67
mencari tauke ataupun anggota untuk bekerjasama dalam melaut, memudahkan dalam mendapatkan informasi mengenai harga jual hasil tangkapan, memudahkan
dalam mencari pelanggan baru, dan lain sebagainya.
4.4.1 Kepercayaan Trust
Dalam terminologi sosiologi, konsep kepercayaan dikenal dengan trust. Defenisi kepercayaan trust dijelaskan sebagai yang bermakna percaya atas
beberapa kualitas atau atribut sesutau atau seseorang, atau kebenaran suatu pernyataan. Torsvik 2000:458 dalam Damsar 2011: 186 menyebutkan
kepercayaan merupakan “kecenderungan perilaku tertentu yang dapat mengurangi resiko yang muncul dari perilakunya”. Konsep kepercayaan yang dikaitkan dengan
resiko, juga dikemukakan oleh Luhmann 1979:1988, suatu istilah yang hanya muncul pada zaman modern. Pengertian kepercayaan yang dikaitkan dengan resiko
dikritik oleh beberapa teoritis, salah satu diantaranya adalah Giddens 2005. Menurut Giddens kepercayaan pada dasarnya terikat, bukan kepada resiko, namun
kepada berbagai kemungkinan. Kepercayaan selalu mengandung konotasi keyakinan di tengah-tengah berbagai akibat yang serba mugnkin, apakah dia
berhubungan dengan tindakan individu atau dengan beroperasinya sistem. Dalam kasus kepercayaan terhadap agen manusia dugaan akan keyakinan melibatkan
“kebaikan” penghargaan atau cinta kasih. Itulah mengapa kepercayaan kepada seseorang secara psikologis mengandung konsekuensi bagi individu yang percaya.
Sedangkan menurut Lawang kepercayaan merupakan “hubungan anatara dua belah
Universitas Sumatera Utara
68
pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu pihak atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial”.
Dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari sebagai nelayan, para nelayan Etnis Tionghoa ini memiliki hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan tidak hanya
kepada sesama nelayan, tetapi juga kepada masyarakat yang bukan nelayan dan bangliau tempat penampungan ikan. Hubungan tersebut sesuai dengan makna
kepercayaan yang diungkapkan oleh Lawang, bahwasanya para nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi ini membangun sebuah hubungan dengan orang lain
terutama sesama nelayan yang didalamnya terdapat harapan untuk dapat saling menguntungkan, contohnya taukeh memperkerjakan orang lain dengan harapan
dapat membantunya dalam melaut dan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak, sedangkan anak buah yang bekerja pada taukehnya juga akan bekerja
dengan gigih karena adanya harapan untuk bisa mendapatkan tambahan pendapatan ataupun bonus.
4.4.1.1 Kepercayaan Terhadap Sesama Nelayan
Kepercayaan juga merupakan modal awal yang harus dimiliki setiap orang untuk bisa menjalin hubungan dengan masyarakat lainnya. Tanpa adanya rasa saling
percaya maka akan menyulitkan orang dalam hidup sebagai makhluk sosial yang memang tidak bisa hidup tanpa orang lain dan saling membutuhkan satu sama lain.
Kepercayaan dapat timbul dari adanya rasa senasib dan sepenanggungan, satu klan atau satu marga, satu daerah dan lain sebagainya. Garnasih 2011 menyebutkan
bahwa hubungan-hubungan informal yang terjalin terus-menerus menjadi Trust.
