LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap manusia mengalami proses perkembangan selama masa hidupnya. Proses perkembangan manusia meliputi beberapa aspek yakni perkembangan fisik, perkembangan psikososial dan perkembangan kognitif. Salah satu perubahan yang terjadi pada perkembangan kognitif adalah perubahan dalam bahasa di samping perubahan pada pemikiran dan intelegensi individu Santrock, 2002. Perkembangan bahasa dimulai sejak masa bayi dan terus berkembang dalam setiap tahap perkembangan individu. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi sehingga pesan yang dimaksudkan dapat dimengerti. Bahasa tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia dan selalu ada dalam setiap aktivitasnya. Hurlock 1993 menyatakan bahwa bahasa mencakup setiap sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan makna kepada orang lain dalam bentuk yang luas seperti : tulisan, berbicara, bahasa simbol, ekspresi wajah, isyarat, pantomin dan seni. Bahasa ini terus berkembang diawali dengan bahasa pertama individu. Setiap manusia mengetahui bahasa pertamanya melalui proses sosialisasi dengan lingkungan. Pakar bahasa Noam Chomsky dalam Santrock, 2002 yakin bahwa manusia terikat secara biologis untuk mempelajari bahasa pada suatu waktu tertentu dan dengan cara tertentu sesuai dengan bahasa yang didengar anak Universitas Sumatera Utara sejak kecil. Bahasa inilah yang nantinya akan dikuasai oleh anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya, yang disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa Indonesia umumnya merupakan bahasa ibu bagi anak Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional wajib diketahui oleh masyarakat Indonesia untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan. Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa persatuan atau pemersatu bahasa-bahasa yang ada di dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia dan juga sebagai identitas pengenal oleh bangsa lain di dunia Susanti, 2010. Anak tetap harus mengetahui bahasa Indonesia sebagai dasar untuk bersosialisasi, walaupun anak terlebih dahulu mengenal bahasa daerah atau bahasa yang dipakai di dalam lingkungannya. Kemampuan berbahasa asing juga menjadi salah satu kebutuhan bagi masyarakat selain bahasa Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan globalisasi yang identik dengan tidak ada batasan bagi negara-negara di dunia yang membutuhkan suatu bahasa komunikasi universal Sutiyoso, 2006. Dewasa ini tuntutan akan ketrampilan berbahasa asing di dalam dunia kerja semakin meningkat. Tanpa adanya ketrampilan yang baik, sulit bagi seseorang untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaannya. Tingginya tuntutan yang harus dipenuhi pada saat memasuki dunia kerja ini membuat orang tua juga semakin banyak menuntut anak-anak mereka yang masih dalam dunia sekolah Gunarsa, 2004. Hal ini sesuai dengan penuturan seorang ibu berinisial S yang memasukkan anaknya ke sekolah bilingual. Universitas Sumatera Utara “Waktu aku masukkan anakku ke sekolah bilingual, pemikiranku sederhana saja yaitu di masa anakku nanti cari kerja, pastilah English sangat dibutuhkan. Kalau tidak sejak kecil dibiasakan berbahasa English yang baik dan benar, akan kalah bersaing..”Komunikasi Personal, 2 Agustus 2010 Di Indonesia, bahasa asing paling banyak diminati untuk dikuasai adalah bahasa Inggris yang juga dijadikan bahasa universal di dunia. Kemampuan berbahasa asing, terutama berbahasa Inggris, dijadikan prasyarat kesuksesan bagi seseorang di masa depan. Asumsi ini membuat berbagai institusi pendidikan menyediakan pendidikan bahasa asing bagi perkembangan bahasa anak, termasuk menyediakan program bilingual Sutiyoso, 2006. Bilingual adalah kemampuan menggunakan dua bahasa. Anak yang memiliki kemampuan bilingual memahami bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman anak terhadap bahasa ibunya dalam empat ketrampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis Hurlock, 1993. Banyak orang tua yang menginginkan anaknya menjadi bilingual, bukan hanya untuk alasan sosial maupun ekonomis, namun