16 8 sampai 10 hari. Untuk nyamuk bisa mencapai umur lebih dari 10 hari perlu
tempat hinggap istirahat yang cocok dengan kelembaban tinggi. Karena nyamuk bernafas dengan spiracle dengan demikian permukaan tubuhnya luas dan
menyebabkan penguapan tinggi. Bila kelembaban rendah nyamuk akan mati kering; ketiga, untuk dapat menularkan penyakit dari orang ke orang nyamuk
harus menggigit orangmanusia, dengan demikian nyamuk dimusuhi oleh manusia; keempat, untuk bisa bertahan hidup maka jumlah nyamuk harus banyak
karena musuhnya banyak, dimusuhi manusia dan sebagai makanan hewan lain; kelima, nyamuk juga harus tahan terhadap virus, karena virus akan
memperbanyak diri di dalam tubuh nyamuk dan bergerak dari lambung, menembus dinding lambung dan kelenjar ludah nyamuk. Dari suatu populasi
nyamuk yang ada, pada musim penularan hanya beberapa persen saja yang menjadi vektor, mungkin kurang dari lima persen Depkes. R.I. 2002a.
2.2.5. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue DBD dengan
Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain UU 231997. Lingkungan alam dapat dibagi
menjadi a lingkungan fisik dan kimia,b lingkungan biologi, dan c lingkungan manusia yang meliputi bentuk sosial-ekonomi, sosial-budaya Suratmo 1991.
Lingkungan alam ini dapat pula diartikan sebagai lingkungan fisik dan lingkungan biologik bagi virus dengue, nyamuk Aedes aegypti, dan manusia.
Hasil penelitian para ahli kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara lingkungan hidup dengan kesehatan individu atau
masyarakat. Baik buruknya keadaan atau kondisi lingkungan hidup akan turut mempengaruhi terhadap tinggi rendahnya angka kesakitan dan angka kematian
penduduk yang disebabkan oleh penyakit menular melalui air water-borne disease, melalui tanah soil-borne disease, melalui udara air-borne disease,
dan melalui serangga arthropod-borne disease. Blum 1981 mengemukakan : ….Clearly, the largest aggregate of forces
resides in the person’s environment.One’s own behavior, in great part derived
17 from one’s experience with one’s environment, is seen as the next largest force
affecting health. Medical care services have been segregated out from the environment because our great interest and investment in them. They make a
modest contribution to health status. The contribution of heredity to health are harder to judge, but there is no doubt that we are templated at conception as to
our basic weaknesses and strengths. Bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan individu atau masyarakat adalah lingkungan.
Faktor besar kedua ialah perilaku, diikuti oleh faktor pelayanan kesehatan dan hereditas.
Gordon dan Le Richt 1950 mengemukakan bahwa timbul atau tidaknya penyakit pada manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yakni: pertama, faktor
penjamu host; kedua, faktor bibit penyakit agent; dan ketiga, faktor lingkungan environment. Faktor penjamu ialah semua faktor yang terdapat pada diri
manusia yang dapat mempengaruhi timbulnya serta perjalanan suatu penyakit, antara lain: faktor keturunan, mekanisme pertahanan tubuh, umur, jenis kelamin,
ras, status perkawinan, pekerjaan, dan kebiasaan hidup. Bibit penyakit agent ialah suatu substansi atau elemen tertentu yang kehadiran atau tidak kehadirannya
dapat menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan suatu penyakit, meliputi: golongan nutrien, golongan kimia, golongan fisik, golongan mekanik, dan
golongan biologik. Lingkungan ialah agregat dari seluruh kondisi dan pengaruh- pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu
organisasi, meliputi lingkungan fisik, lingkungan nonfisik. Peranan lingkungan dalam menyebabkan timbul atau tidaknya penyakit dapat bermacam-macam.
Salah satu di antaranya ialah sebagai reservoir bibit penyakit. Hubungan antara penjamu, bibit penyakit dan lingkungan dalam menimbulkan suatu penyakit amat
kompleks dan majemuk. Disebutkan bahwa ketiga faktor ini saling mempengaruhi di mana penjamu dan bibit penyakit saling berlomba untuk menarik keuntungan
dari lingkungan. Hubungan antara penjamu, bibit penyakit dan lingkungan ini diibaratkan seperti timbangan. Disini penjamu dan bibit penyakit berada di ujung
masing-masing tuas, sedangkan lingkungan sebagai penumpunya. Seseorang disebut berada dalam keadaan sehat, jika tuas penjamu berada dalam keadaan
seimbang dengan tuas bibit penyakit. Sebaliknya bila bibit penyakit lebih berhasil
18 menarik keuntungan dari lingkungan, maka orang tersebut berada dalam keadaan
sakit Gordon dan Le Richt 1950, diacu dalam Azwar 1987. Slamet 1996 mengemukakan bahwasanya lingkungan berpengaruh pada
terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana
sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk
kelangsungan hidupnya. Di dalam lingkungan terdapat faktor-faktor yang dapat menguntungkan manusia eugenik, ada pula yang merugikan manusia disgenik.
Dalam hubungannya dengan perkembangan kejadian penyakit DBD banyak sekali tempat-tempat di lingkungan kehidupan manusia yang dapat menjadi sarang
nyamuk Aedes aegypti, mulai dari jambangan keluarga, kaleng ataupun potongan bambu yang terisi air hujan, sampai pada reservoir air bersih yang tidak tertutup.