Universitas Sumatera Utara
69
Selanjutnya dipelihara oleh masing-masing pihak sampai menimbulkan harapan- harapan yang berkembang di dalam kelompok. Harapan-harapan yang dibangun
bukan hanya untuk masa kini melainkan juga masa yang akan datang maka modal sosial menjadi tinggi dan modal sosial bukan sekedar partisipasi saja melainkan juga
harapan-harapan positif. Sebab harapan-harapan yang dibangun pada masa kini akan bermanfaat untuk masa depan yang akan menimbulkan tindakan kolektif dan
solidaritas antar sesama. Seperti halnya nelayan Etnis Tionghoa yang ada di Bagansiapiapi ini, mereka
memiliki rasa percaya yang besar kepada sesama etnis mereka yang merupakan bagian dari hubungan kekerabatan. Hal ini tentunya sudah berlangsung lama yaitu
sejak Etnis Tionghoa memasuki daerah Riau khususnya Bagansiapiapi. Hubungan kekerabatan yang dimiliki oleh nelayan Tionghoa telah menjadi nilai-nilai bersama
bagi mereka bahwa ikatan keluarga dianggap sebagi ikatan batin yang kuat dibandingkan dengan orang diluar keluarganya. Giddens dalam Damsar, 2009:187
juga mengatakan bahwa hubungan kekerabatan merupakan konteks lingkungan yang dapat menjadi asal muasal tumbuh kembangnya suatu kepercayaan, seperti apa
yang diungkapkan oleh salah satu nelayan Tionghoa yaitu Bapak Apom : “Bapak sekarang melaut ikut dengan orang lain, taukeh yang sekarang ini dulu
juga tidak terlalu kenal sama Bapak, tapi mungkin karena satu daerah tinggal juga sesama Tionghoa walaupun tidak semarga jadinya Bapak diterima kerja
ikut dengan taukeh yang sekarang ini. Sebelumnya Bapak melaut ikut dengan saudara Bapak, tapi setelah beberapa tahun dan karena ada sesuatu hal juga
akhirnya Bapak memutuskan untuk mencari taukeh yang lain yaitu taukehBapak yang sekarang ini”
Universitas Sumatera Utara
70
Dari penuturan Bapak Apom diatas menegaskan bahwa adanya kesamaan daerah dan etnis menimbulkan kepercayaan yang didalamnya terdapat harapan-
harapan bersama dalam mencapai suatu tujuan. Hal tersebut terlihat dari mudahnya Bapak Apom mendapatkan pekerjaan dari taukeh barunya padahal taukehnya belum
terlalu mengenak Pak Apom, namun karena adanya kesamaan etnis dan daerah tempat tinggal menimbulkan kepercayaan antara satu sama lainnya. Sebelumnya
juga Pak Apom bekerja ikut dengan saudaranya, hal tersebut terjadi juga karena adanya rasa percaya yang timbul dari adanya hubungan kekerabatan antara Pak
Apom dengan saudaranya yang mengijinkan Pak Apom untuk ikut melaut bersamanya.
Nelayan Etnis Tionghoa tidak hanya memiliki kepercayaan sesama Etnis Tionghoa saja, namun juga memiliki kepercayaan dengan nelayan lain yang bukan
Etnis Tionghoa. Menurut Giddens dalam Damsar, 2009:187 ditemukan empat lingkungan yang menumbuhkembangkan kepercayaan, yaitu hubungan kekerabatan,
komunitas masyarakat lokal, kosmologi religius, dan tradisi. Pada masyarakat pra- modern komunitas masyarakat lokal memberikan lingkungan yang baik bagi
tumbuh kembangnya kepercayaan di masyarakat. Contoh komunitas lokal yang dapat menjadi konteks bagi tumbuh kembangnya kepercayaan adalah jaringan
sedusun, sekampung, dan senagari. Sesuai dengan apa yang diungkapkan di atas, bahwasanya faktor sekampung
atau satu daerah tempat tinggal menjadi sarana bagi tumbuhnya kepercayaan antara nelayan Etnis Tionghoa dengan nelayan yang bukan Etnis Tionghoa. Kepercayaan
Universitas Sumatera Utara
71
tersebut dapat dilihat dari bekerjasamanya nelayan Tionghoa dengan nelayan pribumi, bentuk kerjasama yang ada adalah saling bertukar infomasi mengenai
segala hal tentang melaut, menerima dan mengajak orang pribumi untuk satu kapal dalam melaut serta saling pinjam meminjam modal dan alat untuk melaut, hal ini
pun ditegaskan oleh Bapak Awi yang mengatakan : “Bapak memiliki 4 anak buah yang dua diantaranya merupakan orang
kampung atau orang melayu, Bapak sangat mengerti sekali sekarang ini susah dalam mencari pekerjaan. Anak buah Bapak yang orang kampung ini Bapak
dapatkan dari teman Bapak sesama nelayan, sedangkan yang satu lagi dia yang datang sendiri ke Bapak, katanya dapat informasi dari temannya. Karena kita satu
daerah tempat tinggal Bapak terima saja, Bapak percaya bahwa mereka akan bekerja dengan baik dan jujur, terbukti sampai sekarang mereka tidak pernah
mencurangi Bapak dalam melaut”.
Bentuk lain kepercayaan yang dimiliki oleh Etnis Tionghoayang memang sudah ada dan membudaya yaitu mereka dikenal akan sangat baik kepada orang
yang mereka percaya dan mereka bisa dengan cepat percaya dengan orang lain asalkan orang tersebut baik dan jujur, jika satu orang saja Etnis Tionghoa sudah
percaya kepada orang lain, maka satu keluarganya pun akan percaya dan baik kepada orang tersebut. Bentuk kepercayaan ini dinamakan kepercayaan askriptif
yaitu kepercayaan yang muncul dari hubungan yang diperoleh berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada pribadi seperti latar belakang kekerabatan, etnis dan keturunan
yang dimiliki. Maka tidak heran jika dalam melaut tidak jarang nelayan Etnis Tionghoajuga mempekerjakan orang yang berbeda suku dengannya seperti Orang
Melayu yang sebelumnya telah saling mengenal ataupun ikut kerja dengan pemilik kapal Taukeh yang bukan Etnis Tionghoa yang juga sebelumnya telah dikenal.
Universitas Sumatera Utara
72
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pemilik kapal yang juga nelayan Etnis Tionghoa yaitu Bapak Cingkiong :
“Bapak melaut pergi bersama dengan 7 orang anggota Bapak yang semuanya merupakan orang melayu. Awalnya Bapak hanya memiliki 2 anggota saja,
namun karena Bapak merasa kurang kalau hanya pergi melaut bertiga kemudian Bapak minta carikan lagi orang kepada anggota dan kerabatBapak.
Selanjutnya Bapak dikenalkan dengan seorang Orang Melayu oleh kerabat Bapak yang telah mengenal orang itu dan keluarganya. Kemudian entah dapat
kabar dari mana datang kepada Bapak 2 orang lagi dan semuanya orang melayu minta dicarikan pekerjaan, karena Bapak merasa satu kampung yaitu
sama-sama tinggal di Bagan ini Bapak terima mereka dengan syarat kerjanya harus gigih, ulet, semangat dan tekun. Sampai saat ini mereka masih tetap
bekerja sama Bapak dan kita saling percaya saat melaut.”
Hal serupa juga diungkapkan oleh Nelayan Tionghoa yang bekerja kepada orang lain yaitu Bapak A Pom :
“Menjadi nelayan bagi Bapak adalah satu-satunya pekerjaan yang cocok dan bisa Bapak lakoni dengan baik karena memang dari kecil Bapak sudah
diajarkan melaut oleh orang tua Bapak. Dulunya Bapak melaut ikut dengan saudara tapi karena ada sedikit masalah akhirnya Bapak cari taukeh baru.
Bapak dikenalkan dengan taukeh yang sekarang ini dari kawan Bapak, padahal Bapak tidak kenal sebelumnya tapi taukeh ini baik sama Bapak dan
mau menerima Bapak ikut dengannya mungkin juga karena teman Bapak itu yang sudah kenal baik dengan Bapak, sebagai balas budinya Bapak kerja
dengan sungguh-sungguh agar kita bisa dapat hasil yang banyak.”
Dari pernyataan kedua informan diatas dapat kita lihat bahwa memang mereka nelayan Etnis Tionghoa dapat saling percaya kepada orang lain walaupun belum
kenal sebelumnya, namun memiliki kerabat yang telah mengenal orang itu, hal tersebut menunjukkan bahwa Orang Tionghoa memang akan percaya kepada orang
lain yang belum dikenal tapi kerabatnya sudah ada yang mengenal orang tersebut. Hal lainnya adalah dikarenakanmereka merasa sudah satu kampung atau satu daerah
Universitas Sumatera Utara
73
walaupun bisa dibilang Bagansiapiapi secara garis keturunan mereka nelayan Etnis Tionghoa bukanlah merupakan kampung halaman para nelayan Etnis Tionghoa
tersebut, karena dari awalnya nelayan Etnis Tionghoa ini memang merupakan pendatang di Bagansiapiapi, namun ternyata mereka nelayan Etnis Tionghoa telah
memiliki rasa berbangsa Indonesia walaupun leluhur mereka berasal dari China. Namun mereka mampu membangun rasa percaya kepada orang lain dengan harapan
bisa saling menguntungkan satu sama lainnya dalam melaut tanpa ada pikiran negatif antara nelayan yang satu dengan nelayan lainnya, rasa percaya yang mereka
bangunpun tidak memandang kesamaan suku ataupun budaya, asalkan bisa saling menguntungkan
apapun suku dan budayanya mereka sudah tidak memperdulikannya lagi.
Kepercayaan juga dapat terbentuk dari seringnya berinteraksi antara satu dengan lainnya, hal tersebut terlihat dari seringnya nelayan Tionghoa yang ikut
dengan orang lain mendapat kepercayaan untuk membawa hasil tangkapan agar bisa dijual kepada tetangga ataupun kerabat untuk tambah-tambah penghasilan, ataupun
membedakan hasil tangkapan untuk sendiri dibawa pulang dan untuk dijual ke bangliau. Kepercayaan seperti ini merupakan bentuk kepercayaan prosesual,
dimana kepercayaan muncul dari proses interaksi sosial yang dibangun oleh buruh nelayan dengan taukehnya. Seperti yang dikatakan oleh Pak Ahok :
“Terkadang Bapak minta ijin dengan taukeh untuk membawa ataupun membedakan hasil tangkapan untuk bangliau dan untuk Bapak sendiri, karena
sering ada yang pesan dan juga Bapak jual ke tetangga, saudara dan teman. Untungnya taukehBapak baik dan mengijinkan Bapak untuk membawa pulang
beberapa dari hasil tangkapan Bapak”.
Universitas Sumatera Utara
74
Hal serupa juga dikatakan oleh nelayan Tionghoa lainnya yaitu Bapak Anto :
“Bapak kan kerja ikut sama taukeh, taukeh itu sangat baik tidak hanya dengan Bapak tapi juga dengan semua anggotanya. Taukeh juga sering menyuruh
kami membawa sedikit dari hasil tangkapan untuk keluarga dirumah ataupun untuk dijual lagi ke tetangga ataupun ssaudara, taukeh bilang itu untuk
tambah-tambah penghasilan”.
Dari pernyataan kedua informan di atas yaitu Pak A Hok dan Pak Anto, terbukti bahwa memang kepercayaan juga dapat terbangun dari seringnya nelayan
Tionghoa ini berinteraksi saat melaut maupun tidak. Interaksi tersebut lama- kelamaan akan semakin menguatkan kepercayaan yang ada diantara para nelayan
sehingga dapat saling menguntungkan para nelayan, salah satunya yaitu dengan mengijinkan nelayan untuk membawa dan menjual hasil tangkapan kepada orang
lain seperti saudara dan tetangga.
