Dasar Teori Kepribadian Alfred Adler

10 BAB 2 PERSPEKTIF TEORITIK DAN KAJIAN PUSTAKA Teori kepribadian Alfred Adler merupakan salah satu pengembangan teori psikoanalisis dengan konsep ilmu pengetahuan sosial atau disebut sebagai aliran neo-Freudian. Kerangka berpikir Adler diletakkan pada dua pilar konseptualnya yang penting, yaitu minat sosial dan perjuangan ke arah superioritas.

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Dinamika Kepribadian

2.1.1.1 Dasar Teori Kepribadian Alfred Adler

Dinamika kepribadian menyinggung hal-hal yang menimbulkan perubahan atau sistem-sistem yang menekankan penyebab tingkah laku yang tidak disadari. Metode dari psikologi individu dimulai dan diakhiri dengan masalah inferioritas yang menjadi dasar dari kerja keras dan kesuksesan seseorang. Di lain pihak, rasa inferioritas juga menjadi dasar untuk semua masalah ketidakmampuan penyesuaian psikologis. Inferioritas bagi Adler berarti perasaan lemah dan tidak terampil dalam menghadapi tugas yang harus diselesaikan. Bukan rendah diri terhadap orang lain dalam pengertian yang umum, walaupun ada unsur membandingkan kemampuan khusus diri dengan kemampuan orang lain yang lebih matang dan berpengalaman. 11 Superioritas, pengertiannya mirip pengertian transendensi sebagai awal realisasi diri dari Jung, atau aktualisasi diri dari Horney dan Maslow. Superioritas bukan lebih baik dibandingkan orang lain atau mengalahkan orang lain, tetapi berjuang menuju superioritas berarti terus menerus berusaha menjadi lebih baik, menjadi semakin dekat dan semakin dekat dengan tujuan final. Kondisi-kondisi khusus seperti kelemahan organikcacat, pemanjaan dan pengabaian dapat membuat orang mengembangkan kompleks inferioritas inferiority complex atau kompleks superioritas superiority complex. Dua kompleks ini berhubungan erat. Kompleks superior yaitu satu sikap yang meliputi penilaian atau perkiraan yang dilebih-lebihkan mengenai kemampuan mental seseorang, sifat-sifat fisik atau kepribadiannya. Sedangkan kompleks inferior yaitu perasaan tidak berarti yang sangat kuat dan tidak disadari, merasa tidak aman, serta ketidak mauan untuk berjuang menanggulangi masalah yang dihadapi. Adler 1997: 160 mengungkapkan bahwa kesalahan pada fungsi psikis lebih berbahaya pada waktu tertentu daripada yang lain, dan gaya hidup adalah pengkristalan dalam bentuk kecenderungan pada masa anak-anak dalam bentuk asli yang dikembangkan oleh anak usia empat atau lima tahun. Hal ini menjadi keutuhan beban dari dorongan yang menentramkan kehidupan kesehatan psikologis pada bimbingan masa anak-anak yang tepat, dimana tujuan pokok menjadi penguatan minat sosial yang semestinya dalam terminologi manfaat dan tujuan kesehatan. Hal ini dapat melatih anak-anak untuk menyesuaikan skema sosial pada perasaan alamiah manusia dari inferioritas dapat mengendalikannya dengan baik dan juga mencegah kompleks inferioritas dan superioritas. 12 These are the dynamics of psychological life. We know that mistakes in the functioning of the psyche are more harmful at certain times than at others. We know that the life style is crystallized in tendencies formed in childhood - in the prototype that develops by the age of four or five. And this being so, the whole burden of encouraging a healthy psychological life rests on proper childhood guidance, where the principal aim should be the cultivation of proper social feeling in terms of useful and healthy goals. It is only by training children to fit in with the social scheme that the natural human sense of inferiority is properly harnessed and is prevented from engendering either an