26 keluarganya merana fisik dan mentalnya Soerjani et al. 1978; di samping itu
mereka pun kurang mampu mencukupi kebutuhan untuk pengadaan atau pemeliharaan sarana kesehatan rumah tangga dan lingkungannya; semua ini
mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh mereka terhadap serangan penyakit.
2.3. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue
DBD
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD, Depkes R.I. telah menetapkan kegiatan-kegiatan pokok di tingkat Pusat, Propinsi,
Kabupaten, Kota, dan PUSKESMAS mencakup a membuat standardisasi, menyusun atau mendistribusikan pedoman atau petunjuk pelaksanaan atau
petunjuk teknis program; b menyediakan dan mendistribusikan: bahanalat laboratorium diagnostik, cairan infus, mesin fog, mesin ultra low volume,
insektisida, larvasida, pembersihan sarang nyamuk kit, bahan penyuluhan, kendaraan operasional khusus, dan lainnya; c menyelenggarakan pertemuan atau
pelatihan atau training of trainer pengelola program Provinsi, Kabupaten, Kota, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Kantor Kesehatan Pelabuhan;
d menyelenggarakan pertemuan atau pelatihan atau training of trainer klinisi dokter ahli penyakit anak penyakit dalam Rumah Sakit RS Provinsi atau
Kabupaten atau Kota; e menyelenggarakan pertemuan atau pelatihan atau training of trainer petugas laboratorium Balai Latihan Kerja dan Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan; f melaksanakan penyuluhan melalui media massa; g memfasilitasi pertemuan lintas program dan lintas sektor, pertemuan regional
Kelompok Kerja Nasional, secara berkala, dan lain-lain; h mengembangkan metode pemberantasan sarang nyamuk Aedes aegypti sesuai dengan situasi dan
kondisi masing-masing daerah atau local area specific berdasarkan hasil survei atau penelitian; i melaksanakan surveilans epidemiologi penyakit DBD;
j melaksanakan sistim kewaspadaan dini dan penanggulangan KLB; k melaksanakan supervisi atau pembinaan teknis program. l melaksanakan
pemantauan dan evaluasi program serta pelaporan; m mengobati atau merawat atau merujuk tersangka atau penderita penyakit DBD ke RS; n melaksanakan
pemeriksaan jentik berkala setiap tiga bulan; o menyelenggarakan pelatihan
27 petugas penyemprot di Desa atau Kelurahan; p menyelenggarakan pertemuan
atau pelatihan atau pembinaan kader dan juru pemantau jentik atau jumantik dalam penggerakan PSN DBD Depkes. R.I. 2005a.
Metode pengendalian vektor penyakit DBD, yang dikemukakan oleh Renganathan et al. 2003 adalah : a Environmental sanitation measures to
reduce mosquito breeding sites, such as the physical management of water containers e.g. mosquito-proof covers for water storage containers, polystyrene
beads in water tanks better designed and reliable water supplies, and recycling of solid waste such as discarded tyres, bottles, and cans, b biological methods
e.g. fish, copepods, small crustaceans that feed on mosquito larvae to kill or reduce larval mosquito populations in water containers, c chemical methods
against the mosquito’s aquatic stages for use in water containers e.g.temephos sand granules. d chemical methods directed against adult mosquitoes, such as
insecticide space sprays or residual applications, f personal protection through use of repellents, vaporizers, mosquito coils, and insecticide-treated screens,
curtains, and bednets for daytime use against Aedes. Metode yang dikemukakan ialah metode pemeliharaan kesehatan lingkungan, pengendalian dengan metode
biologik, pengendalian dengan metode kimia, dan pengendalian dengan metode perlindungan perorangan. Di antara metode-metode ini yang paling diyakini ialah
penyemprotan insektisida untuk mengendalikan nyamuk dewasa. Metode ini harus diulang pada interval yang sering, biayanya tinggi, dan keberhasilannya
bervariasi. Sejak beberapa tahun belakangan di Indonesia mulai dikembangkan pula
suatu program yang dikenal dengan COMBI, singkatan dari Communications for Behavioral Impact, yaitu program pencegahan dan pengendalian penyakit DBD.
Konsep ini adalah pendekatan baru yang dikembangkan oleh WHO untuk mengendalikan penyakit penyakit menular yang dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat. Metode COMBI adalah suatu rangkaian kegiatan untuk mengatasi dan pencegahan penyakit DBD dengan prinsip kegiatan dari, oleh dan untuk
masyarakat. Di Hulu Langat, Malaysia program ini berhasil dengan sukses menurunkan indeks nyamuk Aedes. Pendekatan COMBI di Hulu Langat
mempertunjukkan bahwa dengan identifikasi masalah dengan tepat yang
28 tersinergi dengan keikutsertaan masyarakat secara potensial dapat mengurangi
perkembangan Aedes dan kesakitan DBD. The COMBI approach in Hulu Langat successfully demonstrated that correct problem identification synergized with
community engagement can potentially reduce Aedes proliferation and dengue morbidity Rozhan S. et al. 2006.
