Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual

(1)

GAMBARAN KOMPETENSI SOSIAL PADA ANAK YANG

MENGIKUTI SEKOLAH BILINGUAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

LENNY VERONIKA PURBA

071301060

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2010/2011


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Agustus 2011

LENNY VERONIKA PURBA


(3)

Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual

Lenny Veronika Purba dan Rahma Yurliani

ABSTRAK

Masa anak-anak tengah merupakan masa sekolah, memasuki dunia sosial yang lebih luas dan masa emas untuk belajar. Kompetensi sosial merupakan salah satu bentuk kompetensi yang harus dilimiliki oleh anak agar dapat diterima oleh orang lain. Anak harus memiliki seperangkap kecakapan verbal dan non verbal untuk dapat berkompetensi sosial dengan baik, yang tentunya berbeda pada anak bilingual yang menguasai dua bahasa. Kompetensi sosial adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 93 anak berusia 8-11 tahun di salah satu sekolah bilingual di kota Medan. Subjek diperoleh dengan teknik purposive sampling. Alat ukur yang digunakan berupa skala kompetensi sosial yang disusun berdasarkan elemen dari kompetensi sosial yang dikemukakan oleh Clikeman (2007). Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment dan reliabilitas terhadap daya uji coba dengan menggunakan teknik koefisien Alpha dari Cronbach, maka diperoleh koefisien alpha keseluruhan aitem 0,891.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual yang tergolong rendah sebanyak 15 anak (16,2%), kompetensi sosial yang tergolong sedang 59 anak (63,4%) dan kompetensi sosial yang tergolong tinggi sebanyak 19 anak (20,4%). Maka berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual berada pada kategori sedang. Hasil penelitian tambahan menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada anak laki-laki. Anak yang berusia 9 tahun memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak usia 8,10 dan 11 tahun. Anak yang mengikuti sekolah bilingual selama 3 tahun memiliki kompet ensi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang mengikuti sekolah bilingual selama 4, 2 dan 1 tahun. Anak tunggal memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak sulung, anak tengah dan anak bungsu.


(4)

Social Competence in Children who Attend Bilingual School

Lenny Veronika Purba and Rahma Yurliani

ABSTRACT

Middle childhood is the stage of development in which children attend school, involve in society and golden age of learning. Social competence is one of the competence children needed to integrate with people. Children must have verbal and non verbal skills to compete socially, by all means different from a bilingual children. Social competence is a skill needed to interact and communicate with people. This descriptive research aims to know social competence in children who attend bilingual school. The subjects in this research is 93 children aged 8-11 who attend bilingual school in Medan. The subjects is chosen using purposive sampling. Measurement tool used in this research is social competence scale according to theory proposed by Clikeman (2007). Based on estimates of the items by using Pearson Product Moment coefficient correlation and the reliability of the power test by using the technique of Alpha Cronbach coefficient, the overall alpha coefficient is 0,891.

The result indicates that social competence in children who attend bilingual school is 15 people (16.2%) counted as low category, 59 people (63.4%) counted as moderate category, and 19 people (20.4%) counted as high category. In general, social competence in children who attend bilingual school is in moderate category. Additional result indicates that girls have higher social competence than boys. 9 year old children have highest social competence among 8 to 11 year old children. Children who attend bilingual school for 3 years have highest social competence among those who attend bilingual school for 1, 2 and 4 years. The only child in family has higher social competence than the eldest, middle and youngest child in a family.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan berkat

yang dilimpahkan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan judul “Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti

Sekolah Bilingual” dengan baik. Segala syukur dan pujian tertinggi bagi-Nya

karena berkat penyertaan Roh Kudus dan doa Bunda Maria, peneliti dapat

menjalani tahap demi tahap penyelesaian skripsi ini dengan penuh pembelajaran.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak

mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, peneliti

ingin menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orangtua

peneliti, papa dan mama yang tidak henti-hentinya mendoakan, membesarkan hati

dan memberi semangat kepada peneliti hingga skripsi ini rampung. Dalam

menyelesaikan skripsi ini, peneliti juga mendapat banyak bantuan, bimbingan dan

dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, peneliti ingin

menyampaikan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah turut

membantu penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Rahma Yurliani, M.Psi selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar

dalam membimbing peneliti dan menyempatkan waktu dari awal hingga

akhir penyusunan skripsi ini. Terimakasih sebesar-besarnya atas semua


(6)

kesabaran ibu dalam membimbing peneliti tidak akan mampu peneliti

balas dengan apapun dan akan peneliti kenang selalu. Semoga Tuhan

membalas semua kebaikan ibu.

3. Dosen Penguji II dan III yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk

menguji skripsi ini.

4. Ibu Meidriani Ayu Siregar, M.Kes, psikolog dan juga ibu Debby

Anggraini, M.Psi selaku dosen penguji proposal penelitian. Terimakasih

atas segala kritik, bimbingan dan masukan yang telah diberikan kepada

peneliti guna membuat penelitian ini menjadi lebih baik.

5. Bapak Ari Widiyanta, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing

akademik yang telah bersedia untuk membimbing peneliti dan

memberikan masukan dalam bidang akademik pada setiap semester

perjalanan kuliah peneliti sehingga dapat memberikan hasil yang terbaik.

6. Kepada kepala sekolah SD Panca Budi, SD Al-Azhar dan SD Tunas

Harapan Mandiri yang bersedia mengijinkan dan membantu peneliti dalam

pengambilan data.

7. Kakak kandung peneliti Sr. Laura Purba, KYM atas setiap doanya yang

menguatkan peneliti untuk terus berjuang dan tidak putus asa. Abang dan

kakak ipar peneliti, Lian Erikson Purba dan Doris Caroline Egers

Situmorang atas pengertian dan dukungan yang diberikan kepada peneliti

dari awal sampai selesainya skripsi ini.

8. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu


(7)

seluruh pegawai di Fakultas Psikologi USU yang setia membantu peneliti

menyediakan segala keperluan selama perkuliahan.

9. Kakak senior peneliti yakni Jayanti Theodora, S.Psi dan Retnata Ofelia

Sembiring, S.Psi yang juga memberikan motivasi, saran dan masukan

yang sangat bermanfaat bagi peneliti.

10.Teman-teman yang telah membantu peneliti dalam perjalanan skripsi ini.

Tetty Sinambela atas kesediaannya membantu peneliti dalam mencetak

skala dan seluruh skripsi ini, Trisa Novia dan M. Ikbal S M Nst atas

kesediaannya menerjemahkan aitem-aitem ke Bahasa Inggris, Nana Z

Siregar atas kesediaannya menemani peneliti meminta ijin ke sekolah.

Fitry Susanti, kak Shasa Dwi Arumi dan Irene F Saragih yang telah

bersedia membantu peneliti dalam mengambil data Try Out. Rossy A

Tarigan, Rani Putri Sari Purba dan Arini Pandiangan yang juga bersedia

dan meluangkan waktu membantu peneliti mengambil data penelitian di

tengah-tengah kesibukannya.

11.Sahabat-sahabat terbaik peneliti di dalam kesibukan skripsi ini Irene

Febrina Saragih dan Ita Novita Purba yang selalu memberikan masukan,

semangat, dukungan dan motivasi kepada peneliti di saat-saat peneliti

merasa gundah. Juga kepada sahabat-sahabat peneliti lainnya Arini

Pandiangan, Helen Lamtiur, Sustriana Saragih, Erni Simanjuntak, Intan H

Manik, Desmi Elnita Saragih, Ratna Jesika Malau dan Dermika R Sirait


(8)

12.Seluruh teman-teman angkatan 2007 atas kebersamaan kita selama 4 tahun

di dunia perkuliahan. Teman-teman seperjuangan di departemen Psikologi

Perkembangan.

13.Teman-teman di Paduan Suara Gloria USU mulai dari Sopran, Alto, Tenor

dan Bass yang tercinta dan tak akan terlupakan. Terimakasih atas

kebersamaan kita dalam memuji Tuhan dan segala perjalanan, canda tawa

dalam menghilangkan penat kuliah akan penulis kenang selalu. Serta

teman-teman di KMK Santo Lukas untuk pengalaman-pengalamannya

bersama Kristus, khususnya kepada sahabat peneliti Eva Christine Saragih,

S.Ked dan Novrita Silalahi S.Ked yang selalu memberikan dorongan

kepada peneliti.

14.Semua orang yang telah membantu peneliti dalam penyelesaian skripsi ini,

yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

karena itu peneliti terbuka untuk menerima semua saran dan kritik demi

tercapainya penulisan yang lebih baik lagi. Akhir kata, peneliti berharap kiranya

skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Medan, Agustus 2011

Peneliti


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiiv

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Sosial 1. Pengertian Kompetensi Sosial ... 17

2. Elemen Kompetensi Sosial ... 18


(10)

B. Bilingual

1. Pengertian Bilingual ... 25

2. Pengaruh Bilingual ... 27

3. Hal-hal yang Mempengaruhi Bilingual ... 31

4. Pengertian Sekolah Bilingual ... 32

5. Jenis Sekolah Bilingual ... 33

C. Anak-anak Tengah (Middle Childhood) 1. Pengertian Anak-anak Tengah ... 35

2. Tugas Perkembangan Anak-anak Tengah ... 36

3. Perkembangan Kognitif dan Bahasa Anak-anak Tengah.. 37

4. Perkembangan Psikososial Anak-anak Tengah ... 39

D. Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual ... 40

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel ... 46

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 47

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel ... 47

2. Metode Pengambilan Sampel ... 49

3. Jumlah Sampel Penelitian ... 49


(11)

E. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

1. Uji Validitas ... 53

2. Uji Reliabilitas ... 55

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 56

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian ... 61

a. Rancangan Alat dan Instrumen Penelitian ... 62

b. Permohonan Izin ... 62

c. Uji Coba Alat Ukur ... 63

d. Penyusunan Alat Ukur Penelitian ... 64

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 65

3. Tahap Pengolahan Data ... 66

H. Metode Analisis Data ... 67

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data 1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 69

a. Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 69

b. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 70

c. Gambaran Subjek Berdasarkan Lama Mengikuti Sekolah Bilingual ... 71

d. Gambaran Subjek Berdasarkan Posisi Urutan Dalam Keluarga ... 72


(12)

