Perumusan Masalah Hal yang sangat penting untuk memulai suatu penelitian adalah adanya Tujuan Penelitian Homoseksualitas dalam Buku Memberi Suara pada yang Bisu.

sebagainya. Berdasarkan fakta-fakta di atas mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang gay kepada pasangan gaynya dan juga dikarenakan Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang diyakini keberadaan gaynya cukup banyak, maka peneliti tertarik untuk meneliti gay di Kota Medan dari aspek kekerasan seksual.

1.2 Perumusan Masalah Hal yang sangat penting untuk memulai suatu penelitian adalah adanya

masalah yang akan diteliti. Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik- baiknya, maka peneliti harus merumuskan masalahnya dengan jelas sehingga akan jelas bagi peneliti dari mana harus mulai, ke mana harus pergi dan dengan apa Arikunto, 2006. Berdasarkan uraian tersebut di atas dan berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan oleh peneliti, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah bentuk-bentuk kekerasan seksual yang pernah dilakukan dan dialami oleh gay di Kota Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan seksual yang pernah dilakukan dan dialami oleh gay di Kota Medan. Universitas Sumatera Utara

1.4 Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain, terlebih lagi untuk ilmu pengetahuan. Oleh karena itu manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai kekerasan seksual pada gay dan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan dan dialami oleh gay, sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya, serta bermanfaat dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya Ilmu Sosiologi.

2. Manfaat Praktis

Memberikan sumbangan pengetahuan dalam bentuk bacaan untuk memperkaya wawasan setiap individu yang membaca hasil penelitian ini dan menjadi bahan evaluasi diri bagi para gay itu sendiri.

1.5 Definisi Konsep

Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide maupun gagasan. Untuk mengetahui penjelasan maksud, pengertian dan kesalahpahaman penafsiran, maka diperlukan batasan konsep yang digunakan. Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah : Universitas Sumatera Utara

1. Homoseksual

Pada awalnya istilah homoseksual digunakan untuk mendeskripsikan seorang pria yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya. Namun dalam perkembangannya, istilah homoseksual digunakan untuk mendefinisikan sikap seorang individu pria maupun wanita yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya. Adapun ketika seorang pria memiliki orientasi seksual terhadap sesama pria maka fenomena tersebut dikenal dengan istilah gay, sementara fenomena wanita yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya disebut lesbian. Baik gay maupun lesbian, keduanya memiliki citra yang negatif dalam masyarakat. Kajian mengenai homoseksual dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu antara lain : orientasi seksual, perilaku seksual dan identitas seksual. Ditinjau dari aspek orientasi seksual, maka homoseksual adalah ketertarikan maupun hasrat untuk terlibat secara seksual terhadap orang yang berjenis kelamin sama. Ditinjau dari aspek perilaku seksual, maka homoseksual mengandung pengertian sebagai sebuah perilaku maupun kegiatan seksual antara dua orang yang berjenis kelamin sama. Ditinjau dari aspek identitas seksual, maka homoseksual mengarah pada identitas sebagai gay maupun lesbian. Jika ditinjau secara keseluruhan maka gay adalah bentuk homoseksual yang keseluruhan aspek tersebut berada dalam konteks sesama pria. Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya pembahasan mengenai homoseksualitas juga mencakup fenomena kaum gay. Atas dasar tersebut, maka setiap kajian mengenai homoseksualitas dapat mencakup kajian mengenai gay. Ditinjau dari jenis- jenisnya, maka homoseksualitas dalam kajian gay terdiri dari empat macam, yaitu : 1. Homoseksualitas pertumbuhan Homoseksualitas pertumbuhan adalah homoseksualitas yang bersifat sementara. Homoseksualitas ini sangat singkat dan terjadi dalam masa pertumbuhan anak. Pada masa pubertas anak mulai mengalihkan perhatiannya dari orangtua kepada orang lain. Namun ketika seorang anak laki-laki belum berani kepada seorang gadis, maka ia dapat mengarahkan seksualnya kepada teman lelakinya yang sebaya. Dalam homoseksualitas pertumbuhan tidak harus terjadi perbuatan-perbuatan seksual, walaupun terkadang terjadi tindakan seksual tertentu seperti masturbasi berdua. 2. Homoseksualitas darurat Sama halnya dengan homoseksualitas pertumbuhan, homoseksualitas darurat juga bersifat sementara. Homoseksualitas darurat terjadi karena tidak adanya kesempatan untuk melakukan hubungan heteroseksual. Dalam kondisi tersebut, seorang anak laki-laki yang tidak memiliki kesempatan melakukan hubungan heteroseksual akan beralih kepada perilaku homoseksual. Gejala ini akan berhenti ketika kesempatan untuk melakukan hubungan heteroseksual muncul. Universitas Sumatera Utara 3. Pseudohomoseksualitas Pseudohomoseksualitas lebih bersifat melayani seorang homoseksual karena alasan keuangan maupun memiliki ketergantungan terhadap seorang homoseksual tersebut. Ketika seorang pria berada dalam tekanan ekonomi dan seorang homoseksual mampu memberikan jaminan ekonomi kepadanya, maka ia dapat melakukan hubungan homoseksual demi jaminan ekonomi tersebut. 4. Homoseksualitas kecenderungan Homoseksualitas ini sangat dipengaruhi oleh pembawaan seseorang. Jika seorang pria berada dalam keluarga yang mempunyai banyak anggota keluarga yang homoseksual, maka ia dapat turut melakukan hubungan homoseksual.