dengan alasan perkembangan kognitifnya. Orangtua beranggapan bahwa dengan menjadi bilingual, anak mereka akan menjadi lebih cerdas karena dengan mempelajari dua bahasa sekaligus maka anak akan terlatih secara kognitif. Salah satu cara yang dilakukan orang tua adalah dengan memasukkan anaknya ke sekolah yang menyelenggarakan pendidikan secara bilingual Gunarsa, 2004. Sekolah yang menyediakan program bilingual berarti menggunakan dua bahasa di dalam kegiatan pendidikannya. Bahasa yang sering digunakan pada sekolah bilingual di Indonesia adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam Universitas Sumatera Utara kegiatan belajar mengajar setiap hari. Ada pelajaran yang diajarkan dengan bahasa Inggris, ada pula yang dengan bahasa Indonesia Gunarsa, 2004. Anak juga mempunyai pilihan dalam mempelajari bahasa asing lainnya, seperti bahasa Mandarin, Arab, Prancis, atau lainnya sebagai mata pelajaran, namun bukan sebagai bahasa pengantar. Penerapan konsep bilingual ini membuat pihak sekolah dan orang tua mengharapkan anak dapat lebih mahir dan menguasai bahasa asing terutama bahasa Inggris Sutiyoso, 2006. Area pada otak yang mengatur kemampuan berbahasa terlihat menunjukkan perkembangan paling pesat pada periode antara usia 6 enam sampai 13 tiga belas tahun critical periods, dan bukan pada usia 3 tahun pertama seperti banyak dipublikasikan. Hal ini merupakan hasil riset dari teknologi brain imaging di UCLA University of California Los Angeles. Jadi menurut hasil penelitian, secara biologis waktu yang tepat untuk mempelajari bahasa asing adalah pada usia sekolah, yakni SD Sekolah Dasar dan SMP Sekolah Menengah Pertama Adepanji, 2010. Banyak penelitian tertarik untuk meneliti bagaimana dampak dari bilingual ini. Sampai sekarang bilingual masih diperdebatkan. Ada penelitian yang mengemukakan hasil negatif dan ada pula yang positif Gunarsa, 2004. Salah satu hasil yang positif dikemukakan oleh para ahli syaraf yang meneliti hubungan antara belajar bahasa asing dengan perkembangan otak. Kesimpulan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh mempelajari bahasa asing dan keuntungannya bagi perkembangan otak, yakni perkembangan yang lebih Universitas Sumatera Utara pesat dalam proses kognitif, kreativitas dan divergent thinking dibandingkan dengan anak-anak monolingual Adepanji, 2010. Sebuah penelitian lain dilakukan oleh Kormi-Nouri 2008. Penelitian ini bertujuan untuk menguji anak bilingual Swedish-Persian yang menggunakan bahasa yang berbeda dalam kehidupan sehari-harinya tetapi memiliki latar belakang budaya yang sama dan tinggal di dalam komunitas yang sama dengan anak monolingual. Metode penelitian menggunakan desain eksperimen, dimana peneliti membandingkan kemampuan memori anak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dari bilingual yang ditemukan dalam kemampuan memori episodic dan semantic dimana pengaruh ini lebih terlihat pada anak yang lebih tua daripada yang muda. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa anak bilingual memiliki kemampuan dalam tugas memori episodic , yaitu dalam mempelajari kalimat dan kata, dan semantic, yaitu dalam kelancaran menyampaikan pesan dan mengkategorikannya, yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak monolingual. Penelitian di Indonesia salah satunya dilakukan oleh Itta 2007 yang ingin mengetahui pendapat para ibu tentang kemampuan anak dan hasil pembelajaran bilingual di Kelompok Bermain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para ibu berpendapat kemampuan anak mereka dalam bahasa Inggris ditinjau dari kelancaran berkomunikasi dan perkembangan kognitif anak dalam hal kemampuan anak mengerti dan berbicara secara langsung dalam bahasa Inggris serta hasil belajar anak pada rentang baik sampai sangat baik. Universitas Sumatera Utara Evaluasi penelitian bilingualisme menghasilkan kesimpulan bahwa bilingualisme tidak mengganggu performa linguistik anak dalam bahasa apa pun Hakuta Garcia dalam Santrock, 2002. Tidak ada bukti bahwa bahasa pertama harus dihapuskan sedini mungkin karena dapat mengganggu pembelajaran bahasa