diduga karena tekanan pemanfaatan sumberdaya di perairan tersebut yang dilakukan setiap hari telah melampaui daya dukungnya. Secara garis besar faktor
potensial penyebab besarnya tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar terbagi dua yaitu 1 faktor internal dan 2 faktor eksternal:
1 faktor internal : a Teknologi penangkapan dominan sederhana0
b Rendahnya produktifitas unit penangkapan
c Kemampuan modal untuk meningkatkan kapasitas armada
d Sumberdaya manusia
2 faktor eksternal yaitu :
a Fishing ground
b Peningkatan jumlah nelayan
c Peningkatan jumlah unit penangkapan
Bertitik tolak dari kondisi tersebut dimana pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis dan demersal telah melampaui batas pemanfaatan dalam
prinsif kebijakan pemanfaatan CCRF alternatif yang perlu dilakukan adalah : 1
Mengganti unit penangkapan yang tidak produktif dengan alat tangkap produktif.
2 Melakukan rasionalisasi unit penangkapan berdasarkan kapasitas daya
dukung sumberdaya yang ada di perairan tersebut. 3
Melakukan kontrol terhadap jumlah unit penangkapan. 4
Melakukan ekspansi fishing ground out shore.
5.2.2 Pola Pemasaran
Interaksi pemasaran ikan yang terjadi secara kontinue telah membentuk suatu pola alur yang secara umum dikenal dengan pola pemasaran. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui ada 4 alur pemasaran ikan di Teluk Apar. Masing- masing pola memiliki karakteristik khusus. Kondisi pada alur pemasaran 1
terjadi karena nelayan tidak dapat menetapkan harga yang kompetitif pada ikan yang dijual karena berharap dalam waktu yang cepat ikan terjual habis. Bila tidak
mengakibatkan kerugian karena penurunan mutu busuk. Nelayan tidak berusaha untuk mempertahankan mutu dengan petimbangan akan menambah biaya, yang
tidak sesuai dengan banyaknya ikan yang dijual. Oleh sebab itu ikan yang dijual pun dengan harga murah sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi sedikit.
Pada alur pemasaran 2 umumnya terjadi karena nelayan di Teluk Apar khususnya dan umumnya di Kabupaten Pasir memiliki keterkaitan dengan
ponggawa berupa pinjaman modal alat tangkap, kapal dan mesin sehingga harga yang berlaku harga yang ditetapkan oleh ponggawa. Berbeda dengan pedagang
pengumpul nelayan tidak melakukan pinjaman modal, akan tetapi karena hasil tangkapan dibayar secara tunai sehingga harga pada saat transaksi pun berada
dibawah harga yang berlaku secara umum pada saat itu. Pada kondisi demikian dapat dipastikan nelayan tetap menerima keuntungan yang rendah sekalipun
kuantitas barang yang ditawarkan banyak. Adapun pada alur pemasaran 3 disebabkan ketergantungan yang tinggi
oleh para pedagang pengecer di pasar lokal terhadap supply ikan dari ponggawa dan pedagang pengumpul. Pada kondisi dimana demand lebih tinggi dari pada
supply, dapat dipastikan harga yang berlaku pun menjadi tinggi. Secara otomatis
akan memberikan keuntungan yang tinggi bagi ponggawa dan pedagang pengumpul.
Kondisi ideal dan sangat diharapkan seperti pada pola D dimana kuantitas ikan yang dipasarkan dalam jumlah banyak dan keuntungan yang diperoleh besar.
Akan tetapi keadaan demikian hanya terjadi pada pemasaran ikan antara pedagang pengumpul dengan perusahaan dan antar kota atau ponggawa dengan perusahaan
dan antar kota. Seperti halnya alur pemasaran 3, pada alur 4 pemasaran dilakukan secara langsung tanpa keterlibatan nelayan. Tingginya keuntungan
yang diperoleh ponggawa dan pedagang pengumpul karena perusahaan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sediaan stok ikan dari punggawa dan
pedagang pengumpul. Dengan demikian menyebabkan ponggawa dan pedagang pengumpul memiliki bargaining position yang kuat dalam menentukan harga jual
komoditi yang ditawarkan. Dari ke-empat pola tersebut dapat dilihat tingginya faktor resistensi yang
terjadi pada usaha perikanan pantai skala kecil di Teluk Apar, yang sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Suatu ironi nelayan yang berada pada garis
terdepan dalam usaha perikanan tangkap memiliki posisi tawar bargaining position yang sangat lemah.
Ditinjau dari aspek ekonomi kelembagaan keterikatan nelayan dengan ponggawa adalah suatu hal yang wajar, karena hubungan tersebut adalah bentuk
hubungan yang paling optimal yang selama ini telah berlangsung. Dimana diantara ponggawa dan nelayan telah terjadi suatu kesepakatan yang mengatur hak
dan kewajiban antara keduanya. Kesepatan tersebut tentunya didasari oleh adanya kepentingan yang berbeda oleh kedua belah pihak. Akan tetapi ponggawa tidak
begitu saja memberikan pinjaman unit penangkapan tanpa adanya harapan keuntungan yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam kesepatan yang terjadi
adalah nelayan yang mendapatkan pinjaman melalui ponggawa harus menjual hasil tangkapannya kepada ponggawa selaku pemberi modalpinjaman dengan
harga yang disepakati. Setelah diperoleh gambaran hasil perhitungan estimasi tentang status
pamanfaatan sumberdaya, pola pemasaran komoditi ikan yang dihasilkan, kemudian dilakukan analisis kelayakan usaha penangkapan ikan dari masing-
masing unit penangkapan yang dominan dioperasikan di Teluk Apar.
5.2.3 Kelayakan usaha penangkapan ikan 1 Aspek pasar