4.4.1.2 Kepercayaan Dengan Masyarakat Yang Bukan Nelayan
Tidak hanya kepercayaan yang dibangun dengan sesama nelayan saja baik itu nelayan Tionghoa maupun nelayan pribumi, namun juga para nelayan Etnis
Tionghoa di Bagansiapiapi ini membangun kepercayaan dengan masyarakat lain yang bukan nelayan. Menjalin hubungan sosial yang baik kepada semua orang itu
diperlukan, tidak hanya dengan orang yang memiliki pekerjaan ataupun suku yang sama namun kepada orang yang berbeda pekerjaan, hobi dan suku, hal tersebut
dilakukan agar kehidupan sosial dapat berjalan dengan baik dan agar ketika kita mengalami kesulitan akan ada orang yang mau membantu. Menurut Luhmann,
Universitas Sumatera Utara
75
Sako1992 dalam Damsar, 2009:203 ada tiga bentuk kepercayaan yaitu kepercayaan kompetensi, kepercayaan kontraktual, dan kepercayaan niat baik.
Kepercayaan yang terbangun antara nelayan Tionghoa dengan masyarakat yang bukan nelayan sesuai dengan salah satu bentuk kepercayaan yang dijelaskan
oleh Luhmaan, Sako yaitu kepercayaan niat baik. Kepercayaan niat baik merupakan kepercayaan yang menunjuk pada harapan bersama pihak yang terlibat memiliki
komitmen terbuka satu sama lainnya untuk melakukan sesuatu yang terbaik bagi keuntungan bersama. Masyarakat nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi tidaklah
tinggal dalam satu wilayah melainkan terpisah-pisah. Hal tersebutlah yang membuat nelayan Tionghoa memiliki hubungan yang baik kepada banyak kalangan yang juga
membuat Etnis Tionghoa ini telah merasa diterima baik keberadaan mereka dengan masyarakat setempat yang bukan Etnis Tionghoa. Bentuk kepercayaan yang mereka
bangun salah satunya berupa menitipkan kunci rumah kepada tetangganya yang memang bukan nelayan ketika berpergian ataupun sebaliknya. Seperti yang
diungkapkan oleh Bapak Lamde : “Bapak sangat percaya dengan tetangga-tetangga Bapak disini, walaupun
tidak banyak yang bekerja nelayan seperti Bapak, tapi mereka semua sangat baik.Bapak juga merasa Etnis Bapak sudah diterima dengan baik oleh
masyarakat disini, karena memang Etnis kami ini juga sudah lama ada di sini. Salah satu buktinya saja mereka mau melihat dan menjaga rumah Bapak
ketika Bapak pergi dan tidak ada orang dirumah padahal bisa saja mereka mengambil barang Bapak tapi itu tidak pernah terjadi, dan begitu pula
sebaliknya.”
Dari pernyataan nelayan Tionghoa diatas terlihat bahwa memang kepercayaan itu perlu dalam hidup bermasyarakat karena, selain keluarga dirumah tetanggalah
Universitas Sumatera Utara
76
yang dapat membantu dan menolong jika terjadi hal-hal yang diluar keinginan, begitu juga sebaliknya. Untuk dapat percaya dengan orang lain tidaklah harus
memandang kesamaan agama, suku dan budaya, tapi harus melihat dan memandang bahwa semua orang itu sama apalagi sudah tinggal di wilayah yang sama, maka
dengan sendirinya kepercayaan antarsesama akan terjalin. Tidak boleh ada pikiran negatif mengenai orang lain karena pikiran negatif hanya akan membuat kita tidak
bisa melihat kebaikan orang lain dan akan menimbulkan kecurigaan kepada orang lain yang pada akhirnya akan membuat kita tidak mampu untuk percaya kepada
orang lain.Dalam hal ini terdapat harapan bersama yang berwujud hubungan saling percaya yang nantinya dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Sesuai dengan diskusi sosiologis tentang kepercayaan umumnya dikaitkan dengan keterbatasan perkiraan dan ketidakpastian yang berkenaan dengan perilaku
orang lain dan motif mereka Gambetta, 1998. Setiap orang memiliki keterbatasan dalam memperkirakan sesuatu, untuk mengatasi ketidakpastian tersebut maka dia
harus menjalin hubungan kepercayaan dengan orang lain. Apakah seorang pembeli, misalnya akan datang lagi atau tidak dalam suatu komunitas lokal pedesaan untuk
suatu transaksi jual beli? Setiap pedagang cenderung tidak merasa yakin terhadap prakiraannya. Oleh karena itu mengikat pembeli dalam hubungan pelanggang yang
dilandasi kepercayaan merupakan suatu cara untuk mengatasi ketidakpastian tersebut. Demikian pula disisi pembeli, apakah barang yang dibeli terlalu mahal atau
tidak dari seorang penjual, dia tidak tahu. Untuk mengatasi hal tersebut, pembeli berusaha untuk mengikat hubungan pelanggan yang didasarkan atas kepercayaan.