Menurut Depkes. R.I. 1976 prinsip yang tepat dalam pencegahan penyakit DBD ialah: 1 memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat
pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kejadian DBD, 2 memutuskan lingkaran penularan dengan menahan
kepadatan vektor pada tingkat yang sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremi sembuh secara spontan, 3 mengusahakan pemberantasan vektor
di pusat daerah penyebaran, yaitu sekolah dan RS, termasuk pula daerah penyangga sekitarnya, dan 4 mengusahakan pemberantasan vektor di semua
daerah yang berpotensi penularan tinggi Depkes. R.I. 1976, diacu dalam Soedarmo 1988.
WHO 2003 mengemukakan bahwa pencegahan penyakit DBD di Indonesia didasarkan pada prinsip pemutusan rantai penularan, karena sampai saat
ini belum ada vaksin yang efektif terhadap virus dengue. Komponen-komponen yang terlibat dalam mata rantai penularan tersebut meliputi virus dengue agent,
Aedes aegypti vektor dan manusia host. Dalam kaitan ini Sholihin 2004 mengemukakan bahwa keberadaan virus dengue bisa ditemukan di tubuh manusia
dan di Aedes aegypti; oleh karena itu pencegahan dan pemberantasan DBD ditujukan pada dua sasaran pokok yaitu manusia dan vektor. Strategi yang
direkomendasikan oleh WHO 2002 ialah pemantauan vektor terus menerus sehingga dapat memutuskan rantai penularan. Strategi ini telah dijabarkan dengan
Kepmenkes R.I. Nomor: 581MENKESSK-VII1992, tentang Pemberantasan Penyakit DBD; dengan penegasan bahwa pemberantasan dilaksanakan oleh
Pemerintah dan masyarakat di Desa atau kelurahan melalui kelompok kerja POKJA DBD dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa LKMD yang dibina
oleh kelompok kerja nasional POKJANAL Tim Pembina LKMD tingkat kecamatan sampai tingkat pusat. Untuk keperluan perencanaan pencegahan
penyakit DBD, dapat digunakan semi average method yakni memperkirakan
29 jumlah kasus pada masa akan datang berdasarkan jumlah penderita pada tahun
sebelumnya Atmosukarto 1993. Upaya pemberantasan penyakit DBD yang telah dilaksanakan sampai saat
ini dengan cara penanganan penderita dan pengendalian vektornya. Beberapa cara untuk menurunkan padat populasi telah dilaksanakan, yaitu untuk nyamuk tingkat
dewasa dengan pengasapan fogging malathion dan tingkat pra-dewasa dilakukan dengan menggunakan larvisida seperti abate temephos serta PSN; bahkan
PSN dengan program 3M telah dimodifikasi menjadi 3M Plus, antara lain dengan memelihara ikan, menghindari gigitan nyamuk, kemungkinan memasang ovitrap
dan menyemprotkan insektida Hasyimi et al. 2005. Meskipun dua cara terakhir ini telah menjadi program pemberantasan DBD secara nasional tetapi belum
berhasil menurunkan angka kesakitan, terbukti setiap tahun masih terjadi KLB di beberapa kota Hasyimi et al. 2000. Solusi terbaik untuk mengurangi masalah
DHF di Jakarta adalah melalui intervensi public health Siahaan 2002. Dalam program pencegahan penyakit DBD dilakukan pengamatan
epidomiologi untuk menemukan kejadian secara cepat sehingga dapat dilakukan penanggulangan secepatnya Bhattacharya et al. 2008. Survei vektor mencakup
survei jentik dan survei nyamuk dewasa. Karena praktisnya, metodologi survei jentik adalah yang paling umum dipakai dibandingkan dengan metodologi survei
telur atau survei nyamuk dewasa. Survei jentik dilakukan di semua rumah, jika wilayah kecil, atau pada minimal 50 rumah jika meliputi wilayah yang luas.
Angka yang dihitung adalah indeks rumah atau house index HI, indeks kontainer container index dan indeks breteau breteau index Depkes. R.I. 2002. House
index HI ialah persentase antara rumah ditemukan jentik terhadap seluruh rumah yang diperiksa. Container index CI ialah persentase antara kontainer
yang ditemukan jentik terhadap seluruh kontainer yang diperiksa. Breteau index BI ialah jumlah kontainer yang positif per seratus rumah yang diperiksa.
Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam survei jentik nyamuk penular DBD. Kesalahan dalam menghitung ABJ harus dihindari. Hasyimi 1999
mengemukakan adakalanya kesalahan dalam menghitung ABJ disebabkan oleh kurang telitinya kader atau petugas. Hal ini berkaitan dengan faktor bentuk
30 formulir pemantauan jentik berkala PJB kurang tepat atau faktor belum
memadainya pengetahuan kader dan masyarakat luas tentang Aedes aegypti. Dalam rangka upaya pencegahan dan pemberantasan DBD dikenal istilah
AHJ angka hinggap per jam yaitu jumlah nyamuk Aedes aegypti dewasa yang tertangkap pada umpan orang per jam penangkapan dikalikan jumlah kolektor.
Penghitungan ini dapat untuk mengetahui bagaimana populasi nyamuk dewasa di suatu wilayah. Pengukuran dilakukan satu minggu satu kali. Selain itu perlu
diketahui pula istilah nyamuk istirahat per rumah NIR adalah jumlah nyamuk aedes dewasa tertangkap pada saat hinggap per jumlah rumah yang disurvei.
Pemberantasan nyamuk dewasa yang menggunakan bahan kimia thermal fogging hingga saat ini masih dianggap sebagai strategi penting untuk
memberantas nyamuk, namun berdampak kecil bagi upaya pemberantasan DBD jangka panjang. Fogging dilakukan jika ditemukan sekurangnya tiga penderita
panas tanpa sebab dan kepadatan jentik tinggi. Campuran bahan kimia untuk pengasapan adalah malathion atau fenitrothion dalam dosis 438 gram per hektar
dilarutkan dalam 4 solar atau minyak tanah, dilakukan minimal dua kali dalam jarak 10 hari di rumah penderita dan pada jarak 100 meter di sekelilingnya
Soedarmo 1988. Program pengasapan rumah dengan malathion untuk pengendalian Aedes aegypti telah dilakukan sejak tahun 1972 Boesri et al. 1993,
namun sampai saat ini vektor DBD belum dapat dikendalikan dengan baik. Pembasmian dengan larvasida dianggap lebih ekonomis dan lebih
berkesinambungan karena memberantas jentik nyamuk. Larvasida yang digunakan adalah butir-butir abate 1 SG sodium glutamate yang ditaburkan
pada tempat penyimpanan air dengan dosis satu ppm part per million yaitu 10 gram untuk 100 liter air. Pengulangan pada jarak dua atau tiga bulan kemudian
Soedarmo 1988. Dalam rangka pencegahan penyakit DBD dapat pula dikembangkan
populasi binatang predator nyamuk Aedes aegypti dan jentiknya serta tumbuh- tumbuhan anti nyamuk Aedes aegypti. Dari semua predator jentik nyamuk, yang
terpenting adalah ikan pemakan jentik. Bermacam-macam jenis ikan pemakan jentik dan telah dikenal dan telah pula digunakan untuk pemberantasan jentik
dengan sukses di berbagai negara untuk mengatasi masalah nyamuk. Di antara
31 vertebrata, anak katak dapat memangsa jentik nyamuk terutama di tempat
perkembangbiakan yang kecil dengan air yang dangkal. Ikan pemakan jentik yaitu ikan kepala timah panchax-panchax, beunteur puntius binotatus, cecereh
rasbora lesteristriata, gendol jantan poecilia recticulata, gendol betina poecelia recticulata, julung-julung dermogenys pusilus, cupang ctenops
vittatus, sepat trichogaster trichopterus Depkes. R.I. 2004. Ekstrak tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai penangkal nyamuk, antara lain minyak serai,
minyak sitrun dan minyak neem WHO 2003. Mengenai efektifitas cara pencegahan penyakit DBD, hasil penelitian
Fathi et al. 2000 menunjukkan bahwa 3M berperan positif terhadap pencegahan terjadinya KLB penyakit DBD di kota Mataram Chi-square, p 0,05 dengan
relative risk RR = 2,65; demikian pula tindakan abatisasi Chi-square, p 0,05 dengan relative risk RR = 2,51; namun tidak tampak peran tindakan fogging
Chi-square, p 0,05 dan juga tidak nampak adanya peran kepadatan vektor terhadap KLB penyakit DBD Fischer’s exact probability test, p 0,05.
Penelitian Martomijoyo 1996 di Kecamatan Indramayu dan Kecamatan Sindang Kabupaten Indramayu Jawa Barat menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
yang bermakna antara angka bebas jentik ABJ desa atau kelurahan yang mendapatkan fogging massal dengan desa atau kelurahan yang tidak mendapatkan
kegiatan fogging massal.
2.4. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman