92
sial dan tidak mendapatkan ikan yang banyak juga karena sebagai suatu cara menjaga hubungan yang baik dengan bangliau, istri-istri nelayan Tionghoa ini juga
mendapat keuntungan dari membantu bang liau, yaitu mendapatkan upah. Hubungan baik ini akan tetap dijaga oleh para nelayan Tionghoa beserta istri
mereka dengan bangliau karena juga dapat menjaga jaringan yang ada.
4.4.3 Nilai dan Norma yang Dimiliki Nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi
Nilai merupakan suatu ide ataupun suatu hal yang telah lama ada dan turun temurun dianggap benar dan penting oleh masyarakat, sedangkan norma merupakan
aturan-aturan yang memiliki sangsi sosial yang ada dan berlaku dimasyarakat dan diharapkan dapat dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat guna menghindari terjadinya
perbuatan yang menyimpang. Begitu pula halnya dalam bekerja sebagai nelayan yang mencari ikan dan biota laut lainnya tentunya ada nilai dan norma yang
mengatur para nelayan agar tidak salah dalam menangkap hasil laut. Dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan, tidak ada ada aturan-aturan
khusus yang mengikat yang dibuat dan disepakati oleh nelayan baik itu nelayan Tionghoa ataupun nelayan pribumi. Karena menurut para nelayan ini dalam melaut
dan mencari nafkah tidak perlu ada peraturan-peraturan khusus karena siapa saja bisa berhak menangkap ikan selagi masih di perairan Riau. Namun, terdapat aturan
dalam membayar atau menggaji nelayan Tionghoa sebagai buruh yang ikut kerja dengan nelayan Tionghoa sebagai taukeh. Aturan membayar atau menggaji
merupakan bentuk perilaku jujur dan timbal balik dari kerjasama yang terjalin. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Ahok :
Universitas Sumatera Utara
93
“Bapak digaji oleh taukeh Bapak setelah kita pulang dan menjual hasil tangkapan di banggliau. Biasanya Bapak mendapat Rp 150.000, tak jarang
pula Bapak mendapat lebih karena Bapak jujur dalam bekerja dan tidak banyak tingkah”.
Hal lainnya pun diungkapkan oleh Bapak Bumbing :
“Dalam menggaji orang yang ikut dengan Bapak tentunya ada aturanlah, tidak boleh menggaji yang tidak sesuai dengan kerjanya. Bapak juga selalu terbuka
dan jujur dengan anggota Bapak mengenai hasil penjualan, jadi mereka juga tidak pernah berpikir Bapak menggaji mereka tidak sesuai dengan keja
mereka dan juga hasil jual tangkapan”.
Dari kedua pernyataan di atas menjelaskan bahwa dalam menggaji anggota juga harus ada aturan dan tidak boleh mengurangi gaji anggota. Harus ada
keterbukaan juga antara nelayan Tionghoa dengan anggotanya seperti pada hasil penjualan tangkapan melaut, karena dari hasil penjualan itulah nelayan Tionghoa
memberikan upah kepada anggotanya. Tidak boleh menggaji anggota kurang dari biasanya apalagi jika hasil tangkapan banyak, lain hal jika hasil tangkapan sedikit,
karena banyaknya hasil tangkapan juga mempengaruhi upah yang akan dibayarkan kepada anggota tersebut.
Jika dalam melaut sesama nelayan tidak pernah membuat peraturan yang mengikat, peraturan dalam melaut muncul dari pemerintah yang melarang para
nelayan untuk menangkap ikan lumba-lumba dan penyu yang memang banyak terdapat di pulau jemur, salah satu pulau yang tidak jauh dari Bagansiapiapi dan
merupakan daerah para nelayan dalam mencari tangkapan, sepeti yang dituturkan oleh Bapak Cingkiong berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
94
“Selama ini saya melaut, tidak pernah ada peraturan yang dibuat oleh sesama nelayan, mau itu nelayan Tionghoa ataupun nelayan kampung pribumi.
Karena semua sama saja, boleh tangkap ikan apa saja, namanya juga mencari untuk makan jadi tidak perlu ada peraturan yang mengikat. Cuma baru-baru
ini memang ada saya dengar peraturan dari pemerintah, yaitu tidak boleh tangkap ikan lumba-lumba karena itu merupakan hewan yang dilingdungi,
penyu juga kita tidak boleh tangkap, kalau kita tangkap nanti bisa kena denda”
Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Anto Cuanna : “Tak pernah adalah peraturan yang kami buat sesama nelayan ini dalam
melaut, yang ada hanya peraturan dari pemerintah, yaitu kita tidak boleh tangkap ikan lumba-lumba sama penyu kalaupun tertangkap kita harus
lepaskan lagi, karena kalau ketahuan kita tangkap ikan lumba-lumba kita bisa kena sangsi hukum, karena itu ada undang-undangnya.”