2. Gay

Gay adalah seorang pria atau laki-laki yang memiliki orientasi seksual sesama jenis atau ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang sama. Dengan kata lain menyukai pria atau laki-laki secara emosional dan seksual. Gay bukan hanya menyangkut kontak seksual antara seorang laki-laki dengan laki-laki yang lain tetapi juga menyangkut individu yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional dan sosial terhadap laki-laki yang lain. Gay tetap mengakui identitas jenis kelaminnya sebagai laki-laki, namun orientasi seksualnya ditujukan kepada laki-laki. Universitas Sumatera Utara

3. Pasangan Gay

Pasangan gay adalah dua orang gay yang menjalin hubungan dalam suatu ikatan emosional dan seksual. Hal ini dikenal dengan istilah “BF Boy Friend”. Pada kaum gay identitas hubungan seksual sangat penting untuk diketahui karena hal tersebut membantu bagi seorang gay untuk mencari tipe pasangan yang diinginkan. Perlu diketahui bahwa pola hubungan seksual pada gay mempunyai tiga bentuk, antara lain top, bottom dan fire style. Top merupakan salah satu bentuk hubungan seksual dimana seorang gay hanya bisa menyodomi dan tidak mau disodomi. Kebalikannya adalah bottom, dimana seorang gay hanya bisa disodomi dan tidak dapat menyodomi. Untuk pola hubungan seksual kedua-duanya adalah fire style, dimana seorang gay mampu menyodomi dan bisa disodomi. Ketika seorang gay sudah mengetahui dirinya termasuk fire style, top atau bottom, maka dia akan lebih mudah dalam mencari pasangannya. Hal ini karena ketika seorang gay mencari pasangan untuk menjalin hubungan baik secara emosional dan seksual biasanya menanyakan terlebih dahulu calon pasangannya, apakah fire style, top atau bottom.

4. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas. Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual baik kekerasan fisik, kekerasan emosional dan kekerasan verbal yang dilakukan oleh seseorang terhadap pasangannya. Dalam penelitian ini kekerasan seksual Universitas Sumatera Utara yang dimaksudkan adalah kekerasan seksual yang dilakukan maupun yang dialami oleh gay. Ada beberapa jenis bentuk-bentuk kekerasan seksual yang pernah dilakukan oleh gay di seluruh dunia, antara lain : memukul, menendang, menampar, menyulut rokok, memasukkan benda-benda keras ke dalam dubur atau anus, mencambuk, mencekik leher, menyayat-nyayat kulit dengan silet, menodong senapan, menggigit dan melukai alat kelamin, pemaksaan hubungan seksual, menarik rambut dengan kasar, mengancam, memaki, meludahi dan lain-lain. Berdasarkan pemaparan di atas, ternyata kekerasan seksual juga bisa terjadi pada pasangan gay. Memang secara empiris, penelitian-penelitian mengenai masalah ini baru banyak dilakukan di luar negeri yang juga masih sering terbentur oleh ketertutupan mereka dan tekanan masyarakat yang ada. Suatu studi terbaru menunjukkan bahwa satu dari lima orang gay mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangannya, dimana hal ini menunjukkan fakta bahwa kekerasan seksual yang biasa terjadi pada wanita dalam hubungan atau pasangan heteroseksual juga bisa terjadi pada pasangan gay Spindle, 2003. Sekitar 25 sampai 33 terjadi kekerasan seksual pada pasangan gay Barnes, 2003.