inferiority or a superiority complex. Adler, 1997: 160 2.1.1.2 Tujuan Final yang Semu Fictional Final Goals Pandangan Adler dipengaruhi oleh filsafat Hans Vaihinger, yang bukunya berjudul The Psychology of “as if” terjemahan dalam bahasa Inggris, 1925 diterbitkan pada tahun 1911. Vaihanger mengemukakan gagasan aneh namun memikat bahwa manusia hidup dengan banyak cita-cita yang semata-mata bersifat semu, yang tidak ada padanannya dalam kenyataan. Vaihinger dan Adler, menggarisbawahi bahwa mereka menggunakan tujuan final yang semu tersebut untuk membuat hidup lebih baik dari hari ke hari. We behave as if we knew the world would be here tomorrow, as if we were sure what good and bad are all about, as if everything we see is as we see it, and so on. Adler called this fictional finalism. You can understand the phrase most easily if you think about an example: Many people behave as if there were a heaven or a hell in their personal future. Of course, there may be a heaven or a hell, but most of us dont think of this as a proven fact. That makes it a fiction in Vaihingers and Adlers sense of the word. And finalism refers to the teleology of it: The fiction lies in the future, and yet influences our behavior today. Adler added that, at the center of each of our lifestyles, there sits one of these fictions, an important one about who we are and where we are going Adler, 1937: 6 dalam Boeree 2006. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa orang berperilaku baik dan buruk berdasarkan keyakinan adanya surga dan neraka dimasa depan, faktanya hal ini 13 tidak dapat dibuktikan sekarang. Hal ini yang disebut Adler dan Vaihinger sebagai “semu atau khayalan”. Sedangkan finalisme mengacu pada keyakinan pada keberadaan teologi tujuan akhir. Tujuan yang semu berada di masa depan, tetapi belum tentu mempengaruhi perilaku kita saat ini. Adler meletakkan “semu” ini pada pusat gaya hidup yang mempengaruhi identitas diri dan arah kita dalam hidup. Gambaran-gambaran semu ini, misalnya “semua manusia diciptakan sama”, “kejujuran adalah politik yang baik”, “semua manusia diciptakan sama”, “tujuan membenarkan sarana”, memungkinkan manusia menghadapi kenyataan secara lebih efektif. Gambaran-gambaran semu itu merupakan konstruksi- konstruksi atau pengandaian-pengandaian penolong dan bukan hipotesis yang dapat diuji dan dibuktikan. Hal tersebut dapat dibuang manakala tidak lagi berguna. Adler 1997: 3 menyatakan bahwa setiap pikiran membentuk sebuah konsep dari tujuan atau cita-cita, artinya untuk mendapatkan diluar bagian masa kini dan untuk menanggulangi defisiensi masa kini atau kesulitan menformulasikan tujuan pokok untuk masa depan. Artinya maksud atau tujuan pokok ini, individu dapat berfikir dan merasakan superioritasnya untuk memperlihatkan kesulitan-kesulitan karena mereka memiliki kesuksesan masa depan dalam pikirannya. Tanpa hasrat dari sebuah tujuan ini, aktivitas individu akan kehilangan arti. Each mind forms a conception of a goal or ideal, a means to get beyond the present state and to overcome present deficiencies or difficulties by formulating a particular aim for the future. By means of this particular aim or goal, individuals can think and feel themselves superior to present 14 difficulties because they have future success in mind. Without this sense of a goal, individual activity would be meaningless Adler, 1997: 3. Tujuan-tujuan ini tidak ada di masa depan sebagai bagian dari rancangan teologis melainkan hadir secara subjektif atau secara mental di sini dan kini dalam bentuk perjuangan-perjuangan secara cita-cita yang mempengaruhi tingkah laku