1 Aspek biologi
Beberapa parameter pada aspek biologi yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup: selektifitas alat tangkap, komposisi jenis hasil tangkapan,
tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang diperoleh yaitu dengan membandingkan potensi lestari dan produksi lestari, lama waktu musim
penangkapan ikan dan lama waktu musim ikan berdasarkan jumlah bulan musim ikan.
2 Aspek teknis
Mencakup parameter : ukuran kapalperahu, ukuran alat tangkap, ukuran mata jaring, kapasitas mesin penggerak, harga dan daya tahan kapal, mesin dan alat
tangkap, kebutuhan BBMtrip, kebutuhan estrip, produksitrip, jumlah tenaga kerjaunit penangkapan
3 Aspek sosial
Beberapa parameter sosial yang dikumpulkan meliputi : jumlah nelayan yang terserap setiap unit penangkapan ikan, respon penerimaan nelayan terhadap
unit penangkapan, kemampuan berinvestasi, kemudahan pengoperasian dan kemudahan pengadaan unit penangkapan.
4 Aspek ekonomi
Pada penelitian ini pengukuran parameter ekonomi dilakukan dengan analisis finansial meliputi dua aspek yaitu aspek usaha dan aspek investasi. Secara
umum data yang dikumpulkan pada aspek ekonomi antara lain: biaya investasi, biaya operasional, biaya perawatan, penerimaan kotortrip, penerimaan
kotortenaga kerja. Selanjutnya penilaian efisiensi usaha dilakukan dengan kelayakan investasi dan kelayakan usaha dari setiap unit penangkapan.
3.4 Metode Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak berstratabertingkat Stratified Random Sampling berdasarkan jenis dan ukuran alat tangkap.
Menurut Gay dalam Hasan 2002 ukuran minimum sampel yang dapat diterima berdasarkan pada metode yang digunakan, untuk metode deskriptif minimal 10
populasi. Selanjutnya Umar 2005 menambahkan bahwa agar pengambilan sampel sebanding atau berimbang dengan jumlah sub populasinya perlu dicari
faktor pembanding yang disebut simple franction f dari tiap sub populasi
caranya dengan membandingkan jumlah elemen tiap subpopulasi dengan jumlah seluruh elemen populasi digunakan persamaan :
N Ni
fi , dan untuk menentukan besarnya subsampel perstrata digunakan
persamaan : n
fi ni
. =
Terdapat sembilan jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh masyarakat nelayan di perairan Teluk Apar, namun pada penelitian ini hanya tujuah jenis alat
tangkap yang diteliti. Pemilihan alat tangkap berdasarkan pada pertimbangan : 1 alat tangkap yang dominan, efektif dan efisien 2 aktif digunakan serta 3
memberikan hasil tangkapan yang signifikan. Adapun jenis alat tangkap yang dipilih serta hasil perhitungan untuk mendapatkan sampel dari masing-masing
subpopulasi alat tangkap seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 3 Penentuan Jumlah Sampel
No Jenis Alat
Tangkap Populasi Ni
Sample fraction fi Sampel n Jumlah
Sampel T.Grogot Tj.Harapan T.Grogot Tj.Harapan T.Grogot Tj.Harapan
1 Pukat cincin
20 36
0,029 0.030
2 4
6 2
Jaring insang hanyut 92
140 0.134
0.116 9
14 23
3 Jaring insang dasar
84 150
0.122 0.125
8 15
23 4
Jaring tiga lapis 370
647 0.540
0.540 37
64 101
5 Bagan tancap
23 35
0.033 0.029
2 3
5 6 Rawai
hanyut 75
150 0.109
0.125 7
15 22
7 Jermal 21
39 0.030
0.032 2
4 6
Jumlah 685
1197 67
119 186
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan 2005, Diolah
3.5 Metode Analisis Data 3.5.1 Standarisasi Unit Penangkapan
Unit penangkapan yang dijadikan sebagai standar adalah unit penangkapan yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan tertentu di suatu daerah
mempunyai laju tangkapan rata-rata per CPUE terbesar pada periode waktu tertentu dan memiliki nilai faktor daya tangkap
fishing power indeks sama dengan satu. FPI dari masing-masing unit penangkapan lainnya dapat diketahui
dengan cara membagi laju tangkapan rata-rata masing-masing unit penangkapan dengan laju tangkapan rata-rata unit penangkapan yang dijadikan standar.
Berdasarkan rumus Gulland 1983, proses standarisasi adalah sebagai berikut : FEs
HTs CPUEs
= CPUEs
CPUEs FPIs
=
FEi HTi
CPUEi =
CPUEi CPUEi
FPIi =
Upaya standarisasi diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut Gulland, 1983 yaitu :
SE =FPI
i
xFE
i
Dimana : CPUE
s :
catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya unit penangkapan standar pada tahun ke-I;
CPUEi : catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis
penangkapan yang akan di standarisasi HTs
: Jumlah hasil tangkapan catch jenis unit penangkapan yang dijadikan
standar pada tahun ke-i HTi
: Jumlah hasil tangkapan catch jenis unit penangkapan yang akan
distandarisasi pada tahun ke-i FEs
: Jumlah upaya penangkapan effort jenis unit penangkapan ikan yang
dijadikan standar pada tahun ke-i FEi
: Jumlah upaya penangkapan effort jenis unit penangkapan yang akan
distandarisasi pada tahun ke-i FPIs :
fishing power indeks atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan standar pada bulan ke-i
FPIi : fishing power indeks atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan
yang akan distandarisasi pada bulan ke-i SE
: Upaya penangkapan effort hasil standarisasi pada tahun ke-i
3.5.2 Analisis Kelimpahan Sumberdaya Ikan
Analisis kelimpahan sumberdaya ikan dilakukan dengan pengolahan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan selama 10 tahun terakhir dengan
menggunakan analisis Catch Per Unit Effort CPUE, yakni untuk mengetahui
kelimpahan dan tingkat pemanfaatan yang didasari atas pembagian antara total hasil tangkapan
Cathch dengan upaya penangkapan Effort. Menurut Sparre dan Venema, 1992, rumus yang digunakan adalah :
CPUE = Catch Effort
Dimana : Catch C
= Total hasil tangkapan kg Effort F
= Total upaya penangkapan trip
Nilai CPUE dari total hasil tangkapan C dapat digunakan untuk pendugaan stok secara sederhana. Model yang digunakan untuk data yang cenderung
linier yaitu model Schaefer.
