Jaringan Modal Sosial Pada Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi

80 menjaga kepercayaan dengan tidak berbuat curang kepada nelayan dan percaya bahwa hasil tangkapan yang dibawa oleh para nelayan Tionghoa adalah tangkapan yang bagus dan memiliki kualitas ekspor. Menurut Luhman, Sako 1992 dalam Damsar, 2011 : 203 yang melihat kepercayaan dalam konteks bisnis, menemukan tiga bentuk kepercayaan, yaitu kepercayaan kompetensi, kepercayaan kontraktual, dan kepercayaan niat baik. Melihat kepercayaan yang dibangun oleh nelayan Tionghoa dengan bangliau tersebut termasuk kedalam bentuk kepercayaan kompetensi dimana bentuk kepercayaan ini menunjuk pada keyakinan bahwa mitra dalam bekerja akan memperlihatkan kewajiban mereka berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang mereka miliki.

4.4.2 Jaringan

Untuk dapat mewujudkan sesuatu dan berbagai hal dalam kehidupan seringkali orang memilih melewatkan sistem formal dan lebih memilih untuk berbicara dengan orang yang dikenalnya. Meminta bantuan kepada teman, kerabat ataupun orang yang dipercaya jauh lebih mudah dan praktis ketimbang dari pada harus berurusan dengan birokrasi dan memang cara ini lebih cepat membuahkan hasil. Sebagai makhluk sosial tentunya manusia selalu ingin melakukan interaksi dengan orang lain dalam membentuk subuah hubungan sosial yang nantinya bisa menjadi suatu jaringan jika hubungan sosial tersebut terjadi terus menerus. Jaringan terbentuk tidaklah terbentuk begitu saja, namun melalui proses terlebih dahulu yaitu membangun hubungan berdasarkan kepercayaan. Universitas Sumatera Utara 81 Jaringan yang dimiliki orang benar-benar penting seperti yang diungkapkan sebuah Pameo, yang penting bukanlah apa yang kamu ketahui namun siapa yang kamu kenal. Artinya, apa dan siapa yang anda kenal dan ketahuilah yang bermanfaat. Namun dengan mengenal orang saja tidaklah cukup karena mereka belum tentu merasa harus membantu anda. Jika orang ingin membantu sesamanya mereka perlu merasa senang melakukannya yang berarti bahwa mereka perlu merasa bahwa mereka memiliki kesamaan satu sama lain. Jika memiliki kesamaan nilai, mereka lebih cenderung bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama. Selanjutnya jaringan yang dimiliki orang seharusnya dipandang sebagai bagian dari hubungan dan norma yang lebih luas yang memungkinkan orang mencapai tujuan- tujuan mereka John Field, 2011 : 3. Memiliki jaringan sangatlah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari apalagi dalam bekerja sebagai nelayan, baik itu nelayan Tionghoa maupun nelayan pribumi haruslah memiliki jaringan yang baik dengan sesamanya dan dengan masyarakat karena, hal tersebut dapat membantu dalam hal melaut dan juga dalam menjual hasil tangkapan. Jaringan yang tererdapat pada nelayan berawal dari adanya kepercayaan antara sesama nelayan baik itu nelayan Tionghoa maupun nelayan pribumi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal tersebutpun sesuai dengan apa yang dituturkan oleh nelayan Tionghoa, yaitu Bapak Awi : “Dalam bekerja sebagai nelayan, tentunya saya harus memiliki relasi ataupun jaringan, jaringan yang saya bangun terutama itu tentunya dengan sesama nelayan, tidak hanya nelayan Tionghoa saja tapi juga dengan nelayan pribumi, kemudian juga dengan bangliau tempat saya menjual hasil tangkapan, serta juga dengan masyarakat ataupun tetangga-tetangga saya yang tidak jarang Universitas Sumatera Utara 82 memesan ikan ataupun udang kepada saya. Hal ini penting bagi saya karena dapat menguntungkan saya dan menambah penghasilan saya sebagai nelayan. Jaringan yang saya punya ini berawal dari adanya rasa saling percaya antara saya dengan sesama nelayan, dengan bangliau, dan juga dengan masyarakat yang bukan nelayan”. Hal lainnya juga diungkapkan oleh Bapak Bumbing : “Dari saya masih jadi buruh nelayan sampai sekarang bisa memiliki kapal sendiri untuk melaut itu juga salah satunya karena saya memiliki jaringan dengan nelayan lainnya, dengan bangliau dan juga dengan masyarakat yang bukan nelayan. Jaringan ini bermula dari adanya hubungan kepercayaan, jaringan itu juga penting dalam bekerja sebagai nelayan karena dengan banyaknya kita kenal orang, kita tidak susah dalam mencari taukeh ataupun anak buah, begitu juga dengan bangliau karena kita bisa terus memantau harga jual”. Dari pemaparan kedua informan diatas, terlihat jelas bahwa memang jaringan merupakan instrumen penting dan diperlukan dalam menjalani pekerjaan sebagai nelayan. Para nelayan Tionghoa dapat dengan mudah mencari taukeh untuk bekerja ataupun mencari anak buah yang mau ikut bekerja sama dalam melaut, begitu pula dalam memantau harga jual ikan, udang dan lainnya. Jaringan ini juga dapat menguntungkan nelayan dalam hal penjualan karena bisa menjual hasil tangkapan kepada tetangga dan masyarakat yang bukan nelayan, dan tak jarang pula tetangga mereka membawa kerabat dan temannya untuk membeli ikan dan udang. Disini peneliti melihat ada beberapa jaringan yang dibangun antara nelayan Tionghoa dengan sesama nelayan Tionghoa dan juga nelayan pribumi, nelayan Tionghoa dengan bangliau, serta nelayan Tionghoa dengan masyarakat yang bukan nelayan. Universitas Sumatera Utara 83