sekarang. Misalnya, apabila orang percaya bahwa ada surga bagi orang-orang saleh dan neraka bagi orang-orang pendosa, maka bisa diandaikan bahwa kepercayaan ini akan sangat mempengaruhi tingkah lakunya. Bagi Adler, tujuan- tujuan semu ini merupakan penyebab peristiwa-peristiwa psikologis. Seperti Jung, Adler mengidentifikasinkan teori Freud dengan prinsip kausalitas dan teorinya sendiri dengan prinsip finalisme. Memiliki sebuah tujuan seperti bercita-cita menjadi “Tuhan”. Tapi menjadi “Tuhan” tentunya bukan suatu tujuan akhir, dan pendidik seharusnya mencoba memperingatkan untuk mendidik diri mereka dan anak- anaknya untuk menjadi seperti “Tuhan”. Anak-anak meniru suatu hal yang lebih kongkrit dalam segera menetapkan tujuannya dan melihat pada seseorang yang paling kuat disekitar mereka untuk menjadikannya model dalam perwujudan tujuan mereka. Hal tersebut didapat dari ayah, ibu, ataupun orang lain. Psikologi individual secara mutlak mempertahankan finalisme sebagai sesuatu yang sangat penting untuk memahami semua gejala psikologis. Penyebab, kekuatan, insting, impuls, dan sebagainya tidak dapat berfungsi sebagai prinsip yang dapat memberikan penjelasan. Tujuan final sendiri dapat menjelaskan tingkah laku manusia. Pengalaman- pengalaman, trauma-trauma, mekanisme-mekanisme perkembangan seksual tidak dapat memberikan penjelasan, tetapi perspektif dengan mana semua ini dilihat, cara individu melihat semua ini, yang mengarahkan seluruh kehidupan pada tujuan final, dapat menjelaskannya Adler 1930: 400 dalam Hall and Lindzey, 1993: 244. 15 Tujuan final adalah hasil dari kekuatan kreatif individu; kemampuan untuk membentuk tingkahlaku diri dan menciptakan kepribadian diri. Pada usia 4 atau 5 tahun, fikiran kreatif anak mencapai tingkat perkembangan yang membuat mereka mampu menentukan tujuan final, bahkan bayi sesungguhnya sudah memiliki dorongan yang dibawa sejak lahir untuk tumbuh, menjadi lengkap, atau sukses. Karena mereka kecil, tidak lengkap, dan lemah, mereka merasa inferior dan tanpa tenaga – untuk mengatasi hal ini mereka menetapkan tujuan final menjadi besar, lengkap, dan kuat. Tujuan final semacam ini mengurangi penderitaan akibat perasaan inferior, dan menunjukkan arah menuju superiorita dan sukses. Jika anak diabaikan atau dimanja, sebagian besar tujuan final mereka tetap tidak mereka sadari. Adler membuat hipotesa bahwa anak semacam itu akan mengkompensasi perasaan inferiornya dengan cara yang rumit dan tidak jelas hubungannya dengan tujuan final mereka. Misalnya, tujuan mencapai superiorita dari gadis yang dimanja, ternyata membuat permanen hubungan parasit dengan ibunya. Sebagai orang dewasa, gadis itu tampak tergantung dan mencela diri sendiri. Tingkah laku yang tidak sesuai dengan tujuan menjadi superior superiority complex, merupakan lanjutan dari tingkahlaku tergantung yang dibuat pada usia 4 atau 5 tahun. Anak-anak memandang ibunya besar dan kuat, dan menggantungkan diri kepada ibu, pada masa itu menjadi cara yang alami untuk mencapai superiorita. Anak yang diabaikan atau dimanja, sesudah dewasa tingkahlakunya tidak mencerminkan perjuangan menjadi superiorita, ini merupakan indikasi dari kondisi tidak sadar tujuan. 16 Sebaliknya, jika anak mengalami cinta dan keamanan, mereka membuat tujuan yang sebagian besar disadari dan dipahami. Anak yang secara psikologis sehat, berjuang menjadi superiorita memakai tolok ukur kesuksesan dan minat sosial. Walaupun tujuan final tidak pernah disadari secara lengkap, individu yang secara psikologis masak memahami dan berjuang mengejar tujuan itu dengan kesadaran yang tinggi.

2.1.1.3 Perjuangan Menuju Superioritas