1 Hubungan antara upaya penangkapan f dengan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan CPUE = a-bf
Dimana : a = Intersep
b = Slop c = Hasil Tangkapan
f = Upaya penangkapan 2 Hubungan antara upaya penangkapan f dengan hasil tangkapan c
C = af-bf
2
3 Upaya optimum diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama upaya penangkapan dengan nol C=0, sehingga diperoleh rumus :
F
opt
= a 2b
4 Produksi maksimum lestari MSY diperoleh dengan mensubstitusi nilai upaya optimum, sehingga diperoleh :
C maks = MSY = a
2
4b
3.5.3 Analisis Trend
Analisis trend kecenderungan terhadap hasil tangkapan perupaya
penangkapan CPUE dilakukan untuk seleksi data yang akan dilakukan dalam pendugaan parameter biologi “Schaefer”.
Trend merupakan adanya tertentu dalam jangka waktu yang lama.
Trend digambarkan dalam garis lurus dari persamaan regresi. Menurut Umar 2005 bentuk regresi dapat dilakukan
beberapa cara yaitu yang sederhana dengan cara pemakaian grafik dalam suatu scatter diagram atau dengan cara matematis. Lebih lanjut Umar 2005
menyatakan metode yang paling umum dan paling terkenal adalah metode kuadrat terkecil
least square. Metode surplus produksi Scaefer digunakan untuk melihat hubungan hasil tangkapan dengan upaya. Hubungan fungsi tersebut menggunakan
persamaannya dari Sparre and Venema 1999 yaitu. Y =
βo +β
1
Xi + ε
Keterangan : Y =
CPUEi Xi
= kode tahun ke-i i =
0.1.2…n ε
= galat
3.5.4 Analisis Aspek Pasar
Kelayakan suatu investasi sangat ditentukan oleh kelayakan aspek pasar. Kelayakan pasar dilakukan dengan membandingkan jumlah permintaan dan
penawaran. Investasi dikatakan layak bila jumlah permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penawaran. Metode yang digunakan untuk
membandingkan kedua hal tersebut adalah metode peramalan forecasting yang
didasarkan pada data berkala pada masa lalu time series.
Tujuan digunakannya metode peramalan forecasting ini yaitu untuk
mengetahui suatu keadaan masa akan datang, dalam hal ini yaitu besarnya permintaan kebutuhan akan ikan di masa akan datang menurut waktu yang
ditentukan. Peramalan time series dianalisis dengan menggunakan persamaan
matematis, metode yang umum digunakan yaitu metode kuadrat terkecil Least
Square Method Umar 2005. Metode
kuadrat terkecil
least square method pada penelitian ini digunakan untuk menghitung jumlah permintaan dan penawaran, persamaannya adalah :
Y = a + bx Keterangan :
Y = data konsumsi dan data produksi
x = waktu tahun
a = intercep
b = slope
nilai a dan b dari suatu persamaan garis linier ditentukan dengan humus : X
b Y
a −
=
∑ ∑
∑ ∑ ∑
− −
=
2 1
2 1
1 1
X X
n Y
X Y
X n
b
i i
Apabila a dan b telah diketahui, maka garis lurus tersebut dapat digunakan untuk meramalkan Y.
Perhitung X pada persamaan tersebut di atas digunakan sistem kode atau cara
koding yaitu data deret waktu. Apabila data deret waktu dalam jumlah ganjil data waktu diubah menjadi bilangan-bilangan ...,-3,-2,-1,0,1,2,3,... jika
dijumlahkan tetap bernilai nol, sedang untuk jumlah data deret waktu yang berjumlah genap data waktu diubah menjadi bilangan-bilangan sebagai contoh ...,
-5,-3,-1,1,3,5,... jika dijumlahkan juga bernilai nol. Adapun untuk garis trend
linier rumusnya menjadi sederhana, karena Σxi = 0 dan X = ln Σxi = 0. sehingga
dengan demikian untuk garis trend yang linier, rumusnya menjadi :
Y a
=
∑ ∑
= i
X Y
X b
i i
2
Keterangan : Y
= data konsumsi produksi rata-rata Xi
= waktu ke-i Yi
= data konsumsi produksi ke-i
3.5.5 Analisis Usaha 1 Analisis Pendapatan Usaha
Analisa pendapatan usaha menurut Sugiarto et al 2005 bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output yang terlibat dalam usaha dan
besarnya keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dilakukan. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
TC TR
− =
π Keterangan :
π = Keuntungan
TR = Total Revenue
TC = Total Cost Dengan kriteria usaha sebagai berikut :
TR TC usaha menguntungkan TR TC usaha rugi
TR = TC usaha alam keadaan impas
2 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya Revenue-Cost Ratio
Tujuan dilakukan analisis imbangan penerimaan dan biaya adalah untuk mengetahui sejauh mana hasil yang diperoleh dari kegiatan usaha selama periode
tertentu cukup menguntungkan Sugiarto et al 2005. Imbangan penerimaan dan biaya secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
Re TC
TotalCost TR
venue Total
C R
= Dengan kriteria :
RC 1 usaha menguntungkan RC 1 usaha rugi
RC = 1 usaha dalam keadaan impas
3 Analisis Waktu Pengembalian Modal Payback Period
Payback Period menurut Umar 2001 adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui periode waktu yang diperlukan untuk menutup kembali
investasi. Payback Period adalah rasio antara initial cash invesment dengan cash flow dalam satuan waktu. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
tahun x
Keuntungan Investasi
PP 1
=
3.5.6 Analisis Kriteria Investasi
Evaluasi kelayakan finansial menurut Kadariah 1999 dapat menggunakan 3 tiga kriteria investasi yaitu Net Present Value NPV, Net Benefit – Cost Ratio
dan Internal Rate of Return IRR.
1 Net Present Value NPV
Kriteria ini digunakan untuk menilai manfaat investasi yang merupakan jumlah nilai kini dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam rupiah. Rumus
persamaan tersebut menggunakan analisis NPV Kadariah dkk 1999 yaitu sebagai berikut :
NPV =
∑
−
+ −
n t
t
i Ct
Bt
1
1
Keterangan : 1
= discount factor 1 + i
t
i = tingkat bunga
bt = benefit pada tahun ke - t Rp
ct = cost pada tahun ke - t Rp
n = umur ekonomis usaha tahun
t = tahun ke 1, 2, 3, …., n
Bila NPV0 investasi suatu proyek tersebut layak, apabila NPV0 maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Pada keadaan NPV=0, maka
investai pada proyek tersebut hanya mengembalikan manfaat yang posisi sama dengan tingkat social opportunity cost of capital.
