K EADAAN EK ON OM I
5 tingkat inflasi turun secara signifikan menjadi 6,6. Tingkat pengangguran juga menjadi
salah satu variabel yang dikaji dalam menilai keadaan ekonomi suatu negara. Dengan merujuk pada data BPS, tingkat pengangguran pada tahun 2004 sebesar 9,86, lalu
merangkak naik menjadi 11,24 pada tahun 2005 hingga kemudian berada pada level 10,45 pada tahun 2006.
Kemiskinan merupakan salah satu isu krusial yang sangat terkait dengan dimensi ekonomi. Kemiskinan telah lama menjadi persoalan mendasar yang menjadi pusat
perhatian pemerintah dan berbagai kalangan. Statistik Kesra Tahun 2006 menyajikan persentase rumah tangga yang mendapatkan pelayanan gratis bidang kesehatan dan yang
membeli beras murahraskin selama 6 bulan referensi. Persentase rumah tangga yang mendapatkan pelayanan gratis menunjukkan angka 12,85. Angka tersebut terdiri dari
Askeskin sebesar 54,2, Kartu Kompensasi BBM sebesar 3,26, Kartu Sehat sebesar 28,12 dan lainnya sebesar 14,41. Rumah tangga yang membeli beras murahraskin
selama 6 bulan referensi sebesar 45,01. Rincian mengenai persentase rumah tangga yang membeli beras murahraskin selama 6 bulan referensi dan jumlah beras yang dibeli
menurut provinsi tahun 2006 dapat dilihat pada Lampiran 2.6
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan
GK yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan GKM dan Garis Kemiskinan Non Makanan GKNM. Penentuan GKM dilakukan berdasarkan pengeluaran penduduk
untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa makanan, sedangkan GKNM ditentukan berdasarkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan perumahan, sandang, pendidikan
dan kesehatan.
Pada Bulan Maret 2006, jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat menjadi 39,3 juta dari 35,10 juta pada Februari 2005. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi
pertambahan 4,2 juta penduduk miskin. Jika melihat persentase penduduk miskin, peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2006. Persentase penduduk miskin yang
semula 15,97 pada tahun 2005 meningkat menjadi 17,75 pada tahun 2006. Persentase penduduk miskin dari tahun 2002-2006 disajikan pada Gambar 2.2 berikut ini.
GAMBAR 2.2 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN
TAHUN 2002 - 2006
Sumber : Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2006, BPS
6 Tingkat kemiskinan juga dapat diketahui dengan melihat indeks kedalaman
kemiskinan dan keparahan kemiskinan . Indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan gap antara penghasilan penduduk miskin dengan garis batas kemiskinan, baik makanan
maupun non makanan. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan mencerminkan gap penghasilan antara sesama penduduk miskin. Dalam kurun waktu 2002-2006, terjadi
peningkatan yang cukup signifikan pada periode Februari 2005-Maret 2006 dibandingkan periode sebelumnya, dari 2,78 menjadi 3,43. Peningkatan yang sama ditunjukkan oleh
indeks keparahan kemiskinan, dimana terdapat peningkatan pada periode Februari 2005- Maret 2006 dibandingkan periode sebelumnya, yaitu dari 0,76 menjadi 1,00.
Kemiskinan menjadi isu yang cukup menyita perhatian berbagai kalangan termasuk kesehatan. Keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan terkait
dengan daya beli ekonomi. Kemiskinan juga menjadi hambatan besar dalam pemenuhan kebutuhan terhadap makanan yang sehat sehingga dapat melemahkan daya tahan tubuh
yang dapat berdampak pada kerentanan untuk terserang penyakit-penyakit tertentu. Fenomena gizi buruk dan kurang kerap dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang buruk
jika merujuk pada fakta betapa keterbatasan pemenuhan pangan dapat menyebabkan busung lapar, Kwashiorkor, penyakit kekurangan vitamin seperti Xeropthalmia, Scorbut,
dan Beri-beri.
GAMBAR 2.3 INDEKS KEDALAMAN P1 DAN KEPARAHAN P2 KEMISKINAN
TAHUN 2002 – 2006
Selama periode Februari 2005-Maret 2006 terjadi pergeseran posisi penduduk
miskin dan hampir miskin. Dengan memperhatikan pergeseran posisi ini, dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah penduduk miskin selama periode Februari 2005-
Maret 2006 terjadi karena adanya pergeseran penduduk yang tergolong dalam transient poor
yaitu mereka yang berpenghasilan tidak jauh dari garis kemiskinan. Sekitar 56,58 penduduk miskin pada bulan Februari 2005 tetap tercatat sebagai miskin pada bulan
Maret 2006, tetapi sisanya berpindah posisi menjadi hampir miskin 19,36, hampir tidak miskin 17,65 dan tidak miskin 6,42. Perubahan besar terjadi pada penduduk
Sumber : Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2006, BPS
7 hampir miskin dan hampir tidak miskin. Sekitar 30,42 penduduk hampir miskin di
bulan Februari 2005 jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,76 penduduk hampir tidak miskin di bulan Februari 2005 jatuh menjadi miskin pada
bulan Maret 2006.
TABEL 2.1 PERGESERAN PENDUDUK MENURUT STATUS KEMISKINAN
FEBRUARI 2005-MARET
2006 Kondisi Maret 2006
Kondisi Februari 2005
Miskin Hampir Miskin
Hampir Tidak Miskin
Tidak Miskin Jumlah
Miskin 56,58
19,36 17,65
6,42 100
Hampir Miskin 30,42
26,32 30,71
12,56 100
Hampir Tidak Miskin
11,76 17,69
40,13 30,42
100 Tidak Miskin
2,32 3,60
21,76 72,32
100 Jumlah
17,75 13,45
27,64 41,16
100
Sumber : Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2006, BPS
Pembangunan ekonomi yang diupayakan pemerintah diharapkan mampu mendorong kemajuan, baik fisik, sosial, mental dan spiritual di segenap pelosok negeri
terutama wilayah yang tergolong daerah tertinggal. Suatu daerah dikategorikan menjadi daerah tertinggal karena beberapa faktor penyebab, yaitu ; geografis, sumber daya alam,
sumber daya manusia, prasarana dan sarana, daerah rawan bencana dan konflik sosial, dan kebijakan pembangunan. Keterbatasan prasarana terhadap berbagai bidang termasuk
di dalamnya kesehatan menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
Unit terkecil daerah tertinggal yang digunakan dalam Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal STRANAS PPDT adalah wilayah
administrasi kabupaten. Menurut data Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, hingga tahun 2006 jumlah kabupatenkota tertinggal mencapai 199 dari 440
KabupatenKota di seluruh Indonesia.
Jumlah ini mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun 2005, yang menunjukkan jumlah 197 kabupaten tertinggal.
Penambahan 2 kabupaten tersebut terdapat pada Provinsi Sumatera Barat yang pada tahun 2005 berjumlah 7 kemudian meningkat menjadi 9 kabupaten. Provinsi dengan
persentase kabupatenkota tertinggal tertinggi adalah Sulawesi Barat, yaitu sebesar 100,
diikuti oleh Papua yang sebesar 95, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 93,75. Jumlah dan persentase kabupatenkota tertinggal menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran
2.4.
8
GAMBAR 2.4 PERSENTASE KABUPATEN TERTINGGAL
TAHUN 2006