Universitas Sumatera Utara
77
Hubungan langganan antara pembeli dan penjual merupakan hubungan yang didasarkan atas kepercayaan, yang bisa dipahami untuk mengatasi ketidakpastian
yang mereka miliki Damsar, 2009:201. Hubungan kepercayaan seperti yang tergambar diatas juga terdapat pada
nelayan Tionghoa dengan masyarakat yang bukan nelayan. Berawal dari saling percaya karena satu lingkungan atau satu daerah tempat tinggal, nelayan Etnis
Tionghoa menjalin kepercayaan dalam hal lain yaitu menjual hasil tangkapan melaut kepada tetangganya bahkan kerabat dari tetangganya. Agar tetangga ataupun
kerabat tetangganya tetap membeli ikan dan hasil tangkapan lainnya, nelayan Tionghoa mengikat mereka dengan hubungan pelanggan yang dilandasi
kepercayaan, salah satu caranya yaitu nelayan Etnis Tionghoa memberikan atau menjual hasil tangkapan yang selalu bagus, segar dan layak untuk dikonsumsi yang
pada akhirnya membuat pelanggannya selalu percaya kepadanya bahwa memang ikan, udang ataupun yang lainnya masih bagus dan layak untuk dikonsumsi.
Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh salah satu Nelayan Tionghoa yaitu Bapak Anto :
“Bapak juga cukup sering mendapat pesanan ikan ataupun udang dari tetangga bahkan dari saudara ataupun kenalan tetangga Bapak itu. Supaya mereka
percaya sama Bapak, Bapak selalu memberikan dan menjual ikan, udang, dan kepiting yang memang baru Bapak tangkap dan itu masih segar”.
Hal serupa juga dikatakan oleh Nelayan Tionghoa lainnya yaitu Bapak Awi “Bapak tinggal di lingkungan yang pekerjaan dan agama masyarakatnya
berbeda-beda tapi kami semua sangat akur dalam bertetangga. Namanya juga hidup bermasyarakat jadi harus saling percaya lah satu sama lainnya untuk
menjaga keamanan juga. Sering juga Bapak nongkrong dikedai kopi dengan
Universitas Sumatera Utara
78
masyarakat lainnya yang bukan nelayan dan mereka juga sering memesan ikan ataupun udang kepada Bapak. Jika Bapak sudah pulang melaut Bapak
kabari mereka dan kemudian mereka yang datang kerumah untuk mengambil pesanan mereka”.
Dari pernyataan kedua informan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mempertahankan atau mengikat pembeli dalam ikatan langgananpun diperlukan
saling percaya satu sama lain yaitu dengan cara memberikan ikan dan hasil tangkapan lainnya yang bagus dan segar kepada pembeli yang merupakan tetangga
ataupun kerabat dari tetangga. Seperti kepercayaan yang diungkapkan oleh Niken Handayani dalam penelitiannya yang berjudul modal sosial dan keberlangsungan
usaha, dimana beliau mengatakan bahwa individu mempunyai dasar yang membuat individu mempercayai orang lain, yaitu dilihat dari : kebaikan seseornag yang
dilihat dari kehidupan pergaulan sehari-hari, tingkah laku yang tidak membedakan status sosial, agama, dan etnis, kemudian juga dilihat dari tindakan, sifat dan
perbuatan yang sering dilakukan, dan yang terakhir dilihat dari kedekatan individual dengan orang lain dan lama kenal individu dengan orang lain.