2 Net Benefit-Cost Ratio Net BC
Net BC merupakan perbandingan antara NPV dari total benefit bersih terhadap total biaya bersih. Menurut Kadariah dkk 1999, Net BC digunakan
untuk ukuran efisiensi dalam penggunaan modal. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
Net BC =
∑ ∑
= =
〈 −
− −
〉 −
= −
n t
t n
t t
Ct Bt
i Bt
Ct Ct
Bt i
Ct Bt
1
1 1
Dari persamaan tersebut tampak bahwa nilai BC paling sedikit ada satu nilai Bt-Ct yang bernilai positif. Jika Net BC memberikan nilai 1 maka keadaan
tersebut menunjukkan bahwa NPV 0. Apabila Net BC 1 merupakan tanda layak untuk sutau proyek, sedangkan bila Net BC 1 merupakan tanda tidak
layak untuk sesuatu proyek.
3 Internal Rate of Return IRR
Internal Rate of Return merupakan tingkat suku bunga yang menunjukkan jumlah nilai sekarang netto NPV sama dengan seluruh ongkos proyek atau NPV
sama dengan nol. Nilai IRR yang lebih besar atau sama dengan bunga yang berlaku menunjukkan bahwa usaha layak untuk dilaksanakan Kadariah dkk;
1999. IRR dapat dirumuskan sebagai berikut :
IRR =
i
1
+ ⎥⎦
⎤ ⎢⎣
⎡ −
2 1
1 NPV
NPV NPV
i
2
-
i
1
Keterangan:
i
1
= tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positif
i
2
= tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV negatif NPV1 = NPV pada discount rate i
1
NPV2 = NPV pada discount rate i
2
Kriteria kelayakan pada metode IRR adalah : IRR i usaha layak untuk dikembangkan
IRR i maka usaha tidak layak untuk dijalankan
3.5.7 Metode Skoring
Metode skoring digunakan untuk menentukan jenis teknologi penangkapan ikan yang layak. Setelah diperoleh nilai dengan menggunakan metode skoring
terhadap semua kriteria Biologi, Teknik, Sosial dan Ekonomi, maka dilakukan standarisasi nilai dengan metode fungsi nilai Mangkusubroto dan Trisnadi, 1985
dengan rumus sebagai berikut : Vi Xi =
Xi - Xo X1 - Xo
V A = ∑ Vi Xi
Keterangan : i
: 1,2,3,…..,n
Xo : nilai terburuk pada kriteria X
X1 : nilai terbaik pada kriteria X
VA : fungsi nilai dari alternatif A
VXi: fungsi nilai dari alternatif i pada kriteria ke – i
Urutan alat tangkap yang sesuai untuk digunakan ditetapkan dari alternatif yang mempunyai fungsi nilai tertinggi ke alternatif dengan fungsi nilai terendah.
4 DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
4.1 Kondisi umum Kabupaten Pasir 4.1.1 Administrasi wilayah dan letak geografis
Kabupaten Pasir salah satu kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang terletak di bagian paling Selatan. Secara geografis
Kabupaten Pasir terletak pada posisi antara 00
o
58’10,54” - 02
o
24’29,19” Lintang Selatan dan 115º36’14,59” – 166º57’35,03” Bujur Timur. Batas-batas wilayahnya
meliputi : 1 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kota
Balikpapan 2 Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar
3 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru Provinsi Kalimantan Selatan
4 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan.
Luas wilayah administrasi Kabupaten Pasir 11.603,94 km
2
dengan luas perairan mencapai 752,76 km
2
. Terdapat 10 kecamatan yaitu Long Kali, Long Ikis, Kuaro, Tanah Grogot, Muara Komam, Batu Sopang, Pasir Belengkong, Batu
Engau, Tanjung Harapan dan Muara Samu. 5 kecamatan diantaranya berada diwilayah pesisir yaitu Kuaro, Tanah Grogot, Long Ikis, Long Kali dan Tanjung
Harapan. Posisi koordinat masing-masing kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Pasir dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Posisi Beberapa Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Pasir No Kecamatan
Koordinat Geografi Bujur Timur
Lintang Utara 1 Long
Kali 116
o
17’48,65” 01
o
31’40,54” 2 Long
Ikis 116
o
11’58,38” 01
o
34’56,76” 3 Kuaro
116
o
04’56,76” 01
o
49’09,73” 4 Tanah
Grogot 116
o
11’53,51” 01
o
54’45,41” 5 Tanjung
Harapan 116
o
04’24,32” 02
o
13’38,92” Sumber : Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pasir
Sebagian besar wilayah pesisir Kabupaten Pasir merupakan kawasan konservasi yaitu Cagar Alam Teluk Adang dan Cagar Alam Teluk Apar. Cagar
Alam Teluk Adang dikelilingi oleh empat kecamatan yaitu Long Kali, Long Ikis, Kuaro dan Tanah Grogot. Cagar Alam Teluk Apar terletak diantara dua
kecamatan yaitu Kecamatan Pasir Belengkong dan Kecamatan Tanjung Harapan.
4.1.2 Keadaan topografi
Secara umum Kabupaten Pasir memiliki tiga tipe topografi yaitu dataran rendah, landai dan bergelombang dengan ketinggian berkisar antara 0-1000 meter
diatas permukaan laut. Topografi wilayah Kabupaten Pasir terbagi dalam dua bagian yaitu :
1. Bagian Barat, merupakan daerah yang bergelombang, berbukit dan bergunung sampai di perbatasan daerah Propinsi Kalimantan Selatan hingga mencapai
ketinggian 1.300 m dari permukan laut. Pada daerah ini terdapat beberapa gunung antara lain : Gunung Serumpaka 1.300 m, Gunung Lumut 1.233 m,
Gunung Rambutan dan Gunung Halat. 2. Bagian Timur, merupakan dataran rendah, landai hingga bergelombang.
Banyak terdapat rawa dan daerah aliran sungai DAS yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai jalur transportasi, lahan pertanian dan budidaya perikanan
air tawar. Sepanjang pantai dari utara hingga keselatan merupakan hutan mangrove.