4.4.2.1 Jaringan Dengan Sesama Nelayan

Cohen dan Prusak L dalam dalam Hasbullah,2006:77 dalam jurnal Ichsan Pramatya,2011:25 menjelaskanmodal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust rasa saling mempercayai, keimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. Selain kepercayaan, elemen lain dalam sebuah modal sosial yang dimiliki nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi ini dalam melaut adalah sebuah jaringan. Jaringan diperlukan dalam mencari orang atau anak buah untuk ikut bekerjasama dalam melaut dengan taukeh atau bahkan mencari taukeh yang bisa memberikan pekerjaan. Nelayan Tionghoa memerlukan dan membutuhkan orang lain sebagai sarana perantara seperti salah satu fungsi dari tingkatan jaringan sosial mikro yaitu sebagai jembatan dan sebagai pelicin. Dimana sebagai sebuah jembatan, jaringan sosial mikro dapat memudahkan hubungan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, yaitu antara nelayan sebagai taukeh dengan nelayan sebagai buruh. Sedangkan sebagai pelicin, jaringan sosial yang terbentuk diantara nelayan baik itu nelayan Tionghoa ataupun nelayan pribumi memberikan kemudahan untuk mengkases berbagai macam barang atau sumber daya langka seperti informasi yang bisa memberikan informasi mengenai pekerjaan sebagai nelayan. Kerjasama ini nantinya diharapkan dapat membawa keuntungan bagi kedua belah pihak yang terkait. Universitas Sumatera Utara 84 Tak jarang pula berbekal dari adanya rasa saling percaya satu sama lain tersebut, banyak dari mereka Nelayan Tionghoa yang mendapatkan pekerjaan dari hasil tanya-tanya kepada teman, kerabat ataupun orang yang dipercayai, begitu pula sebaliknya seorang taukeh yang mencari anak buah atau orang yang mau bekerja sama dengannya dengan cara meminta bantuan kepada anak buahnya, kerabat, ataupun kawannya sesama nelayan Tionghoa. Seperti yang dikatakan oleh Pak Awi : “Dalam mencari anak buah yang mau bekerja dengan saya biasanya saya minta tolong sama saudara ataupun anak buah saya yang lain nanti mereka yang bawakan orang yang mau kerja itu, kadangpun ada juga orangnya yang datang sendiri karena dengar-dengar dari kawan dan kerabat” Hal serupa juga diungkapkan oleh nelayan yang bekerja kepada orang lain yaitu Pak A Hok : “Saya dulu melaut ikut sama Bapak saya, tapi sekarang saya ikut sama kawan yang Orang Tionghoa juga. Saya tahu taukeh yang sekarang ini dari kawan saya yang juga buruh nelayan, akhirnya saya temui taukeh itu untuk ikut melaut sama dia” Dari penjelasan kedua nelayan Tionghoa diatas yang mana satu merupakan taukeh dan satu lagi merupakan buruh nelayan jelas terlihat bahwa jaringan sosial itu sangat berperan penting dalam bekerja, dimana jaringan yang ada pada nelayan tersebut yang merupakan jaringan sosial mikro sebagai pelicin dan sebagai jembatan yang memberikan kemudahan akses dalam mencari pekerjaan dan mencari orang yang ingin bekerja sama dalam melaut. Dari adanya jaringan tersebut yang di dalamnya terdapat hubungan timbal balik antara nelayan Tionghoa dengan sesama Universitas Sumatera Utara 85 nelayan, nelayan Tionghoa dengan kerabat dan juga nelayan Tionghoa dengan masyarakat, maka akan terjalin pula suatu hubungan kerjasama yang akan saling menguntungkan diantara kedua belah pihak. Tak hanya dalam mencari anak buah ataupun taukeh, jaringan sosial lain yang ada pada nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi ini adalah dalam pembuatan jaring untuk menangkap ikan. Tak sedikit istri dari nelayan Tionghoa ini yang pandai membuat jaring dan kemudian menjualnya kepada nelayan lain baik itu nelayan Tionghoa ataupun nelayan pribumi. Nelayan Tionghoa ataupun nelayan pribumi akan saling berbagi informasi mengenai istri nelayan yang pandai membuat jaring agar pada saat ada nelayan yang ingin menempah jaring tidak susah lagi untuk mencari kesana kesini. Tak ada cara khusus yang diakui istri nelayan yang pandai membuat jaring ini dalam menjual jaring buatannya, cukup dengan nelayan-nelayan lain yang memang sudah tahu saja karena biasanya mereka ini yang akan memberitahu kepada nelayan lain baik itu nelayan Tionghoa ataupun nelayan pribumi. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Efandi Hok-Lua : “Istri saya pandai membuat jaring, makanya banyak juga kawan-kawan saya sesama nelayan yang memesan jaring untuk melaut dengan saya yang kemudian dikerjakan oleh istri saya, kadangpun kalau tidak melaut saya bantu istri membuat jaring. Nanti nelayan yang lainpun membaritahu nelayan yang lain bahwa istri saya bisa buat jaring hal itu yang terkadang membuat istri saya banyak membuat jaring. Dari penjelasan Pak Efandi terlihat bahwa nelayan Tionghoa ini akan saling memberi informasi kepada nelayan lainnya jika ada istri nelayan yang pandai Universitas Sumatera Utara 86 membuat jaring untuk melaut. Selain itu jaringan lain yang dibangun para nelayan Tionghoa adalah selalu berbagi informasi mengenai harga jual hasil tangkapan di bangliau, karena bangliau di Bagansiapaiapi ini tidak hanya satu, oleh sebab itulah nelayan Tioghoa harus saling berbagi informasi dengan nelayan lainnya karena terkadang terdapat perbedaan harga jual antara bangliau yang satu dengan yang lainnya. Seperti apa yang dikatakan oleh nelayan Tionghoa yaitu Bapak Cingkiong : “Memang ada beberapa bangliau yang mematok harga yang berberda walaupun tidak terlalu jauh berbeda, namun kita sebagai nelayan ini tentunya ingin harga jual yang sedikit lebih tinggi supaya dapat keuntungan juga, jadi saya sering tanya ke teman saya yang nelayan tapi beda bangliau mengenai harga jual hasil tangkapan. Selain itu juga saya kenal beberapa orang yang memiliki bangliau, jadi saya bisa selalu pantau harga jual hasil tangkapan mana yang lebih baik yang nantinya akan saya kasi tahu juga ke nelayan lain, biar kita bisa sama-sama untung, namanya kerja jadi nelayan ini kan tidak tetap penghasilannya jadi tidak ada salahnya mencari tahu harga jual tangkapan melaut di beberapa beliau”. Hal lainnya juga diungkapkan oleh Bapak Anto : “Kita memang menjual hasil tangkapan ke bangliau, kadang ada beberapa bangliau yang memberikan harga berbeda dengan bank laiu lain, oleh karena itu kita para nelayan sering cari informasi dan bertukar informasi mengenai harga jual hasil tangakapan di bangliau. Kalau ada yang bisa memberi harga sedikit lebih tinggi kadang mau juga kita jual ke bangliau itu untuk dapat untung yang lebih juga”. Dari pernyataan pak Cingkiong dan Pak Anto diatas dapat diketahui bahwa memang para nelayan selalu berbagi informasi mengenai harga jual hasil tangkapan diberbagai bangliau, jika ada bangliau yang mematok harga sedikit lebih tinggi maka nelayan yang satu akan memberitahu kepada nelayan yang lain, walaupun Universitas Sumatera Utara 87 terkadang ada beberapa nelayan akan tetap menjual hasil tangkapannya kepada bangliau langgananya karena tak jarang pula untuk mempertahankan nelayan yang menjual ikan kepada bangliaunya, pemilik bangliau memberikan bonus kepada nelayan. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Ahok : “Saya kan kerja ikut dengan orang, biasanya taukeh menjual hasil tangkapan kepada bangliau langganannya. Tapi sering juga ada nelayan lain yang memberitahu dan mengajak untuk menjual hasil tangkapan kepada bangliau lain karena harganya yang sedikit lebih tinggi. Tapi taukeh tak mau karena sudah kenal dekat dan juga sering dapat bonus dari bangliau tempatnya biasa menjual hasil tangkapan, lagian harga yang dipatok juga tidak terlalu jauh beda”. Hubungan antara nelayan Tionghoa dengan sesama nelayan menciptakan jaringan sosial yang berperan sebagai keuntungan bersama ,karena nelayan Tionghoa dengan sesama nelayan baik itu taukeh ataupun buruh nelayan saling bergantung satu sama lain dan saling membutuhkan. Dimana nelayan Tionghoa dan nelayan pribumi sebagai taukeh tidak akan bisa mendapatkan hasil yang maksimal tanpa dibantu oleh anak buahnya buruh nelayan, begitu pula sebaliknya buruh nelayan Tionghoa dan buruh nelayan pribumi tidak bisa memiliki pekerjaan tanpa adanya bantuan dari nelayan lainnya baik itu nelayan Tionghoa ataupun nelayan pribumi.

