Pengaruh Kompetensi Petugas Imunisasi Terhadap Pelayanan Imunisasi Tetanus Toxoid Pada Wanita Usia Subur (WUS) Di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(1)

PENGARUH KOMPETENSI PETUGAS IMUNISASI TERHADAP PELAYANAN IMUNISASI TETANUS TOXOID PADA WANITA

USIA SUBUR (WUS) DI KABUPATEN ACEH BARAT PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

T E S I S

Oleh M A R Y O N O 087033033/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH KOMPETENSI PETUGAS IMUNISASI TERHADAP PELAYANAN IMUNISASI TETANUS TOXOID PADA WANITA

USIA SUBUR (WUS) DI KABUPATEN ACEH BARAT PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh M A R Y O N O 087033033/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PERNYATAAN

PENGARUH KOMPETENSI PETUGAS IMUNISASI TERHADAP PELAYANAN IMUNISASI TETANUS TOXOID PADA WANITA

USIA SUBUR (WUS) DI KABUPATEN ACEH BARAT PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

T E S I S

Oleh M A R Y O N O 087033033/IKM

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, September 2010

MARYONO 087033033/IKM


(4)

Judul Tesis : PENGARUH KOMPETENSI PETUGAS IMUNISASI TERHADAP PELAYANAN

IMUNISASI TETANUS TOXOID PADA WANITA USIA SUBUR DI KABUPATEN ACEH BARAT PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Nama Mahasiswa : Maryono

Nomor Induk Mahasiswa : 087033033

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui, Komisi Pembimbing :

(Dr. Yeni Absah, S.E, M.Si) Ketua

(dr. Muhammad Rusda, Sp.OG (K)) Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 26 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Yeni Absah, S.E, M.Si

Anggota : 1. dr. Muhammad Rusda, Sp.OG (K)

2. Prof. dr. H. Delfi Lutan, M.Sc, Sp.OG (K) 3. Asfriyati, S.K.M, M.Kes


(6)

ABSTRAK

Pelayanan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) merupakan salah satu upaya preventif yang bertujuan untuk meningkatkan kekebalan tubuh WUS dan mencegah terjadinya tetanus neonatorum pada bayi. Cakupan pelaksanaan pelayanan imunisasi TT secara keseluruhan di Indonesia masih sangat rendah dari target yang diharapkan, termasuk di Kabupaten Aceh Barat yang hanya mencapai 15,8 % pada tahun 2009 dari target nasional 80 %, hal ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor kompetensi petugas imunisasi di puskesmas.

Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan pendekatan explanatory research yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh kompetensi petugas imunisasi terhadap pelayanan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2010. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas imunisasi yang ada di puskesmas dalam Kabupaten Aceh Barat dan sekaligus menjadi sampel penelitian yang berjumlah sebanyak 69 orang. Pengumpulan data meliputi data primer yang diperoleh melalui penyebaran kuesioner dan observasi langsung kepada seluruh responden, serta data sekunder melalui pencatatan dari dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan uji regresi logistik berganda pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel pengetahuan, sikap, dan keterampilan mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) oleh petugas imunisasi di Kabupaten Aceh Barat, dan variabel keterampilan merupakan variabel paling dominan berpengaruh terhadap pelaksanaan imunisasi tetanus toxoid (TT).

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat, agar merumuskan kebijakan tentang upaya peningkatan kompetensi petugas imunisasi di puskesmas, dan kepada kepala puskesmas agar melakukan upaya yang lebih operasional dalam meningkatkan keterampilan bagi petugas imunisasi di puskesmas dan kepada petugas imunisasi puskesmas agar lebih meningkatkan kemampuan dan keterampilan didalam memberikan pelayanan imunisasi.


(7)

ABSTRACT

Tetanus Toxoid (TT) immunization service for the women in productive age is one of the preventive attempts intended to increase the body immunity of such the women age and to prevent the incident of Tetanus of Neonatal in the newly born babies. The coverage of TT immunization service implementation that is provided in Indonesia in wholle still noted too low and far from expected, such condition is found on Aceh Barat District, it achieved only 15.8% in 2009 of national target of 80% rate. This condition occurred was influenced by competency factor of the person who is in charge of immunization provision on the Health Center.

The objective of this study was to analyze the influence of the competency of the person in charge of immunization on the TT immunization service unit for the women in productive age in Aceh Barat District, Nanggroe Aceh Darussalam Province in 2010. This study adopted survey explanatory. The population of this study were all of the 69 persons in charge of immunization at the Health Center in Aceh Barat District and all of them were selected to be the samples. The primary data for this study were obtained through interview and observation and the secondary data were obtained through note taking from documentation study. The data obtained were analyzed by using multiple logistic regression tests at the level of confidence of 95%.

The result of the research showed that the variables of knowledge, attitude, and skill, had influence on the immunization given with Tetanus Toxoid (TT) on productive age women by the persons in charge of immunization in Aceh Barat District. The variable of skill had dominant influence on the immunization implementation with tetanus toxoid (TT).

It is suggested to Aceh Barat District Health office to formulate the policy on the attempt to increase the competency of the persons in charge of immunization at the Health Center. The Head of Health Center should do more operational attempt in increasing the skill of the staff of the center and the persons of charge of immunization at the Public Center to increase their skill in immunization service provision.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya penulis telah dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Kompetensi Petugas Imunisasi terhadap Pelayanan Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada Wanita Usia Subur (WUS) di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2010”.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A (K).

Selanjutnya kepada Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara merangkap sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan juga kepada Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, serta kepada Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku Sekretaris Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Yeni Absah, S.E, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan dr. Muhammad Rusda, Sp.OG (K) selaku anggota komisi pembimbing, dan kepada Prof. dr. H. Delfi Lutan, M.Sc, Sp.OG (K) dan Asfriyati, S.K.M, M.Kes selaku komisi pembanding yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.

Terima kasih kepada Direktur Politeknik Kesehatan Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Nanggroe Aceh Darussalam serta Ketua Program Studi Keperawatan dan Kebidanan Meulaboh yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat dan Seluruh Kepala Puskesmas serta petugas imunisasi dalam Kabupaten Aceh Barat yang telah memberi kesempatan dan dukungan serta bantuan selama proses penelitian Terima kasih juga kepada seluruh dosen pengajar dan staf pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara.

Rasa bangga dan terima kasih kepada keluarga tercinta Ayahanda (Alm) Sajadi, dan Ibunda tercinta Sumi yang telah mendidik sejak kecil serta keluarga besar mertua Ayahanda (Alm) Tgk. M. Yunus dan Ibunda (Alm) Nurhayati yang diiringi


(10)

dengan do’a restunya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan tepat pada waktunya.

Teristimewa buat isteri tercinta Dahniar dan Ananda tersayang; Yuli Sumarni, Muhammad Teguh Siswono, Muhammad Rizky Febriansyah dan Muhammad Raafi Al Malikul Mulki, serta keluarga besar Adinda Sugeng Supriadi yang telah mengizinkan, memberi motivasi dan dukungan serta do’a kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Selanjutnya ucapan terima kasih teristimewa buat rekan-rekan mahasiswa PKIP Angkatan 2008 yang telah bekerjasama dan banyak membantu selama proses perkuliahan, dan juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu penulis dan masih bersedia untuk dapat berkonsultasi dalam penyusunan tesis ini dan semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan tesis ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dan semoga bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

Medan, September 2010


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Maryono yang dilahirkan pada tanggal tiga Januari tahun seribu sembilan ratus enam puluh delapan, merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis sudah menikah dengan Dahniar dan sudah dikaruniai empat orang anak.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar di SD Negeri Krueng Buloh Cut 1 Tahun 1982, menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri Simpang Peuet Tahun 1985, kemudian menamatkan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Departemen Kesehatan Republik Indonesia Meulaboh Tahun 1988, dan menamatkan Akademi Keperawatan (AKPER) Program Keguruan Padjajaran Bandung Tahun 1996, kemudian menamatkan Sarjana Keperawatan (S-1) di Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2001, dan Tahun 2002 menamatkan Program Pendidikan Ners. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sampai dengan sekarang.

Penulis memulai karir sebagai Pegawai Negeri Sipil di SPK Depkes Meulaboh Tahun1989 – 1996, kemudian menjadi Dosen tetap di Program Studi Keperawatan dan Kebidanan Meulaboh di Politeknik Kesehatan Nanggroe Aceh Darussalam Kementerian Kesehatan RI sejak Tahun 1997 sampai dengan sekarang.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB 1. PENDAHULUAN. ... 1

1.1 Latar Belakang. ... 1

1.2 Permasalahan. ... 9

1.3 Tujuan Penelitian. ... 9

1.4 Hipotesis. ... 9

1.5 Manfaat Penelitian. ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1 Kompetensi. ... 11

2.2 Petugas Imunisasi. ... 20

2.3 Pelayanan Imunisasi. ... 23

2.4 Imunisasi TT pada WUS... 26

2.5 Promosi Kesehatan. ... 36

2.6 Landasan Teori... 46

2.7 Kerangka Konsep... 48

BAB 3. METODE PENELITIAN. ... 49

3.1 Jenis Penelitian ... 49

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

3.3 Populasi dan Sampel ... 50

3.4 Metode Pengumpulan Data... 50

3.5 Variabel dan Definisi Operasional... 53

3.6 Metode Pengukuran. ... 54

3.7 Metode Analisis Data... 56

BAB 4. HASIL PENELITIAN. ... 57

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 57

4.2 Karakteristik Petugas Imunisasi ... 58

4.3 Analisis Univariat ... 59

4.4 Analisis Bivariat ... 69


(13)