4.1.3 Perikanan tangkap
Era otonomi daerah secara tidak langsung telah membawa perubahan di sektor perikanan, salah satunya adalah pemekaran wilayah kabupaten. Dampak
kongkritnya terhadap perubahan struktur pada sektor perikanan khususnya sub sektor perikanan tangkap. Secara spesifik perubahan pada sub sektor perikanan
tangkap yaitu pada unit penangkapan meliputi nelayan, kapal dan alat tangkap. Hal ini karena sebagaian wilayah kecamatan yang masuk dalam kabupaten
pemekaran memiliki potensi perikanan laut yang cukup potensial. 1 Nelayan
Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Pasir pada tahun 1996-2005 relatif stabil. Pada perkembangan selanjutnya terjadi penurunan jumlah nelayan
yaitu mulai tahun 2001-2005 Tabel 5. Perubahan terjadi seiring dengan pemekaran Kabupaten Pasir menjadi dua, Kabupaten Pasir dan Kabupaten
Penajam Paser Utara. Pemekaran juga terjadi pada tingkat kecamatan bahkan
sampai ketingkat desa. Beberapa kecamatan yang memberikan kontribusi terhadap perikanan tangkap Kabupaten Pasir sebelum terjadinya pemekaran yaitu
Kecamatan Babulu, Kecamatan Waru dan Kecamatan Penajam. Tabel
5 Jumlah Nelayan Perikanan Laut berdasarkan Kategori Usaha di Kabupaten Pasir Tahun 1996-2005
Kategori Usaha Tahun
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Penuh
3.981 4.190 4.100 4.095 4.180 2.476 3.662 3.930 4.069 4.130 Sambilan
Utama 1.196 1.305 1.450 1.370 1.390 886 192 230 257 261
Tambahan 1.198 777 815 909 1.000 550 89 106 127 129
Jumlah 6375 6.272 6.365 6.374 6.570 3.912 3.943 4.266 4.453 4.520
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan, 2006 2 Kapal Penangkapan
Aktivitas penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Pasir umumnya terfokus pada daerah pantai. Hal ini terlihat dari jenisukuran armada yang
digunakan dominan kapal motor yang berukuran 0 – 5 GT. Ukuran perahukapal sangat berpengaruh terhadap jangkauan daerah pengoperasian alat tangkap.
Secara lengkap ukuran kapalperahu yang digunakan masyarakat nelayan di Kabupaten Pasir dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6
Jumlah PerahuKapal Perikanan Laut menurut JenisUkuran PerahuKapal Kabupaten Pasir.
Kategori perahukapal
TAHUN 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tidak Bermotor
Kecil 170 301 285 289 208 179 175 145 153
Sedang 252 236 233 236 147 127 125 132 137 Kapal
Motor Tempel 302 428 441 445 202 63 -
- -
0–5 GT 2.585 2.383 2.389 2.416 1.542 2.060 2.349 2.465 3.162
5–10 GT
- - - - - 74 24
81 86
Jumlah 3.309 3.348 3.348 3.386 2.099 2.679 2.673 2.823 3.538
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan, 2006 Perkembangan jumlah armada terlihat terjadi penurunan pada tahun 2001.
Hal ini tidak terlepas dari dampak pemekaran wilayah kabupaten. Akan tetapi pada periode 2001-2005 perkembangan jumlah armada meningkat meskipun
masih berada dibawah jumlah armada pada periode tahun 1996-2000. Peningkatan jumlah armada karena adanya dukungan kebijakan Pemerintah
Kabupaten Pasir dalam rangka mengembangkan perikanan tangkap pasca pemekaran kabupaten. Apresiasi kebijakan di sub sektor perikanan tangkap
berupa bantuan armada penangkapan yang bersumber dari dana APBN, APBD I dan APBD II.
3 Alat Tangkap Sebagaimana dikatakan sebelumnya pemekaran wilayah Kabupaten Pasir
menyebabkan perubahan di sub sektor perikanan tangkap, terutama pada jumlah unit penangkapan. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah alat tangkap yang
menurun pada periode tahun 2001. Namun pada perkembangan selanjutnya menunjukkan jumlah alat tangkap semakin meningkat, selain karena peningkatan
jumlah penduduk nelayan, juga karena adanya paket bantuan berupa alat tangkap, mesin, kapal dan rumpon yang diluncurkan oleh pemerintah kabupaten,
provinsi dan pemerintah pusat Secara lengkap perkembangan alat tangkap di Kabupaten Pasir periode tahun 1996-2005 disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Perkembangan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut unit Menurut Jenis Alat Tangkap di Kabupaten Pasir
Kategori Alat Tangkap TAHUN
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Pukat Kantong Seine net
219 206 194 193 121 45 68 70 222 Pukat Cincin Purse seine
75 92 105
102 99 41 44 44 93 Jaring InsangGill net
1.825 1.830 1.826 1.824 1.809 1.244 1.300 3.982 4.136 Jaring Angkat Lift nets
4.740 4.468 4.660 4.695 3.307 2.932 3.140 358 369 Pancing Hook and
- - - - - - - 1.323
1.532 Perangkap Traps
470 499 480 484 379 244 260 250 402 Alat
pengumpul - - - - - - -
275 288
Lain-lain Other 489 438 460 458 225 414 629 355 369
Jumlah 7.818 7.533 7.725 7.756 5.940 4.920 5.441 6.657 7.411
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Tahun, 2006 4 Produksi Perikanan Tangkap
Data pada Tabel 8 memberikan gambaran kontribusi produksi perikanan laut menurut alat tangkap dan kecamatan di Kabupaten Pasir. Jaring insang
merupakan alat tangkap yang memberikan kontribusi produksi terbesar yaitu 2.779,0 ton. Produksi tertinggi menurut kecamatan di Kabupaten Pasir yaitu
Tanjung Harapan sebesar 4.882,7 ton. Tingginya produksi alat tangkap jaring insang karena memiliki jumlah
terbesar. Tahun 2005 jumlah jaring insang sebanyak 4.136 unit lebih besar dibanding jumlah alat tangkap lain Tabel 7. Produktifitas perikanan tangkap
Kecamatan Tanjung Harapan tertinggi, hal ini didukung oleh faktor geografis dan faktor demografi. Wilayah administrasi Kecamatan Tanjung Harapan memiliki
lima desa, semuanya berada di daerah pesisir, menjadikan sub sektor perikanan tangkap sebagai prime mover bagi masyarakat setempat. Demikian pula dari
aspek demografi, seluruh desanya berada di daerah pesisir sehingga pekerjan utama penduduk sebagai nelayan. Berbeda dengan kecamatan lain struktur mata
pencaharian penduduknya terdiri dari berbagai bidang pekerjaan. Secara lengkap produktifitas perikanan tangkap menurut kecamatan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Produksi Perikanan Tangkap Menurut Klasifikasi Alat Tangkap di Kabupaten Pasir Tahun 2005