4.4.1.3 Kepercayaan Dengan Bangliau Tempat Penampungan Ikan
Masyarakat Bagansiapiapi biasa menyebut tempat penampungan ikan dengan sebutan bangliau. Bangliaumerupakan sebuah tempat penampungan ikan yang
sekaligus menjadi tempat pengolahan dan pengawetan ikan, ikan asin serta udang yang akan diolah menjadi terasi. Kepercayaan memperbesar kemampuan manusia
untuk bekerjasama karena kerja sama tidak akan terjalin kalau tidak didasarkan atas adanya rasa saling percaya diantara sesama pihak yang terlibat, begitu pula
Universitas Sumatera Utara
79
kepercayaan yang dibangun oleh nelayan Tionghoa dengan bangliau. Bangliaumerupakan tempat para nelayan Tionghoa dan nelayan pribumi menjual
hasil tangkapan mereka melaut baik yang melautnya pulang hari maupun yang lima hari sampai seminggu di laut. Selain itu,bangliau juga nantinya akan menyortir hasil
tangkapan para nelayan yang kemudian menjualnya ke dalam dan luar negeri. Bentuk kepercayaan yang dibangun oleh nelayan kepada bangliau yaitu percaya
bahwa bangliau tidak akan mengurangi timbangan hasil tangkapan para nelayan, mencurangi nelayan dalam harga jual, dan juga percaya saat meminjam modal,
kapal, dan perlengkapan lainnya untuk melaut bahwa bangliau tidak akan mematok bunga yang tinggi untuk modal yang dipinjam.
Seperti apa yang disampaikan oleh Bapak Lamde : “Bapak percaya penuh dengan bangliau tempat Bapak bisa menjual hasil
tangkapan, Bapak percaya bahwa mereka tidak akan mengurangi atau menokohi menipu hasil timbangan dari tangkapan yang Bapak peroleh dari
melaut. Dalam peminjaman modal pun begitu, kita dapat mencicil pinjaman kita, makanya Bapak percaya untuk kadang meminjam modal kalau modal
Bapak untuk melaut kurang, kalaupun ada yang pakai bunga, bunganyapun kecil jadi tidak memberatkan”.
Dari hasil wawancara dengan Bapak Lamde tersebut, beliau menjelaskan bahwa antara nelayan dan bangliau memang terjalin suatu bentuk kepercayaan yang
dapat saling menguntungkan satu sama lain dimana nelayan akan menjual hasil tangkapan melaut kepada bangliau dan percaya bahwa bangliau tersebut tidak ada
berbuat dan bertindak curang seperti mengurangi timbangan dan menekan harga jual yang akan merugikan para nelayan, begitu juga dengan bangliau yang selalu
Universitas Sumatera Utara
80
menjaga kepercayaan dengan tidak berbuat curang kepada nelayan dan percaya bahwa hasil tangkapan yang dibawa oleh para nelayan Tionghoa adalah tangkapan
yang bagus dan memiliki kualitas ekspor. Menurut Luhman, Sako 1992 dalam Damsar, 2011 : 203 yang melihat
kepercayaan dalam konteks bisnis, menemukan tiga bentuk kepercayaan, yaitu kepercayaan kompetensi, kepercayaan kontraktual, dan kepercayaan niat baik.
Melihat kepercayaan yang dibangun oleh nelayan Tionghoa dengan bangliau tersebut termasuk kedalam bentuk kepercayaan kompetensi dimana bentuk
kepercayaan ini menunjuk pada keyakinan bahwa mitra dalam bekerja akan memperlihatkan kewajiban mereka berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang
mereka miliki.
4.4.2 Jaringan