BAB 5. PEMBAHASAN. ... 73

5.1 Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi TT di Kabupaten Aceh Barat 73 5.2 Pengaruh Pengetahuan Petugas Imunisasi terhadap Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi TT di Kabupaten Aceh Barat 75 5.3 Pengaruh Sikap Petugas Imunisasi terhadap Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi TT di Kabupaten Aceh Barat... 77

5.4 Pengaruh Keterampilan Petugas Imunisasi terhadap Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi TT di Kabupaten Aceh Barat 79 5.5 Keterbatasan Penelitian... 82

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN. ... 83

6.1 Kesimpulan ... 83

6.2 Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA . ... 85


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Cakupan Imunisasi TT pada WUS di Kabupaten Aceh Barat... 6 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi TT pada WUS. ... 27 3.2 Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen. ... 55 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Petugas Imunisasi di Kabupaten

Aceh Barat Tahun 2010 ... 58 4.2. Distribusi Frekuensi Indikator Pengetahuan Petugas Imunisasi di

Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010... 59 4.3. Distribusi Frekuensi Variabel Pengetahuan Petugas Imunisasi di

Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010... 61 4.4. Distribusi Frekuensi Indikator Sikap Petugas Imunisasi di Kabupaten

Aceh Barat Tahun 2010 ... 62 4.5. Distribusi Frekuensi Variabel Sikap Petugas Imunisasi di Kabupaten

Aceh Barat Tahun 2010 ... 63 4.6. Distribusi Frekuensi Indikator Keterampilan Petugas Imunisasi di

Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010... 64 4.7. Distribusi Frekuensi Variabel Keterampilan Petugas Imunisasi di

Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 ... 65 4.8. Distribusi Frekuensi Indikator Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi oleh

Petugas Imunisasi di Kabupaten Aceh Barat tahun 2010... 66 4.9. Distribusi Frekuensi Variabel Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi Oleh

Petugas Imunisasi di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010... 68 4.10 Distribusi Frekuensi Observasi Pelaksanaan Pelayanan Imunsasi Oleh


(15)

4.11 Tabulasi Silang Pengaruh Kompetensi Petugas Imunisasi terhadap Pelaksanaan Pelayanan Imunsasi oleh Petugas Imunisasi di Kabupaten

Aceh Barat tahun 2010 ... 70 4.12 Hasil Uji Regresi Logistik Pengaruh Kompetensi Petugas Imuniasi

terhadap Pelaksanaan Pelayanan Imunsasi di Kabupaten Aceh Barat


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian... 89

2 Lembar Observasi... 100

3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Pertanyaan. ... 101

4 Hasil Pengolahan Data Penelitian... 104

5 Lampiran Izin Uji Kuesioner. ... 120

6 Lampiran Izin Penelitian. ... 121

7 Lampiran Jawaban Izin Uji Kuesioner. ... 122


(18)

ABSTRAK

Pelayanan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) merupakan salah satu upaya preventif yang bertujuan untuk meningkatkan kekebalan tubuh WUS dan mencegah terjadinya tetanus neonatorum pada bayi. Cakupan pelaksanaan pelayanan imunisasi TT secara keseluruhan di Indonesia masih sangat rendah dari target yang diharapkan, termasuk di Kabupaten Aceh Barat yang hanya mencapai 15,8 % pada tahun 2009 dari target nasional 80 %, hal ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor kompetensi petugas imunisasi di puskesmas.

Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan pendekatan explanatory research yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh kompetensi petugas imunisasi terhadap pelayanan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2010. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas imunisasi yang ada di puskesmas dalam Kabupaten Aceh Barat dan sekaligus menjadi sampel penelitian yang berjumlah sebanyak 69 orang. Pengumpulan data meliputi data primer yang diperoleh melalui penyebaran kuesioner dan observasi langsung kepada seluruh responden, serta data sekunder melalui pencatatan dari dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan uji regresi logistik berganda pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel pengetahuan, sikap, dan keterampilan mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) oleh petugas imunisasi di Kabupaten Aceh Barat, dan variabel keterampilan merupakan variabel paling dominan berpengaruh terhadap pelaksanaan imunisasi tetanus toxoid (TT).

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat, agar merumuskan kebijakan tentang upaya peningkatan kompetensi petugas imunisasi di puskesmas, dan kepada kepala puskesmas agar melakukan upaya yang lebih operasional dalam meningkatkan keterampilan bagi petugas imunisasi di puskesmas dan kepada petugas imunisasi puskesmas agar lebih meningkatkan kemampuan dan keterampilan didalam memberikan pelayanan imunisasi.


(19)

ABSTRACT

Tetanus Toxoid (TT) immunization service for the women in productive age is one of the preventive attempts intended to increase the body immunity of such the women age and to prevent the incident of Tetanus of Neonatal in the newly born babies. The coverage of TT immunization service implementation that is provided in Indonesia in wholle still noted too low and far from expected, such condition is found on Aceh Barat District, it achieved only 15.8% in 2009 of national target of 80% rate. This condition occurred was influenced by competency factor of the person who is in charge of immunization provision on the Health Center.

The objective of this study was to analyze the influence of the competency of the person in charge of immunization on the TT immunization service unit for the women in productive age in Aceh Barat District, Nanggroe Aceh Darussalam Province in 2010. This study adopted survey explanatory. The population of this study were all of the 69 persons in charge of immunization at the Health Center in Aceh Barat District and all of them were selected to be the samples. The primary data for this study were obtained through interview and observation and the secondary data were obtained through note taking from documentation study. The data obtained were analyzed by using multiple logistic regression tests at the level of confidence of 95%.

The result of the research showed that the variables of knowledge, attitude, and skill, had influence on the immunization given with Tetanus Toxoid (TT) on productive age women by the persons in charge of immunization in Aceh Barat District. The variable of skill had dominant influence on the immunization implementation with tetanus toxoid (TT).

It is suggested to Aceh Barat District Health office to formulate the policy on the attempt to increase the competency of the persons in charge of immunization at the Health Center. The Head of Health Center should do more operational attempt in increasing the skill of the staff of the center and the persons of charge of immunization at the Public Center to increase their skill in immunization service provision.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Program imunisasi merupakan sub sistem dari sistem pelayanan kesehatan masyarakat yang lebih menekankan pada upaya promotif dan preventif, selain itu imunisasi merupakan upaya yang sangat penting dalam mencegah penyakit serta merupakan public good (barang publik) karena manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh seluruh masyarakat. Pelayanan imunisasi sebagai salah satu upaya preventif untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh yang harus dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh dan dilaksanakan sesuai dengan standar, sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan dapat memutus mata rantai penularan, yang dilakukan pada usia balita maupun pada orang dewasa (Depkes RI, 2004).

Pelayanan program imunisasi pada prinsipnya bertujuan untuk memantapkan dan meningkatkan jangkauan pelayanan imunisasi secara efektif dan efisien. Dalam upaya untuk dapat memberikan pelayanan imunisasi secara maksimal terhadap kelompok sasaran, maka pemerintah telah menyediakan berbagai sarana dan prasarana mulai dari sarana transportasi bagi petugas, lemari es, freezer dan vaccin carier/ cold box ataupun thermos es sebagai tempat untuk menyimpan dan membawa vaksin ke sasaran, alat suntik (spuit), kesemuanya dengan cuma-cuma. Disamping itu untuk mengantisipasi perkembangan jaman dan teknologi, dilakukan penyegaran pengetahuan (refreshing) bagi petugas imunisasi melalui berbagai pelatihan maupun


(21)

penataran untuk lebih meningkatkan keterampilan bagi petugas. Namun demikian hasil cakupan imunisasi yang dicapai saat ini masih belum sesuai dengan harapan dari program imunisasi (Depkes RI, 2004)

Salah satu program imunisasi yang paling penting adalah imunisai tetanus toxoid (TT) untuk mencegah terjadinya penyakit tetanus neonatorum pada bayi. Imunisasi merupakan bagian dari program Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) yaitu salah satu kegiatan imunisasi tambahan yang bertujuan untuk menurunkan jumlah kasus tetanus neonatal di setiap kabupaten hingga < 1 kasus per 1000 kelahiran hidup pertahun. Pada masa lalu sasaran kegiatan MNTE adalah calon penganten dan ibu hamil namun dalam pencapaian targetnya dirasakan agak lambat, sehingga perlu dilakukan kegiatan akselerasi berupa pemberian TT-5 dosis pada seluruh wanita usia subur (usia 15 – 39 tahun) termasuk kepada ibu hamil (Depkes RI, 2008).

Menurut Atkitson (2000) kekebalan terhadap tetanus hanya dapat dimiliki melalui kekebalan buatan. Kekebalan buatan secara pasif dilakukan dengan suntikan serum (anti tetanus serum), sedangkan kekebalan secara aktif dilakukan dengan pemberian imunisasi. Vaksin yang digunakan adalah terbuat dari toksin tetanus yang dilemahkan (detoksifikasi) yang terdapat pada kemasan vaksin monovalen (TT) maupun kombinasi (DT dan DPT). Pemberian imunisasi tersebut secara terus menerus digerakkan melalui pelayanan kesehatan dasar di puskesmas.

Tenaga kesehatan yang berperan penting terhadap pemberian pelayanan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) adalah juru imunisasi di


(22)

puskesmas. Juru imunisasi tersebut berlatar belakang pendidikan perawat dan atau bidan, dan biasanya bertugas di puskesmas-puskesmas. Keberhasilan pelaksanaan imunisasi TT pada WUS sangat tergantung pada hasil kinerja para juru imunisasi dalam melakukan sweeping imunisasi, penyuluhan tentang pentingnya imunisasi TT, pemberian imunisasi TT sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dan melakukan evaluasi pelaksanaan imunisasi TT.

Juru imunisasi di puskesmas mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam upaya pelaksanaan program pelayanan imunisasi, banyak tugas yang harus dilaksanakan baik yang bersifat teknis maupun administratif. Pelaksanaan program imunisasi di puskesmas mengacu pada Buku Petunjuk Pelaksanaan Program Imunisasi sebagai pedoman bagi pelaksana imunisasi di puskesmas dalam menjalankan tugasnya yang dikeluarkan oleh departemen kesehatan. Disamping itu pelaksanaan imunisasi di puskesmas juga dituntut untuk menguasai manajemen program secara lebih baik dan profesional hal ini sejalan dengan strategi dan beberapa kesepakatan global di bidang imunisasi (Depkes RI, 2005).

Sejalan dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan sosial ekonomi di masyarakat, kebutuhan dan tuntutan terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu juga semakin meningkat. Kondisi ini menuntut pergeseran titik tekan pelayanan imunisasi dari orientasi pencapaian target menuju ke orientasi penjagaan dan peningkatan kualitas pelayanan. Salah satu penentu mutu pelayanan adalah kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, dalam hal ini juru imunisasi dalam melaksanakan seluruh tugas pokok dan fungsinya dengan mengacu


(23)

pada target yang diharapkan dalam program imunisasi. Kompetensi petugas imunisasi dapat dilihat dari pemahaman, sikap dan keterampilan petugas imunisasi di puskesmas tentang prosedur kerja petugas imunisasi dan seluruh rangkaian kegiatan berbasis masyarakat yang berhubungan dengan program imunisasi TT.

Menurut Boulter, dkk (1996) level kompetensi adalah sebagai berikut : Skill (keterampilan), Knowledge (pengetahuan), Self Image (pandangan orang terhadap diri sendiri), Trait (karakteristik abadi dari karakteristik yang membuat orang untuk berperilaku) dan Motive (dorongan seseorang secara konsisten berperilaku). Berdasarkan seluruh indikator kompetensi tersebut maka yang dinilai paling penting harus ada pada individu dalam melaksanakan tugas-tugas suatu organisasi adalah pengetahuan, sikap dan keterampilan.

Berdasarkan profil Kesehatan Indonesia (2008), menunjukkan bahwa cakupan imunisasi TT di Indonesia berfluktuasi selama kurun waktu 2006-2008. Pada tahun 2006 cakupan imunisasi TT-2 sebesar 52,0%. tahun 2007 meningkat menjadi 59,0% dan pada tahun 2008 cakupan imunisasi TT-2 menjadi 63,1%. Berdasarkan angka cakupan imunisasi TT-2 tingkat provinsi di Indonesia diketahui bahwa, provinsi dengan angka cakupan TT-2 tertinggi adalah Bali (93,39%), Nusa Tenggara Timur (86,21%), dan Sumatera Selatan (85,72%); sedangkan provinsi dengan angka cakupan TT-2 terendah adalah Papua (17,66%), Papua Barat (20,8%) dan Jawa Timur (25,48%). Secara keseluruhan menunjukkan bahwa cakupan imunisasi TT masih sangat rendah dari target yang diharapkan yaitu 100% dari seluruh ibu hamil maupun wanita usia subur yang ada di Indonesia.


(24)

Berdasarkan profil kesehatan Provinsi NAD (2008) diketahui angka cakupan imunisasi TT-1 sebesar 50,85%, TT-2 sebesar 42,19%, TT-3 sebesar 16,32%, TT-4 sebesar 11,27% dan TT-5 hanya 8,08%. Angka tersebut masih berada dibawah target yang diharapkan. Rendahnya target pencapaian imunisasi TT pada WUS masih memerlukan perhatian yang serius bagi pengelola imunisasi sehingga dapat memberikan manfaat dan mengurangi risiko infeksi pada persalinan.

Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Aceh Barat (2009), diketahui bahwa secara keseluruhan angka cakupan imunisasi TT pada WUS juga masih rendah dibandingkan dengan target nasional yaitu sebesar 15,8%. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap pelayanan imunisasi TT pada WUS masih rendah. Rendahnya target pencapaian imunisasi TT pada WUS ini tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusia petugas kesehatan, dan kualitas pelayanan imunisasi yang diberikan oleh petugas imunisasi. Oleh karena itu perlu perhatian dan kerja keras bagi semua pihak yang terkait, dan khususnya bagi pengelola imunisasi baik pada tingkat dinas kesehatan maupun di puskesmas sebagai pelaksana teknis pelayanan imunisasi.

Angka cakupan imunisai TT pada WUS di seluruh puskesmas dalam Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selama tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.1. berikut ini.


(25)

Tabel 1.1. Cakupan Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada Wanita Usia Subur (WUS) di Puskesmas dalam Kabupaten Aceh Barat Tahun 2009.

Cakupan TT WUS

TT1 TT2 TT3 TT4

Jumlah WUS yang Imunisasi TT Jumlah WUS yang tidak Imunisasi TT Puskesmas Jumlah

WUS

n % n % n % n % n % n %

Johan

Pahlawan 9989 875 8,76 664 6,65 48 0,48 2 0,02 1589 22,73 8400 22,51 Suak Ribee 6329 548 8,66 373 5,89 31 0,49 1 0,02 953 13,63 5376 14,41 Meureubo 4705 477 10,14 285 6,06 35 0,74 1 0,02 798 11,41 3907 10,47 Peureumeu 4562 347 7,61 259 5,68 114 2,50 66 1,45 786 11,24 3776 10,12 Meutulang 1644 160 9,73 162 9,85 20 1,22 1 0,06 343 4,91 1301 3,49 P.Ceureumen 2546 216 8,48 146 5,73 29 1,14 10 0,39 401 5,74 2145 5,75

Kajeung 889 83 9,34 55 6,19 24 2,70 3 0,34 165 2,36 724 1,94

Tangkeh 1060 108 10,19 119 11,23 11 1,04 0 0,00 238 3,40 822 2,20 Kuala Bhee 2899 203 7,00 118 4,07 41 1,41 1 0,03 363 5,19 2536 6,80 Pir Bate Puteh 1787 149 8,34 98 5,48 33 1,85 4 0,22 284 4,06 1503 4,03 Drien Rampak 2763 231 8,36 138 4,99 25 0,90 2 0,07 396 5,66 2367 6,34 K.P.Layung 1470 151 10,27 109 7,41 21 1,43 4 0,27 285 4,08 1185 3,18 Sama Tiga 3664 234 6,39 132 3,60 24 0,66 0 0,00 390 5,58 3274 8,77

Jumlah 44307 3782 2658 456 95 6991 37316

Cakupan Imunisasi TT Kabupaten Aceh Barat (2009) adalah 6991/44307 x 100% = 15,8%

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat, 2009

Berdasarkan Tabel 1.1. di atas, dapat diketahui bahwa selama tahun 2009 cakupan imunisasi TT pada WUS di seluruh puskesmas dalam Kabupaten Aceh Barat masih sangat rendah yang diindikasikan dari angka cakupan imunisasi TT-1 sampai imunisasi TT-4. Cakupan imunisasi TT-1 paling tinggi terdapat di wilayah kerja Puskesmas Kuta Padang Layung yaitu 10,27 %, namun masih juga belum sesuai dengan standar imunisasi TT-1 bagi WUS yang direkomendasikan Depkes RI yaitu 80%. Imunisasi TT-2 terbanyak terdapat di wilayah kerja Puskesmas Tangkeh yaitu sebesar 11,23%, dan ini pun juga belum sesuai dengan target yang diharapkan yaitu 80%, demikian juga dengan cakupan imunisasi TT-3 dan TT-4. Secara keseluruhan diketahui bahwa setiap puskesmas masih banyak WUS yang belum mendapatkan


(26)

imunisasi TT, baik TT-1, TT-2, TT-3 dan TT-4. Hal ini mengindikasikan bahwa cakupan imunisasi TT bagi WUS masih sangat rendah.

Berdasarkan data kepegawaian di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat (2009) diketahui bahwa jumlah petugas yang mempunyai kompetensi dan diberi kewenangan untuk memberikan imunisasi adalah sebanyak 69 orang yang terdiri dari 26 orang petugas imunisasi dari 13 puskesmas induk, dan 43 orang petugas imunisasi dari puskesmas pembantu dan polindes, dengan kualifikasi pendididikan SPK, Diploma I dan Diploma III Keperawatan dan Kebidanan.

Sedangkan jumlah WUS yang harus diakomodir oleh petugas imunisasi adalah sebanyak 44.307 WUS, artinya setiap satu petugas imunisasi harus mengayomi dan memberikan pelayanan imunisasi TT dengan perbandingan 1: 642 WUS. Hal ini secara individu akan sangat sulit dapat dilakukan, namun hal ini dapat diatasi jika para juru imunisasi mempunyai kemampuan dan keterampilan serta motivasi yang tinggi untuk memberikan imunisasi dan melaksanakan seluruh tugas-tugasnya. Artinya kemampuan petugas imunisasi dalam memanajemen waktu dan memahami seluruh tugas-tugasnya dalam pelayanan imunisasi sangat penting, demi tercapainya cakupan imunisasi TT pada WUS dapat tercapai sesuai dengan target yang telah ditentukan.

Kinerja petugas imunisasi adalah hasil kerja yang diperoleh petugas imunisasi dalam memberikan pelayanan imunisasi termasuk imunisasi TT pada WUS. Menurut Robbin (2006), kinerja individu dalam suatu organisasi diukur berdasarkan hasil kerja baik secara kualitas maupun kuantitas, dan salah satunya dipengaruhi oleh faktor


(27)

individu yaitu karakteristik individu seperti umur, pendidikan, pengetahuan, dan kompetensi individu dalam organisasi tersebut.

Penelitian Lumbantobing (2004), menunjukkan bahwa kemampuan dan keterampilan bidan mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan pelayanan kesehatan yang diberikan. Pelayanan kesehatan tersebut mencakup pelayanan imunisasi pada bayi, ibu hamil dan wanita usia subur seperti imunisasi TT.