kedua, sebaliknya tingginya derajat bilingualisme berkaitan dengan fleksibilitas kognitif dan meningkatnya pembentukan konsep Diaz dalam Santrock, 2002. Menurut Andersson 1999 anak yang telah mempelajari dua bahasa akan mudah untuk beradaptasi ketika mengunjungi negara lain yang berbahasa sama dengan bahasa kedua anak. Andersson 1999 juga menyatakan bahwa anak yang bilingual akan merasa bangga dengan dirinya karena anak dapat menguasai lebih dari satu bahasa. Bilingual juga memiliki sisi negatif. Pada awalnya, mulai abad ke-19 sampai tahun 1960-an, hasil penelitian mengenai bilingualisme ini menghasilkan kesimpulan yang negatif. Para psikolog yang melakukan penelitian dari tahun 1920 sampai tahun 1960-an bahkan menemukan bahwa bilingualisme membawa dampak buruk bagi inteligensi. Anak-anak bilingual yang berada dalam rentang masa sekolah ini umumnya memperoleh skor yang lebih rendah daripada anak- anak monolingual pada tes IQ. Menurut para psikolog pada saat itu, hal ini disebabkan karena anak mengalami kebingungan di antara kedua bahasa tersebut Gunarsa, 2004. Dampak bilingualisme juga dikemukakan oleh Gene 2007 yang menyatakan bahwa pasti ada kesenjangan sosialisasi antara anak bilingual dengan keluarga besarnya. Kemungkinannya adalah anak akan menganggap rendah Universitas Sumatera Utara bahasa dan budaya orangtuanya karena dari kecil telah diperkenalkan bahasa asing Gene, 2007. Pendapat ini diperkuat oleh Tarigan 1988 yang menyatakan kontak anak bilingual dengan keluarga besarnya akan berbeda. Gene 2007 juga menyatakan bahwa tak sedikit anak yang stres dan tertekan karena dipaksa mengerti bahasa asing. Akibatnya anak akan selalu lambat dalam mengerjakan tugasnya karena ia kurang paham dengan apa yang dijelaskan guru dalam bahasa asing. Bahasa kedua atau bahasa asing baik jika diperkenalkan sejak dini, namun hanya dalam konteks diperkenalkan bukan dipaksakan. Salah satu akibat lainnya adalah pembelajaran dua bahasa yang akan menimbulkan konsep pemahaman yang tidak jelas. Misalnya adalah kerancuan dan kebingungan dalam konsep saat seorang anak mulai belajar bahasa dan menulis huruf “A” yang dilafalkan “e” dalam bahasa Inggris. Masalah ini terjadi karena bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris berbeda secara struktural dan tata cara aturan kalimat. Anak akan kesulitan memahami konsep dan struktur bahasa secara akademik Sutiyoso, 2006. Berdasarkan fenomena yang terjadi, anak bilingual tidak bisa menguasai satu bahasa secara keseluruhan yang menyebabkan anak berbicara dengan bahasa yang bercampur antara bahasa ibu dengan bahasa asing Genesse, dalam Gunarsa, 2004. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh seorang konselor di sekolah bilingual berinisial J 25 tahun : “Di sekolah ini bahasa sehari-harinya adalah bahasa Inggris tapi untuk pelajaran tertentu yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Anak-anak sih kadang kalau kurang mengerti, jadi campur-campur bahasanya, mereka juga jadi tidak bisa menguasai satu bahasa secara keseluruhan” Komunikasi personal, 11 Agustus 2010. Universitas Sumatera Utara Santrock 2002 menyatakan bahwa anak harus menguasai bahasa pertamanya untuk dapat berkomunikasi secara efektif di lingkungannya, namun di sisi lain mereka juga harus menguasai bahasa asing untuk memudahkan mereka di lingkungan sekolahnya. Akan lebih baik jika anak menguasai bahasa pertamanya terlebih dahulu kemudian mempelajari bahasa asing karena jika anak dihadapkan pada bahasa yang tidak familiar di lingkungan sosialnya, maka anak akan mengalami kebingungan sosial sehingga penggunaan bahasanya menjadi tidak sesuai. Kondisi ini menyebabkan komunikasi kurang lancar dan pada akhirnya dapat mengganggu perkembangan sosialnya dan berujung pada rendahnya kompetensi sosial anak. Hal ini sejalan dengan penuturan seorang staf pengajar di salah satu sekolah bilingual berinisial R 32 tahun : “Jadi di sekolah ini anak diwajibkan untuk berbahasa Inggris pada jam pelajaran kecuali pada beberapa pelajaran tertentu seperti pelajaran bahasa Indonesia dan Olahraga. Anak yang kurang menguasai