No Jenis Alat Tangkap
Produksi Perikanan Kecamatan ton Batu Engau
Tj. Harapan Tnh. Grogot Kuaro
Long Ikis Long Kali
1 Pukat
Kantong - 206,8 20,9
130,4 56,2 131,3
2 Pukat
cincin -
518,5 246,0 236,8 -
- 3
Jaring Insang 46,4
2.779,0 1.047,4
874,7 924,8
831,0 4
Jaring Angkat
- 315,0 75,4 110,5 151,5 85,6
5 Pancing
11,5 230,5 63,3 50,4 12,0 96,8 6
Perangkap 2,7
295,7 134,8 121,6 25,1 14,5 7
Pengumpul Kerang
3,2 65,3 25,7 11,1 34,1 23,8
8 Perangkap
kepiting 8,2
341,1 114,1 112,8 126,6 55,1 9
Lain-lain 4,8 130,8 52,2 32,9 55,1 46,4
Total 76,8
4882,7 1779,8 1681,2 1385,4 1284,5
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Tahun, 2006
4.2 Kondisi umum Teluk Apar
4.2.1 Gambaran desa-desa pesisir
Ciri pokok desa pesisir yaitu sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di sektor perikanan, dan desanya berada di tepi pantai AMN-Kaltim,
AMN-Pasir, 2005. Sektor perikanan merupakan prime mover bagi desa pesisir. Desa-desa pesisir di sekitar perairan Teluk Apar antara lain Desa Muara Pasir,
Desa Pasir Baru, Desa Lori, Desa Labuangkallo, Desa Selengot dan Desa Tanjung Aru. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.86Kpts.II1983
kawasan sekitar Teluk Apar ditetapkan sebagai kawasan cagar alam dengan luas 46.900 hektar. Lima desa pesisir yang berada di sekitar Teluk Apar yang
termasuk dalam kawasan cagar alam yaitu Desa Pasir Baru, Lori, Selengot, Labuangkallo dan Tanjung Aru Gambar 2
Gambar 2 Kawasan cagar alam Teluk Apar
Kawasan Teluk Apar terdapat beberapa sungai antara lain Sungai Kandilo, Sungai Seratai, Sungai Apar Besar, Sungai Kerang, Sungai Segendang, dan
Sungai Jengeru semuanya bermuara ke Teluk Apar. Sungai-Sungai tersebut memegang peranan penting dalam menunjang perekonomian masyarakat desa
sekitar Teluk Apar. Selain digunakan sebagai sumber pengairan untuk kegiatan pertanian, budidaya perikanan, sungai juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
alur transportasi untuk mengangkut hasil panen dari desa-desa lain. Hal lain yang juga memegang peran penting kaitannya sungai dengan
keberadaan perikanan tangkap adanya arus pasang dan surut yang mengalir secara kontinue dari hulu sungai kemuara hingga ke perairan teluk dan demikian pula
sebaliknya. Arus merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ikan melakukan migrasi. Selain migrasi untuk mencari makan juga bertujuan untuk melakukan
pemijahan dengan mengikuti arah arus pasang. Arus tidak hanya membawa makanan tetapi juga membawa binatang laut itu sendiri.
4.2.2 Karakteristik oseanografi
a Suhu Kisaran suhu diperairan laut antara 27,5
o
C hingga 29,5
o
C. Suhu rata-rata bulanan maksimum terjadi pada bulan Mei dan Desember dengan kisaran antara
29,14
o
C- dan 29,21
o
C. Suhu rata-rata bulanan yang rendah terjadi pada bulan Pebruari dan Agustus AMN-Kaltim, AMN-Pasir, 2005. Variasi rata-rata
bulanan pertahunnya tidak lebih dari 2
o
C. Rendahnya suhu permukaan laut pada bulan Februari diperkirakan karena pengaruh musim hujan, adapun pada bulan
Agustus diduga karena tingginya penguapan akibat penyinaran matahari dan hembusan angin. Suhu maksimum terjadi pada bulan Mei diperkirakan karena
kuatnya penyinaran dan angin yang berhembus lemah. Sedangkan yang terjadi pada bulan Desember diduga karena perbedaan suhu air dan suhu udara yang
cukup tinggi sedangkan angin yang berhembus cukup kuat. b Pasang Surut
Tipe pasang surut perairan Kabupaten Pasir secara umum menurut data DISHIDROS-TNI AL 2003, termasuk dalam tipe pasang surut campuran dengan
dominasi pasang surut ganda yaitu dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu
hari. Pasang surut yang terjadi diperairan Teluk Apar sangat dipengaruhi oleh rambatan pasang surut yang berasal dari Laut Sulawesi bagian Utara yang berasal
dari Samudera Pasifik. Perubahan tinggi muka laut pasut perairan Teluk Apar berkisar antara 140 cm hingga 277 cm. Kisaran pasut yang besar terjadi saat
bulan purnama yang dikenal dengan pasang surut purnama, sedangkan kisaran pasang surut yang paling kecil terjadi pada saat bulan sabit yang dikenal dengan
pasang surut perbani. c Arus
Pergerakan arus suatu perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor angin, pasang surut, perbedaan tekanan, perbedaan suhu, salinitas dan adanya gaya
coriolis. Arus yang terjadi di perairan Kabupaten pasir secara umum dipengaruhi oleh adanya angin muson, pasang surut dan perbedaan tekanan yang terjadi antara
laut Sulawesi dan Samudera Hindia. Perbedaan yang terjadi menyebabkan arus di Selat Makassar mengalir dari Utara ke Selatan.
Arah arus yang mengalir di perairan Kabupaten Pasir pada bulan Maret hingga Desember tidak jelas terlihat, kondisi ini disebabkan karena gerakan arus
di Laut Jawa didominasi oleh arus yang mengalir dari Barat dan sebagian massa air memasuki bagian Selatan dari Selat Makassar. Arus pada bulan Mei hingga
Juli umumnya mengalir kearah utara, pada bulan Agustus terdapat dua pusaran arus yang berputar yaitu disebelah Utara dan sebelah Selatan. Adapun pada bulan
September arus mengalir kearah Selatan dan pada bulan Oktober hingga Desember arus di dekat pantai yang mengalir dari arah Selatan kearah Utara
AMN-Kaltim, AMN-Pasir, 2005. d Salinitas
Perairan Teluk Apar berhubungan langsung dengan Selat Makassar sehingga kisaran salinitasnya cenderung sama, yaitu antara 31,50
o oo
- 34,50
o oo
. Salinitas
tertinggi terjadi pada bulan September yaitu sekitar 34,50
o oo
biasanya terjadi setelah berlangsungnya Musim Timur yang bertiup antara bulan Juni hingga
Agustus. Salinitas terendah terjadi pada bulan Februari dan Maret disebabkan karena tingginya curah hujan selain itu juga karena limpasan air tawar yang
berasal dari daratan yang dibawa melalui sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Apar Bappeda Kabupaten Pasir dan PKSPL IPB, 2003.