5. Penyimpangan Sosial

Penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai- nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan dan agama secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial. Gay dalam masyarakat luas dikatakan sebagai penyimpangan Universitas Sumatera Utara sosial karena fenomena gay bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam kelompok masyarakat. Jadi ukuran yang menjadi dasar bahwa gay adalah penyimpangan sosial bukan karena baik atau buruk dan benar atau salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran norma dan nilai sosial dalam suatu kelompok masyarakat. Dalam kaitannya sebagai bentuk perilaku menyimpang, secara sosiologis maupun umum gay dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dalam sudut pandang masyarakat luas maupun masyarakat tempat pelaku penyimpangan berada. Jika ditinjau dari sudut pandang etimologis, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menerjemahkan perilaku menyimpang sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada dalam masyarakat. Robert M. Z. Lawang mengartikan perilaku menyimpang sebagai semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial masyarakat dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang untuk memperbaiki hal tersebut. Gay merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang yang bukan hanya secara tegas telah menyalahi norma- norma yang ada dalam banyak masyarakat namun juga turut mendorong terciptanya upaya sadar dari sebagian elemen masyarakat yang berwenang untuk menekan perkembangan komunitas gay dalam suatu masyarakat. Universitas Sumatera Utara Penilaian masyarakat yang mengecam homoseksual diberikan dalam beberapa bentuk. Dari sudut pandang agama, homoseksualitas dianggap sebagai dosa. Dari sudut pandang hukum, dilihat sebagai penjahat. Dari sudut pandang medis terkadang masih dianggap sebagai penyakit. Dari sudut pandang opini publik, dianggap sebagai penyimpangan sosial. Sementara itu, kelompok masyarakat yang memiliki pandangan berlawanan dengan persepsi di atas, menganggap homoseksualitas sebagai suatu gaya hidup. Berdasarkan uraian tentang seksualitas kaum gay di atas, dapat dilihat persoalan moral yang timbul dari fenomena kaum gay tersebut. Persoalan moral pertama adalah praktek seks bebas extra marital. Pasangan homoseksual masih belum bisa mendapatkan pengesahan dalam bentuk perkawinan legal. Oleh karena itu, praktek seks yang mereka lakukan dapat digolongkan sebagai praktek seks bebas karena dilakukan di luar lembaga perkawinan yang resmi. Persoalan moral kedua yang dialami kaum gay adalah bahwa hubungan seksual yang mereka lakukan adalah perbuatan homoseksual. Norma merupakan salah satu tolak ukur yang menentukan suatu perilaku dinyatakan menyimpang atau tidak. Norma yang ada dalam masyarakat adalah berupa tata aturan atau peraturan yang mengikat kelompok individu dalam suatu daerah atau wilayah sebagai bentuk representasi kontrol sosial yang akan mengendalikan tingkah laku anggota masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan pemahaman dan penerapan orientasi seksual anggotanya, Universitas Sumatera Utara kontrol sosial yang ada dalam masyarakat berperan sebagai pembatas orientasi seksual agar tidak menyalahi norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Ketika muncul pandangan orientasi seksual maka kontrol sosial yang ada dalam masyarakat akan membatasinya untuk berkembang, dan dalam konteks yang lebih ekstrim maka setiap pandangan orientasi seksual yang tidak sesuai dengan norma akan diusahakan untuk dilenyapkan. Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Homoseksualitas dalam Buku Memberi Suara pada yang Bisu.