Penelitian Purwanto (2001) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status imunisasi TT pada WUS di Puskesmas Anyer Kabupaten Serang menemukan bahwa salah satu faktor yang menguatkan keinginan ibu untuk melakukan imunisasi TT adalah adanya anjuran dari petugas kesehatan dan pengetahuan petugas kesehatan tentang imunisasi TT.

Penelitian Tjerita (2000) di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah menemukan bahwa kepatuhan petugas puskesmas dalam menerapkan prosedur kerja pelayanan imunisasi dipengaruhi oleh kemampuan dan keterampilan petugas serta motivasi petugas dalam menjalankan prosedur kerja tersebut, dan secara statistik menunjukkan terdapat pengaruh pendidikan, pengetahuan dan motivasi terhadap kepatuhan standar operasional prosedur (SOP) pelayanan imunisasi.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh kompetensi petugas imunisasi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) terhadap Pelayanan Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada Wanita Usia Subur (WUS) di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.


(28)

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian secara umum yaitu bagaimana pengaruh kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) petugas imunisasi terhadap pelayanan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2010.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) petugas imunisasi terhadap pelayanan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2010.

1.4 Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Ada pengaruh pengetahuan petugas imunisasi terhadap pelayanan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2010.

2. Ada pengaruh sikap petugas imunisasi terhadap pelayanan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2010.


(29)

3. Ada pengaruh keterampilan petugas imunisasi terhadap pelayanan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2010.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam dalam merumuskan kebijakan dan program kerja dalam meningkatkan cakupan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) dan meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan bagi petugas imunisasi di puskesmas.

2. Memberikan masukan kepada puskesmas induk dan puskesmas pembantu yang ada dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang pentingnya kemampuan kompetensi bagi petugas imunisasi baik perawat maupun bidan, serta bermanfaat dalam meningkatkan cakupan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) di wilayah kerjanya.

3. Memberikan masukan bagi peneliti yang lain apabila ingin melakukan penelitian selanjutnya.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kompetensi

Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut (Wibowo, 2008). Menurut Boyatzis (Thoha , 2008), kompetensi didefenisikan sebagai “kapasitas yang ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang diisyaratkan oleh pekerja dalam suatu organisasi sehingga orang tersebut mampu mencapai hasil yang diharapkan”.

Kompetensi adalah kemampuan dan karakter yang harus dimiliki oleh seorang pegawai negeri sipil berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugasnya secara profesional, efektif dan efisien (Depkes, 2008).

Ada lima karakteristik dasar yang mempengaruhi kompetensi seseorang, menurut Spencer dan Spencer (Thoha, 2008), yaitu:

(1) Motive, adalah konsistensi berfikir mengenai sesuatu yang diinginkan dan dikehendaki oleh seseorang, sehingga menyebabkan suatu kejadian. Motif tingkah laku seperti mengendalikan, mengarahkan, membimbing dan memilih untuk menghadapi kejadian atau tujuan tertentu.


(31)

(2) Traits, adalah naluri yang secara konsisten dapat memberikan respon yang cepat dan tepat terhadap keadaan atau informasi yang diterima, atau karakteristik fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap informasi atau situasi tertentu.

(3) Self concept, adalah sikap perilaku, sistem nilai atau persepi diri atau imajinasi seseorang yang dianut dan dipercayai dapat menguatkan dan meyakinkan sesuai dengan harapannya, serta dapat menuntun menjadi individu yang efektif diberbagai lingkungan kerja, jika keyakinan tersebut didukung rasa percaya diri yang besar misalnya kepemimpinan.

(4) Knowledge, yaitu sekumpulan informasi dan pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu.

(5) Skill, adalah kemampuan untuk mengerjakan atau menyelesaikan tugas – tugas fisik atau mental tertentu secara nyata dilakukan.

Menurut Thoha (2008), kompetensi ada 3 (tiga) jenis yaitu : (1) kompetensi teknis yang lebih menekankan kepada pencapaian efektifitas kerja, (2) kompetensi perilaku (konsep diri, ciri diri dan motif individu), yang lebih menekankan kepada perilaku produktif yang harus dimiliki dan diperagakan oleh petugas agar dapat berprestasi, dan (3) kompetensi pengetahuan dan keterampilan individu yang lebih ditujukan kepada pelatihan dan pendidikan.

2.1.1 Pengetahuan (Knowledge)

Menurut Mustopadidjaja (2008), pengetahuan adalah informasi yang dimiliki oleh seseorang dalam suatu bidang tertentu dan keterampilan adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu baik mental ataupun fisik.


(32)

Pengetahuan dan keterampilan sesungguhnya yang mendasari pencapaian produktivitas, pengetahuan dan keterampilan termasuk faktor pembentuk kemampuan. Apabila seseorang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang tinggi akan memiliki kemampuan (ability) yang tinggi pula sehingga akan membentuk kompetensi seorang pegawai/pekerja (Sulistiyani & Rosidah, 2003).

Pengetahuan merupakan informasi yang dimiliki oleh seseorang, dan pengetahuan adalah komponen utama kompetensi yang mudah diperoleh dan mudah diidentifikasikan (Hutapea P dan Thoha N, 2008).

Sulistiyani dan Rosidah (2003) mengemukakan bahwa konsep pengetahuan lebih berorientasi kepada intelejensi, daya pikir dan penguasaan ilmu serta luas sempitnya wawasan yang dimiliki oleh seseorang. Dengan demikian pengetahuan adalah merupakan akumulasi hasil proses pendidikan baik yang diperoleh secara formal maupun informal yang memberikan kontribusi kepada seseorang didalam pemecahan masalah, daya cipta, termasuk dalam melakukan atau menyelesaikan suatu pekerjaan. Dengan pengetahuan yang luas dan pendidikan yang tinggi, seorang pegawai diharapkan mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan produktif.

Notoatmodjo (2007) berpendapat bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.


(33)

Menurut Roger (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru atau berperilaku baru, maka dalam diri orang tersebut telah terjadi proses yang berurutan yaitu : (1) Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap

stimulus atau objek. (2) Interest yaitu merasa tertarik terhadap suatu stimulus. (3) Evaluation yaitu menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut terhadap dirinya. (4) Trial dimana subjek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. (5) Adoption yaitu dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :

1. Tahu (know), dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) tehadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2. Memahami (comprehension), suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau mengerti harus dapat


(34)

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari.

3. Aplikasi (application), kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4. Analisis (analysis), suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja; dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis), suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation), kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah


(35)

ada, misalnya dapat membandingkan anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi.

Merujuk pada beberapa teori dan pendapat yang mendefinisikan tentang pengetahuan yang dijabarkan di atas, maka pengetahuan perawat dan bidan adalah kemampuan perawat dan bidan terhadap semua tingkatan pengetahuan, mulai dari tahu, memahami hingga dapat mengevaluasi materi-materi yang telah ditetapkan sebagai pengetahuan, pengelolaan dan pelaksanaan pelayanan imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS) dengan standar yang telah ditentukan. Dengan pengetahuan yang luas yang dimiliki oleh seorang petugas kesehatan baik perawat maupun bidan diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan umumnya dan imunisasi khususnya kepada bayi, anak, WUS dan ibu hamil dengan baik dan profesional.

2.1.2 Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang sifatnya masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu, dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2007) salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi baru merupakan “pre-disposisi” tindakan atau perilaku. Sikap itu masih


(36)

merupakan reaksi yang sifatnya masih tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka dan tingkah laku yang terbuka.

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen pokok, yakni : (1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. (2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. (3) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berfikir, keyakinan dan emosional memegang peranan yang sangat penting. Sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu :

1. Menerima (Receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatiannya terhadap ceramah-ceramah yang berkaitan dengan ilmu gizi.

2. Merespons (Responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang tersebut telah menerima ide.

3. Menghargai (Valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya, seorang ibu yang mengajak ibu yang lain untuk pergi menimbang anaknya di posyandu, atau mendiskusikan tentang


(37)

gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4. Bertanggungjawab (Responsible), bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya, seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapat tantangan dari mertua atau orangtuanya sendiri.

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan cara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.

2.1.3 Keterampilan atau Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behaviour). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Sikap ibu yang sudah positif terhadap imunisasi tersebut harus mendapat konfirmasi dari suaminya, ada fasilitas imunisasi yang mudah dijangkau agar ibu tersebut mengimunisasikan anaknya. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain.

Ada empat tingkatan dalam praktik atau tindakan, yakni :

1. Persepsi (Perception), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama. Misalnya seorang ibu dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya.


(38)

2. Respon terpimpin (Guided Respons), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua. Misalnya, seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar mulai dari cara mencuci dan memotong-motongnya, lamanya memasak, menutup pancinya, dan sebagainya.

3. Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. Misalnya, seorang ibu yang sudah biasa mengimunisasikan bayi yang pada umur tertentu, tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.

4. Adaptasi (adaptation), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Misalnya ibu dapat memilih dan memasak makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahan-bahan yang murah dan sederhana.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recal). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

Keterampilan adalah kemampuan dan penguasaan teknis operasional mengenai bidang tertentu yang bersifat kekaryaan, berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan atau menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat


(39)

teknis yang diperoleh melalui proses belajar dan berlatih. Dengan keterampilan yang dimiliki seorang pegawai diharapkan mampu menyelesaikan pekerjaan secara produktif. (Sulistiyani dan Rosidah, 2003).