4.2.3 Daerah dan Musim Penangkapan
Daerah penangkapan dari berbagai jenis alat tangkap meliputi seluruh perairan teluk. Nelayan Teluk Apar melakukan operasi penangkapan sepanjang
tahun meskipun terdapat musim tertentu yang dikenal dengan musim puncak. Menurut nelayan pada musim puncak hasil tangkapan lebih banyak dibanding
pada musim lainnya, sehingga waktu operasi penangkapan per trip lebih pendek. Hasil wawancara dengan nelayan responden diperoleh data dan informasi
mengenai musim puncak ikan berdasarkan jenis alat tangkap di Teluk Apar seperti pada Tabel 9.
Tabel 9 Musim Penangkapan Ikan berdasarkan Jenis Alat Tangkap Jenis alat tangkap
Bulan Puncak Barat
Biasa Utara Paceklik Selatan Purse seine
Jan – Jul Okt – Des
Agt – Sep Jaring insang dasar
Jan – Apr Sep – Des
Mei – Agt Jaring insang hanyut
Jan – Apr Sep – Des
Mei – Agt Jaring tiga lapis
Jan – Apr Sep – Des
Mei – Agt Rawai hanyut
Jan – Apr Sep – Des
Mei – Agt Jermal
Jan – Apr Sep – Des
Mei – Agt Bagan tancap
Jan – Jul Okt – Des
Agt – Sep Sumber : Data primer, 2007
Berdasarkan hasil wawancara terhadap nelayan responden dan para punggawa juragan diperoleh informasi musim ikan. Rincian waktu musim ikan
berdasarkan jenis yang dominan tertangkap di Teluk Apar disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Bulan Musim Ikan berdasarkan Jenis Ikan di Perairan Teluk Apar
Jenis Ikan Musim Ikan bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tongkol Layang
Tenggiri Kembung
Selar Teri
Tembang Kakap
Sumbal Bawal
Udang Windu Sumber : Data primer, 2007
4.2.4 Unit Penangkapan ikan
Unit penangkapan ikan merupakan satu kesatuan teknis dalam operasi penangkapan ikan, terdiri dari nelayan, perahukapal penangkap ikan dan alat
penangkap ikan. Ketiga elemen tersebut sangat penting dalam melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan.
4.2.4.1 Nelayan Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan usaha
penangkapan ikan. Nurani 1987 mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, dalam hal ini
termasuk juru masak dan ahli mesin yang bekerja di atas kapal. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten
Pasir tahun 2005, nelayan di sekitar perairan Teluk Apar berjumlah 2088 orang. Jumlah nelayan setiap tahun cenderung mengalami peningkatan Tabel 11.
Kondisi diatas secara tidak langsung memberikan gambaran terhadap pemanfaatan sumberdaya di perairan Teluk Apar. Semakin bertambah jumlah
nelayan tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar juga akan semakin meningkat.
Tabel 11 Perkembangan Jumlah Nelayan di Teluk Apar tahun 1996 – 2005 Tahun Penuh
Sambilan Jumlah
Utama Tambahan 1996 1.410 272 247 1929
1997 1.261 382 202 1845 1998 1.160 572 195 1927
1999 1.160 553 215 1928 2000 1.217 556 267 2040
2001 1.293
548 258
2099 2002 1.927 122 52 2101
2003 2.117 149 61 2327 2004 1.862 137 56 2055
2005 1.890 140 58 2088
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006 4.2.4.2 Perahu kapal
Kapal perikanan menurut UU No 31 Tahun 2004 pasal 1 ayat 9 adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan
penelitianeksplorasi perikanan UU No 31 Tahun 2004. Secara Umum jumlah perahu dan kapal meningkat setiap tahun. Peningkatan secara signifikan pada
motor ukuran 0-5 GT. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu peningkatan jumlah nelayan, kultur masyarakat di pesisir pantai kawasan Teluk Apar,
kemampuan modal dan daerah operasi penangkapan. Selengkapnya perkembangan jumlah perahukapal di Teluk Apar periode 1996-2005 disajikan
pada Tabel 12. Tabel 12 Perkembangan Jumlah PerahuKapal Penangkap Ikan di Teluk Apar
Tahun 1996-2005 Tahun
Tidak bermotor Kapal motor
Jumlah Kecil
Sedang Tempel
0-5 GT 5-15 GT
1996 154 79
75 843
0 1151 1997 55
75 43 1.032
1205 1998 140
98 86
832 0 1156
1999 136 97 103
869 0 1205
2000 135 96 105
878 0 1214
2001 120 85 104
925 0 1234
2002 105 75
30 1.065
50 1325 2003 105
75 1.250
65 1495 2004 85
76 1.300
65 1526
2005 81 73
1.886 69
2109 Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006
4.2.4.3 Alat tangkap
Beragam jenis alat tangkap dioperasikan di perairan Teluk Apar, diantara berbagai alat tangkap tersebut yang dominan digunakan antara lain : purse seine,
jaring insang hanyut, jaring insang dasar, jarring insang tiga lapis, bagan tancap, rawai hanyut dan jermal.
Produksi perikanana laut Kabupaten Pasir secara umum ditopang oleh dua perairan laut yaitu Teluk Adang dan Teluk Apar. Terdapat perbedaan keragaman
alat tangkap yang dioperasikan pada masing-masing perairan teluk. Di perairan Teluk Adang masih ditemukan atau masih beroperasi alat tangkap baby trawl
dogol dan tidak terdapat alat tangkap purse seine. Sebaliknya di perairan Teluk Apar masyarakat nelayan Desa Tanjung Aru dan Desa Muara Pasir
mengoperasikan alat tangkap purse seine dan tidak terdapat trawl. Tidak beroperasinya trawl di Teluk Apar lebih disebabkan oleh adanya
kepatuhan terhadap kesepakatan antar nelayan, tokoh masyarakat, aparat desa
yang berada di sekitar kawasan Teluk Apar untuk melarang beroperasinya trawl di perairan Teluk Apart, mengingat alat yang dioperasikan sebagian besar
merupakan alat tangkap pasif khususnya jaring tiga lapis penambe, selain itu armada yang digunakan dominan berkapasitas kecil sehingga operasi semua unit
penangkapan terfokus pada satu kawasan yang sama. Berdasarkan hal tersebut maka disepakati untuk alat tangkap trawl dilarang dioperasikan di Teluk Apar.
Perkembangan jenis alat tangkap pada periode 1996-2005 disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Perkembangan Jumlah Alat Tangkap yang Dioperasikan di Teluk
Apar Periode Tahun 1996-2005
Tahun Jenis Alat Tangkap
Jumlah Pukat
Cincin Jaring insang
Bagan Tancap
Rawai Hanyut
Jermal Hanyut Dasar
Tiga 1996 9 240 242 1.028 87 58 18
1.682 1997
46 204 205 874 78 35 21 1.463
1998 72 221 224 952 89 39 21
1.618 1999
73 215 216 921 95 36 20 1.576
2000 76 216 214 930 90 35 22
1.583 2001 83 236 233 1.015 115 39 22 1.743
2002 35 195 197 854
66 96
22 1.465 2003 35 211 214 928 79 251 23 1.741
2004 35 249 248 1.080 56 237 23 1.928 2005 56 232 234 1.017 58 225 25 1.847
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan, Pasir 2006 Pasca
pelarangan pengoperasian
trawl telah berdampak terhadap menurunnya jumlah alat tangkap trawl dogol di Kabupaten Pasir, kondisi ini
secara tidak langsung mempengaruhi jumlah produksi udang. Dampak lain dari pelarangan pengoperasian trawl adalah semakin meningkatnya luasan bukaan
hutan mangrove di Kabupaten Pasir untuk usaha budidaya udang. Ditinjau dari aspek pencapaian produksi khususnya udang, hal ini memberikan nilai tambah
bagi Kabupaten Pasir karena produksi udang yang sebelumnya dihasilkan melalui penangkapan trawl kini tersubstitusi melalui usaha budidaya, dan produksi yang
dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dari hasil penangkapan. Oleh karena itu kontribusi udang terhadap produksi perikanan di Kabupaten Pasir Teluk Apar
dominan dihasilkan oleh aktifitas budidaya. Pembukaan lahan tambak secara besar-besaran di Kabupaten Pasir
khususnya di Teluk Apar telah menciptakan permasalahan baru. Pada beberapa desa pesisir disekitar kawasan Teluk Apar telah mengalami abrasi sehingga
mengakibatkan rusaknya bangunan-bangunan rumah, selain itu juga karena kerasnya terpaan angin laut yang langsung mengarah kerumah-rumah
diperkampungan nelayan akibat tidak adanya penghalang terbukanya hutan mangrove untuk usaha tambak. Hal ini semakin diperparah oleh minimnya
pengetahuan masyarakat bagaimana usaha budidaya tambak yang berwawasan lingkungan, sehingga dalam melakukan usahanya mereka tidak memperhatikan
kaidah-kaidak keseimbangan. Dari aspek usaha penangkapan karakteristik unit penangkapan yang
dioperasikan di Teluk Apar antara lain yaitu. a Pukat Cincin gae
Pukat Cincin menurut Baskoro 2002 adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang, dilengkapi dengan tali kerut yang dilewatkan
melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring tali ris bawah. Dengan menarik tali kerut pada bagian bawah jaring menguncup dan akan membentuk
seperti mangkok. Dikatakan “pukat cincin” karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin Gambar 3.
Awal diperkenalkannya alat tangkap pukat cincin yaitu pada tahun 1970 di pantai Utara Jawa oleh BPPL. Baru pada tahun 19731974 alat tersebut mulai
diaplikasikan di daerah Muncar dan hingga sekarang alat tangkap tersebut berkembang pesat Subani dan Barus 1989. Di beberapa daerah pukat cincin
memiliki nama serta konstruksi yang agak berbeda.
Gambar 3 Alat Tangkap Purse seine Balai Penelitian Perikanan Laut, 2002 Pukat Cincin purse seine menurut Von Brant 1984 dibentuk dari
dinding jaring yang sangat panjang, biasanya tali ris bawah leadline sama atau
lebih panjang daripada tali ris atas floatline. Float line memuat rangkaian pelampung float yang menjaga posisi jaring agar tetap berada di permukaan air.
Leadline adalah tali ris bawah yang merangkai kumpulan pemberat sinker yang terbuat dari timah sehingga memungkinkan jaring untuk melebar secara vertikal
dengan maksimal. Mata jaring pada pukat cincin hanya berfungsi untuk penghadang gerak ikan, bukan penjerat sebagaimana pada gillnet.
Metode pengoperasian pukat cincin menurut Baskoro 2002 yaitu dengan cara melingkari gerombolan ikan baik dengan satu kapal maupun dengan
menggunakan dua kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, pada bagian bawah jaring kemudian dikerutkan dengan menarik tali kerut yang dipasang sepanjang
bagian bawah melalui cincin hingga tertutup. Purse Seine dibedakan dalam empat kelompok besar. Menurut Sadhori
1985 kelompok tersebut adalah : 1 Berdasarkan bentuk jaring utama : persegi panjang atau segi empat, trapesium
atau potongan dan lekuk 2 Berdasarkn jumlah kapal yang digunakan pada waktu operasi: tipe satu kapal
one boat system dan tipe dua kapal two boat system. 3 Berdasarkan waktu operasi yang dilakukan : purse seine siang dan purse seine
malam; 4 Berdasarkan species ikan yang tertangkap : purse seine lemuru, layang,
kembung dan cakalang. Pukat cincin purse seine di perairan Teluk Apar disebut dengan Gae,
dalam istilah lain juga dikenal dengan nama jaring kolor. Disebut demikian menurut Sadhori 1985 karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali
kolor yang berguna untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu dioperasikan, dengan cara menarik tali kolor. Pengoperasian Gae di perairan Teluk Apar
umumnya dilakukan dengan menggunakan satu buah kapal motor bermesin. Sebelum operasi penangkapan dilakukan terlebih dahulu melihat densitas
kelompok ikan yang terdapat di rumpon, bila terlihat jumlah ikan cukup banyak di lakukan penangkapan ikan. Bila jumlah ikan pada rumpon tersebut diperkirakan
sedikit maka penangkapan ditunda dan armada berpindah pada rumpon yang lain. Biasanya nelayan melakukan penangkapan ikan pada rumpon secara bergiliran hal
ini dimaksudkan agar ikan tetap berada disekitar rumpon sehingga ikan dapat ditangkap secara kontinyu.
Jenis ikan yang umum tertangkap oleh alat tangkap purse seine di Teluk Apar terdiri dari Selar Selaroides spp, Tembang Clupeoides sp, Kembung
Rastrelliger spp, layang Decapterus dan tongkol Auxis thazard. Pengoperasian purse seine umumnya dilakukan one day fishing yaitu sejak pukul
16.00 sampai 06.00. Jumlah setting rata-rata 3-4 kali permalam, waktu antara setting sampai dengan hauling 3-4 jam.
b Jaring Insang gill net Gill Net merupakan jaring yang berbentuk empat persegi panjang dengan
ukuran mata jaring yang sama pada seluruh mata jaring, yang dilengkapi dengan pelampung dan pemberat sehingga menyebabkan jaring terbuka dengan sempurna
di dalam air. Gill Net diartikan juga sebagai jaring insang karena ikan-ikan yang tertangkap pada umumnya tersangkut pada tutup insangnya. Prinsip
pengoperasiannya yaitu menghadang gerak gerombolan ikan, diharapkan ikan menabrak jaring dan terjerat disekitar insang baik pada mata jaring maupun
terpuntal pada tubuh jaring. Untuk mendukung keberhasilan operasi penangkapan dengan gillnet menurut Sadhori 1984 warna jaring disesuaikan dengan warna
perairan tempat gillnet dioperasikan. Gill Net di sekitar Teluk Apar dikenal dengan rengge. Jenis rengge pada
umumnya disesuaikan berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Berdasarkan klasifikasi alat tangkap, gillnet rengge yang umum digunakan di
Teluk Apar terdiri dari jaring insang hanyut drift gill net dan jaring insang dasar bottom gill net.