Sepuluh tahun terakhir ini, di kalangan para pengkaji homoseksualitas dan aktivis gerakan gay dan lesbian di barat berkecamuk kontroversi yang dapat diringkaskan pada perbedaan antara dua pandangan. Pandangan yang pertama bahwa homoseksualitas merupakan bagian hakiki esensial dari struktur kepribadian manusia yang merupakan bawaan dari lahir innate. Pandangan ini timbul dari konseptualisasi medis-biologis para pakar dari abad ke-19 yang melihat adanya kesemestaan universalitas homoseksualitas di mana-mana dan pada zaman manapun. Pandangan yang kedua menganggap bahwa kategori homoseksual yang dikonseptualisasikan oleh para pakar itu sebagai timbul khas dari kecenderungan kebudayaan barat abad ke-19. Pandangan ini melihat kategori homoseksual sebagai konstruksi sosial dengan kata lain dibentuk oleh masyarakat yang merupakan produk sejarah peradaban barat pada abad ke-19. Pandangan pertama, yang dalam literatur kini dikenal sebagai esensialisme essentialism, cenderung banyak didukung oleh para aktivis gerakan gay dan lesbian yang menganggap bahwa keadaan pribadi seorang homoseksual merupakan sesuatu yang terberi given dan justru menghadapi tentangan dari masyarakat umum sehingga perlu diperjuangkan pemenuhan potensinya. Pandangan kedua, yang dikenal sebagai sosio-konstruksionisme social Universitas Sumatera Utara contructionism, banyak dianut oleh kalangan ilmuwan sosial yang terpengaruh oleh ide-ide Michel Foucault dari tahun 1970-an. Para ilmuwan sosial ini merujuk pada posisi perilaku homoseksual dalam berbagai budaya non barat yang tidak dikategorikan sebagai suatu kategori tertentu yang menyeluruh sebagaimana dikonseptualisasikan oleh para esensialis.

2.1.1 Pola Hubungan, Identitas Diri dan Perilaku Seksual Gay

Dari penelitian kelompok “Psyche” di Surabaya, didapati bahwa 30 dari kaum gay yang diwawancarai N=100 memilih berpasangan monogam, dengan alasan bahwa adanya pasangan tetap merupakan perwujudan kebutuhan akan cinta dan rasa aman dan pasti. Namun lebih banyak 70 yang tidak punya pasangan tetap, karena mempunyai pasangan tetap dianggap terlalu banyak mengajukan tuntutan dan tanggung jawab. Juga dikemukakan alasan sulitnya proses adaptasi antara dua orang yang baru kenal dan kurangnya kebebasan kalau berpasangan tetap. Banyak laki-laki gay yang mengidentifikasi diri secara bercanda sebagai “banci”. Umumnya mereka ini menunjukkan nonkonformitas gender yang tinggi. Secara bercanda pula ada di antara mereka yang mengidentifikasi diri sebagai “perempuan”. Hal sebaliknya, yakni identifikasi sebagai laki-laki, kerap dilaksanakan oleh para lesbian. Cukup banyak laki-laki yang mau berhubungan seks dengan laki- laki gay, menolak disebut gay. Bahkan ada laki-laki gay yang hanya mau berhubungan seks dengan laki-laki yang tidak mengidentifikasi diri sebagai gay ini, yang mereka sebut “laki-laki asli”. Mereka ini cenderung tidak menampakkan Universitas Sumatera Utara nonkonformitas gender, walaupun sebagian kemudian mengadopsi identitas gay dan menampakkan nonkonformitas gender. Dalam kaitan ini, yang menarik adalah laki- laki yang berhubungan seks dengan waria, yang jelas tidak memandang diri atau dipandang sebagai gayhomoseksual. Hal identitas diri ini ternyata tidak ada sama sekali hubungannya dengan perilaku seksual mereka dengan partnernya: ada laki-laki “asli” yang dalam hubungan seksual minta disemburit dipenetrasi di anus oleh penis laki-laki gay atau waria atau yang dengan senang hati melakukan seks oral. Akan halnya perilaku seksual pada umumnya, semua tipe kontak langsung genital didapati di kalangan mereka yang berperilaku homoseksual di Indonesia modern. Pada laki- laki gay, dikenal teknik masturbasi mutual, fellatio seks oral, koitus interfemoral dan “gesek-gesek” frottage, serta koitus genito-anal semburit. Secara umum didapatkan kesan bahwa orang Indonesia lebih berinhibisi dalam melakukan hubungan seksual apabila dibandingkan dengan orang barat.