2.2 Petugas Imunisasi

Petugas imunisasi adalah individu yang mempunyai tugas dan wewenang dalam pemberian imunisasi. Menurut Depkes RI (2004). Petugas imunisasi adalah petugas kesehatan atau pengelola sebagai tenaga pelaksana di setiap tingkatan dan telah mendapat pelatihan sesuai dengan tugasnya. Petugas imunisasi tidak hanya bertanggung jawab dalam menangani dan memberikan vaksin, tetapi juga sebagai sumber informasi utama berkaitan dengan vaksin bagi sasaran imunisasi. Petugas imunisasi yang diberikan kewenangan dan tanggungjawab sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya melaksanakan imunisasi adalah perawat dan bidan.

Menurut UU Kesehatan No.23 Tahun 1992, Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan yang berdasarkan ilmu yang dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Menurut Husin (1994) seseorang perawat dikatakan profesional jika memiliki ilmu pengetahuan (body of knowledge), keterampilan keperawatan profesional (technical) dan memiliki sikap profesional sesuai dengan kode etik profesi. Sedangkan menurut Gaffar (1999) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan keterampilan profesional keperawatan bukan sekedar terampil dalam melakukan prosedur keperawatan, tetapi


(40)

juga mencakup keterampilan interpersonal, keterampilan intelektual dan keterampilan teknikal.

Federation of International Gynaecologist and Obstetrician atau FIGO (1991) dan World Health Organization atau WHO (1992), Bidan yaitu seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan di negeri itu. Bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan bidan yang diakui oleh negara tempat ia tinggal, dan telah berhasil menyelesaikan studi terkait kebidanan serta memenuhi persyaratan untuk terdaftar dan atau memiliki izin formal untuk praktik bidan (Soepardan, 2006).

Menurut Depkes RI (2005) prosedur tetap pelaksanaan imunisasi bagi petugas imunisasi adalah sebagai berikut:

(1) Melakukan persiapan peralatan dan vaksin imunisasi TT, yaitu a. Spuit lengkap, alat sterilisator, kapas air hangat.

b. Vaksin yang sesuai dengan sasaran dimasukkan kedalam termos es (vaccin carier).

(2) Mempersiapkan sasaran imunisasi TT, yaitu melakukan pemberitahuan kepada sasaran (WUS) atau orang tua WUS tempat penyuntikan imunisasi TT atau kampaye imunisasi TT serta kegunaan dan efek sampingnya. (3) Melakukan pemberian imunisasi, yaitu pengambilan vaksin sesuai dengan

dosisnya.


(41)

(5) Pemberian obat antipiretik untuk imunisasi DPT, dijelaskan cara dan dosis pemberian.

(6) Memberikan informasi kepada orang tua WUS dan WUS mengenai jadwal imunisasi berikutnya.

(7) Pencatatan dan pelaporan, yaitu melakukan pencatatan imunisasi yang diberikan dicatat dalam buku catatan imunisasi serta jadwal imunisasi selanjutnya

Adapun langkah kegiatan yang perlu dilakukan oleh petugas imunisasi adalah: a. Petugas imunisasi menerima kunjungan sasaran imunisasi (WUS) yang telah

membawa catatan imunisasi (register) di ruang imunisasi setelah mendaftar di loket pendaftaran.

b. Petugas memeriksa status imunisasi dalam buku catatan imunisasi atau buku register dan menentukan jenis imunisasi yang akan diberikan.

c. Petugas menanyakan keadaan WUS, kepada WUS yang memungkinkan untuk diberikan imunisasi atau bila tidak akan dirujuk ke ruang pengobatan

d. Petugas menyiapkan alat (menyeteril alat suntik dan kapas air hangat ). e. Petugas menyiapkan vaksin (vaksin dimasukkan ke dalam termos es ).

f. Petugas menyiapkan sasaran (memberitahukan kepada orang bayi tentang tempat penyuntikan).

g. Petugas memberikan imunisasi (memasukkan vaksin ke dalam alat suntik, desinfeksi tempat suntikan dengan kapas air hangat, memberikan suntikan vaksin atau meneteskan vaksin sesuai dengan jadwal imunisasi yang akan diberikan.


(42)

h. Petugas melakukan komunikasi edukasi dan informasi (KIE) atau konseling tentang kegunaan dan efek samping pasca imunisasi WUS

i. Petugas memberitahukan kepada WUS mengenai jadwal imunisasi berikutnya. j. Petugas mencatat hasil imunisasi dalam buku imunisasi atau buku register

catatan imunisasi serta rekapitulasi setiap akhir bulannya.

2.3 Pelayanan Imunisasi

Pelayanan imunisasi adalah bagian integral dari pelayanan kesehatan. Pelayanan imunisasi diarahkan sebagai upaya preventif terhadap kejadian suatu penyakit atau masalah kesehatan. Pelaksanaan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari peran petugas kesehatan yang mempunyai kompetensi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan serangkaian pelayanan kesehatan.

Menurut Azwar (1997), pelayanan kesehatan adalah upaya kesehatan yang diberikan kepada sasaran pelayanan kesehatan atau individu sebagai profesi kesehatan seperti perawat, dokter, dan bidan. Pelayanan kesehatan secara keseluruhan mencakup upaya pencegahan, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.

Pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh multifaktor, baik bersumber dari dalam diri individu maupun dari luar individu, dan erat kaitannya dengan perilaku seseorang terhadap kesehatan.

Menurut Andersen dan Newman (1968) dalam Sarwono (2004), bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan tidak melalui proses yang tunggal, tetapi banyak intervensi yang mempengaruhinya. Karena tidak tunggalnya pengaruh yang ada


(43)

untuk memberikan keputusan pemanfaatan pelayanan kesehatan itu, banyak ahli membuat dan mengembangkan teorinya. Andersen merupakan salah satu ahli yang ikut mengembangkan teori tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan, teori ini biasa disebut “Andersen’s Behavioral model of Health Service Utilization” dan sering dianut oleh banyak orang. Teori darinya ini dibuat pada tahun 1968 tetapi sampai sekarang masih banyak dijadikan rujukan karena masih relevan. Menurut Andersen keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan itu ada empat komponen yaitu: predisposisi, enabling (pendukung), reinforcing (penguat) dan need (kebutuhan)

(1) Komponen predisposisi terdiri dari tiga unsur yaitu: demografi (usia, jenis kelamin, status perkawinan dan jumlah anggota keluarga), struktur sosial (jenis pekerjaan, status sosial, pendidikan, ras, dan kesukuan), dan kepercayaan kesehatan.

(2) Komponen enabling (pendukung) mempunyai dua unsur: sumber daya keluarga (penghasilan keluarga, kemampuan membeli jasa pelayanan dan keikutsertaan dalam asuransi kesehatan),

(3) Faktor reinforcing (penguat) sumber daya masyarakat (jumlah sarana pelayanan kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, rasio penduduk dan tenaga kesehatan serta lokasi sarana kesehatan).

(4) Komponen need, merupakan komponen yang paling langsung berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan. Komponen ini diukur dengan laporan tentang berbagai keluhan, fungsi-fungsi yang terganggu, dan persepsi terhadap status kesehatan.


(44)

Pelayanan imunisasi dalam penelitian ini juga dipengaruhi oleh faktor tersebut, namun pada penelitian ini difokuskan pada peran petugas yaitu faktor pendukung terhadap pelaksanan pelayanan imunisasi yang mencakup kompetensi petugas imunisasi.

Kegiatan pelayanan imunisasi terdiri dari kegiatan operasional rutin dan khusus. Dengan semakin mantapnya unit pelayanan imunisasi, maka porsi kegiatan imunisasi khusus semakin kecil. Menurut Kepmenkes No.1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang pokok-pokok kegiatan penyelenggaraan imunisasi di Indonesia terdiri dari :

a. Imunisasi rutin b. Imunisasi tambahan

c. Imunisasi dalam penanggulangan KLB (Outbreak Respons)

d. Kegiatan imunisasi tertentu terhadap PD3I dalam situasi khusus biasanya dalam wilayah luas dan waktu tertentu, seperti PIN, Sub PIN, Catch Up Campak.

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan untuk memperoleh kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukan vaksin atau serum ke dalam tubuh melalui oral atau suntikan (Syahlan, 1996).

Imunisasi adalah suatu tindakan pemindahan atau transfer anti body secara pasif. Sedangkan istilah vaksinasi (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (anti body) dan sistem imun didalam tubuh (Idai, 2005).


(45)

2.4 Imunisasi TT pada WUS

Imunisasi tetanus toxoid adalah vaksin berupa suntikan yang memberikan kekebalan terhadap virus tetanus. Tetanus toxoid mengandung virus (kuman/tetanus hidup yang telah dilemahkan dalam bentuk cair), (Depkes RI, 2009).

Wanita Usia Subur (WUS) adalah wanita yang berumur antara 15–39 tahun baik yang sudah menikah atau yang belum menikah (Depkes RI, 2009). Departemen Kesehatan RI telah merekomendasikan bahwa untuk pemberian imunisasi TT kepada semua wanita usia subur, hal ini dikarenakan untuk meningkatkan cakupan imunisasi ibu hamil relatif sulit. Kegiatan imunisasi TT pada WUS secara operasional dilaksanakan dengan terlebih dahulu melaksanakan pendataan sasaran yang dilakukan oleh seluruh petugas imunisasi di setiap desa atau lokasi sasaran.

2.4.1. Tujuan dan Manfaat Imunisasi TT

Manfaat pemberian imunisasi tetanus toxoid adalah pelindung tubuh ibu hamil serta bayi yang akan dilahirkan terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka dan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tetanus (Depkes, 2003).

Imunisasi Tetanus Toxoid pada ibu hamil diberikan sebanyak 2 kali pada ibu dengan dosis yang sesuai dengan dianjurkan untuk menghindari bayi dari infeksi tetanus neonatorum. Demikian juga proses, alat dan tempat yang bersih dalam perawatan tali pusar akan mengurangi resiko bayi terinfeksi. Imunisasi ini dapat diberikan pada saat akan menikah, atau diberikan dua kali dalam satu periode kehamilan yaitu pada triwulan pertama dan kedua.