2. Hasil Penelitian ... 73

a. Hasil Utama Penelitian ... 74

1. Uji Normalitas ... 74

2. Gambaran Umum Kompetensi Sosial pada

Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual ... 75

3. Gambaran Dimensi Kompetensi Sosial pada

Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual ... 77

b. Hasil Tambahan Penelitian ... 80

1. Gambaran Kompetensi Sosial pada Anak

yang Mengikuti Sekolah Bilingual

Berdasarkan Jenis Kelamin ... 81

2. Gambaran Kompetensi Sosial pada Anak

yang Mengikuti Sekolah Bilingual

Berdasarkan Usia ... 82

3. Gambaran Kompetensi Sosial pada Anak yang

Mengikuti Sekolah Bilingual Berdasarkan

Lamanya Mengikuti Sekolah Bilingual ... 83

4. Gambaran Kompetensi Sosial pada Anak yang

Mengikuti Sekolah Bilingual Berdasarkan

Posisi Urutan dalam Keluarga ... 84


(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran

1. Saran Metodologis ... 95

2. Saran Praktis ... 96


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Blue Print Skala Kompetensi Sosial Sebelum Diuji Coba ... 51

Tabel 2 Distribusi Aitem Skala Kompetensi Sosial I

Sebelum Diuji Coba ... 58

Tabel 3 Distribusi Aitem Skala Kompetensi Sosial II

Sebelum Diuji Coba ... 58

Tabel 4 Distribusi Aitem Skala Kompetensi Sosial I

Setelah Diuji Coba ... 60

Tabel 5 Distribusi Aitem Skala Kompetensi Sosial II

Setelah Diuji Coba ... 60

Tabel 6 Distribusi Aitem Skala Kompetensi Sosial dengan

Penomoran Baru yang Digunakan Pada Skala Penelitian ... 61

Tabel 7 Persentase Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 69

Tabel 8 Persentase Subjek Berdasarkan Usia ... 70

Tabel 9 Persentase Subjek Berdasarkan Lama Mengikuti

Sekolah Bilingual ... 71

Tabel 10 Persentase Subjek Berdasarkan Posisi Urutan dalam Keluarga ... 72

Tabel 11 Hasil Uji Normalitas Data Penelitian dari Skala

Kompetensi Sosial ... 74

Tabel 12 Deskripsi Umum Skor Maksimum, Minimum, Mean, dan


(15)

Tabel 13 Pengkategorian Kompetensi Sosial ... 76

Tabel 14 Pengkategorian Kompetensi Sosial Berdasarkan Skor

Skala Kompetensi Sosial ... 76

Tabel 15 Kategorisasi Kompetensi Sosial Berdasarkan Dimensi

Kompetensi Sosial ... 78

Tabel 16 Pengkategorian Anak yang Memiliki Kompetensi Sosial

Sedang Berdasarkan Dimensi Kompetensi Sosial ... 79

Tabel 17 Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti

Sekolah Bilingual Berdasarkan Jenis Kelamin ... 81

Tabel 18 Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti

Sekolah Bilingual Berdasarkan Usia ... 82

Tabel 19 Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti

Sekolah Bilingual Berdasarkan Lama Mengikuti

Sekolah Bilingual ... 83

Tabel 20 Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kerangka berfikir ... 45

Gambar 2 Penyebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 70

Gambar 3 Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia ... 71

Gambar 4 Penyebaran Subjek Berdasarkan Lama Mengikuti

Sekolah Bilingual ... 72

Gambar 5 Penyebaran Subjek Berdasarkan Posisi Urutan

dalam Keluarga ... 73

Gambar 6 Pengkategorian Kompetensi Sosial pada Anak yang

Mengikuti Sekolah Bilingual Berdasarkan Skor


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Data Mentah Hasil Uji Coba Skala Kompetensi Sosial ... 102

Lampiran 2 Hasil Analisis Aitem Uji Coba Skala Kompetensi Sosial ... 109

Lampiran 3 Data Mentah Subjek Penelitian dalam Skala Kompetensi Sosial ... 117

Lampiran 4 Hasil Uji Normalitas Pada Skala Kompetensi Sosial ... 122

Lampiran 5 Skala Kompetensi Sosial Sebelum Uji Coba ... 146

Lampiran 6 Skala Penelitian Kompetensi Sosial ... 174


(18)

Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual

Lenny Veronika Purba dan Rahma Yurliani

ABSTRAK

Masa anak-anak tengah merupakan masa sekolah, memasuki dunia sosial yang lebih luas dan masa emas untuk belajar. Kompetensi sosial merupakan salah satu bentuk kompetensi yang harus dilimiliki oleh anak agar dapat diterima oleh orang lain. Anak harus memiliki seperangkap kecakapan verbal dan non verbal untuk dapat berkompetensi sosial dengan baik, yang tentunya berbeda pada anak bilingual yang menguasai dua bahasa. Kompetensi sosial adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 93 anak berusia 8-11 tahun di salah satu sekolah bilingual di kota Medan. Subjek diperoleh dengan teknik purposive sampling. Alat ukur yang digunakan berupa skala kompetensi sosial yang disusun berdasarkan elemen dari kompetensi sosial yang dikemukakan oleh Clikeman (2007). Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment dan reliabilitas terhadap daya uji coba dengan menggunakan teknik koefisien Alpha dari Cronbach, maka diperoleh koefisien alpha keseluruhan aitem 0,891.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual yang tergolong rendah sebanyak 15 anak (16,2%), kompetensi sosial yang tergolong sedang 59 anak (63,4%) dan kompetensi sosial yang tergolong tinggi sebanyak 19 anak (20,4%). Maka berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual berada pada kategori sedang. Hasil penelitian tambahan menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada anak laki-laki. Anak yang berusia 9 tahun memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak usia 8,10 dan 11 tahun. Anak yang mengikuti sekolah bilingual selama 3 tahun memiliki kompet ensi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang mengikuti sekolah bilingual selama 4, 2 dan 1 tahun. Anak tunggal memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak sulung, anak tengah dan anak bungsu.


(19)

Social Competence in Children who Attend Bilingual School

Lenny Veronika Purba and Rahma Yurliani

ABSTRACT

Middle childhood is the stage of development in which children attend school, involve in society and golden age of learning. Social competence is one of the competence children needed to integrate with people. Children must have verbal and non verbal skills to compete socially, by all means different from a bilingual children. Social competence is a skill needed to interact and communicate with people. This descriptive research aims to know social competence in children who attend bilingual school. The subjects in this research is 93 children aged 8-11 who attend bilingual school in Medan. The subjects is chosen using purposive sampling. Measurement tool used in this research is social competence scale according to theory proposed by Clikeman (2007). Based on estimates of the items by using Pearson Product Moment coefficient correlation and the reliability of the power test by using the technique of Alpha Cronbach coefficient, the overall alpha coefficient is 0,891.

The result indicates that social competence in children who attend bilingual school is 15 people (16.2%) counted as low category, 59 people (63.4%) counted as moderate category, and 19 people (20.4%) counted as high category. In general, social competence in children who attend bilingual school is in moderate category. Additional result indicates that girls have higher social competence than boys. 9 year old children have highest social competence among 8 to 11 year old children. Children who attend bilingual school for 3 years have highest social competence among those who attend bilingual school for 1, 2 and 4 years. The only child in family has higher social competence than the eldest, middle and youngest child in a family.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap manusia mengalami proses perkembangan selama masa hidupnya.

Proses perkembangan manusia meliputi beberapa aspek yakni perkembangan

fisik, perkembangan psikososial dan perkembangan kognitif. Salah satu

perubahan yang terjadi pada perkembangan kognitif adalah perubahan dalam

bahasa di samping perubahan pada pemikiran dan intelegensi individu (Santrock,

2002). Perkembangan bahasa dimulai sejak masa bayi dan terus berkembang

dalam setiap tahap perkembangan individu.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk

berinteraksi sehingga pesan yang dimaksudkan dapat dimengerti. Bahasa tidak

akan pernah lepas dari kehidupan manusia dan selalu ada dalam setiap

aktivitasnya. Hurlock (1993) menyatakan bahwa bahasa mencakup setiap sarana

komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan

makna kepada orang lain dalam bentuk yang luas seperti : tulisan, berbicara,

bahasa simbol, ekspresi wajah, isyarat, pantomin dan seni. Bahasa ini terus

berkembang diawali dengan bahasa pertama individu.

Setiap manusia mengetahui bahasa pertamanya melalui proses sosialisasi

dengan lingkungan. Pakar bahasa Noam Chomsky (dalam Santrock, 2002) yakin

bahwa manusia terikat secara biologis untuk mempelajari bahasa pada suatu


(21)

sejak kecil. Bahasa inilah yang nantinya akan dikuasai oleh anak untuk

berinteraksi dengan lingkungannya, yang disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa

Indonesia umumnya merupakan bahasa ibu bagi anak Indonesia.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional wajib diketahui oleh masyarakat

Indonesia untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan. Bahasa Indonesia

berfungsi sebagai bahasa persatuan atau pemersatu bahasa-bahasa yang ada di

dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia dan juga sebagai identitas

pengenal oleh bangsa lain di dunia (Susanti, 2010). Anak tetap harus mengetahui

bahasa Indonesia sebagai dasar untuk bersosialisasi, walaupun anak terlebih

dahulu mengenal bahasa daerah atau bahasa yang dipakai di dalam

lingkungannya.