2.1.2 Kaum Gay di Tengah Ancaman AIDS

Perilaku homoseksual resiko tingggi sebenarnya sudah jelas, yakni senggama penis-anus dan mungkin penis-mulut. Teknik seks lainnya senggama penis- selapahainterfemoral, penis-penis, penis-dadaperut, masturbasi merupakan perilaku homoseksual resiko rendah. Yang tidak banyak disadari masyarakat adalah bahwa jumlah mereka yang melakukan perilaku homoseksual resiko tinggi ternyata cukup besar. Teknik senggama penis-anus dan penis-mulut dilakukan oleh banyak sekali gay modern maupun waria. Frekuensi pergantian mitra seks juga cukup tinggi. Dari Universitas Sumatera Utara kajian-kajian antropologi juga diketahui adanya budaya-budaya yang mengenal senggama penis-anus dan atau penis-mulut sebagai bagian ritus inisiasi Marind- Anim, Asmat. Para pemuka masyarakat ini tentu saja menolak mengakui masih adanya perilaku termaksud atau menganggap sudah tidak ada lagi, tetapi laporan- laporan dari “dalam” menunjukkan masih adanya perilaku itu. Masyarakat yang tahu tentang seluk-beluk kehidupan gay dan waria pun cenderung mempunyai stereotip bahwa gay dan waria selalu menjadi mitra pasif dalam senggama. Karena itu, laki-laki yang gemar kencan dengan waria maupun pelacur laki-laki yang melayani gay, dianggap bukan “kelompok risiko tinggi”. Padahal pengamatan yang lebih mendalam mengungkapkan bahwa si pejantan yang sok jantan di taman atau di ruang tamu bordil, di dalam kamar bisa saja jadi pasif. Perlu juga diingat bahwa ada cukup banyak laki-laki gay yang tidak menganut stereotip hubungan gay-pejantan ini, dalam arti hubungan mereka cenderung timbal- balik, yang berarti bahwa jenis perilaku seks mereka pun cenderung timbal-balik. Komunitas gay dan waria sendiri pun punya stereotip, bahwa laki-laki “jantan” yang mereka kencani bukan gay. Bahkan pada awal tersebarnya berita tentang AIDS, para waria tersinggung dijadikan sasaran pembicaraan karena dalam jaringan komunitas gay dan waria, waria merasa dirinya lain dar gay. Tetapi kita tahu bahwa perilaku seksual gay dan waria secara potensial sama saja. Begitu juga mitra seks gay dan waria, apabila melakukan perilaku homoseksual resiko tinggi tadi, dapat saja tertular HIV. Universitas Sumatera Utara Kesadaran akan pentingnya berpindah ke perilaku seks yang resiko rendah masih belum ada dalam komunitas gay, waria dan laki-laki pejantan mereka. Memang pada beberapa kalangan ada keengganan berhubungan seks dengan pria barat, karena dianggap hanya pria barat yang membawa HIV. Karenanya timbul mitos bahwa selama hubungan seks dilakukan dengan sesama laki-laki Indonesia, maka resiko tertular HIV tidak ada. Dapat dikatakan pada umumnya pengetahuan gay, waria dan pejantannya tentang AIDS sangat minim dan penuh kesesatan. Hingga akhir-akhir ini, pada umumnya mereka mengabaikan AIDS, dengan menganggapnya penyakit luar negeri yang tidak ada penderitanya di Indonesia. Pada umumnya pengetahuan mereka sangat minim atau keliru tentang bahaya AIDS, cara penularannya, gejala-gejala komplikasi serta penderitaan sebelum ajal, dan perjalanan penyakitnya. Kalaupun mereka membicarakan AIDS, kebanyakan dengan bercanda dan mencerminkan minim atau kelirunya pengetahuan itu, tetapi yang jelas tanpa rasa khawatir yang terlampau tinggi. Pengetahuan tentang cara-cara berhubungan seks aman safe sex juga minim sekali. Ada sikap mencemoohkan atau melecehkan penggunaan kondom saat senggama, atau setidak-tidaknya heran kenapa “alat KB” ini ikut-ikutan dalam kehidupan homoseksual. Patut disebutkan pula adanya reaksi berlebihan pada kaum lesbian yang menganggap kaum gay sebagai kelompok resiko tinggi dan tidak mau bergaul, menggunakan alat makan bekas dipakai gay, meskipun sudah dicuci bersih, atau minum suguhan seorang gay. Ada pula stereotip, baik di masyarakat awam maupun pada kaum gay, waria dan pejantannya, bahwa HIV tertular karena sering Universitas Sumatera Utara berganti mitra seks. Kenyataan menunjukkan bahwa sekali saja berhubungan seks dengan pembawa virus HIV dengan melakukan perilaku resiko tinggi sudah cukup untuk menularkannya. Selain itu, kebanyakan orang menganggap bahwa perilaku homoseksual, kalaupun ada terpusat pada kota-kota besar dan pusat-pusat wisata seperti Bali. Kenyataan menunjukkan bahwa setiap kota kecil, setiap desa, dihuni oleh orang-orang yang gemar menjalankan perilaku homoseksual resiko tinggi. Mereka hanyalah tidak terlihat dari permukaan. Kelompok gay dan waria yang tampak mencolok itu hanyalah “puncak gunung es”. 