Mustafa 2003 mengemukakan bahwa setiap peralihan musim, terutama dari musim kemarau ke musim penghujan, kita menyaksikan berbagai masalah
kesehatan melanda tanah air kita, termasuk yang paling sering terjadi adalah wabah demam berdarah dengue fever. Sebagian masalah ini langsung atau tidak
langsung terkait dengan perubahan lingkungan global. Hasil penelitian Bohra 2001, di wilayah Jalor, India, terdapat delapan
variabel yang efektif berkontribusi terhadap kejadian penyakit DBD, yaitu frekuensi membersihkan wadah penampung air, pola permukiman, penggunaan
pendingin air, frekuensi membersihkan pendingin air, wadah air yang tidak tertutup, penggunaan pelindung nyamuk baik berupa kawat nyamuk,
penyemprotan insektisida dan penggunaan obat oles penolak nyamuk, frekuensi
pengisian persediaan air dan frekuensi pembuangan sampah. Membersihkan
wadah penampungan air mempunyai hubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Penelitian Bohra 2001 tersebut menyebutkan jika membersihkan wadah
air lebih dari delapan hari maka positif berkontribusi pada kejadian penyakit DBD, dan mengganti air satu atau dua kali satu minggu mengurangi resiko
tersebut. Demikian pula dengan wadah air yang tidak tertutup berhubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Dalam laporan tersebut juga dikatakan
infrastruktur buruk termasuk salah satu penyebab mudahnya transmisi kejadian
19 penyakit DBD. Pola permukiman padat dalam rentang jarak terbang nyamuk
Aedes aegypti tempat perkembangbiakannya menjadi hal yang positif penyebab tingginya kejadian penyakit DBD. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa
pembuangan sampah lebih dari 15 hari sekali mempunyai hubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Jarak pembuangan yang ideal adalah setiap tiga
hari sekali sampah diangkut, tetapi jarak satu minggu satu kali sudah dianggap
maksimum, dan lebih dari 15 hari sangat mengandung risiko.
Di Asia tenggara ditemukan hubungan yang kuat antara curah hujan dengan kejadian DBD dengan puncak transmisi pada bulan-bulan dengan curah
hujan dan suhu tinggi, karena banyaknya wadah sebagai penampung air bersih sebagai tempat hidup jentik Aedes aegypti. Di beberapa tempat, penyakit DBD
datang sebelum musim hujan dan meningkat pada saat peralihan cuaca. Dampak curah hujan pada kepadatan vektor tidak sama pada setiap spesies Gubler 2001,
diacu dalam Sintorini 2006. Kenaikan jumlah curah hujan akan diikuti dengan peningkatan jumlah kasus DBD, demikian pula sebaliknya penurunan jumlah
curah hujan akan diikuti dengan penurunan jumlah kasus di Kabupaten Pati Munif 1998. Wahyuni 2004 mengemukakan bahwa penyakit DBD dapat
dipastikan selalu muncul di musim penghujan setiap tahun hanya intensitasnya yang berbeda. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Sejati 2001 di Kota
Padang bahwa tidak ada hubungan antara curah hujan dengan penyakit DBD. Perubahan iklim dan lingkungan secara luas, telah merubah perilaku dan
sifat virus dengue maupun nyamuk penyebarnya Chakravarti and Kumaria 2005;
Nadesul 2004. Hasil penelitian Sintorini 2006 di Jakarta menyimpulkan bahwa kejadian penyakit DBD dipengaruhi curah hujan p = 0,000, suhu lingkungan
p=0,000, kelembaban ruang p = 0,003, kelembaban lingkungan p = 0,000. Hasil penelitian Sumantri 2008 bahwa faktor-faktor yang berperan dalam
pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta antara lain ialah: a lingkungan, mencakup curah hujan. suhu dan
kelembaban, b vektor, mencakup TPA, dan c manusia, mencakup perilaku hidup bersih dan sehat.
Hasil penelitian Fikri 2005 di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa faktor sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan kejadian penyakit
20 DBD ialah peubah jenis sarana air bersih p = 0,003, tempat penampungan air
p = 0,000 dan sampah tergenang air p = 0,011. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Fathi et al. 2000 bahwa sanitasi lingkungan tidak berperan dalam
terjadinya KLB penyakit DBD di kota Mataram Chi-square, p 0,05. Hal ini disebabkan karena kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi sanitasi
lingkungan yang tidak jauh berbeda antara daerah KLB penyakit DBD tinggi daerah studi dan daerah dengan KLB penyakit DBD rendah daerah kontrol.
Sebenarnya kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes, terutama apabila terdapat banyak kontainer penampungan air
hujan yang berserakan dan terlindung dari sinar matahari, apalagi berdekatan dengan rumah penduduk Sugijanto 2004, diacu dalam Fathi et al. 2000. Adapun
antara penyakit DBD dengan kontainer di kota Mataram, terdapat hubungan yang bermakna Chi-square, p 0,05 dengan relative risk RR adalah 2,96.
Keberadaan kontainer sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti, karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak tempat
perindukan dan akan semakin padat populasi Aedes aegypti. Semakin padat populasi nyamuk Aedes aegypti, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus
penyakit DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kejadian penyakit DBD cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya
KLB penyakit DBD.
2.2.6. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue DBD dengan