengatur dan mengawasi setiap barang yang sudah beredar di pasaran.
Kaitan Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasinal dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
apabila ditinjau dari sisi produknya adalah pada saat barang dan jasa tersebut masih berada di lokasi produksi maka yang berwenang adalah Kementerian Perindustrian,
sedangkan apabila barang dan jasa tersebut sudah sampai di pasaran maka yang berlaku adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
di bawah wewenang Kementerian Perdagangan.
3. Pengaturan SNI dan Pengaturan Perlindungan Konsumen Terkait
Sepanjang Barang Sudah Didistribusikan Kepada Konsumen
Berbicara mengenai barang yang sudah didistribusikan kepada konsumen adalah berbeda dengan apabila barang masih berada di lingkungan pabrik. Barang
yang masih di lingkungan pabrik, yang berwenang melakukan pengawasan adalah Petugas Pengawas Standar Barang dan Jasa di Pabrik PPSP dari Kementerian
Perindustrian RI. Sedangkan apabila barang sudah keluar dari pabrik tempat diproduksinya barang tersebut, dengan kata lain, barang tersebut ada di tangan
konsumen barulah yang berwenang melakukan pengawasan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil – Perlindungan Konsumen PPNS-PK. Begitu juga apabila
barang sudah berada di tangan distributor. Intinya barang tersebut sudah keluar dari lingkungan pabrik tempat diproduksinya barang tersebut, maka yang berwenang
adalah PPNS-PK.
Universitas Sumatera Utara
Konsumen juga dapat melakukan pengawasan dengan memeriksa barang- barang yang diproduksi dengan sembarangan. Apabila ditemukan dapat diadukan di
BPKN Badan Perlindungan Konsumen Nasional sebagai badan yang mengawasi peredaran barang dan jasa. Namun, apabila ada konsumen yang dirugikan, maka
dapat melakukan gugatan ke BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, atau melaporkannya kepada pihak yang berwenang untuk itu. Barulah dapat diterapkan
sanksi pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.
Universitas Sumatera Utara
BAB III KUALIFIKASI DAN UNSUR-UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM
DALAM UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DIKAITKAN DENGAN PENEGAKAN
HUKUM STANDARDISASI NASIONAL INDONESIA
A. Kualifikasi Perbuatan Melawan Hukum Menurut Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Dikaitkan Dengan Penegakan Hukum Standardisasi Nasional Indonesia
Jelas dalam hal PT. Neo National yang sedang melakukan implementasi SNI masuk ke dalam kegiatan pelaku usaha dalam produksi. Mengenai persangkaan
kepada PT. Neo National adalah Pasal 8 ayat 1 huruf a dan j Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
“Pelaku usaha dilarang memproduksi danatau memperdagangkan barang danatau jasa yang :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
j. Tidak mencantumkan informasi danatau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku”.
Untuk mengetahui apakah PT. Neo National dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam mengimplementasikan SNI atau tidak, maka ada
baiknya dilihat definisi perbuatan melawan hukum terlebih dahulu. Pengertian perbuatan melawan hukum menurut para ahli, sebagai berikut
77
1. Simon
: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya;
:
2. Noyon
: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
77
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal. 31-32.
Universitas Sumatera Utara
3. Pompe
: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan
hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis;
4. Van Hammel
: Melawan hukum adalah onrechtmatig atau tanpa hakwewenang;
5. Hoge Raad
: Dari arrest-arrestnya dapat disimpulkan, melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan
Arrest 18-12-1911 W 9263; 6.
Lamintang : Perbedaan di antara pakar tersebut antara lain
disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum dan dapat berarti hak. Dalam
bahasa Indonesia kata bertentangan dengan hukum objektif dan bertentangan dengan hak orang lain
atau hukum subjektif”.
Namun, apabila dilihat dalam perspektif hukum pidana, yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja. Perbuatan-
perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana. Menurut Langemeyer mengatakan bahwa
78
“Untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal. Sekarang soalnya adalah
apakah ukuran keliru atau tidaknya suatu perbuatan, mengenai hal ini ada dua pendapat, yaitu :
:
e. Apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka
disitu ada kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya adalah perbuatan sudah ternyata dari sifat melanggar ketentuan undang-
undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti
melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang formal;
f. Sebaliknya yang berpendapat bahwa belum tentu kalau semua
perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum, karena menurut pendapat ini yang dinamakan hukum
bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang hukum yang tertulis adapula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma
78
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo, 2006, hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian disebut pendirian yang materil”.
Para ahli hukum yang berpendapat formal untuk dapat dipidana perbuatan haruslah memenuhi unsur-unsur rumusan delik yang tersebut dalam wet, jika sudah
demikian biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki apakah perbuatan tersebut melawan hukum atau tidak.
Selanjutnya menurut Simons tentang perbuatan melawan hukum, menyatakan bahwa
79
“Hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang materil tidak dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan kehendak
pembentuk undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, di bawah pengawasan keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul
harus diakui bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi perkecualian yang
demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar hukum dalam hukum positif sendiri”.
:
Perlu ditegaskan disini bahwa dimana peraturan-peraturan hukum pidana di Indonesia sebagian besar telah dimuat dalam KUHP dan peraturan perundang-
undangan lainnya, maka pandangan tetang hukum dan sifat melawan hukum materil di atas hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun
masuk dalam perumusan undang-undang itu tidak merupakan perbuatan pidana. Akan tetapi jika mengikuti pandangan materil maka bedanya dengan pandangan
formil adalah : 1.
Mengakui adanya pengecualian atau penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis,
79
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, hal. 132.
Universitas Sumatera Utara
sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja;
2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan-perbuatan
pidana juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal sifat tersebut tidak selalu
menjadi unsur daripada perbuatan pidana, hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur
perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah
tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata, jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak
dinyatakan maka juga tidak perlu dibuktikan.
80
Adapun konsekuensi daripada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap
delik adalah sebagai berikut
81
1. Jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik maka unsur
itu dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa;
:
80
Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Salemba Empat, 2009, hal. 73.
81
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi : Criminal Penalties for Corruption Cases in Indonesia, Jakarta : Indonesia Lawyers Club, 2010, hal.
61. Lihat juga : Putusan Mahkamah Agung No. 72KKr1970, tanggal 27 Mei 1972, menyatakan bahwa : “Meskipun yang dituduhkan adalah suatu delik formil, namun Hakim secara materiil harus
memperhatikan juga keadaan terdakwa atas dasar mana ia tak dapat dihukum atau materiiele wederrechttelijkheid”.
Universitas Sumatera Utara
2. Jika hakim ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada
atau tidak maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana.
Menurut Jonkers dan Langemeyer, dalam hal tersebut di atas terdakwa harus
dilepas dari segala tuntutan hukum ontslag van recht vervolging. Artinya, segala tuntutan penuntut umum kepada terdakwa harus dilepaskan dan terdakwa harus
dibebaskan dari tuntutan penuntut umum atau tidak dapat dijatuhi hukuman. Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam
Pasal 8 – Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dibagi ke dalam 3 tiga kelompok,
yaitu : 1.
Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi;
82
2. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran;
83
3. Larangan bagi pelaku usaha periklanan.
dan
84
Selanjutnya untuk mengetahui apakah PT. Neo National melakukan perbuatan melawan hukum atau tidak, ada baiknya dilihat terlebih dahulu larangan-
larangan di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di bawah ini :
82
Pasal 8, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
83
Pasal 9 – Pasal 16, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
84
Pasal 17, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Universitas Sumatera Utara
1. Larangan Bagi Pelaku Usaha Dalam Kegiatan Produksi