(46)

Menurut Depkes, (2009), imunisasi tetanus toxoid akan memberikan perlindungan optimal bila jarak pemberian antara dosis tidak terlalu dekat. Adapun jadwal imunisasi TT dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Jadwal Pemberian Imunisasi TT pada WUS

Imunisasi (TT) Interval Minimal Masa Kekebalan Dosis

Ke 1 (TT 1) - - 0,5 cc

Ke 2 (TT 2) 1 bulan 3 tahun 0,5 cc

Ke 3 (TT 3) 6 bulan 5 tahun 0,5 cc

Ke 4 (TT 4) 12 bulan 10 tahun 0,5 cc

Ke 5 (TT 5) 12 bulan 25 tahun/seumur hidup 0,5 cc

Sumber : Depkes RI, 2009

Vaksin tetanus toxoid berdiri sendiri sebagai vaksin tetanus toxoid atau tergabung dalam vaksin difteri tetanus atau difteri pertusis tetanus, imunisasi tetanus toxoid memberikan kekebalan untuk seumur hidup.

Menurut Depkes RI (2004), sesuai dengan kebijakan program imunisasi di Indonesia. Setiap sasaran berhak untuk mendapatkan pelayanan imunisasi cuma-cuma. Kartu tetanus toxoid seumur hidup dapat membantu petugas dalam menentukan apakah pemegang kartu memerlukan suntikan tetanus toxoid, dan kapan suntikan tersebut dapat diberikan. Apabila WUS mempunyai status tetanus toxoid seumur hidup, maka imunisasi tetanus toxoid rutin bagi calon pengantin dan ibu hamil dapat dihentikan, yang berarti suatu penghematan.

Menurut Wastidar (1999) menyatakan, pemberian imunisasi tetanus toxoid pada WUS termasuk ibu hamil dapat dilakukan pada saat WUS melakukan


(47)

kunjungan pertama tetanus toxoid pertama, dan selanjutnya diberikan pada kunjungan kedua (tetanus toxoid kedua).

2.4.2. Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi TT a. Pelayanan sebelum pelaksanaan imunisasi TT

1. Penyuluhan sebelum pelayanan imunisasi

Penyuluhan yang diberikan berisikan tentang kegunaan imunisasi, efek samping dan cara penanggulangannya serta kapan dan dimana pelayanan imunisasi berikutnya akan diadakan. Pedoman dalam memberikan penyuluhan kepada sasaran di tempat pelayanan imunisasi :

a) Mengucapkan terima kasih kepada orangtua dan WUS atas kesediaannya datang ke pelayanan imunisasi dan kesabarannya mau menunggu.

b) Jelaskan dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti tentang penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin.

c) Jelaskan efek samping imunisasi dan apa yang harus dilakukan apabila terjadi efek samping tersebut.

d) Jika imunisasi merupakan satu dosis vaksin yang harus diberikan secara berurutan, maka jelaskan bahwa WUS harus menerima imunisasi lengkap secara berurutan agar bisa mendapatkan perlindungan penuh.

e) Tulislah tanggal untuk imunisasi berikutnya pada kartu, dan beritahukanlah tanggal ini kepada WUS atau orang tua WUS sejelas mungkin.


(48)

f) Jika sasaran telah terlewatkan beberapa dosis, jangan memarahi orang tua, sasaran WUS dan ibu hamil, tetapi jelaskan mengapa mereka perlu diimunisasi secara lengkap dan jelaskan bahwa anda akan memberikan semua dosis yang terlewatkan selama pelayanan. Mintalah kepada mereka untuk datang tepat waktu untuk imunisasi berikutnya.

g) Tanyakan kepada orangtua, sasaran WUS dan ibu hamil, apakah ada pertanyaan terhadap penjelasan yang tidak dipahami.

h) Pastikan bahwa anda mengulang setiap pesan ini lebih dari satu kali jika dianggap perlu, agar orang tua, sasaran WUS dan ibu hamil dapat memahaminya.

2. Pemeriksaan Sasaran (Skrining) dan Pengisian Register

Setiap sasaran imunisasi wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil sebaiknya diperiksa dan diberikan semua vaksin sesuai dengan jadwal pemberian imunisasi.

a) Tentukan usia dan status imunisasi terdahulu sebelum diputuskan vaksin mana dan dengan dosis keberapa yang akan diberikan.

b) Untuk imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur (WUS)

1) Jika memiliki kartu TT, berikan dosis sesuai dengan jadwal pemberian TT nasional.

2) Jika tidak memiliki kartu TT, tanyakan apakah ia pernah mendapatkan dosis tetanus toxoid (TT) di masa yang lalu.

3) Jika tidak : berikan dosis pertama TT dan anjurkan kembali sesuai dengan jadwal pemberian TT nasional.


(49)

4) Jika ya : berapa banyak dosis yang telah diterima sebelumnya dan berikan dosis berikutnya secara berurutan.

3. Konseling

Konseling adalah proses pemberian bantuan seseorang kepada orang lain dalam membuat suatu keputusan atau memecahkan suatu masalah melalui pemahaman terhadap fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan klien. Klien mempunyai hak untuk menerima dan menolak satu metode pelayanan kesehatan bagi diri mereka. Petugas klinik berkewajiban untuk mermbantu mereka dalam membuat keputusan secara arif dan benar. Semua informasi tersebut harus diberikan dengan bahasa dan istilah yang dapat dimengerti oleh klien (Depkes RI, 2009).

a) Lingkup Konseling

1) Konseling membantu klien agar dapat membuat suatu keputusan tentang imunisasi yang akan diterima.

2) Konseling mencakup imunisasi dua arah diantara klien dan konselor.

3) Konseling mengandung muatan informasi yang objektif, pemahaman isi informasi tersebut di implementasikan oleh klien terhadap kebutuhan dan kondisi individualnya.

b) Proses konseling terdiri dari 4 unsur kegiatan

1) Pembinaan hubungan baik, dilakukan sejak awal pertemuan dengan klien. 2) Pengumpulan dan pemberian informasi, pengumpulan informasi merupakan


(50)

3) Pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan perencanaan. Sesuai dengan masalah dan kondisi klien, petugas membantu klien memecahkan masalah yang dihadapi atau membuat perencanaan untuk mengatasinya.

4) Menindaklanjuti pertemuan, mengakhiri pertemuan konseling, petugas merangkum jalannya hasil pembicaraan selama pertemuan, merencanakan pertemuan selanjutnya atau merujuk klien.

Jalannya proses konseling sangat tergantung pada alur percakapan petugas – klien. Konselor harus dapat berkomunikasi dengan baik, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan proses yang menyenangkan bagi klien. Konselor harus menyampaikan informasi yang lengkap dan obyektif tentang : (a) Keuntungan dan keterbatasan imunisasi, (b) jangka waktu efektif pemberian imunisasi, (c) komplikasi dan efek samping, dan (d) kesesuaian mekanisme kerja imunisasi dengan karakteristik dan keinginan klien.

Sebagian besar informasi tersebut disampaikan pada tahapan konseling spesifik, yaitu tahapan dimana klien tertarik dan ingin mendapatkan pelayanan imunisasi. Konseling spesifik dilakukan setelah konseling awal atau pendahuluan dilakukan. Dalam konseling pendahuluan umumnya akan diberikan gambaran umum tentang imunisasi. Konseling untuk masalah imunisasi yaitu :

a) Mempersiapkan ibu terhadap apa yang dapat terjadi pada bayinya jika tidak mendapat imunisasi. Beritahukan kepada ibu mengenai gejala-gejala dan masalah yang mungkin akan hilang dalam beberapa waktu.


(51)

b) Tanggapi secara serius keresahan ibu, berikan keyakinan dan usulan praktis untuk menangani masalah umum dalam imunisasi.

c) Membantu ibu untuk merencanakan serta mempersiapkan hal-hal yang diperlukan dalam imunisasi.

b. Pelaksanaan Imunisasi TT

1. Pemberian vaksin yang tepat dan aman.

a) Sebelum pelaksanaan imunisasi; periksa label vaksin dan pelarutnya, periksa tanggal kadaluarsa dan periksa VVM serta jangan digunakan vaksin tanpa lebel, vaksin yang kadaluarsa dan vaksin dengan status VVM telah C atau D. b) Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi

menjadi homogen. Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer yang disuntikan secara intramuskuler atau subkutan dalam dengan dosis pemberian 0,5 cc dengan interval waktu minimal 4 minggu. c) Mencampur vaksin dengan pelarut : (1) Baca label pada ampul atau pelarut

dan pastikan dikirim oleh pabrik yang sama. (2) Goyang botol atau ampul vaksin dan pastikan semua bubuk ada pada dasar ampul/vial. (3) Buka vial atau ampul vaksin dan amati pelarut pastikan tidak retak. (4) Buka ampul kaca, lalu sedot pelarut ke dalam semprit pencampur dan gunakan ADS yang baru untuk mencampur vaksin dengan pelarut.


