3. Larangan Bagi Pelaku Usaha Dalam Kegiatan Periklanan
Dalam hal larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan periklanan menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah Pasal 17,
menyatakan bahwa : 1
“Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang : a.
Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang danatau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan
barang danatau jasa; b.
Mengelabui jaminangaransi terhadap barang danatau jasa; c.
Membuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang danatau jasa;
d. Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang danatau
jasa; e.
Mengeksploitasi kejadian danatau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f. Melanggar etika danatau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan. 2
Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1”.
Kegiatan periklanan juga tidak bisa dimasukkan ke dalam kegiatan yang dilakukan oleh PT. Neo National. Hal ini dikarenakan jelas sekali bahwa tujuan PT.
Neo National untuk implementasi SNI dan NRP bukan untuk tujuan mengiklankan diri.
B. Asas Pembuktian Terbalik Dalam Pengaturan Perlindungan Konsumen
1. Pembuktian Terbalik Dalam Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menganut azas pembuktian terbalik. Kemungkinan pembuktian terbalik tersebut
didasarkan pada landasan filosofis hukum itu sendiri, yakni ada bukan hanya untuk
Universitas Sumatera Utara
dirinya sendiri konkret, tetapi demi untuk memberikan perlindungan kenyamanan dan keadilan masyarakat. Oleh karena itu, secara prinsip, hukum itu akan terus
berubah dan bergerak maju law in the making, berkembang mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat hukum dari lingkungan hukum itu
sendiri.
85
Pengaturan perlindungan konsumen tersebut secara tegas mengatur penerapan azas pembuktian terbalik, walaupun berbeda alasan yang mendasarinya
dan penerapannya pada persidangan. Misalnya penerapan azas pembuktian terbalik dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah
sebab konsumen tidak mengetahui bahan untuk proses produksi dan ketentuan distribusi yang dilakukan produsen. konsumen perlu dilindungi, kalau dirugikan oleh
produsen. Produsen yang harus membuktikan bahwa bahan produksi dan proses distribusi yang dilakukannya tidak akan merugikan konsumen. Apabila produsen
bisa membuktikan dirinya tidak “mencurangi” konsumen, maka produsen tersebut akan terbebas dari tuntutan ganti rugi.
86
Dalam hukum pidana, sistem pembuktian terbalik merupakan pengecualian dalam KUHAP, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP yang menganut azas
praduga tak bersalah, yakni tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
87
85
Harian Kompas, “Ari S. Gultom : Urgensi Pembuktian Terbalik”, diterbitkan Rabu, 14 April 2010.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
86
Harian Kompas, “Tri Agung Kristanto : Pembuktian Terbalik, Perpu atau Amandemen UU 311999?”, diterbitkan Selasa, 06 Februari 2007.
87
Pasal 8 ayat 1, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa : “Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan
Universitas Sumatera Utara
Konsumen, pembuktian terbalik terdapat pada Pasal 19 ayat 4 mengenai tanggung jawab pelaku usaha, menyatakan bahwa : “Pemberian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan”. Lalu lihat lagi ayat 5 ketentuan tersebut, menyatakan bahwa : “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan konsumen”. Hal ini dilihat dari sudut hukum perdata yang hukum
acaranya dilakukan di BPSK. Dalam hal hukum pidana, pembuktian terbalik berdasarkan Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dilihat terlebih dahulu pengertian pembuktian terbalik dalam hukum pidana berdasarkan pendapat para ahli
berikut ini : Lilik Mulyadi mengutip pendapat Indriyanti Seno Adji, mengatakan bahwa
88
“Azas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara
pidana yang universal. Dalam hukum pidana formal, baik sistem kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap
membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, dalam certain case kasus-kasus tertentu diperkenankan penerapan dengan
mekanisme yang diferensial, yaitu sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai Reversal of Burden Proof Omkering van Bewijslast. Itu
pun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan
dan penghargaan hak asasi manusia, khususnya hak tersangkaterdakwa”. :
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
88
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Alumni, 2007, hal. 104-105.
Universitas Sumatera Utara
Dikaji dari perspektif ilmu hukum pidana dikenal ada 3 tiga teori tentang beban pembuktian, yaitu :
a. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum;
Penuntut Umum tidak mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan undang- undang kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki hak
untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam requisitornya. Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-
alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis beban
pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri. Teori beban pembuktian ini
dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa : “Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Beban
pembuktian seperti ini dapat dikategorikan beban pembuktian biasa atau konvensional.
89
b. Beban Pembuktian pada Terdakwa; dan
Terdakwa berperan aktif menyatkaan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan
menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian
jenis ini dinamakan teori “Pembalikkan Beban Pembuktian” Omkering van het
89
Ibid., hal. 102.
Universitas Sumatera Utara
Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof Omus of Proof.
90
c. Beban Pembuktian Berimbang.
Dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi
pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat terbatas limited burden of proof.
Konkretisasi azas ini baik Penuntut Umum maupun Terdakwa danatau Penasihat Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut
Umum akan membuktikan kesalahan Terdakwa sedangkan sebaliknya Terdakwa beserta Penasihat Hukumnya membuktikan sebaliknya bahwa Terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Azas beban pembuktian ini dinamakan juga azas pembalikan beban
pembuktian berimbang seperti dikenal di Amerika Serikat dan juga di Indonesia.
91
Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji dari tolok ukur Penuntut Umum dan Terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian dapat
dibagimenjadi 2 dua kategorisasi yaitu
92
1. “Sistem beban pembuktian biasa atau konvensional, Penuntut Umum
membuktikan kesalahan Terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. Kemudian Terdakwa dapat
menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari Penuntut Umum sesuai ketentuan Pasal 66 KUHAP;
:
2. Teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi
menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat absolut atau murni bahwa Terdakwa danatau Penasihat Hukumnya membuktikan ketidak-
bersalahan Terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban pembuktian yang
90
Ibid.
91
Ibid.
92
Ibid., hal. 103-104.
Universitas Sumatera Utara
bersifat terbatas dan berimbang dalam artian Terdakwa dan Penuntut Umum saling membuktikan kesalahan atau ketidak-bersalahan dari Terdakwa”.
Pada hakikatnya, asas pembalikan beban pembuktian dalam sistem hukum pidana Indonesia dikenal dalam Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003
dan Perlindungan Konsumen Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. Pembuktian terbalik ini dapat dilihat pada Pasal 19 ayat 5 dan Pasal 22 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jadi, pengaturan perlindungan konsumen juga menganut azas pembuktian terbalik.
Azas pembuktian terbalik dalam pengaturan perlindungan konsumen dalam hal penerapan sanksi pidananya, dapat digunakan azas pembuktian terbalik terbatas
atau berimbang. Hal ini dilakukan demi tercapainya keadilan hukum bagi Terdakwa maupun bagi Negara yang diwakili oleh Penuntut Umum.
Dalam hal PT. Neo National yang diduga melakukan pelanggaran Pasal 62 ayat 1 Jo. Pasal 8 ayat 1 huruf a dan j Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, pembuktian terbalik juga dianut dalam pemeriksaannya sebagai Tersangka. Tetapi, hal ini diterapkan secara banci oleh PPNS. PPNS tidak
menunjukkan barang bukti secara kasat mata kepada Tersangka, walaupun Tersangka sudah membuktikan bahwa tujuan memproduksi adalah hanya untuk
proses implementasi SNI dan NRP bukan bertujuan komersil.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengujian Kelayakan Mutu