60
menjanjikan bagi perekonomian mereka sehingga mereka orang tua,kakek dan leluhur mengajak dan mengajarkan kepada keturunannya untuk melaut. Hal
tersebutlah yang menyebabkan sampai saat ini para nelayan Tionghoa tetap memilih bekerja menjadi nelayan melanjutkan pekerjaan yang diwarisi oleh orang
tua, kakek dan leluhur mereka dengan mengingat perkataan orang tua mereka dahulu yaitu menjadi nelayan adalah pekerjaan yang tidak akan pernah mati karena
ikan di laut akan selalu ada dan tidak akan pernah habis.
4.3.2 Tingkat Pendidikan yang Rendah
Tidak hanya satu faktor yang menyebabkan beberapa Orang Tionghoa di Bagansiapiapi memilih bekerja sebagai nelayan, tetapi juga ada faktor lainnya selain
karena pekerjaan sebagai nelayan itu merupakan pekerjaan warisan dari orang tua yaitu karena rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh Orang Tionghoa di
Bagansiaiapi. Tidak banyak Orang Tionghoa di Bagansiapiapi pada zaman dahulu yang memiliki pendidikan yang tinggi dikarenakan masih kurangnya sekolah dan
tenaga pengajar. Selain itu pada zaman dahulu sangat sulit untuk mereka Orang Tionghoa bisa bersekolah karena Etnis mereka dipandang sebagai minoritas dan
kurang diterima oleh masyarakat, oleh karena itu banyak dari mereka Orang Tionghoa di Bagansiapiapi memilih untuk tidak bersekolah dan pergi melaut ikut
dengan orang tua. Hal lainnya yang membuat rendahnya pendidikan Orang Tionghoa adalah adanya persepsi dari orang tua dan leluhur mereka yang
beranggapan bahwa tidak bersekolahpun tidak apa-apa selagi masih banyak ikan dilaut yang bisa ditangkap dan dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Universitas Sumatera Utara
61
Selain itu yang membuat mereka memilih menjadi nelayan adalah kerena tidak memiliki keahlian dan kemampuan lain selain melaut dan menangkap ikan.
Hal tersebut dikarenakan mereka tidak pernah mengenyam pendidikan yang tinggi dan kebanyakan dari mereka tidak bersekolah, jikapun ada yang sekolah
kebanyakan tidak sampai tamat sekolah dasar dan palingan hanya sampai kelas 2 atau kelas 5 saja dan kemudian banyak dari mereka yang memilih berhenti dan tidak
lagi melanjutkan sekolahnya dikarenakan orang tua yang selalu mengajak mereka untuk melaut.
Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Joni A Pom “Saya tidak pernah punya kesempatan untuk bersekolah, karena sejak kecil
yaitu umur sembilan tahun saya sudah diajak melaut sama orang tua jadi tidak ada waktu untuk bisa sekolah makanya saya juga tidak ada keahlian lain. lagi
pula pada zaman dahulu orang-orang masih menganggap pendidikan itu tidak begitu penting karena tanpa pendidikan yang tinggipun masih bisa dapat uang
dari melaut”
Dari penjelasan Bapak Joni A Pom diatas terlihat memang pemikiran orang dahulu memang sangatlah berbeda dengan orang-orang sekarang ini, jika sekarang
kita menganggap pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk kelangsungan hidup sangatlah berbeda dengan orang dahulu yang menganggap pendidikan itu
tidak penting, karena mereka merasa tanpa pendidikan yang tinggipun mereka masih bisa tetap hidup dan bekerja, yaitu sebagai nelayan yang memang dulu sangat
menjanjikan. Namun dewasa ini, menjadi nelayan bukanlah lagi hal yang menjanjikan, karena selain penghasilan yang didapat tidak tentu, stigma yang ada
dimasyarakatpun memandang bahwa nelayan itu merupakan pekerjaan orang-orang yang ekonominya menengah kebawah.
Universitas Sumatera Utara
62
Penghasilan menjadi nelayan memang tidaklah tetap, bisa sangat banyak, bisa juga sedikit. Namun hal tersebut tidak menjadi hambatan bagi beberapa nelayan
yang sampai saat ini masih bertahan menjadi nelayan, karena tidak sedikit pula nelayan yang banting setir mencari pekerjaan lain seperti berjualan atau membuka
kedai kopi. Apalagi saat ini posisi sebagai penghasil ikan terbesar di Indonesia sudah tidak lagi di pegang oleh Kabupaten Rohil. Seperti yang diungkapkan oleh
nelayan Tionghoa yang tetap memilih menjadi nelayan karena memang tidak ada pilihan pekerjaan lain, yaitu Bapak Bumbing :
“Saya tetap memilih bekerja sebagai nelayan karena saya merasa kebutuhan saya bersama keluarga bisa terpenuhi walaupun kadang-kadang merasa
kurang juga. Tapi mau bagaimana lagi, sudah tidak ada pilihan lain. Sekolah saya cuma sampai SD, keahlian lain saya tidak punya selain melaut, mau buka
kedai kopi seperti yang lainnya sudah terlalu banyak yang seperti itu, jadi ya lebih baik saya tetap menjadi nelayan. Lagian saat ini saya sudah punya kapal
sendiri, tidak seperti dulu yang hanya ikut dengan orang. Intinya kalau mau bersabar, berusaha dan tidak pantang menyerah pasti bisa berhasil. Saya juga
butuh perjuangan yang luar biasa sampai akhirnya bisa seperti sekarang ini.” Hal serupa juga dikatakan oleh nelayan Tionghoa lainnya yaitu Bapak Lamde
: ”Tidak ada pekerjaan lain yang bisa saya lakukan selain menjadi nelayan.
Sekolah saja hanya sampai kelas 2 SD, setelah itu tidak sekolah lagi dan ikut orang tua melaut saja. Bagaimana mau cari pekerjaan lain, apalagi kan
sekarang ini cari pekerjaan itu susah, harus ada ijazah inilah, itulah, juga harus ada keahlian dibidang tertentu. Saya saja untuk berbahasa Indonesia tidaklah
lancar dan tidak fasih karena tidak sekolah itu, jadi bagaimana bisa mencari pekerjaan lain, makanya mau tidak mau pilihannya hanya menjadi nelayan
saja.” Dari kedua pernyataan diatas tersebut memang terlihat bahwa faktor lain yang
menyebabkan nelayan Tionghoa tetap memilih bekerja sebagai nelayan selain karena faktor turunan dari orang tua juga karena mereka tidak memiliki kemampuan
dan keahlian dibidang lain selain melaut yang dikarenakan rendahnya latar belakang
Universitas Sumatera Utara
63
pendidikan mereka yang pada akhirnya menyebabkan tertutupnya pemikiran mereka untuk dapat melihat peluang lain dalam memilih pekerjaan.
4.3.3 Kurang Fasihnya Berbahasa Indonesia