bahasa Inggris biasanya menjadi pendiam dan tidak mau berbicara di dalam kelas” Komunikasi Personal, 18 April 2011 Anak juga akan mengalami rasa takut untuk berkomunikasi karena tuntutan yang diberikan oleh sekolah. Hal ini dirasakan oleh seorang anak yang bersekolah di sekolah bilingual berinisial C 9 tahun yang duduk di kelas 4 Sekolah Dasar : “Kalau guru ngajar pake bahasa Inggris terus-terusan kadang jadi gak ngerti kak, apalagi pelajaran berhitung, kayak matematika. Tapi kadang kami takut nanya sama gurunya, nanti dimarahi karena gak pake bahasa Inggris..” Komunikasi Personal, 18 April 2011. Pengaruh negatif dari bilingual ini tentunya akan berpengaruh kepada proses interaksi anak kepada orang-orang yang berada di lingkungannya. Kompetensi anak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya sangat diperlukan. Universitas Sumatera Utara Individu memerlukan kompetensi sosial agar dapat diterima oleh orang lain dan kompetensi sosial tersebut diperoleh melalui proses interaksi sosial Hurlock, 1993. Anak harus memiliki seperangkat kecakapan verbal dan non verbal untuk dapat berkompetensi sosial dengan baik Rinn dan Markle, dalam Tarsidi 2009, yang tentunya berbeda pada anak bilingual yang mengetahui dua bahasa. Pellegrini dan Glickman dalam Tarsidi, 2009 mendefinisikan kompetensi sosial pada anak sebagai suatu derajat dimana anak dapat beradaptasi pada lingkungan sekolah dan rumahnya. Definisi ini menyiratkan bahwa kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan rumah dan sekolahnya merupakan indikator utama kompetensi sosial Tarsidi, 2009. Sekolah merupakan lingkungan di mana anak tidak hanya memperoleh pelajaran akademik, tetapi merupakan tempat anak memperoleh interaksi sosial dan emosional dengan orang dewasa dan teman sebayanya, yang memungkinkan memupuk harga diri dan mengembangkan kompetensi sosialnya Paavola dalam Tarsidi, 2009. Seorang individu yang berkompeten adalah seseorang yang dapat menggunakan lingkungan dan sumber personal untuk mencapai hasil perkembangan yang baik Waters Sroufe dalam Clikeman, 2007. Kompetensi sosial merupakan dasar dimana harapan akan interaksi dengan orang lain terbangun dan anak mengembangkan persepsinya kepada perilakunya sendiri. Selain itu, kemampuan dalam melakukan percakapan mengambil peran yang penting dalam interaksi. Anak yang sukses secara sosial ditemukan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas dan responsif kepada lawan bicaranya Burleson dalam Clikeman, 2007. Universitas Sumatera Utara Kompetensi sosial menurut Clikeman 2007 adalah sebuah kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain dalam suatu situasi dan belajar dari pengalaman masa lalu, kemudian mengaplikasikannya. Kemampuan untuk merespon ini tergantung pada kemampuan komunikasi yang dimiliki anak dan interaksi dengan orang lain yang menggunakan bahasa dan komunikasi non verbal. Clikeman 2007 juga menuturkan elemen-elemen dari kompetensi sosial tersebut, yakni : 1 bahasa dan kemampuan berkomunikasi 2 kemampuan secara akurat mengirim dan menerima pesan emosional 3 kemampuan untuk belajar 4 kemampuan untuk memahami perspektif orang lain 5 kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri 6 kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain Ahli lain juga mengemukakan aspek dari kompetensi sosial. La Fontana dan Cillesen dalam Papalia, 2009 menuliskan bahwa kompetensi sosial dapat dilihat sebagai perilaku prososial, altruistik dan dapat bekerja sama. Anak-anak yang sangat disukai dan yang dinilai berkompetensi sosial oleh orang tua dan guru-guru pada umumnya mampu mengatasi kemarahan dengan baik, mampu merespon secara langsung, melakukan cara-cara yang dapat meminimalisasi konflik yang lebih jauh dan mampu mempertahankan hubungannya dengan orang lain di sekitarnya Fabes dan Eisenberg dalam Papalia, 2009. Kompetensi sosial merupakan salah satu jenis kompetensi yang penting dan harus dimiliki oleh anak-anak. Masa anak-anak tengah middle childhood, Universitas Sumatera Utara yaitu masa dengan usia 6-11 tahun Papalia, 2004, merupakan masa bermain dan masa sekolah dimana mereka berinteraksi dengan teman sebayanya untuk melakukan suatu kegiatan. Hurlock 1999 menyatakan bahwa masa anak-anak sering disebut sebagai “usia berkelompok” karena ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas berteman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Bermain dengan teman sebaya pada usia ini merupakan pengembangan kompetensi sosial anak Gunarsa, 2004. Anak yang memiliki kompetensi sosial tampak lebih mudah untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Selain itu, Piaget dalam Tarsidi, 2009 juga mengemukakan bahwa interaksi dengan teman sebaya merupakan satu sumber utama perkembangan sosial maupun kognitif, khususnya perkembangan “role taking” dan empati yang merupakan salah satu aspek dari kompetensi sosial. Tokoh psikososial Erikson dalam Schultz, 1994 menyatakan bahwa masa anak-anak tengah middle childhood merupakan masa emas untuk belajar. Perkembangan bahasa anak juga lebih berkembang dan berfikir dengan konsep operasional konkrit. Hubungan sosial anak juga lebih ditekankan pada peer atau teman sebaya melalui proses bermain. Konsep persahabatan juga berkembang dalam tahap ini Monks,1998. Kemampuan untuk mendengar pembicara lain dan bahasa non verbal menunjukkan pemahaman yang berhubungan dengan popularitas dan penerimaan teman sebaya Black Hazen dalam Clikeman, 2007. Namun, tidak semua anak dapat bersosialisasi dengan baik. Anak-anak Universitas Sumatera Utara yang tidak mampu berunding atau bekerja sama akan susah untuk diterima di lingkungan teman sebaya dan anak juga akan menunjukkan kompetensi sosial yang buruk Putallaz Sheppart, 1990 dalam Clikeman, 2007. Oleh karena itu, kemampuan anak dalam menganalisa perilakunya sangat diperlukan sehingga dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Kemampuan berbahasa yang merupakan salah satu aspek dari kompetensi sosial menurut Clikeman 2007 ini tentunya berbeda pada anak bilingual dibandingkan dengan anak lainnya secara umum. Menurut Clikeman 2007, anak yang dinilai memiliki kompetensi sosial yang tinggi adalah anak yang memiliki nilai yang tinggi atau memiliki kemampuan pada keenam elemen dari kompetensi sosial tersebut, sebaliknya anak yang dinilai memiliki kompetensi sosial yang rendah adalah anak yang memiliki nilai yang rendah atau kurang memiliki kemampuan pada keenam elemen tersebut. Salah satu aspek lain dari kompetensi sosial menurut Clikeman 2007 adalah kemampuan anak untuk mengatur perilakunya sendiri yang mencakup bagaimana anak dapat menyesuaikan diri dengan suatu situasi dan mengubah perilakunya sehingga sesuai dengan lingkungan. Hurlock 1993 menyatakan bahwa penyesuaian diri anak bilingual dengan lingkungannya akan menimbulkan permasalahan karena bahasa anak yang berbeda dengan orang di lingkungannya. Berdasarkan berbagai penjelasan diatas mengenai pengaruh dari bilingual dan hubungannya dengan proses interaksi dan komunikasi anak dengan lingkungannya, maka peneliti ingin melihat bagaimana gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual, khususnya masa anak-anak Universitas Sumatera Utara tengah middle childhood yang merupakan masa sekolah dan memasuki dunia sosial lebih luas serta masa emas untuk belajar dan berinteraksi dengan teman sebaya. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Melalui penelitian ini akan diperoleh data mengenai gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual. Selain itu, peneliti juga tertarik untuk mengetahui apakah ada perbedaan kompetensi sosial antara anak laki-laki dan perempuan sehubungan dengan perbedaan psikologis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan menurut Hurlock 1999. Perbedaan dari tingkat usia, juga perbedaan menurut lama anak mengikuti sekolah bilingual karena kompetensi sosial berkaitan erat dengan pengalaman sosial yang diperoleh seseorang Adams dalam Martani dan Adiyanti, 1991. Perbedaan berdasarkan posisi urutan dalam keluarga karena menurut Hurlock 1978 kompetensi sosial juga dipengaruhi oleh urutan kelahiran. Keempat hal ini akan menjadi hasil tambahan dalam penelitian ini.

B. PERUMUSAN MASALAH