(52)

2. Menggunakan alat suntik ADS (Auto Disable Syringe)

Adalah alat suntik yang setelah satu kali digunakan secara otomatis menjadi rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Suntikan diberikan pada lengan atas secara intramuskuler (IM) atau subkutan (SC) dalam dengan dosis 0,5 cc. Adapun cara pemberian imunisasi TT pada WUS adalah; (a) mintalah sasaran (WUS) untuk duduk. (b) Suruh menurunkan bahunya dan meletakkan tangan kiri di belakang punggungnya atau di atas pinggul. Posisi ini akan merenggangkan otot pada lengan dan membuat suntikan menjadi hampir tidak sakit. (c) Letakkan jari dan ibu jari anda pada bagian luar lengan atas. (d) Gunakan tangan kiri anda untuk menekan ke atas otot lengan. (e) Cepat tekan jarum ke bawah melalui kulit diantara jari-jari anda dan masukan ke dalam otot. (f) Tekan alat penyedot (plunger) dengan ibu jari anda untuk menyuntikan vaksin. Tarik jarum dengan cepat dan hati-hati dan mintalah sasaran (WUS) untuk menekan tempat suntikan secara hati-hati dengan kain kapas jika terjadi perdarahan (Depkes RI, 2009).

Tata cara penggunaan alat suntik auto disable adalah : (a) Bersihkan daerah penyuntikan dengan kapas basah. (b) Pegang tabung (barrel) semprit antara ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah. Jangan menyentuh jarum, alat penyedot (plunger) bisa

bergerak maju mundur hanya sekali. (c) Suntikan jarum secara pelan-pelan. (d) Gunakan ibu jari untuk menekan alat penyedot tanpa memutar-mutar semprit. (e) Tarik jarum dengan cepat dan hati-hati (lebih sakit jika menarik dengan pelan). (f) Jangan menggosok daerah dimana suntikan diberikan. (Depkes RI, 2009)


(53)

Lokasi tempat penyuntikan adalah lengan atas, sedikit dibawah insertio M deltoid. Membersihkan tempat penyuntikan terlebih dahulu cukup dengan kapas dan air matang. Dosis yang diperlukan untuk vaksin tetanus toxoid adalah 0,5 ml. vaksin disuntikan secara intramuskular setelah terlebih dahulu melakukan aspirasi untuk memastikan jarum tidak masuk kepembuluh darah. Untuk mencegah penyuntikan yang terlalu superficial, terutama bila diameter semprit besar, usahakan penyuntikan benar-benar tegak lurus. Untuk mencegah terjadinya abses dingin, vaksin dalam vial yang belum dibuka agar dihangatkan dengan cara menggenggamnya dan dikocok kuat agar merata (Akselerasi eliminasi tetanus, 2009 : 17). Reaksi yang mungkin terjadi setelah pemberian imunisasi tetanus toxoid adalah reaksi lokal berupa nyeri, kemerahan, dan bengkak selama 1-2 hari pada tempat penyuntikan, ini akan hilang sendiri dan tidak perlu pengobatan.

3. Kontra Indikasi Pemberian Imunisasi

Ada tiga kontra indikasi imunisasi secara umum; (a) Anafilaksis atau reaksi hipersensitivitas yang hebat merupakan kontra indikasi mutlak terhadap dosis vaksin berikutnya. Riwayat kejang demam dan panas > 38 oC merupakan kontra indikasi pemberian DPT/HB1 dan campak. (b) Jangan diberikan vaksin BCG kepada bayi yang menunjukan tanda-tanda dan gejala AIDS, sedangkan vaksin lainnya sebaiknya diberikan. (c) Jika orang tua sangat berkeberatan terhadap pemberian imunisasi kepada bayi yang sakit, jangan diberikan imunisasi. Mintalah ibu untuk kembali lagi jika bayinya sudah sehat.


(54)

Adapun kontraindikasi khususnya untuk imunisasi tetanus toxoid adalah gejala-gejala berat karena dosis pertama dari pemberian imunisasi tetanus toxoid.

c. Pelayanan sesudah pemberian imunisasi TT

1. Penyuluhan sesudah pelayanan imunisasi TT

a) Mengucapkan terima kasih kepada orangtua dan WUS atas kedatangannya ke pelayanan imunisasi dan kesabaran mereka mau menunggu.

b) Jelaskan apa yang harus dilakukan apabila terjadi efek samping ketika sampai di rumah.

c) Jika WUS tidak bisa datang pada tanggal tersebut, jelaskan alternatif tanggal dan waktu yang lain.

d) Beritahukan kepada sasaran wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil berapa kali lagi, kapan dan dimana mereka harus kembali untuk mendapatkan perlindungan penuh terhadap penyakit tetanus.

e) Ingatkan sasaran WUS dan ibu hamil untuk selalu membawa kartu imunisasi TT mereka setiap datang ke tempat pelayanan imunisasi.

f) Tanyakan kepada orangtua, sasaran WUS dan ibu hamil, apakah ada pertanyaan terhadap penjelasan yang tidak dipahami.

g) Pastikan bahwa anda mengulang setiap pesan ini lebih dari satu kali jika dianggap perlu, agar orangtua, sasaran WUS dan ibu hamil dapat memahaminya.


(55)

2. Pengisian Buku Pencatatan

Alat-alat pencatat data dasar yang harus dimiliki oleh setiap fasilitas pelayanan kesehatan adalah; buku kohort ibu, buku kohort bayi, buku laporan KIA dan laporan hasil imunisasi.

2.5. Promosi Kesehatan

Istilah Promosi Kesehatan sebenarnya merupakan perwujudan dari perubahan konsep pendidikan kesehatan yang secara organisasi struktural, pada tahun 1984 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam salah satu visinya, yaitu Health Education Division diubah menjadi Division on Health Promotion and Education, dan konsep ini oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia baru disesuaikan pada tahun 2000 dengan merubah Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat menjadi Pusat Promosi Kesehatan.

Promosi Kesehatan merupakan revitalisasi pendidikan kesehatan di masa lalu, dimana dalam konsep promosi kesehatan bukan hanya proses penyadaran masyarakat dalam hal pemberian dan peningkatan pengetahuan masyarakat dalam bidang kesehatan saja, melainkan juga upaya bagaimana mampu menjembatani adanya perubahan perilaku seseorang. Hal ini berarti promosi kesehatan merupakan program kesehatan yang dirancang untuk membawa perbaikan yang berupa perubahan perilaku, baik didalam masyarakat sendiri maupun dalam organisasi dan lingkungannya baik lingkungan fisik, non fisik, sosial budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.


(56)

Untuk dapat mewujudkan perubahan perilaku kearah perilaku hidup yang sehat dalam masyarakat tidak mudah diwujudkan. Fakta membuktikan, dari pengalaman negara maju dan negara berkembang banyak faktor yang menghambat, dan salah satu dari faktor terbesar yang paling dirasakan adalah faktor pendukung atau sarana dan prasarana yang kurang mendukung masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.

2.5.1. Visi dan Misi Promosi Kesehatan

Visi diperlukan agar promosi kesehatan yang diharapkan mempunyai arah yang jelas dalam kerangkan menunjang program kesehatan yang lain. Visi promosi kesehatan adalah meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan status kesehatannya baik fisik, mental maupun sosial, dan diharapkan pula mampu produktif secara ekonomi dan sosial. Untuk mencapai visi tersebut perlu dilakukan upaya yang dituangkan dalam misi.

Misi Promosi Kesehatan secara garis besar dirumuskan sebagai berikut:

1. Advokasi, melakukan kegiatan advokasi atau upaya terhadap para pengambil keputusan dan penentu kebijakan diberbagai sektor terkait promosi kesehatan. Dengan maksud agar program promosi kesehatan tersebut mendapatkan dukungan melalui kebijakan dan aturan politik.

2. Menjembatani, menjadi jembatan dan menjalin kemitraan dengan berbagai program dan sektor yang terkait dengan kesehatan.


(57)

3. Memampukan, memberikan keterampilan pada masyarakat agar mereka mempercayai dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri secara mandiri. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mempunyai kemauan dan kemampuan yang mandiri dibidang kesehatan termasuk memelihara dan meningkatkan kesehatan diri masing-masing.

2.5.2. Strategi Promosi Kesehatan

Untuk mewujudkan promosi kesehatan, tentunya diperlukan suatu strategi yang baik. Strategi adalah cara yang digunakan dalam mencapai apa yang diinginkan dalam promosi kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan yang lain. Strategi ini diperlukan dalam mewujudkan visi dan misi dari promosi kesehatan.

Adapun strategi yang digunakan dalam mewujudkan promosi kesehatan berdasarkan konsep yang dikenalkan oleh WHO pada tahun 1984 adalah:

1. Advokasi.

Dalam memberikan bantuan kepada masyarakat, maka kegiatan ditujukan kepada para pembuat keputusan dan penentu kebijakan dibidang kesehatan maupun sektor lain yang terkait dengan kesehatan yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. Dengan demikian maka para pembuat keputusan akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan, undang-undang, instruksi yang diharapkan menguntungkan bagi kesehatan masyarakat umum. Strategi ini akan berhasil jika sasarannya tepat serta melibatkan seluruh stakeholder terkait program kesehatan yang akan ditawarkan. Bentuk dari advokasi bisa berupa lobbying, yakni dengan melakukan pendekatan atau pembicaraan formal dan


(58)

informal kepada para pengambil keputusan dan pemangku kepentingan untuk menyusun suatu aturan terkait program promosi kesehatan yang diinginkan.

2. Dukungan Sosial.

Promosi kesehatan akan mudah dilakukan jika mendapat dukungan dari berbagai elemen yang ada di masyarakat antara lain; tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat termasuk petugas dan pejabat kesehatan terkait. Dengan adanya dukungan dari unsur pemerintahan dan masyarakat diharapkan promosi kesehatan dapat dijembatani dengan baik antara pihak pengelola program kesehatan masyarakat dengan masyarakat sasaran itu sendiri.

3. Pemberdayaan Masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat dibutuhkan dalam kaitannya agar masyarakat memperoleh kemampuan dalam memlihara dan meningkatkan kesehatan diri sendiri. Upaya ini dapat dilakukan melalui penyuluhan kesehatan, pengorganisasian masyarakat atau peningkatan keterampilan terkait promosi kesehatan.