Dari penuturan Bapak Cingkiong dan Bapak Anto Cuanna di atas, dapat kita ketahui bahwasanya memang tidak pernah ada peraturan yang dibuat oleh sesama
nelayan di Bagansiapiapi ini, semua nelayan bebas untuk melaut dan menangkap ikan, karena ditakutkan jika dibuat peraturan yang ada nanti para nelayan akan
susah dalam melaut dan banyak terjadi kecurangan serta tindakan-tindakan yang dapat merugikan para nelayan. Selain itu peraturan yang ada dari pemerintah
merupakan peraturan yang memang berguna bagi kelangsungan biota laut yang dilindungi seperti lumba-lumba dan penyu. Dilarangnya menangkap ikan lumba-
lumba dan penyu memang beralasan karena kedua hewan tersebut merupakan hewan yang dilindungi dan harus dijaga kelestarian karena kedua hewan tersebut
sudah hampir punah, apalagi penyu yang diketahui membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh besar dan berkembang biak.
Universitas Sumatera Utara
95
Peraturan yang dibuat oleh pemerintah ini diikuti dan dijalankan oleh semua nelayan, tak jarang jika ikan lumba-lumba masuk kedalam jaring nelayan maka
akan dilepaskan kembali oleh nelayan begitu juga dengan penu ataupun anak penyu yang tidak sengaja terjaring maka akan dilepaskan kembali. Jika ketahuan ada
nelayan yang menangkap salah satu atau kedua hewan tersebut dan tidak melepaskannya akan dapat sanksi dan denda dari pemerintah, kecuali ikan lumba-
lumba yang terjaring memang sudah dalam keadaan mati biasanya akan dibawa pulang dan dijual oleh nelayan. Namun selama ini belum ada nelayan yang
melanggar peraturan dari pemerintah tersebut. Nilai – nilai kejujuran juga tercermin dalam menjalankan pekerjaan sebagai
nelayan, dimana nelayan jujur dalam menjual hasil tangkapannya kepada orang lain, jujur dalam bekerja kepada taukeh dan jujur dalam sistem bagi hasil. Sedangkan
nilai budaya yang ada hanyalah untuk memberikan waktu kepada nelayan agar dapat mengucapkan syukur kepada dewa atas apa yang telah diperoleh. Nilai
budaya itu berupa tidak melautnya para nelayan Tionghoa pada saat perayaan hari besar agama mereka yaitu imlek, Cap Go Meh dan ritual bakar tongkang.
Seperti yang dikatakan oleh Bapak Bumbing : “Menjadi nelayan ini tidaklah berpenghasilan tetap, jadi dalam bekerja
kejujuran itu sangat diperlukan. Sejauh ini saya bersama dengan beberapa orang yang melaut dengan saya selalu mengedepankan kejujuran agar tidak
ada salah paham, begitu juga dalam menjual hasil tangkapan harus jujur bahwasanya yang dijuala adalah tangkapan yang masih bagus untuk
dikonsumsi”.
Begitu juga yang dikatakan oleh nelayan Tionghoa lain yaitu Bapak Lamde :
Universitas Sumatera Utara
96
“Dalam bekerja sama kejujuran itu penting, makanya kalau sudah nimbang hasil tangkapan lihat dan perhatikan begitu juga saat pembagian hasil agar
sama rata dan sesuai penghasilan dengan hasil tangkapan. Kita akan libur untuk sembahyang sembari mengucap syukur kepada dewa saat imlek, Cap
Go Meh dan ritual bakar tongkang”.
Benar apa yang dikatakan oleh kedua informan diatas bahwasanya menjalin dan menjaga kepercayaan itu berawal dari kejujuran. Jika sama-sama jujur dalam
bekerja maka akan terhindar dari kesalahpahaman yang dapat memecah dan membuat buruk suasana dan kehidupan bersosial. Tak lupa pula kiranya nelayan
Etnis Tionghoa ini untuk selalu bersyukur kepada Dewa yang telah membukakan pintu rejeki mereka, hal itu terlihat dari tidak akan pergi melautnya nelayan
Tionghoa saat perayaan imlek, cap gomeh dan ritual bakar tongkang, dimana mereka akan pergi ke vihara atau klenteng untuk sembahyang, serta ikut dalam
upacara bakar tongkar yang merupakan perwujudan ucapan terimakasih mereka.
Universitas Sumatera Utara
97
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan