Nelayan Sebagai Pekerjaan Warisan Keturunan

56 Bagansiapiapi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor masih bertahannya beberapa Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi menjadi nelayan karena pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan pertama Etnis mereka yang datang ke Bagansiapiapi dan telah menjadi sebuah pekerjaan warisan turunan. Adapula faktor lain yang menjadikan Etnis Tionghoa ini tetap menjadi nelayan, yaitu karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki, dan juga karena susahnya atau tidak fasihnya mereka dalam berbahasa Indonesia.

4.3.1 Nelayan Sebagai Pekerjaan Warisan Keturunan

Nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi sudah ada sejak zaman dahulu, tak ada yang bisa menyebutkan dengan pasti tahun berapa nelayan Tionghoa mulai memasuki perairan Riau khususnya di Bagansiapiapi, namun sejak akhir abad ke 19, keberadaan Bagansiapiapi sudah dikenal sebagai penghasil dan pemasok ikan terbesar di Indonesia saat telah banyak pendatang Orang Tionghoa dari Tiongkok yang bekerja sebagai nelayan. Jika ditelaah lagi kebelakang, masuknya nelayanTionghoa dapat diliht dari sejarah terbentuknya kota Bagansiapiapi, yaitu saat sekolompok orang Tionghoa dari Fujian-China yang terdampar di perairan Bagansiapiapi. Mereka melihat adanya peluang yang besar untuk melanjutkan hidup dari banyaknya hasil laut yang bisa didapatkan di perairan Bagansiapiapi ini. Oleh sebab itulah banyak Orang Tionghoa yang kemudian pergi melaut untuk mencari ikan, udang, kepiting, tiram dan hasil laut lainnya. Setelah beberapa lama dan mereka merasa mampu untuk melanjutkan hidupnya di daerah Bagansiapiapi ini Universitas Sumatera Utara 57 mulailah Orang Tionghoa ini mengajak sanak dan famili mereka yang tinggal di Fujian-China untuk datang dan tinggal di Bagansiapiapi hingga sampai saat ini. Menurut Shanty, 2008 ada beberapa versi mengenai awal kedatangan Orang- Orang Cina di Bagansiapiapi. Potensi perikanan merupakan daya tarik satu-satunya kedatangan mereka. Menurut Van Kampen mereka sudah ada di Bagansiapiapi sejak 1860. Versi lain mengenai pendatang awal Cina ke Bagansiapiapi adalah pada tahun 1875 saat sejumlah bajak laut tiba di Bagansiapiapi. Karena kekayaan ikan yang berlimpah didaerah ini mereka memutuskan untuk menetap dan menjadi nelayan. Para nelayan Tionghoa ini membangun rumah mereka sendiri diatas tanah yang tak bertuan karena pada zaman dahulu belum ada kepemilikan tanah secara resmi. Sampai saat ini banyak nelayan Tionghoa yang tinggal di sepanjang jalan menuju pelabuhan nelayan. Tak sedikit pula rumah yang mereka tempati sekarang adalah rumah peninggalan orang tua mereka yang dahulunya juga bekerja sebagai nelayan. Nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi ini tidak tinggal dalam satu kawasan, melainkan tinggal terpencar-pencar di beda kelurahan, hal ini terjadi karena pada zaman dahulu orang Tionghoa yang datang ke Bagansiapiapi juga tinggal terpencar- pencar. Seperti yang dikatakan oleh salah satu nelayan Tionghoa, yaitu Bapak Effandi “Saya sudah tinggal disini selama 48 tahun, yaitu sejak saya lahir. Ayah saya dulunya adalah seorang nelayan juga, orang tua saya menjadi nelayan juga karena orang tua yaitu kakek saya. Karena kan dulunya Orang Tionghoa yang datang kesini Bagansiapiapi itu kebanyakan langsung bekerja sebagai Universitas Sumatera Utara 58 nelayan dan langsung membangun rumah di sekitar pantai dan pelabuhan dekat sini, termasuk juga orang tua saya yang akhirnya juga mengajak saya melaut hingga saat ini saya meneruskan pekerjaan nelayan orang tua saya” Hal serupa juga dengan apa yang dikatakan oleh nelayan Tionghoa lainnya, yaitu Pak Lamde : “Awalnya nelayan Tionghoa ini kan juga dari para leluhur yang pertama kali datang ke Bagansiapiapi ini, mereka menjadi nelayan karena banyaknya hasil laut yang bisa diperoleh kemudian menetap dan tinggal disini, bangun rumah disini juga, rumah yang saya tempati sekarang ini pun merupakan warisan dari orang tua saya yang dulu juga nelayan, sejak kecilpun saya sudah diajarkan dan diajak melaut oleh orang tua saya, makanya sampai sekarang saya kerjanya nelayan saja.” Seperti apa yang dikatakan oleh kedua informan yaitu Pak Effandi dan Pak Lamde bahwasanya nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi ini sudah ada sejak lama, hal itu terbukti dengan adanya kakek dan leluhur mereka yang pertama kali datang ke Bagansiapiapi juga bekerja menjadi nelayan karena memang hasil laut yang menjanjikan di Bagansiapiapi ini. Oleh sebab itu pulalah kakek dan leluhur mereka yang nelayan mengajak dan mengajarkan tentang melaut kepada orang tua mereka yang pada akhirnya orang tua mereka pun mengajarkan kepada mereka segala hal tentang melaut yang menjadikan mereka hingga saat ini bekerja sebagai nelayan. Banyaknya Nelayan Tionghoa pada zaman dahulu tak terlepas dari sejarah keberadaan nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi ini, yaitu karena memang Orang Tionghoa yang pertama kali menginjakkan kakinya di Bagansiapiapi ini memilih menjadi nelayan karena hasil laut Bagansiapiapi yang melimpah. Namun seiring perkembangan zaman, hasil tangkapan ikan di Bagansiapiapi ini tidaklah banyak Universitas Sumatera Utara 59 seperti dulu. Jika dahulu mereka menjadi nelayan karena memang Bagansiapiapi dikenal sebagai daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia, saat ini ada faktor lain yang membuat beberapa Orang Tionghoa tetap memilih bekerja menjadi nelayan, salah satunya adalah karena faktor warisan ataupun turunan dari orang tua para nelayan Tionghoa ini dimana dahulu mereka diajak dan diajarkan melaut oleh orang tua mereka, bahkan sejak mereka masih berusia dibawah umur mereka sudah pergi kelaut bersama dengan orang tua mereka karena orang tua mereka dahulupun seperti itu, diajar dan diajak melaut oleh kakek mereka yang juga seorang nelayan, seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Cingkiong : “Saya pergi ke laut sudah dari kecil, makanya sampai sekarangpun saya tetap jadi nelayan. Awalnya saya diajak oleh orang tua yang juga memang nelayan, dari pada main-main tidak jelas, tidak ada kegiatan, sekolah juga tidak, lebih baik ikut bantu orang tua pergi ke laut, jadi bisa menambah pendapat orang tua juga. Sampai saat inipun rasanya sudah tidak mau mencari pekerjaan lain, jadi nelayan saja sudah cukup, hitung-hitung juga mengingat perjuangan kakek dan orang tua dulu.” Hal serupa juga diungkapkan oleh informan lain, yaitu Pak A Hok : “Dari kecil lagi saya sudah diajak melaut sama Bapak saya, kata Bapak saya saat itu pekerjaan yang menghasilkan dan menguntungkan adalah menjadi nelayan karena memang pada saat itu hasil laut sangat melimpah ruah dan melaut itu tidak akan pernah mati karena hewan di laut yang bisa ditangkap tidak akan pernah habis. Kata-kata orang tua saya itulah yang membuat saya bertekad untuk terus menjalani pekerjaan yang telah diwarisi oleh orang tua saya, yaitu menjadi nelayan, karena akan terus ada hasil yang bisa diperoleh dari melaut. ” Dari pernyataan kedua informan diatas dapat dilihat bahwa memang mereka menjadi nelayan karena adanya faktor warisan atau turunan dari orang tua bahkan dari kakek dan leluhur mereka yang sejak pertama kali menginjakkan kaki di Bagansiapiapi memilih bekerja menjadi nelayan yang memang pada masa itu sangat Universitas Sumatera Utara 60 menjanjikan bagi perekonomian mereka sehingga mereka orang tua,kakek dan leluhur mengajak dan mengajarkan kepada keturunannya untuk melaut. Hal tersebutlah yang menyebabkan sampai saat ini para nelayan Tionghoa tetap memilih bekerja menjadi nelayan melanjutkan pekerjaan yang diwarisi oleh orang tua, kakek dan leluhur mereka dengan mengingat perkataan orang tua mereka dahulu yaitu menjadi nelayan adalah pekerjaan yang tidak akan pernah mati karena ikan di laut akan selalu ada dan tidak akan pernah habis.