4.4.2.2 Jaringan Dengan Masyarakat yang Bukan Nelayan

Tidak hanya jaringan sesama nelayan saja yang dimiliki oleh nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi ini, namun mereka juga memiliki jaringan sosial dengan masyarakat lain yang bukan nelayan, hal ini juga berawal dari adanya rasa Universitas Sumatera Utara 88 kepercayaan satu sama lain dalam bermasyarakat. Bentuk jaringan yang terbangun antara nelayan Tionghoa dengan masyarakat lainnya yang bukan nelayan adalah seringnya nelayan Tionghoa menjual hasil tangkapan mereka melaut kepada tetangganya yang bukan nelayan, bahkan tak jarang pula tetangga mereka membawa orang lain ataupun memberitahukan kepada tetangga lainnya, teman dan saudaranya untuk membeli ataupun memesan ikan di nelayan Tionghoa tersebut. Dalam Sosiologi, jaringan ini termasuk kedalam tingkatan jaringan mikro yang memiliki fungsi sebagai pelicin dimana jaringan sosial memberi kemudahan masyarakat dalam mendapatkan ikan, udang dan lainnya dari nelayan yang kemudian bisa menjadi simpul bagi terbentuknya ikatan pelanggan. Kedua belah pihak akan melakukan ikatan pelanggang dengan mempertimbangkan kepercayaan yang dimiliki dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Hal ini tentunya sangat menguntung bagi nelayan Tionghoa karena bisa mendapatkan tambahan penghasilan yang nantinya bisa digunakan untuk biaya sekolah anak ataupun yang lainnya. Seperti apa yang dikatakan oleh Pak Effandi : “Sering saya mendapat pesanan ikan, udang ataupun kepiting, walaupun jumlahnya tidak banyak namun kalau sering kan menguntungkan saya juga. Kadang tetangga dekat rumah ini juga mau membawa saudaranya ataupun temannya untuk memesan dan membeli ikan kepada saya”. Hal lainnya juga dikatakan oleh Bapak Awi : “Kalau Bapak mau pergi melaut, kadang tetangga datang kerumah untuk minta diabawakan ikan, udang ataupun kepiting dan Bapak selalu Universitas Sumatera Utara 89 membawakan pesanan mereka. Pernah juga mereka datang membawa kerabatnya yang sampai sekarang kerabatnya itu juga memesan dan membeli ikan ke Bapak”. Dari kedua pernyataan nelayan Tionghoa diatas dapat kita lihat bahwa memang nelayan ini tetap menjaga dan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain yaitu dengan membawakan pesanan ikan, udang ataupun kepiting dari tetangganya ataupun orang lain, hal ini mereka lakukan juga untuk menjaga jaringan sosial yang terbentuk dari menjual hasil tangkapannya tersebut dengan masyarakat lain yang bukan nelayan.