2.2 Studi Homoseksualitas dalam Buku HASRAT PEREMPUAN, Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di Indonesia. Salah satu permasalahan utama dalam studi homoseksualitas di negara-negara selain Amerika Serikat dan Eropa adalah studi tersebut lebih berkonsentrasi pada fakta-fakta praktek seksual antara laki-laki dengan laki-laki. Dalam “Sejarah Homoseksualitas Homosexuality in History” yaitu sejarah mengenai homoseksualitas laki-laki dari negara barat yang dimulai dari jaman Yunani kuno sampai dengan era Victoria, Karlen 1980 mencatat bahwa sebagian literatur dan kesenian Yunani menggambarkan relasi seksual antara dua orang perempuan atau dua orang laki-laki. Karlen tidak membahas permasalahan ini dengan lebih terperinci. Karlen mencoba mengemukakan adanya kemungkinan relasi antara status seorang perempuan dengan kejadian homoseksualitas laki-laki Yunani, yaitu suatu relasi yang Universitas Sumatera Utara menurutnya saling terkait untuk mengangkat status sosial perempuan Karlen dalam Wieringa Blackwood, 2009. Sebagai upaya untuk memformulasikan teori homoseksualitas antar negara, Carrier 1980 menyimpulkan bahwa ada dua “faktor sosio-kultural” signifikan yang terkait dengan ekspresi mengenai tingkah laku homoseksual, yaitu sikap dan larangan penerimaan atau pelarangan terhadap sikap homoseksual dan keberadaan pasangan seksual. Carrier mencoba mengemukakan bahwa ketiadaan jenis kelamin yang berbeda, nilai keperawanan bagi perempuan, segregasi laki-laki dalam perkemahan, migrasi laki-laki dan poligini pernikahan dengan lebih dari satu orang perempuan, kesemuanya meningkatkan sikap homoseksual. Dalam skenario ini segregasi dan kurangnya pasangan dengan jenis kelamin berbeda mengarahkan pada terbentuknya praktek-praktek homoseksual laki-laki dan juga perempuan. Salah satu kontribusi Carrier terhadap studi homoseksualitas adalah menjelaskan mengapa sebagian budaya mengakomodir apa yang disebutnya sebagai sikap gender silang sekarang ini lebih sering disebut sebagai transgender, sementara sebagian lainnya menolak paham ini. Walaupun diskusi yang dilakukannya lebih berfokus pada laki-laki daripada perempuan, Carrier menegaskan bahwa kecocokan yang sama juga berlaku terhadap perempuan. Kesimpulan Carrier bahwa homoseksualitas tidak selalu memiliki arti yang sama dalam setiap budaya bertahan sampai sekarang ini dan menjadi wawasan yang penting dalam berbagai studi mengenai gay dan lesbian. Carrier menyimpulkan bahwa sikap homoseksual laki-laki biasanya nampak ke permukaan dengan lebih teratur dibandingkan dengan sikap homoseksual perempuan. Anggapan bahwa Universitas Sumatera Utara perbedaan ini kemungkinan karena status lebih tinggi yang diberikan kepada laki-laki dibandingkan kepada perempuan dalam kebanyakan tatanan masyarakat khususnya dalam peran melindungi yang dimainkan laki-laki dalam sepanjang sejarah dimana mereka biasanya melindungi anak-anak dan perempuan. Penegasan Carrier bahwa status sosial laki-laki yang lebih tinggi dan perempuan di bawahnya merupakan alasan mengapa lebih banyak ditemukan bukti dan visibilitas homoseksualitas laki- laki karena berkaitan dengan budaya patriarkat, tetapi juga menjadi alasan umum yang kurang dapat diterima Carrier dalam Wieringa Blackwood, 2009. 