4.3.2 Tingkat Pendidikan yang Rendah

Dokumen yang terkait

Tradisi Rantangan Sebagai Modal Sosial di Kalangan Suku Jawa (Studi Kasus di Desa Urung Pane, Kabupaten Asahan)

2 76 89

Potensi Modal Sosial Buruh Bangunan (Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang)

1 66 120

Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa Dan Pribumi Di Komplek Puri Katelia Indah Di Kecamatan Medan Johor Kota Medan

10 119 99

Perbedaan Self-Efficacy Antara Siswa Etnis Tionghoa Dan Non Tionghoa Di SMA Mayoritas Etnis Tionghoa (Studi Kasus SMA Sutomo 1 Medan)

0 97 73

Motif Etnis Tionghoa Bekerja sebagai Pegawai Negeri Studi Kasus pada PNS dan Polisi di Sumatera Utara)

1 45 135

Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Ekonomi Lemah (Studi Deskriptif Penggunaan Dana Badan Amil Zakat, Infaq, Sedekah Lembaga Pos Keadilan Peduli Umat di Kota Medan)

1 86 63

Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Credit Union (Studi deskriptif mengenai Kopdit/CU Cinta Kasih di Pulo Brayan, Medan)

3 99 107

Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara).

5 75 211

Eksistensi Bisnis Etnis Tionghoa (Studi Deskriptif Terhadap Pedagang Etnis China Penjual Spare part Sepeda Motor di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun)

0 56 88

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

29 227 96