Kemampuan berbahasa asing juga menjadi salah satu kebutuhan bagi

masyarakat selain bahasa Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan globalisasi yang

identik dengan tidak ada batasan bagi negara-negara di dunia yang membutuhkan

suatu bahasa komunikasi universal (Sutiyoso, 2006). Dewasa ini tuntutan akan

ketrampilan berbahasa asing di dalam dunia kerja semakin meningkat. Tanpa

adanya ketrampilan yang baik, sulit bagi seseorang untuk mendapatkan dan

mempertahankan pekerjaannya. Tingginya tuntutan yang harus dipenuhi pada saat

memasuki dunia kerja ini membuat orang tua juga semakin banyak menuntut

anak-anak mereka yang masih dalam dunia sekolah (Gunarsa, 2004). Hal ini

sesuai dengan penuturan seorang ibu berinisial S yang memasukkan anaknya ke


(22)

“Waktu aku masukkan anakku ke sekolah bilingual, pemikiranku sederhana saja yaitu di masa anakku nanti cari kerja, pastilah English sangat dibutuhkan. Kalau tidak sejak kecil dibiasakan berbahasa English yang baik dan benar, akan kalah bersaing..”(Komunikasi Personal, 2 Agustus 2010)

Di Indonesia, bahasa asing paling banyak diminati untuk dikuasai adalah

bahasa Inggris yang juga dijadikan bahasa universal di dunia. Kemampuan

berbahasa asing, terutama berbahasa Inggris, dijadikan prasyarat kesuksesan bagi

seseorang di masa depan. Asumsi ini membuat berbagai institusi pendidikan

menyediakan pendidikan bahasa asing bagi perkembangan bahasa anak, termasuk

menyediakan program bilingual (Sutiyoso, 2006). Bilingual adalah kemampuan

menggunakan dua bahasa. Anak yang memiliki kemampuan bilingual memahami

bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman anak terhadap bahasa ibunya

dalam empat ketrampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca

dan menulis (Hurlock, 1993).

Banyak orang tua yang menginginkan anaknya menjadi bilingual, bukan

hanya untuk alasan sosial maupun ekonomis, namun dengan alasan perkembangan

kognitifnya. Orangtua beranggapan bahwa dengan menjadi bilingual, anak mereka

akan menjadi lebih cerdas karena dengan mempelajari dua bahasa sekaligus maka

anak akan terlatih secara kognitif. Salah satu cara yang dilakukan orang tua adalah

dengan memasukkan anaknya ke sekolah yang menyelenggarakan pendidikan

secara bilingual (Gunarsa, 2004).

Sekolah yang menyediakan program bilingual berarti menggunakan dua

bahasa di dalam kegiatan pendidikannya. Bahasa yang sering digunakan pada


(23)

kegiatan belajar mengajar setiap hari. Ada pelajaran yang diajarkan dengan bahasa

Inggris, ada pula yang dengan bahasa Indonesia (Gunarsa, 2004). Anak juga

mempunyai pilihan dalam mempelajari bahasa asing lainnya, seperti bahasa

Mandarin, Arab, Prancis, atau lainnya sebagai mata pelajaran, namun bukan

sebagai bahasa pengantar. Penerapan konsep bilingual ini membuat pihak sekolah

dan orang tua mengharapkan anak dapat lebih mahir dan menguasai bahasa asing

terutama bahasa Inggris (Sutiyoso, 2006).

Area pada otak yang mengatur kemampuan berbahasa terlihat

menunjukkan perkembangan paling pesat pada periode antara usia 6 (enam)

sampai 13 (tiga belas) tahun (critical periods), dan bukan pada usia 3 tahun

pertama seperti banyak dipublikasikan. Hal ini merupakan hasil riset dari

teknologi brain imaging di UCLA (University of California Los Angeles). Jadi

menurut hasil penelitian, secara biologis waktu yang tepat untuk mempelajari

bahasa asing adalah pada usia sekolah, yakni SD (Sekolah Dasar) dan SMP

(Sekolah Menengah Pertama) (Adepanji, 2010).

Banyak penelitian tertarik untuk meneliti bagaimana dampak dari bilingual

ini. Sampai sekarang bilingual masih diperdebatkan. Ada penelitian yang

mengemukakan hasil negatif dan ada pula yang positif (Gunarsa, 2004). Salah

satu hasil yang positif dikemukakan oleh para ahli syaraf yang meneliti hubungan

antara belajar bahasa asing dengan perkembangan otak. Kesimpulan dari berbagai

penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh mempelajari bahasa asing


(24)

pesat dalam proses kognitif, kreativitas dan divergent thinking dibandingkan

dengan anak-anak monolingual (Adepanji, 2010).

Sebuah penelitian lain dilakukan oleh Kormi-Nouri (2008). Penelitian ini

bertujuan untuk menguji anak bilingual Swedish-Persian yang menggunakan

bahasa yang berbeda dalam kehidupan sehari-harinya tetapi memiliki latar

belakang budaya yang sama dan tinggal di dalam komunitas yang sama dengan

anak monolingual. Metode penelitian menggunakan desain eksperimen, dimana

peneliti membandingkan kemampuan memori anak. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dari bilingual yang ditemukan

dalam kemampuan memori episodic dan semantic dimana pengaruh ini lebih

terlihat pada anak yang lebih tua daripada yang muda. Penelitian ini menghasilkan

kesimpulan bahwa anak bilingual memiliki kemampuan dalam tugas memori

episodic, yaitu dalam mempelajari kalimat dan kata, dan semantic, yaitu dalam

kelancaran menyampaikan pesan dan mengkategorikannya, yang lebih tinggi

dibandingkan dengan anak monolingual.

Penelitian di Indonesia salah satunya dilakukan oleh Itta (2007) yang ingin

mengetahui pendapat para ibu tentang kemampuan anak dan hasil pembelajaran

bilingual di Kelompok Bermain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para ibu

berpendapat kemampuan anak mereka dalam bahasa Inggris ditinjau dari

kelancaran berkomunikasi dan perkembangan kognitif anak dalam hal

kemampuan anak mengerti dan berbicara secara langsung dalam bahasa Inggris


(25)

Evaluasi penelitian bilingualisme menghasilkan kesimpulan bahwa

bilingualisme tidak mengganggu performa linguistik anak dalam bahasa apa pun

(Hakuta & Garcia dalam Santrock, 2002). Tidak ada bukti bahwa bahasa pertama

harus dihapuskan sedini mungkin karena dapat mengganggu pembelajaran bahasa

kedua, sebaliknya tingginya derajat bilingualisme berkaitan dengan fleksibilitas

kognitif dan meningkatnya pembentukan konsep (Diaz dalam Santrock, 2002).

Menurut Andersson (1999) anak yang telah mempelajari dua bahasa akan mudah

untuk beradaptasi ketika mengunjungi negara lain yang berbahasa sama dengan

bahasa kedua anak. Andersson (1999) juga menyatakan bahwa anak yang

bilingual akan merasa bangga dengan dirinya karena anak dapat menguasai lebih

dari satu bahasa.

Bilingual juga memiliki sisi negatif. Pada awalnya, mulai abad ke-19

sampai tahun 1960-an, hasil penelitian mengenai bilingualisme ini menghasilkan

kesimpulan yang negatif. Para psikolog yang melakukan penelitian dari tahun

1920 sampai tahun 1960-an bahkan menemukan bahwa bilingualisme membawa

dampak buruk bagi inteligensi. Anak-anak bilingual yang berada dalam rentang

masa sekolah ini umumnya memperoleh skor yang lebih rendah daripada

anak-anak monolingual pada tes IQ. Menurut para psikolog pada saat itu, hal ini

disebabkan karena anak mengalami kebingungan di antara kedua bahasa tersebut

(Gunarsa, 2004).

Dampak bilingualisme juga dikemukakan oleh Gene (2007) yang

menyatakan bahwa pasti ada kesenjangan sosialisasi antara anak bilingual dengan


(26)

bahasa dan budaya orangtuanya karena dari kecil telah diperkenalkan bahasa

asing (Gene, 2007). Pendapat ini diperkuat oleh Tarigan (1988) yang menyatakan

kontak anak bilingual dengan keluarga besarnya akan berbeda. Gene (2007) juga

menyatakan bahwa tak sedikit anak yang stres dan tertekan karena dipaksa

mengerti bahasa asing. Akibatnya anak akan selalu lambat dalam mengerjakan

tugasnya karena ia kurang paham dengan apa yang dijelaskan guru dalam bahasa

asing. Bahasa kedua atau bahasa asing baik jika diperkenalkan sejak dini, namun

hanya dalam konteks diperkenalkan bukan dipaksakan.

Salah satu akibat lainnya adalah pembelajaran dua bahasa yang akan

menimbulkan konsep pemahaman yang tidak jelas. Misalnya adalah kerancuan

dan kebingungan dalam konsep saat seorang anak mulai belajar bahasa dan

menulis huruf “A” yang dilafalkan “e” dalam bahasa Inggris. Masalah ini terjadi

karena bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris berbeda secara struktural dan tata

cara aturan kalimat. Anak akan kesulitan memahami konsep dan struktur bahasa

secara akademik (Sutiyoso, 2006).

Berdasarkan fenomena yang terjadi, anak bilingual tidak bisa menguasai

satu bahasa secara keseluruhan yang menyebabkan anak berbicara dengan bahasa

yang bercampur antara bahasa ibu dengan bahasa asing (Genesse, dalam Gunarsa,

2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh seorang konselor

di sekolah bilingual berinisial J (25 tahun) :

“Di sekolah ini bahasa sehari-harinya adalah bahasa Inggris tapi untuk pelajaran tertentu yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Anak-anak sih kadang kalau kurang mengerti, jadi campur-campur bahasanya, mereka juga jadi tidak bisa menguasai satu bahasa secara keseluruhan” (Komunikasi personal, 11 Agustus 2010).


(27)

Santrock (2002) menyatakan bahwa anak harus menguasai bahasa

pertamanya untuk dapat berkomunikasi secara efektif di lingkungannya, namun di

sisi lain mereka juga harus menguasai bahasa asing untuk memudahkan mereka di

lingkungan sekolahnya. Akan lebih baik jika anak menguasai bahasa pertamanya

terlebih dahulu kemudian mempelajari bahasa asing karena jika anak dihadapkan

pada bahasa yang tidak familiar di lingkungan sosialnya, maka anak akan

mengalami kebingungan sosial sehingga penggunaan bahasanya menjadi tidak

sesuai. Kondisi ini menyebabkan komunikasi kurang lancar dan pada akhirnya

dapat mengganggu perkembangan sosialnya dan berujung pada rendahnya

kompetensi sosial anak. Hal ini sejalan dengan penuturan seorang staf pengajar di

salah satu sekolah bilingual berinisial R (32 tahun) :

“Jadi di sekolah ini anak diwajibkan untuk berbahasa Inggris pada jam pelajaran kecuali pada beberapa pelajaran tertentu seperti pelajaran bahasa Indonesia dan Olahraga. Anak yang kurang menguasai bahasa Inggris biasanya menjadi pendiam dan tidak mau berbicara di dalam kelas” (Komunikasi Personal, 18 April 2011)

Anak juga akan mengalami rasa takut untuk berkomunikasi karena

tuntutan yang diberikan oleh sekolah. Hal ini dirasakan oleh seorang anak yang

bersekolah di sekolah bilingual berinisial C (9 tahun) yang duduk di kelas 4

Sekolah Dasar :

“Kalau guru ngajar pake bahasa Inggris terus-terusan kadang jadi gak ngerti kak, apalagi pelajaran berhitung, kayak matematika. Tapi kadang kami takut nanya sama gurunya, nanti dimarahi karena gak pake bahasa Inggris..” (Komunikasi Personal, 18 April 2011).

Pengaruh negatif dari bilingual ini tentunya akan berpengaruh kepada

proses interaksi anak kepada orang-orang yang berada di lingkungannya.


(28)

Individu memerlukan kompetensi sosial agar dapat diterima oleh orang lain dan

kompetensi sosial tersebut diperoleh melalui proses interaksi sosial (Hurlock,

1993). Anak harus memiliki seperangkat kecakapan verbal dan non verbal untuk

dapat berkompetensi sosial dengan baik (Rinn dan Markle, dalam Tarsidi 2009),

yang tentunya berbeda pada anak bilingual yang mengetahui dua bahasa.

Pellegrini dan Glickman (dalam Tarsidi, 2009) mendefinisikan kompetensi

sosial pada anak sebagai suatu derajat dimana anak dapat beradaptasi pada

lingkungan sekolah dan rumahnya. Definisi ini menyiratkan bahwa kemampuan

anak untuk beradaptasi dengan lingkungan rumah dan sekolahnya merupakan

indikator utama kompetensi sosial (Tarsidi, 2009). Sekolah merupakan

lingkungan di mana anak tidak hanya memperoleh pelajaran akademik, tetapi

merupakan tempat anak memperoleh interaksi sosial dan emosional dengan orang

dewasa dan teman sebayanya, yang memungkinkan memupuk harga diri dan

mengembangkan kompetensi sosialnya (Paavola dalam Tarsidi, 2009).

Seorang individu yang berkompeten adalah seseorang yang dapat

menggunakan lingkungan dan sumber personal untuk mencapai hasil

perkembangan yang baik (Waters & Sroufe dalam Clikeman, 2007). Kompetensi

sosial merupakan dasar dimana harapan akan interaksi dengan orang lain

terbangun dan anak mengembangkan persepsinya kepada perilakunya sendiri.

Selain itu, kemampuan dalam melakukan percakapan mengambil peran yang

penting dalam interaksi. Anak yang sukses secara sosial ditemukan memiliki

kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas dan responsif kepada lawan


(29)

Kompetensi sosial menurut Clikeman (2007) adalah sebuah kemampuan

untuk mengambil perspektif orang lain dalam suatu situasi dan belajar dari

pengalaman masa lalu, kemudian mengaplikasikannya. Kemampuan untuk

merespon ini tergantung pada kemampuan komunikasi yang dimiliki anak dan

interaksi dengan orang lain yang menggunakan bahasa dan komunikasi non

verbal. Clikeman (2007) juga menuturkan elemen-elemen dari kompetensi sosial

tersebut, yakni :

(1) bahasa dan kemampuan berkomunikasi

(2) kemampuan secara akurat mengirim dan menerima pesan emosional

(3) kemampuan untuk belajar

(4) kemampuan untuk memahami perspektif orang lain

(5) kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri

(6) kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain

Ahli lain juga mengemukakan aspek dari kompetensi sosial. La Fontana

dan Cillesen (dalam Papalia, 2009) menuliskan bahwa kompetensi sosial dapat

dilihat sebagai perilaku prososial, altruistik dan dapat bekerja sama. Anak-anak

yang sangat disukai dan yang dinilai berkompetensi sosial oleh orang tua dan

guru-guru pada umumnya mampu mengatasi kemarahan dengan baik, mampu

merespon secara langsung, melakukan cara-cara yang dapat meminimalisasi

konflik yang lebih jauh dan mampu mempertahankan hubungannya dengan orang

lain di sekitarnya (Fabes dan Eisenberg dalam Papalia, 2009).

Kompetensi sosial merupakan salah satu jenis kompetensi yang penting


(30)

yaitu masa dengan usia 6-11 tahun (Papalia, 2004), merupakan masa bermain dan

masa sekolah dimana mereka berinteraksi dengan teman sebayanya untuk

melakukan suatu kegiatan. Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa anak-anak

sering disebut sebagai “usia berkelompok” karena ditandai dengan adanya minat

terhadap aktivitas berteman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk

diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan merasa tidak puas bila tidak

bersama teman-temannya.

Bermain dengan teman sebaya pada usia ini merupakan pengembangan

kompetensi sosial anak (Gunarsa, 2004). Anak yang memiliki kompetensi sosial

tampak lebih mudah untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Selain itu,

Piaget (dalam Tarsidi, 2009) juga mengemukakan bahwa interaksi dengan teman

sebaya merupakan satu sumber utama perkembangan sosial maupun kognitif,

khususnya perkembangan “role taking” dan empati yang merupakan salah satu

aspek dari kompetensi sosial.

Tokoh psikososial Erikson (dalam Schultz, 1994) menyatakan bahwa masa

anak-anak tengah (middle childhood) merupakan masa emas untuk belajar.

Perkembangan bahasa anak juga lebih berkembang dan berfikir dengan konsep

operasional konkrit. Hubungan sosial anak juga lebih ditekankan pada peer atau

teman sebaya melalui proses bermain. Konsep persahabatan juga berkembang

dalam tahap ini (Monks,1998). Kemampuan untuk mendengar pembicara lain dan

bahasa non verbal menunjukkan pemahaman yang berhubungan dengan

popularitas dan penerimaan teman sebaya (Black & Hazen dalam Clikeman,


(31)

yang tidak mampu berunding atau bekerja sama akan susah untuk diterima di

lingkungan teman sebaya dan anak juga akan menunjukkan kompetensi sosial

yang buruk (Putallaz & Sheppart, 1990 dalam Clikeman, 2007). Oleh karena itu,

kemampuan anak dalam menganalisa perilakunya sangat diperlukan sehingga

dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.

Kemampuan berbahasa yang merupakan salah satu aspek dari kompetensi

sosial menurut Clikeman (2007) ini tentunya berbeda pada anak bilingual

dibandingkan dengan anak lainnya secara umum. Menurut Clikeman (2007), anak

yang dinilai memiliki kompetensi sosial yang tinggi adalah anak yang memiliki

nilai yang tinggi atau memiliki kemampuan pada keenam elemen dari kompetensi

sosial tersebut, sebaliknya anak yang dinilai memiliki kompetensi sosial yang

rendah adalah anak yang memiliki nilai yang rendah atau kurang memiliki

kemampuan pada keenam elemen tersebut.

Salah satu aspek lain dari kompetensi sosial menurut Clikeman (2007)

adalah kemampuan anak untuk mengatur perilakunya sendiri yang mencakup

bagaimana anak dapat menyesuaikan diri dengan suatu situasi dan mengubah

perilakunya sehingga sesuai dengan lingkungan. Hurlock (1993) menyatakan

bahwa penyesuaian diri anak bilingual dengan lingkungannya akan menimbulkan

permasalahan karena bahasa anak yang berbeda dengan orang di lingkungannya.

Berdasarkan berbagai penjelasan diatas mengenai pengaruh dari bilingual

dan hubungannya dengan proses interaksi dan komunikasi anak dengan

lingkungannya, maka peneliti ingin melihat bagaimana gambaran kompetensi


(32)

tengah (middle childhood) yang merupakan masa sekolah dan memasuki dunia

sosial lebih luas serta masa emas untuk belajar dan berinteraksi dengan teman

sebaya. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Melalui

penelitian ini akan diperoleh data mengenai gambaran kompetensi sosial pada

anak yang mengikuti sekolah bilingual. Selain itu, peneliti juga tertarik untuk

mengetahui apakah ada perbedaan kompetensi sosial antara anak laki-laki dan

perempuan sehubungan dengan perbedaan psikologis yang dimiliki oleh laki-laki

dan perempuan menurut Hurlock (1999). Perbedaan dari tingkat usia, juga

perbedaan menurut lama anak mengikuti sekolah bilingual karena kompetensi

sosial berkaitan erat dengan pengalaman sosial yang diperoleh seseorang (Adams

dalam Martani dan Adiyanti, 1991). Perbedaan berdasarkan posisi urutan dalam

keluarga karena menurut Hurlock (1978) kompetensi sosial juga dipengaruhi oleh

urutan kelahiran. Keempat hal ini akan menjadi hasil tambahan dalam penelitian

ini.

B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah


(33)

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Tujuan utama, yaitu untuk mengetahui bagaimana gambaran kompetensi

sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual.

2. Tujuan tambahan, yaitu untuk mengetahui gambaran kompetensi sosial

pada anak yang mengikuti sekolah bilingual berdasarkan jenis kelamin,

usia, lama mengikuti sekolah bilingual dan posisi urutan dalam keluarga.

D. MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis

maupun manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang bersifat

pengembangan ilmu psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan

mengenai kompetensi sosial pada anak bilingual.

b. Memperkaya pengetahuan dan wacana tentang psikologi mengenai

gambaran kompetensi sosial yang dapat dijadikan referensi bagi

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual


(34)

menghadapi anak-anaknya khususnya yang bersekolah di sekolah

bilingual.

b. Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada anak bilingual

sehingga anak dapat mengetahui gambaran kompetensi sosial pada

anak bilingual secara umum.

c. Gambaran mengenai kompetensi sosial pada anak bilingual yang

diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi

tim pendidik di sekolah bilingual dalam menghadapi anak bilingual.

d. Gambaran mengenai kompetensi sosial pada anak yang mengikuti

sekolah bilingual yang diperoleh melalui penelitian ini juga diharapkan

menjadi salah satu masukan bagi konselor perkembangan anak

khususnya dalam menghadapi anak bilingual.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,

pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika

penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan

masalah. Teori-teori yang dinyatakan adalah teori-teori mengenai


(35)

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi

operasional variabel penelitian, populasi, sampel dan metode

pengambilan sampel, metode dan alat pengumpulan data, uji validitas

dan reliabilitas alat ukur, hasil uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan

penelitian, dan metode analisa data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian,

dan pembahasan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah


(36)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KOMPETENSI SOSIAL 1. Pengertian Kompetensi Sosial

Hurlock (1999) mendefinisikan kompetensi sosial sebagai suatu

kemampuan atau kecakapan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain dan

untuk terlibat dalam situasi-situasi sosial yang memuaskan. Kompetensi sosial

merupakan suatu sarana untuk dapat diterima dalam masyarakat dan dengan

kompetensi sosial seseorang menjadi peka terhadap berbagai situasi sosial yang

dihadapinya. Dodge (dalam Clikeman, 2007) mengkonseptualisasikan kompetensi

sosial sebagai sebuah interaksi antara lingkungan dan kemampuan yang didapat

secara biologis. Seorang individu yang berkompeten adalah seseorang yang dapat

menggunakan lingkungan dan sumber personal untuk mencapai hasil

perkembangan yang baik (Waters dalam Clikeman, 2007).

Menurut Santrock (1993), kompetensi sosial dapat diartikan sebagai

kemampuan individu untuk berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya.

Kompetensi sosial mencakup kemampuan anak untuk beradaptasi pada

lingkungan yang dinamis dan untuk menganalisa ketika perilaku yang dipilih

menjadi efektif (Saarni, dalam Clikeman 2007).

Clikeman (2007) menyatakan bahwa kompetensi sosial adalah sebuah

kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain dalam suatu situasi dan


(37)

kehidupan sosial untuk dapat menyesuaikan diri. Kemampuan untuk merespon ini

tergantung pada kemampuan komunikasi yang dimiliki anak dan interaksi dengan

orang lain yang menggunakan bahasa dan komunikasi non verbal. Benard (dalam

Tarsidi, 2009) mengemukakan bahwa kompetensi sosial mencakup

kualitas-kualitas pribadi seperti bersifat responsif, terutama kemampuan untuk

membangkitkan respon positif dari orang lain; fleksibilitas, termasuk kemampuan

untuk bergaul dengan orang-orang dari bermacam-macam latar belakang budaya;

kemampuan untuk berempati; ketrampilan berkomunikasi dan dan memiliki rasa

humor.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi sosial

adalah keefektifan seseorang dalam berinteraksi dan berhubungan dengan orang

lain, dapat beradaptasi pada lingkungan yang dinamis, memiliki kemampuan

untuk berkomunikasi, mampu untuk mengambil perspektif orang lain, dan

menganalisa perilaku yang dipilihnya sehingga menjadi efektif.

2. Elemen Kompetensi Sosial

Crick dan Dodge (dalam Clikeman 2007) mengusulkan sebuah model

pemrosesan informasi sosial untuk memahami kompetensi sosial. Ada enam

langkah pada model ini yang penting pada proses interaksi sosial, yaitu :

a. Mengkode stimulus yang relevan – anak harus menyimak petunjuk sosial

non verbal atau verbal dan antara petunjuk yang jelas dan tertutup.

b. Menginterpretasi kode – anak harus mengerti apa yang terjadi seperti


(38)

c. Menetapkan tujuan – anak menetapkan apa yang dia inginkan dari

interaksi dan bagaimana memahaminya.

d. Representasi dari situasi dikembangkan – anak butuh untuk

membandingkan pengalaman dari situasi sebelumnya dan mengulang

reaksinya pada situasi yang sama sebaik apa yang dihasilkan dari interaksi

tersebut.

e. Memilih respon yang mungkin – respon yang dipilih berdasarkan persepsi

dari suatu kejadian dan ketrampilan pada pembendaharaan anak.

f. Anak bertindak dan sukses dalam mengevaluasi tindakannya.

Pendapat lain dikemukakan oleh La Fontana dan Cillesen (dalam Papalia,

2002) yang menyatakan bahwa kompetensi sosial dapat dilihat sebagai perilaku

prososial, altruistik dan dapat bekerja sama. Lamb dan Baumrind (dalam Tarsidi,

2009) mengemukakan bahwa karakteristik anak yang memiliki kompetensi sosial

itu mencakup kemampuan untuk mempersepsikan orang lain, asertif, ramah

kepada teman sebaya, dan santun kepada orang dewasa.

Cavell et al (dalam Clikeman, 2007) menyarankan model three-tiered

yang dapat mengkonseptualisasikan kompetensi sosial, yaitu :

a. Level yang paling tinggi adalah penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial

dimana anak dikembangkan untuk mencapai tujuan sosial. Level ini

merefleksikan bagaimana baiknya anak menyesuaikan harapan dari

orangtua, guru dan masyarakat.

b. Level berikutnya adalah social performance atau sebaik apa anak


(39)

c. Level dasar adalah ketrampilan sosial atau kemampuan khusus yang

digunakan anak pada suatu situasi sosial. Level ini mencakup bagaimana

anak bereaksi pada suatu situasi.

Elemen-elemen dari kompetensi sosial lebih rinci dikemukakan oleh

Clikeman (2007) yang terdiri dari enam elemen, yaitu :

a. Bahasa dan kemampuan untuk berkomunikasi

Garfield et al (dalam Clikeman 2007) menyatakan bahwa

kemampuan untuk mengerti apa yang dimaksudkan oleh orang lain

bergantung pada kemahiran berbahasa dan pertumbuhan pemahaman anak

yang dikembangkan melalui percakapan dan interaksi dengan orang lain.

Kemampuan berkomunikasi yang dimaksud disini adalah kemahiran

berbahasa yang sama dengan lawan bicaranya, yakni dalam ketrampilan

mendengarkan dan menyampaikan pendapat sehingga dapat dipahami.

b. Kemampuan secara akurat menyampaikan dan menerima pesan emosional

(Halberstadt et al, dalam Clikeman, 2007)

Kemampuan yang dibutuhkan untuk mengembangkan pertemanan

dan hubungan dengan orang lain mencakup kemampuan untuk mengambil

kesimpulan pada pesan emosional dari orang lain. Memahami pesan

emosional dari orang lain pada suatu situasi membutuhkan pengkodean

dari petunjuk non verbal mencakup ekspresi wajah, isyarat dan gesture.

Ekspresi yang ditunjukkan oleh orang lain membuat anak mengerti

bagaimana suasana hati orang tersebut dan reaksinya terhadap perilaku


(40)

c. Kemampuan untuk belajar

Kemampuan ini mencakup kemampuan yang mengizinkan anak

untuk mengevaluasi perilaku yang telah ditunjukkannya pada suatu situasi

tertentu kemudian menilai apakah perilaku tersebut telah tepat dan

membuat perubahan untuk memperbaikinya di masa yang akan datang

ketika situasi yang sama terjadi. Elemen ini lebih kepada proses yang

dilakukan anak ketika menilai perilakunya dan mengantisipasi ketika

situasi yang sama kembali dialami oleh anak.

d. Kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain

Anak memahami apa yang dipikirkan oleh orang lain. Anak

menyadari bahwa orang lain tidak melihat suatu tindakan dan situasi yang

sama dengannya. Anak mengembangkan kemampuan untuk mengarahkan

apa yang dimaksud orang lain dan menganalisanya secara objektif. Tanpa

adanya hal ini, maka akan sulit bagi anak untuk mengerti bagaimana

perilaku mereka mempengaruhi orang lain dan untuk mengubah perilaku

mereka yang tidak sesuai.

e. Kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri

Kemampuan ini mencakup pengekspresian perasaannya sendiri,

sadar dengan perasaannya sehingga menghasilkan suatu perilaku yang

ditunjukkan. Konsep ini mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri

dengan situasi yang terjadi dan mengubah perilakunya sendiri sesuai


(41)

ditunjukkan oleh anak dalam suatu situasi untuk dapat beradaptasi dengan

lingkungan di sekitarnya.

f. Kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain

Salah satu kemampuan yang penting lainnya untuk dapat diterima

oleh teman sebaya adalah kemampuan untuk bekerja sama, dapat

bernegosiasi dan melakukan suatu kegiatan bersama-sama untuk mencapai

suatu tujuan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Sosial

Menurut David Elkind (dalam Patmodewo, 2003), kompetensi sosial

dipengaruhi oleh kondisi sosial yang berhubungan dengan orangtua seperti

perceraian orangtua, pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua tunggal, dan kedua

orangtua yang bekerja. Clikeman (2007) juga menjelaskan hal-hal yang

mempengaruhi kompetensi sosial pada anak-anak tengah, yakni :

a. Pola pengasuhan dari orangtua dan hubungan antara orangtua dengan anak

b. Kemampuan berbahasa yang baik

c. Hubungan dengan teman sebaya

Hurlock (1978) mengungkapkan terdapat dua faktor yang mempengaruhi

pola-pola sikap dan tingkah laku sosial individu, yakni :

a. Pengaruh keluarga

Menurut Hurlock (1978) faktor-faktor keluarga yang


(42)

1) Personal relationship

Studi mengenai penyesuaian sosial menunjukkan bahwa hubungan

antar pribadi di dalam keluarga sangat berpengaruh. Hubungan antara anak

dengan orangtua salah satunya meliputi adanya attachment yang terbentuk.

Menurut Van Ijzendoorn dan Sagi (dalam Papalia, 2001) teori attachment

menunjukkan bahwa aman atau tidak amannya attachment yang terbentuk

mempengaruhi kompetensi sosial anak. Anak yang memiliki attachment

yang aman dengan orangtua mereka akan lebih mudah dalam

mengembangkan hubungan baik dengan orang lain.

2) Posisi urutan anak dalam keluarga

Posisi urutan anak dalam keluarga adalah kedudukan anak dalam

keluarga, yaitu apakah ia merupakan anak sulung, tengah, bungsu, atau

anak tunggal. Posisi anak dalam keluarga juga penting bagi perkembangan

tingkah laku dan sikap sosial seseorang. Anak-anak yang lebih tua, atau

mereka yang jarak usia dengan saudara kandungnya cukup jauh,

cenderung lebih menarik diri ketika bersama anak-anak lain. Anak-anak

yang memiliki saudara kandung yang berjenis kelamin sama sulit untuk

berhubungan dengan anak-anak lain yang berlainan jenis, tetapi mudah

untuk berhubungan dengan anak-anak lain yang berjenis kelamin sama.

3) Ukuran Keluarga

Ukuran keluarga dimana anak tumbuh tidak hanya mempengaruhi

pengalaman sosialnya pada masa-masa awal tetapi juga meninggalkan


(43)

misalnya, seringkali memperoleh lebih banyak perhatian dari yang

sebaiknya ia terima.

4) Perlakuan di rumah

Tingkah laku dan sikap sosial anak mencerminkan perlakuan yang

mereka terima di rumah. Anak-anak yang merasakan bahwa dirinya

ditolak oleh orangtuanya atau saudara kandungnya cenderung akan

menjadi introvert, sebaliknya orangtua yang menerima dan mengasihi

akan mendorong anak menjadi extrovert.

5) Harapan Orangtua

Harapan-harapan orangtua akan memotivasi anak untuk berusaha

belajar cara-cara bertingkah laku yang dapat diterima secara sosial. Seiring

dengan bertambahnya usia, anak akan belajar bahwa mereka harus mampu

mengendalikan tingkah laku dan pola-pola tingkah laku jika mereka ingin

memperoleh penghargaan dari orangtuanya.

6) Pola asuh Orangtua

Pola asuh orangtua pada tahun-tahun awal kehidupan memiliki

pengaruh penting terhadap tingkah laku dan sikap sosial anak. Anak-anak

yang dibesarkan dalam keluarga yang demokratis memiliki penyesuaian

sosial yang paling baik. Mereka aktif secara sosial dan ramah, sebaliknya

mereka yang dibesarkan dalam keluarga indulged (permisif), cenderung

tidak aktif dan menarik diri. Anak-anak yang mengalami pola asuh yang

otoritarian cenderung menjadi pendiam dan nonresistant (penurut), serta


(44)

b. Pengaruh di luar keluarga

Pengalaman-pengalaman sosial anak di luar rumah menambah

pengalaman-pengalaman di rumah dan merupakan faktor yang

mempengaruhi sikap-sikap sosial dan pola-pola tingkah laku anak. Jika

hubungannya dengan teman-teman sebaya maupun orang dewasa di luar

rumah menyenangkan, mereka akan senang melakukan kontak-kontak

sosial dan ingin mengulangi hal tersebut. Sebaliknya, jika kontak-kontak

tersebut tidak menyenangkan atau menakutkan, anak cenderung akan

menjauhkan diri dari mereka dan kembali kepada anggota keluarga dalam

melakukan kontak sosial. Ketika anak senang melakukan kontak sosial

dengan orang lain di luar rumahnya, anak akan terotivasi untuk bertingkah

laku dengan cara yang sesuai dengan yang diharapkan orang lain atau

masyarakat.

B. BILINGUAL 1. Pengertian Bilingual

Menurut Hurlock (1993), bilingualisme (dwibahasa) adalah kemampuan

menggunakan dua bahasa. Kemampuan ini tidak hanya dalam berbicara dan

menulis tetapi juga kemampuan memahami apa yang dikomunikasikan orang lain

secara lisan dan tertulis. Anak yang memiliki kemampuan bilingual memahami

bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman anak terhadap bahasa

ibunya. Anak mampu berbicara, membaca dan menulis dalam dua bahasa dengan


(45)

Macnamara (dalam Hamers, 2004) menyatakan bahwa bilingual adalah

seorang yang memiliki kompetensi dalam taraf minimal pada satu dari empat

ketrampilan berbahasa, yaitu ketrampilan mendengarkan, berbicara, membaca dan

menulis pada suatu bahasa yang bukan bahasa ibunya yaitu bahasa keduanya.

Berdasarkan Webster’s dictionary (dalam Hamers 2004), bilingual

didefinisikan sebagai :

“Having or using two languages especially as spoken with the fluency characteristic of native speaker; a person using two language especially habitually and with control like that of a native speaker”

Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan (1988), menyatakan orang yang bilingual

adalah “orang yang dapat berbicara dengan lancar secara bergantian dalam dua

bahasa atau lebih”, sedangkan Ovando & Callier (dalam Tarigan 1988)

mengemukakan bahwa tidak realistik untuk menuntut agar bilingual selalu

dibatasi sebagai penguasaan dua bahasa secara sempurna dalam segala konteks,

dalam semua kondisi dan situasi.

Fisher (1982) berpendapat bahwa seseorang yang bilingual adalah seorang

yang berbicara dua atau lebih bahasa yang memiliki perbedaan bunyi,

perbendaharaan kata, dan sintaks. Bilingualisme oleh Papalia (dalam Gunarsa,

2004) diartikan sebagai kefasihan untuk berbicara dua bahasa. Dua bahasa yang

dimaksud adalah bahasa ibu (native language) dan bahasa asing (foreign

language).

Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat


(46)

dua bahasa dengan lancar, baik secara tertulis maupun lisan dalam empat

ketrampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.

2. Pengaruh Bilingual

Baker (2001) menuliskan pendapatnya bahwa bilingual memberikan

dampak terhadap kehidupan anak dan orangtuanya. Bilingual atau monolingual

akan mempengaruhi identitas anak saat dewasa yaitu sekolah, pekerjaan,

pernikahan, area tempat tinggal, perjalanan hidup dan cara berfikir. Kemampuan

bilingual bukan hanya sekedar mempunyai dua bahasa, akan tetapi juga

mempunyai konsekuensi pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Hurlock (1993)

juga mengatakan, pada waktu anak diharapkan mempelajari bahasa secara

serempak, anak harus mempelajari dua kata yang berbeda untuk setiap objek yang

mereka sebut dan untuk setiap pikiran yang ingin anak ungkapkan. Anak harus

mempelajari dua perangkat bentuk tata bahasa, selain itu anak harus mempelajari

bagaimana mengucapkan huruf yang sama atau kombinasi huruf yang sama secara

berbeda.

a. Pengaruh Positif

Berkomunikasi secara bilingual memiliki manfaat bagi anak. Anak yang

memiliki kemampuan bilingual mempunyai kesempatan untuk berkomunikasi

dengan orang lain yang berbeda bangsa dan etnis dalam ruang lingkup yang lebih

luas dan bervariasi dibanding anak yang monolingual. Anak-anak yang fasih


(47)

konsep, pemikiran analitis, fleksibilitas kognitif, dan kompleksitas kognitif yang

lebih baik dibandingkan anak-anak sebayanya yang hanya menguasai satu bahasa

(Bialystok dalam Santrock, 2007). Anak-anak bilingual juga memiliki kepekaan

terkait dengan struktur bahasa lisan dan tulisan, dan lebih mampu menyadari

kesalahan pada tata bahasa dan makna – ketrampilan-ketrampilan tersebut sangat

membantu ketrampilan mereka membaca (Bialystok dalam Santrock, 2007).

Selanjutnya Baker (2001) mengatakan keuntungan lain dalam

berkomunikasi secara bilingual adalah ketika anak belajar dalam dua bahasa,

maka saat anak dewasa, anak dapat mengakses dua literatur, memahami tradisi

yang berbeda, juga cara berfikir dan bertindak. Anak atau orang dewasa yang

memiliki kemampuan bilingual akan memiliki dua atau lebih pengalaman di dunia

karena setiap bahasa berjalan dengan sistem perilaku yang berbeda, pepatah kuno,

cerita, sejarah, tradisi, cara berkomunikasi, literatur yang berbeda, musik, bentuk

hiburan, tradisi religius, ide dan kepercayaan, cara berpikir dan bentuk

kepedulian. Ketika menguasai dua bahasa maka akan didapat pengalaman budaya

yang lebih luas dan sangat mungkin untuk menghasilkan toleransi yang besar

antara budaya-budaya yang berbeda serta akan menipiskan rasa rasialis.

Memiliki kemampuan bilingual memberi kesempatan yang lebih besar

untuk secara aktif mengenal budaya karena menguasai bahasa dari budaya

tersebut. Baker (2001) juga mengatakan terlepas dari aspek sosial, budaya,

ekonomi, hubungan pribadi dan keuntungan komunikasi, riset telah menunjukkan

bahwa bilingual memberikan keuntungan tertentu dalam berpikir, anak yang


(48)

setiap objek dan ide. Menurut Baker (2001) ketika perbedaan asosiasi terdapat

pada setiap kata, anak yang memiliki kemampuan bilingual dapat berfikir lebih

tajam, fleksibel, kreatif dan dapat membawa seseorang menjadi lebih hati-hati

dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda bahasa.

Andersson (1999) menyatakan bahwa anak yang telah mempelajari dua

bahasa akan mudah untuk beradaptasi ketika mengunjungi negara lain yang

berbahasa sama dengan bahasa kedua anak. Andersson (1999) juga menyatakan

bahwa anak yang bilingual akan merasa bangga dengan dirinya karena anak dapat

menguasai lebih dari satu bahasa dengan kata lain, bilingual dapat meningkatkan

harga diri anak.

b. Pengaruh Negatif

Menurut Andersson (1999) bagi anak yang lebih kecil, hidup dengan dua

bahasa merupakan hal yang negatif karena mereka harus menganalisa perbedaan

bunyi dan makna dari kata-kata yang mereka dengar. Kegagalan mereka untuk

memahami mekanisme dari sistem ini akan membuat mereka frustasi dan gagal

untuk berkomunikasi, padahal anak tersebut baru belajar berbicara.

Tarigan (1988) menyatakan bahwa ketika anak memiliki dua bahasa, maka

hal tersebut akan mempengaruhi sikap mereka terhadap bahasanya sendiri. Anak

menjadi tidak lancar terhadap bahasanya sendiri dan ada pula yang meninggalkan

bahasa ibunya. Bilingual ini juga mempengaruhi interaksi anak dengan keluarga


(49)

ketika mereka mempunyai cucu yang tidak dapat berkomunikasi dengan mereka

dalam bahasa mereka sendiri.

Hurlock (1993) mengemukakan kondisi yang berkaitan dengan bilingual

yang membahayakan penyesuaian sosial yang baik atau kemampuan beradaptasi

anak yang merupakan bagian dari kompetensi sosial, yaitu :

i. Pengaruh terhadap penyesuaian sosial

Anak menemukan kesulitan berkomunikasi dengan orang yang bahasa

dominannya berbeda dari bahasa yang digunakan anak. Hal ini dapat

menimbulkan persoalan dalam penyesuaian sosial.

ii. Pengaruh terhadap sekolah

Karena anak berbahasa dua secara ilmu bahasa tidak siap bersekolah,

mereka merasa tidak aman dan terhambat dalam karier sekolah mereka

sejak dini.

iii. Pengaruh terhadap perkembangan bicara

Mempelajari dua bahasa secara serentak dalam tahun-tahun awal

mungkin memperlambat perkembangan dalam kedua bahasa tersebut dan

menimbulkan kesalahan bicara yang lebih banyak ketimbang yang normal

bagi anak usia tersebut. Akibat dari kekurangmampuan berbicara membuat

anak gugup dan secara emosional terganggu. Ini merupakan kondisi yang

seringkali menimbulkan stuttering.

iv. Pengaruh terhadap pemikiran

Anak yang berbahasa dua seringkali bingung dengan pemikirannya


(50)

hati-hati akibatnya mereka enggan berbicara dengan teman sebaya, mereka

juga mungkin akan diabaikan atau ditolak dalam pergaulan.

v. Pengaruh terhadap diskriminasi sosial

Ketika tiba saatnya anak mencapai usia sekolah, mereka menemukan

bahwa orang-orang mengaitkan streotip yang berbeda dengan logat yang

berbeda. Anak tersebut kemudian dinilai oleh orang dewasa dan teman

sebaya dalam kaitannya dengan stereotip itu. Jika stereotip itu tidak

menyenangkan, hal itu mungkin dapat menimbulkan prasangka dan

diskriminasi.

vi. Pengaruh terhadap ketidaksamaan

Jika yang dominan adalah bahasa asing, anak tersebut mungkin

memiliki lingkungan rumah yang pola kehidupan, pelatihan yang

digunakan, serta cara berpakaian dan makan akan berbeda dari pola teman

sebayanya. Sindrom “ketidaksamaan” ini senantiasa tampak dalam bicara,

khususnya jika anak memiliki logat asing yang mungkin menjadi

hambatan dalam penyesuaian sosial.

3. Hal-hal yang Mempengaruhi Bilingual

Periode anak yang tepat dalam mempelajari bilingual tidak dapat

ditentukan secara tepat karena hal ini sangat bergantung pada motivasi setiap

anak, strategi dan metode pengajaran, lingkungan sekitar, dan dukungan dari


(51)

Kemampuan bilingual dalam menggunakan dua bahasa dengan baik sangat

ditentukan oleh kompetensi komunikatif yang dimilikinya (Nababan, 2009) yang

mencakup :

1. Kompetensi gramatikal : pengetahuan kaidah bahasa yang meliputi kosa

kata, pembentukan kata, pelafalan dan struktur kalimat. Pengetahuan dan

ketrampilan yang seperti ini sangat dibutuhkan dalam memahami dan

menghasilkan percakapan.

2. Kompetensi sosiolinguistik : pengetahuan dan kemampuan untuk

menghasilkan dan memahami percakapan yang sesuai dengan konteks

(misalnya, siapa berbicara tentang apa, dimana, kapan).

3. Kompetensi wacana : kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan

makna untuk menghasilkan teks lisan dan tulis yang terpadu.

4. Kompetensi strategi : penguasaan terhadap strategi berkomunikasi

4. Pengertian Sekolah Bilingual

Bi berarti dua dan linguistic berarti bahasa. Jadi belajar di sekolah

bilingual adalah belajar dengan menggunakan dua buah bahasa. Bahasa yang

digunakan di sekolah bilingual biasanya adalah bahasa Indonesia dan bahasa

Inggris. Bahasa Indonesia digunakan karena merupakan bahasa nasional dan

bahasa Inggris adalah bahasa internasional (Nababan, 2009).

Gunarsa (2004) juga mengemukakan bahwa sekolah bilingual adalah

sekolah yang menggunakan dua bahasa dalam proses pengajarannya. Ada


(52)

Indonesia. Disamping itu, anak juga mempunyai pilihan dalam mempelajari

bahasa asing, seperti bahasa Mandarin, Arab, Perancis, atau bahasa asing lainnya.

Menurut Mustikasari (2009), yang dikatakan dengan sekolah bilingual

adalah sekolah yang menggunakan dua bahasa pengantar, yaitu bahasa asal atau

bahasa ibu dan bahasa tujuan misalnya bahasa Inggris atau bahasa Mandarin.

Biasanya bahasa tujuan dijadikan bahasa pengantar dengan tujuan agar murid

dapat menguasainya dengan baik. Bahasa tujuan yang digunakan adalah bahasa

yang dianggap penting dalam era sekarang dan akan memberikan keuntungan bagi

orang yang menguasainya.

Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sekolah

bilingual adalah sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

sebagai bahasa utama sebagai bahasa pengantar dalam proses pengajarannya.

Beberapa pelajaran diajarkan dengan bahasa Inggris, adapula yang dengan bahasa

Indonesia.

5. Jenis Sekolah Bilingual

Dari kegiatan penggunaan bahasa asal dan bahasa tujuan, maka ada

beberapa jenis sekolah bilingual menurut Mustikasari (2009), antara lain :

a. Pendidikan Bilingual Transisi

Pada tiga tahun pertama, bahasa asal masih digunakan untuk

subjek pelajaran tertentu agar tidak ketinggalan seperti pelajaran

matematika. Bahasa tujuan digunakan untuk subjek pelajaran tertentu yang


(53)

anak lebih memahami bahasa tujuan, maka hanya bahasa tujuan yang

dipakai sebagai pengantar.

b. Pendidikan Bilingual Dua Arah

Bahasa asal dan bahasa tujuan digunakan secara bersamaan dalam

semua subjek pelajaran, dengan tujuan agar anak dapat menguasai kedua

bahasa sama baiknya. Di setiap pelajaran, anak dapat berinteraksi baik

dalam bahasa asal maupun bahasa tujuan.

c. Pendidikan Bilingual Dwikebangsaan

Hampir semua pelajaran diajarkan dalam bahasa tujuan, hanya

pelajaran yang berkaitan dengan bahasa asal saja yang menggunakan

bahasa asal tersebut, misalnya pelajaran bahasa Indonesia. Akan tetapi

walau hampir semua anak dan pengajar menggunakan bahasa tujuan, para

pengajar juga harus memahami bahasa asal, yang merupakan bahasa

pertama anak, sehingga pengajar dapat lebih memahami anak.

Menurut Dr. David Freeman, Professor of Curriculum and Instruction dan

Dr. Yvonne Freeman, Professor of Bilingual Education dari Amerika serikat

(dalam Wika, 2010), ada dua tipe bilingual, yaitu :

a. Substractive programs, yaitu program pendidikan dimana semua instruksi

pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris. Penggunaan bahasa pertama

digantikan sepenuhnya oleh bahasa Inggris. Kebanyakan sekolah-sekolah

bilingual di Indonesia menerapkan program ini.

b. Additive programs, yaitu proses pembelajaran dilakukan dalam bahasa


(54)

mengembangkan ketrampilan berbahasa akademik anak, baik dalam

bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

Bee dan Boyd (2007) mengemukakan tiga jenis program pendidikan

bilingual, yaitu :

a. Structured immersion, yaitu pendidikan bilingual dimana anak dapat

berbicara dengan bahasa pertamanya, tetapi instruksi dasar yang diberikan

oleh guru menggunakan bahasa kedua.

b. English-as-a-second-language (ESL), yaitu alternatif untuk pendidikan

bilingual dimana anak yang tidak lancar berbicara dengan bahasa kedua

dapat mengikuti kelas dengan bahasa pertamanya, namun menghabiskan

beberapa jam waktunya untuk menerima pendidikan dengan bahasa kedua.

c. Submersion, yaitu pendidikan bilingual dimana semua instruksi diberikan

dalam bahasa kedua.

C. ANAK-ANAK TENGAH (MIDDLE CHILDHOOD)

1. Pengertian Anak-anak Tengah

Menurut Papalia (2004), anak-anak tengah(middle childhood) adalah anak

yang berusia 6 sampai 11 tahun, yang disebut juga sebagai usia sekolah. Sekolah

adalah pusat pengalaman selama periode ini, pokok penting untuk perkembangan

fisik, kognitif dan psikososialnya. Santrock (2007) menyatakan bahwa usia 6

tahun sampai masa puber adalah masa anak-anak tengah dan akhir dimana dalam

masa ini pertumbuhan lambat dan konsisten dan merupakan suatu periode tenang


(55)

Hurlock (1999) juga mengatakan bahwa masa anak-anak tengah dan akhir

masa anak-anak berlangsung dari usia 6 tahun sampai tiba saatnya individu

menjadi matang secara seksual. Pada awal dan akhirnya, masa anak-anak ditandai

oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian

sosial anak.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak-anak

tengah (middle childhood) adalah anak yang memasuki masa sekolah berusia 6

sampai 11 tahun.

2. Tugas Perkembangan Anak-anak Tengah

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan

anak-anak tengah adalah :

1. Mempelajari ketrampilan fisik yang diperlukan untuk

permainan-permainan yang umum

2. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang

sedang tumbuh

3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya

4. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat

5. Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dasar untuk membaca, menulis

dan berhitung

6. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan

sehari-hari


(1)

c. Peneliti selanjutnya sebaiknya lebih mengontrol karakteristik subjek yaitu subjek yang benar-benar memiliki kemampuan bilingual.

d. Bagi peneliti yang tertarik melakukan penelitian mengenai kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual dapat melakukan penelitian lainnya dengan melibatkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kompetensi sosial seperti pengaruh keluarga dan predisposisi kepribadian.

2. Saran Praktis

Selain saran metodologis, peneliti juga menyampaikan beberapa saran praktis yang diharapkan dapat berguna bagi pihak :

a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kompetensi sosial anak yang mengikuti sekolah bilingual tergolong sedang. Berdasarkan hal ini, perlu ditingkatkan kembali komunikasi antara anak dengan guru untuk meningkatkan kompetensi sosial anak.

b. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi dari pada anak laki-laki. Sebaiknya pihak sekolah bilingual lebih memperhatikan perkembangan kompetensi sosial anak laki-laki khususnya konselor perkembangan terkait dengan anak laki-laki yang bermasalah dalam kehidupan sosialnya.

c. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi adalah anak yang berusia 9 tahun. Anak yang


(2)

berusia lebih tua dan lebih muda disarankan untuk dapat mengevaluasi perilaku mereka sehingga menghasilkan kompetensi sosial yang baik. d. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengikuti sekolah

bilingual selama 3 tahun memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi. Bagi sekolah bilingual disarankan untuk mempertimbangkan tuntutan kompetensi berbahasa bagi anak agar tidak mengganggu kompetensi sosial anak.

e. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa anak tunggal memiliki kompetensi sosial yang lebih baik. Saran kepada orangtua adalah sebaiknya pihak orangtua memperlakukan anak dengan adil dan mendukung anak tanpa memperhatikan apakah anak adalah anak sulung, anak tengah, anak bungsu ataupun anak tunggal sehingga anak dapat lebih mengeksplorasi diri untuk meningkatkan kompetensi sosialnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adepanji. (2010). Pengaruh Bahasa Asing Terhadap Perkembangan Anak

(online). Available FTP :

http://adepanji.wordpress.com/2010/01/05/pengaruh-bahasa-asing-terhadap-perkembangan-anak/ - 02 Agustus 2010

Andersson, Una Cunningham dan Andersson, Staffan. (1999). Growing Up With Two Language : A Practical Guide. London : Routledge

Apa itu Sekolah Bilingual? (online). Available FTP :

http://www.facebook.com/topic.php?uid=121158243458&topic=10773 – 02 Agustus 2010

Azwar, Saifuddin. (2000). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Belajar Offset.

_______________ (2004). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Belajar Offset.

_______________ (2009). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Baker, Colin. (2001). Foundations of Bilingual Education and Bilingualism. Third Edition. Britain : Biddles Ltd.

Bee, Helen & Boyd, Denise. (2007). The Developing Child. Eleventh Edition. United States of America : Pearson Education, Inc.

Clikeman, Margaret Semrud. (2007). Social Competence in Children. Michigan : Springer.

Fitri. (2008). Definisi Kompetensi Sosial. (online). Available FTP : http://duniapsikologi.blogdetik.com/2008/11/19/definisi-kompetensi-sosial/ - 31 Agustus 2010

Fisher, Carol J. & Terry, C. Ann. (1982). Children’s Language and The Language Arts. United States of America : McGraw-Hill Companies, Inc.

Gene. (2007). Sekolah Bilingual (Dwibahasa) Ibarat Pisau Bermata Dua. (online). Available FTP : http://genenetto.blogspot.com/2007/09/sekolah-bilingual-dwibahasa-ibarat.html - 02 Agustus 2010


(4)

Gravetter, Frederick J & Forzano, Lori-Ann B. (2006). Research Methods For the Behavioral Sciences, Second Edition. USA : Thompson Worth

Gunarsa, Singgih D. (2004). Bunga Rampai Psikologi Perkembangan : Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta : BPK Gunung Mulia

Hadi, Sutrisno. (2000). Metodologi Research, Jilid 1-4. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada

Hamers, Josiane F. (2004). Bilinguality and Bilingualism. Second Edition. Cambridge : Cambridge University Press

Hastono. (2001). Statistik Kesehatan. Jakarta: Radja Grafindo Persada

Hurlock, Elizabeth B. (1978). Child development (6th ed). Singapore : McGraw-Hill Book Company

_________________ (1993). Perkembangan Anak Jilid 1. Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga

_________________ (1999). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

Itta. (2007). Kemampuan Berbahasa Inggris Anak dengan Pembelajaran Bilingual. Jurnal Pendidikan Penabur. Vol 6. No. 9

Kerlinger, Fred N & Lee, Howard B. (2000). Foundations Of Behavioral Research, Fourth Edition. United States Of America : Harcourt College Publishers.

Kormi-Nouri, Reza dkk. (2008). Cognition and Neuroscience, The Effect of Childhood Bilingualism on Episodic and Semantic Memory Tasks. Scandinavian Journal of Psychology. Oxford : Blackwell Publishing Ltd. Kuncoro, Mudrajat. (2003). Metode Research Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta

: Erlangga

Landry, S. H., Smith, K. E., & Swank, P. R. (2009). New directions in evaluating social problem solving in childhood: Early precursors and links to adolescent social competence. In C. Lewis & J. I. M. Carpendale (Eds.), Social interaction and the development of executive function. New Directions in Child and Adolescent Development, 123, 51–68.

Martani, W & Adiyanti, M. G. (1991). Kompetensi sosial dan kepercayaan diri remaja. Jurnal Psikologi, thn XVIII, 1, 17-20.


(5)

McLean. S. (2005). The Basics of Interpersonal Communication. Pearson Education

Monks, F J. (1998). Psikologi Perkembangan : Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada

Mustikasari, Herlina. 2009. Memilih Sekolah Bilingual. (online). Available FTP : http://www.tabloid-nakita.com/Khasanah/khasanah08414-02.htm - 02 Agustus 2010

Nababan, Mangatur. (2009). Kompetensi Penerjemah dan Dampaknya Pada

Kualitas Terjemahan Penulis. (online). Available FTP :

http://www.uns.ac.id/cp/penelitian.php?act=det&idA=259 – 10 Agustus 2010

Papalia & Olds. (2004). Human Development. New York : McGraw-Hill Book Co.

Papalia, D., E., Olds, S., W., & Feldman, R., D., (2009). A Chlid’s World, Infancy Through Adolescence, Eleventh Edition. New York, USA: Mcgraw- Hill Companies, Inc.

Patmonodewo, Soemiarti. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta : Asdi Mahasatya.

Purwanto. (2008). Metodologi Penelitian Kuantitatif: untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Rrr08. (2010). Pendidikan Bilingual Pada Perkembangan Bahasa Anak (online). Available FTP : http://rrr08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/pendidikan-bilingual-pada-perkembangan-bahasa-anak/ - 03 Agustus 2010

Santrock, Jhon W. (2002). Life - Span Development 5th edition. Jakarta : Erlangga _______________ (2007). Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas Jilid 1. Jakarta :

Erlangga

Schultz, Duane. (1994). Theory of Personality. USA: Brooks/Gol Publishing Company Pacific Gove California.

Sharing Sekolah Dwibahasa (online). Available FTP : http://www.dunia-ibu.org/sharing/index.php?id=691 – 02 Agustus 2010


(6)

Smard, D, & Sanson, A. (2003) Social competence in young adulthood, its nature and antecedents. Family Matters, 64, 4-9. Australian institute of Family studies.

Strough, J., Berg, L.A., & Meegan, S.P. (2001). Friendship and gender differences in task and social interpretations of peer collaborative problem solving. Journal of Social Development, 10(1), 1-22.

Sugiarto, Siagian. (2003). Teknik Sampling. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Susanti, Destriyana. Kegunaan Bahasa Indonesia (online). Available FTP : http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_10946/title_kegunaan-bahasa-indonesia/ - 14 September 2010

Sutiyoso, Andy. (2006). Bahasa Asing Dalam Pendidikan Anak kita (online). http://www.semipalar.net/tulisan/tulisan 24.html - 14 September 2010 Tarigan, Henry Guntur. (1988). Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung : Angkasa Tarsidi, Didi. (2009). Perkembangan Kompetensi Sosial pada Anak. (online).

Available FTP : http://d-tarsidi.blogspot.com/2007/11/perkembangan-kompetensi-sosial-pada.html - 14 September 2010

Torres, M.V. T, Candelle-Elawar, M., Mena, M. J.B., & Sanchez, A.M.M (2003). Social background, gender and self-reported social competence in 11 – and 12 – year-old Andalusian children. Electronic Journal of Research in Educational Psychology, 1(2), 37-56.

Vitamind (2003) Misteri Perilaku Anak Sulung, Tengah, Bungsu dan Tunggal. Jakarta : PT. Gramedia pustaka Utama

Wika, Angela. (2010). Peran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia Dalam

Pendidikan Bilingual. Available FTP :

http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/Psikologi/Keluarga/peran.bahasa.ingg ris.dan.bahasa.indonesia.dalam.pendidikan.bilingual/001/007/260/5/3 - 10 Agustus 2010