Selanjutnya dalam Konferensi Internasional I Promosi Kesehatan yang diadakan di Ottawa, Kanada oleh WHO pada tanggal 21 November 1986 dihasilkan sebuah dokumen penting yang disebut Ottawa Charter atau Piagam Ottawa yang berisikan mengenai perubahan rumusan strategi promosi kesehatan yaitu:

a. Mengembangkan kebijakan yang berwawasan kesehatan (healthy public policy). b. Menciptakan lingkungan yang mendukung (supportive environment).


(59)

c. Memperkuat gerakan masyarakat (community action). d. Mengembangkan kemampuan perorangan (personnal skills).

e. Menata kembali arah pelayanan kesehatan (reorient health services).

Kemudian konferensi ke-2 di Adelaide, Australia Tahun 1988, fokus dibahas mengenai pengembangan kebijakan yang berwawasan kesehatan, dengan menekankan 4 bidang prioritas, yaitu: (1) Mendukung kesehatan wanita. (2) Makanan dan gizi. (3) Rokok dan alkohol. (4) Menciptakan lingkungan yang sehat.

Pada tahun 1989 diadakan pertemuan lanjutan Kelompok Promosi Kesehatan negara-negara berkembang di Geneva, sebagai seruan untuk bertindak (A call for action). Dalam pertemuan ini ditekankan bahwa 3 strategi pokok promosi kesehatan untuk pembangunan kesehatan yaitu: (1) Advokasi Kebijakan (advocacy). (2) Pengembangan aliansi yang kuat dan sistem dukungan sosial (social support). (3) Pemberdayaan masyarakat (empowerment).

Konferensi ke-3 diselenggarakan di Sundval, Swedia pada Tahun 1991 dimana dalam konferensi ini menghasilkan pernyataan perlunya dukungan lingkungan untuk kesehatan. Untuk dukungan ini diperlukan 4 strategi kunci, yakni: a. Memperkuat advokasi diseluruh lapisan masyarakat

b. Memberdayakan masyarakat dan individu agar mampu menjaga kesehatan dan lingkungannya melalui pendidikan dan pemberdayaan

c. Membangun aliansi.


(60)

Konferensi ke-4 diselenggarakan di Jakarta, Indonesia Tahun 1997. Konferensi ini bertema: “New players for a new era: Leading Health Promotion into the 21st century” dan menghasilkan Deklarasi Jakarta, yang diberi nama: “The Jakarta Declaration on Health Promotion into the 21st Century”. Selanjutnya Deklarasi Jakarta ini memuat berbagai hal, antara lain sebagai berikut:

1. Bahwa Konferensi Promosi Kesehatan di Jakarta ini diselenggarakan hampir 20 tahun setelah Deklarasi Alma Atta dan sekitar 10 tahun setelah Ottawa Charter, serta yang pertama kali diselenggarakan di negara sedang berkembang dan untuk pertama kalinya pihak swasta ikut memberikan dukungan penuh dalam konferensi.

2. Bahwa Promosi Kesehatan merupakan investasi yang berharga, yang mempengaruhi faktor-faktor penentu dibidang kesehatan guna mencapai kualitas sehat yang setinggi-tingginya.

3. Bahwa Promosi Kesehatan sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dan perubahan faktor penentu kesehatan. Berbagai tantangan tersebut seperti: adanya perdamaian, perumahan, pendidikan, perlindungan sosial, hubungan kemasyarakatan, pangan, pendapatan, pemberdayaan perempuan, ekosistem yang mantap, pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan, keadilan sosial, penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia, dan persamaan, serta kemiskinan yang merupakan ancaman terbesar terhadap kesehatan, selain masih banyak ancaman lainnya.


(61)

4. Bahwa untuk menghadapi berbagai tantangan yang muncul terhadap kesehatan diperlukan kerjasama yang lebih erat, menghilangkan sekat-sekat penghambat, serta mengembangkan mitra baru antara berbagai sektor, di semua tingkatan pemerintahan dan lapisan masyarakat.

5. Bahwa prioritas Promosi Kesehatan abad 21 adalah : (a) Meningkatkan tanggungjawab sosial dalam kesehatan. (b) Meningkatkan investasi untuk pembangunan kesehatan. (c) Meningkatkan kemitraan untuk kesehatan. (d) Meningkatkan kemampuan perorangan dan memberdayakan masyarakat. (e) Mengembangkan infra struktur promosi kesehatan.

6. Selanjutnya menyampaikan himbauan untuk bertindak, dengan menyusun rencana aksi serta membentuk atau memperkuat aliansi promosi kesehatan di berbagai tingkatan, mencakup antara lain : (a) Membangkitkan kesadaran akan adanya perubahan faktor penentu kesehatan (b) Mendukung pengembangan kerjasama dan jaringan kerja untuk pembangunan kesehatan (c) Mendorong keterbukaan dan tanggungjawab sosial dalam promosi kesehatan.

Konferensi Internasional Promosi Kesehatan ke-5 diselenggarakan di Mexico City pada tanggal 5 sampai 7 Juni 2000. Pada akhir dibahas penanganan peningkatan kesenjangan yang mencirikan populasi diseluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, sebuah pernyataan yang ditandatangani oleh 87 Menteri Kesehatan dan menghasilkan pernyataan untuk promosi kesehatan yakni:


(62)

1. Mengakui bahwa pencapaian standar tertinggi kesehatan merupakan aset positif untuk kenikmatan hidup dan perlu bagi pembangunan sosial dan ekonomi dan pemerataan.

2. Mengakui bahwa promosi kesehatan dan pembangunan sosial adalah tugas dan tanggung jawab pusat pemerintah, bahwa semua sektor masyarakat berbagi. 3. Yang menyadari bahwa, dalam beberapa tahun terakhir, melalui upaya

berkesinambungan dari pemerintah dan masyarakat bekerja bersama, telah terjadi peningkatan kesehatan yang signifikan dan kemajuan dalam penyediaan layanan kesehatan dibanyak negara di dunia.

4. Menyadari bahwa, terlepas dari kemajuan ini, banyak masalah kesehatan yang masih bertahan yang menghambat pembangunan ekonomi dan sosial dan oleh karena itu harus segera ditujukan kepada ekuitas lebih lanjut dalam mencapai kesehatan dan kesejahteraan.

5. Apakah menyadari bahwa, pada saat yang sama, baru dan penyakit yang muncul kembali mengancam kemajuan yang dicapai dalam kesehatan.

6. Menyadari bahwa ini sangat mendesak untuk mengatasi sosial, ekonomi dan lingkungan dan faktor-faktor penentu kesehatan yang memperkuat mekanisme ini memerlukan kolaborasi untuk promosi kesehatan di semua sektor dan di semua tingkat masyarakat.

7. Menyimpulkan bahwa promosi kesehatan harus menjadi komponen fundamental kebijakan publik dan program disemua negara dalam mengejar kesetaraan dan kesehatan yang lebih baik bagi semua.


(1)

Ketrampilan

27 39,1 39,1 39,1

42 60,9 60,9 100,0

69 100,0 100,0

Kurang Baik Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

PPI

27 39,1 39,1 39,1

42 60,9 60,9 100,0

69 100,0 100,0

Kurang Baik Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(2)

ANALISIS BIVARIAT

Crosstabs

Pengetahuan * PPI

Crosstab

Count

13 7 20

14 35 49

27 42 69

Kurang Baik Pengetahuan Total

Kurang Baik

PPI

Total

Chi-Square Tests

7,913b 1 ,005

6,458 1 ,011

7,839 1 ,005

,007 ,006

7,798 1 ,005

69 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,83.


(3)

Sikap * PPI

Crosstab

Count

17 9 26

10 33 43

27 42 69

Kurang Baik Sikap Total

Kurang Baik

PPI

Total

Chi-Square Tests

12,074b 1 ,001

10,370 1 ,001

12,184 1 ,000

,001 ,001

11,899 1 ,001

69 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,17.


(4)

Keterampilan * PPI

Crosstab

Count

18 9 27

9 33 42

27 42 69

Kurang Baik Ketrampilan Total

Kurang Baik

PPI

Total

Chi-Square Tests

14,121b 1 ,000

12,285 1 ,000

14,351 1 ,000

,000 ,000

13,916 1 ,000

69 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,57.


(5)

ANALISIS MULTIVARIAT

Logistic Regression

Case Processing Summary

69 100,0

0 ,0

69 100,0

0 ,0

69 100,0

Unweighted Casesa

Included in Analysis Missing Cases Total

Selected Cases

Unselected Cases Total

N Percent

If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

a.

Dependent Variable Encoding

0 1 Original Value

Kurang Baik

Internal Value

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

0 27 ,0

0 42 100,0

60,9 Observed

Kurang Baik PPI

Overall Percentage Step 0

Kurang Baik

PPI Percentage

Correct Predicted

Constant is included in the model. a.

The cut value is ,500 b.

Variables in the Equation

,442 ,247 3,208 1 ,073 1,556

Constant Step 0


(6)

Variables not in the Equation

7,913 1 ,005

12,074 1 ,001

14,121 1 ,000

23,558 3 ,000

Pengetahuan Sikap Ketrampilan Variables

Overall Statistics Step

0

Score df Sig.

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

26,024 3 ,000

26,024 3 ,000

26,024 3 ,000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

66,343a ,314 ,426

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001. a.

Classification Tablea

17 10 63,0

7 35 83,3

75,4 Observed

Kurang Baik PPI

Overall Percentage Step 1

Kurang Baik

PPI Percentage

Correct Predicted

The cut value is ,500 a.

Variables in the Equation

1,340 ,652 4,224 1 ,040 3,820

1,538 ,616 6,243 1 ,012 4,655

Pengetahuan Sikap Step

1a