2.3 Proses Pengambilan Keputusan Menjadi Gay dalam Jurnal Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-laki Usia Dewasa Awal. Hal yang berat ketika seseorang memutuskan dan mengakui bahwa dirinya adalah gay. Dibutuhkan keberanian yang luar biasa untuk melakukan hal itu. Individu harus benar-benar mempersiapkan diri secara psikologis sebelum melakukannya. Bahkan setelah individu mampu menguasai dirinya sendiri, individu harus siap menerima respon dari keluarga dan kemungkinan konsekuensi atas pengakuannya sehingga keluarga akhirnya tahu. Keluarga dan masyarakat akan memberikan berbagai macam reaksi, baik yang mendukung maupun yang menolak. Dilema dan konflik pasti akan dihadapi ketika seseorang memutuskan untuk menjadi gay. Universitas Sumatera Utara Proses pengambilan keputusan menjadi gay dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri subjek dan faktor lingkungan yang ada di sekitar subjek. Pemahaman diri subjek sebagai seorang gay tidak akan terbentuk menjadi orientasi seksual yang aktif apabila dari dalam diri subjek tidak ada keinginan untuk menjadi seorang gay. Pada awalnya subjek belum memiliki pengetahuan yang benar tentang orientasi seksual. Subjek hanya mengikuti perasaan dan menikmati sensasi ketertarikan pada sesama jenis tanpa memikirkan konsekuensinya lebih lanjut. Rasa ketertarikan yang awalnya hanya dipendam kemudian diwujudkan dalam komitmen untuk menjalin hubungan. Ketertarikan secara fisik maupun seksual kemudian berubah menjadi keinginan untuk menjalin hubungan secara intim. Hubungan ini yang kemudian menentukan subjek akan meneruskan orientasi seksualnya sebagai gay atau mengubah orientasi seksualnya menjadi heteroseksual. Ternyata hubungan yang dijalani subjek dengan pasangannya membuat subjek merasa menemukan sesuatu yang hilang dari dalam keluarganya seperti rasa nyaman dan kepuasan batin. Subjek merasakan adanya kepuasan dan terpenuhinya kebutuhan seksual maupun kebutuhan emosional dalam hubungan sejenis cenderung akan semakin memantapkan identitas seksual gay. Pembentukan orientasi seksual gay dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri subjek dan faktor dari lingkungan. Pada awalnya subjek merasakan adanya ketertarikan kepada sejenis yang masih belum dipahami. Subjek yang berada di tengah masyarakat yang heterosentris tentunya akan merasakan kebingungan saat menyadari orientasi seksualnya. Subjek yang berada pada tahapan kebingungan Universitas Sumatera Utara identitas ini biasanya akan menjalani kehidupannya dengan usaha mencari tahu kebenaran tentang orientasi seksualnya. Subjek kemudian memasuki tahapan perbandingan identitas. Pada tahapan ini subjek berusaha menerima orientasi seksualnya. Meskipun penerimaan diri yang dirasakan masih bersifat sementara, tetapi subjek mulai memikirkan konsekuensi yang harus ditanggung. Tahapan ini merupakan langkah awal pada komitmen bahwa subjek memiliki gambaran diri sebagai seorang gay. Di tahap selanjutnya subjek memasuki tahap toleransi. Pada tahap ini subjek akan memiliki komitmen yang besar atas identitas gaynya. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Di dalam penelitian deskriptif tidak diperlukan administrasi dan pengontrolan terhadap perlakuan. Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu gejala atau keadaan Arikunto, 2009. Penelitian deskriptif dalam penelitian ini menggunakan studi life history dengan maksud untuk memperoleh data yang maksimal. Studi life history adalah suatu metode yang mengungkap riwayat hidup seseorang atau sekelompok orang baik secara menyeluruh maupun hanya aspek tertentu yang digambarkan secara rinci, multi faset dan cakrawala pandang yang luas dari interaksi seseorang atau sekelompok orang dengan lingkungan dan masyarakat tanpa batas ruang dan waktu. Masalah yang dapat diteliti dengan metode ini meliputi pendapat, tanggapan, pikiran, perasaan, pilihan, interpretasi, keputusan dan pengalaman seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat. Berbagai aplikasi dalam beberapa aspek penelitian yang Universitas Sumatera Utara