4.4.2.3 Jaringan Dengan Bangliau Tempat Penampungan Ikan

Jaringandengan bangliaumerupakan hubungan yang dibangun oleh para nelayan Tionghoa dengan bangliau. Jaringan yang dibangun dengan bangliau bertujuan untuk saling menguntungkan satu sama lain dalam hal penjualan hasil tangkapan melaut. Jaringan ini terbentuk dari seringnya nelayan Tionghoa berkomunikasi dan berinteraksi tidak hanya di bangliau tapi juga di luar seperti kedai kopi yang merupakan tempat para nelayan Tionghoa dan taukeh pemilik bangliau sering nongkrong guna menanyakan harga jual ikan, udang dan lainnya di pasaran. Hal inipun menjadi salah satu hal penting yang harus dimiliki oleh para nelayan, karena kepada bangliau inilah nelayan akan menjual hasil tangkapan mereka, seperti yang dilakukan oleh Pak Efandi “Bapak setiap habis melaut tidak perlu bingung mencari orang yang mau membeli hasil tangkapan Bapak, karena biasanya Bapak menjual hasil tangkapan Bapak melaut kepada bangliau, jadi kalaupun ada resiko pasar Universitas Sumatera Utara 90 seperti tidak laku itu menjadi tanggungan bangliau dan tidak merugikan Bapak.” Terlihat jelas bahwa memang nelayan Tionghoa ini memiliki jaringan dengan taukeh pemilik bangliau, karena sehabis pulang melaut, nelayan Tionghoa ini akan menjual hasil tangkapan mereka kepada bangliau dengan harga yang telah ditetapkan bangliau. Selain itu, tak jarang pula nelayan Etnis Tionghoa meminjam modal kepadabangliau saat tidak ada modal untuk melaut. Terdapat jaringan lain antara nelayan Tionghoa dengan bangliau yang muncul dalam bentuk hubungan timbal balikantara nelayan Tionghoa dengan bangliau, yaitu istri dari nelayan yang membantu bangliau dalam menimbang hasil tangkapan, mengopek udang, dan membantu dalam proses penjemuran ikan yang akan dibuat menjadi ikan asin. Hal tersebut senada dengan apa yang dijelaskan Shanty 2008 nelayan mendapatkan modal untuk melaut dari taukeh pemilik bangliau yang dapat digunakan untuk membeli perahu dan perlengkapan untuk melaut. Nelayan yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap bekerja pada taukeh mengoperasikan perahu dan alat tangkap milik taukeh. Pengembalian pinjaman dalam bentuk pembagian keuntungan yaitu taukeh mengambil 30 dari hasil kotor penjualan. Setelah dipotong biaya pembelian garam dan makan nelayan, maka sisanya menjadi bagian nelayan yang kemudian dibagi rata diantara nelayan. Dengan uang ini kemudian nelayan membayar pinjaman yang diperoleh dari taukeh. Sebagai imbalan atas pinjaman yang diberikan, nelayan harus menjual hasil tangkapan mereka kepada taukeh dengan harga yang telah ditetapkan oleh taukeh. Dengan begitu taukeh yang akan Universitas Sumatera Utara 91 menanggung resiko pasar dan para nelayan tidak perlu berusaha payah mencari pembeli. Seperti yang dikatakan oleh Pak A Pom : “Jika Bapak sedang tidak ada modal untuk melaut, Bapak meminjam modal kepada taukeh pemilik bang liau. Memang ada bunganya tapi tidak memberatkanlah karena bisa dicicil pembayarannya. Bayarnya juga kalau sudah dapat uang dari hasil melaut”. Hal lainnya juga di ungkapkan oleh Pak Awi : “Bapak dulunya kan melaut ikut dengan orang tua, namun setelah menabung dan ditambah sama orang tua juga akhirnya bapak bisa membeli kapal sendiri untuk melaut. Bapak membeli kapal tersebut pada taukeh pemilik bangliau tempat Bapak biasa menjual hasil tangkapan. Kadangpun kalau kekurangan modal, Bapak meminjam modal kepada bangliau, sebagai timbal baliknya ya itu, Bapak harus terus menjual hasil tangkapan kepada bangliau tersebut sampai peminjamannya lunas”. Dari penjelasan Pak A Pom dan Pak Awi di atas, dapat terlihat terjalin suatu jaringan yang berupa hubungan timbal balik antara nelayan Tionghoa dengan bangliau, yaitu nelayan mendapat pinjaman modal dari bangliau dan sebagai hubungan timbal baliknya nelayan menjual hasil tangkapan melaut mereka kepada bangliau dengan harga yang ditetapkan oleh bangliau. Selain itu jaringan juga terjalin dalam bentuk hubungan kerjasama yang terlihat dari istri nelayan Tionghoa yang mau membantu di bangliau untuk mengopek udang, menimbang hasil tangkapan nelayan, serta saat penjemuran ikan dan terasi dalam proses pembuatan ikan asin dan terasi. Salah satu alasan hal tersebut dilakukan selain menurut kepercayaan Etnis Tionghoa yang melarang wanita melaut karena akan membuat Universitas Sumatera Utara 92 sial dan tidak mendapatkan ikan yang banyak juga karena sebagai suatu cara menjaga hubungan yang baik dengan bangliau, istri-istri nelayan Tionghoa ini juga mendapat keuntungan dari membantu bang liau, yaitu mendapatkan upah. Hubungan baik ini akan tetap dijaga oleh para nelayan Tionghoa beserta istri mereka dengan bangliau karena juga dapat menjaga jaringan yang ada.

4.4.3 Nilai dan Norma yang Dimiliki Nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi

Dokumen yang terkait

Tradisi Rantangan Sebagai Modal Sosial di Kalangan Suku Jawa (Studi Kasus di Desa Urung Pane, Kabupaten Asahan)

2 76 89

Potensi Modal Sosial Buruh Bangunan (Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang)

1 66 120

Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa Dan Pribumi Di Komplek Puri Katelia Indah Di Kecamatan Medan Johor Kota Medan

10 119 99

Perbedaan Self-Efficacy Antara Siswa Etnis Tionghoa Dan Non Tionghoa Di SMA Mayoritas Etnis Tionghoa (Studi Kasus SMA Sutomo 1 Medan)

0 97 73

Motif Etnis Tionghoa Bekerja sebagai Pegawai Negeri Studi Kasus pada PNS dan Polisi di Sumatera Utara)

1 45 135

Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Ekonomi Lemah (Studi Deskriptif Penggunaan Dana Badan Amil Zakat, Infaq, Sedekah Lembaga Pos Keadilan Peduli Umat di Kota Medan)

1 86 63

Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Credit Union (Studi deskriptif mengenai Kopdit/CU Cinta Kasih di Pulo Brayan, Medan)

3 99 107

Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara).

5 75 211

Eksistensi Bisnis Etnis Tionghoa (Studi Deskriptif Terhadap Pedagang Etnis China Penjual Spare part Sepeda Motor di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun)

0 56 88

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

29 227 96