1 Jaring Insang Hanyut drift gill net Martasuganda 2002 memberikan definisi jaring insang hanyut sebagai
jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring utama sama, jumlah mata jaring arah horizontal mesh
lengh lebih banyak dari jumlah arah vertikal fesh depth. Pada bagian atas dilengkapi dengan beberapa pelampung float dan dibagian bawah dilengkapi
dengan beberapa pemberat sinkers, dengan adanya dua gaya berlawanan menyebabkan jaring insang dapat dioperasikan dalam keadaan tegak Gambar 4.
Gambar 4 Alat Tangkap Jaring Insang Hanyut drift gill net Balai Penelitian Perikanan Laut, 2002
Posisi jaring pada jaring insang hanyut ketika dioperasikan tidak ditentukan oleh adanya jangkar, tetapi bergerak hanyut bebas mengikuti arah gerakan arus.
Pada salah satu ujung jaring di letakkan tali dan tali tersebut dihubungkan dengan kapal, gerakan hanyut dari kapal mempengaruhi posisi jaring. Selain arus,
gelombang dan kekuatan angin juga mempengaruhi keadaan hanyut dari jaring tersebut.
Nelayan Teluk Apar umumnya mengoperasikan jaring insang hanyut pada siang hari antara pukul 07.00-17.00 sedang pada malam hari pada pukul 18.00 –
04.00. Operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata sebanyak 15 trip. Setting rata-rata dilakukan 3-4 kali dengan waktu 2-3 jam per setting. Jenis-jenis ikan
yang umum tertangkap terdiri dari Tenggiri Scomberomus commersoni, Menangin Eleutheronema tetradactylum , dan Bawal Stromateus sp.
2 Jaring Insang Dasar bottom gill net Jaring insang dasar di sekitar Teluk Apar disebut dengan rengge dasar hal ini
karena jaring tersebut direntangkan dekat dengan dasar laut Gambar 5. Jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan terdiri dari ikan-ikan demersal. Prinsip
pengoperasian sama dengan surface gill net bedanya hanya pada posisi jaring dalam air. Fishing ground alat tangkap ini di daerah muara dan teluk sehingga
ikan yang tertangkap dapat berbagai jenis.
Gambar 5 Alat Tangkap Jaring Insang Dasar bottom gill net Balai Penelitian Perikanan Laut, 2002
Pengoperasikan alat tangkap rata-rata sebanyak 20 trip perbulan, dan dilakukan antara pukul 07.00 – 16.00. Malam hari dilakukan antara pukul 18.00 -
05.00. Jenis ikan yang biasa tertangkap antara lain ikan Kakap Lates calcarifer, Beronang Siganus sp, Pari Dasyatis sp, Bawal Stromateus sp, Trakulu
Caranx sp, dan SumbalKuro Eleutheronema sp. c Jaring Tiga Lapis trammel net
Jaring tiga lapis terdiri dari tiga lapis jaring, lapisan jaring bagian dalam inner net ukuran mata jaringnya lebih kecil dibanding dengan kedua lapisan
yang di luar outer net. Alat ini dioperasikan pada bagian dasar perairan Gambar 6. Pada umumnya hasil tangkapan berupa Udang Windu Penaeus
monodon, Udang Putih Penaeus merguensis, dan Udang Bintik Metapenaeus sp.. Pengoperasian jaring tiga lapis rata-rata sebanyak 20 trip perbulan. Waktu
pengoperasian biasanya mulai pukul 07.00 - 17.00.
Gambar 6 Alat Tangkap Jaring Tiga Lapis trammel net Balai Penelitian Perikanan Laut, 2002
d Jermal Togo tidal traps Jermal dalam klasifikasi alat tangkap masuk dalam kategori alat tangkap
perangkap, yang biasa dikenal dengan jermal Gambar 7. Prinsip penangkapan ikan dengan alat ini yaitu menghadang arah ruaya ikan pantai dengan
memanfaatkan arus pasang surut, sehingga ikan masuk ke bagian jebakan yang dipasang jaring. Untuk mengarahkan ruaya ikan ke arah kamar jebakan nelayan
memasang pagar kayu.
Gambar 7 Alat Tangkap JermalJulu tidal traps Balai Penelitian Perikanan Laut, 2002
Pengoperasian jermal rata-rata perbulan sebanyak 12 trip dan perhari rata- rata dioperasikan antara 5 – 6 jam mengikuti pergerakan arus surut. Walaupun
pergantian pasang dan surut terjadi 2 kali setiap hari akan tetapi nelayan mengoperasikan hanya satu kali pada saat air surut. Komoditi ikan yang umum
tertangkap terdiri dari Udang Windu Penaeus monodon, Udang Putih Penaeus merguensis, Udang Jari Penaeus indicus longirostris, Udang Belang
Parapenaeopsis sculptisis, Bawal Stromateus sp, Bulu Ayam Thryssa setirostris, dan Kakap Lates calcarifer.
e Bagan Tancap
Stationary lift net Bagan merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara dinaikkan
atau ditarik keatas dari posisi horizontal yang ditenggelamkan untuk menangkap ikan yang ada diatasnya dengan menyaring air. Menurut Subani dan Barus 1988
bagan berdasarkan bentuk dan metode pengoperasian terbagi menjadi 3 macam yaitu bagan tancap, rakit dan perahu.
Metode penangkapan ikan dengan bagan dengan memanfaatkan naluri ikan, yaitu ketertarikan terhadap cahaya. Menurut Subani dan Barus 1988
penangkapan dengan bagan dilakukan pada malam hari, terutama pada saat bulan gelap dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu Gambar 8.
Gambar 8 Alat Tangkap Bagan Tancapstationary lift net Pengoperasian bagan tancap rata-rata perbulan sebanyak 16 trip,
dioperasikan mulai pukul 19.00 - 05.00. Hasil tangkapan berupa ikan Teri Stolephorus comersonii, Tembang Sardinella sp, Kembung Rastrelliger spp
dan Cumi-cumi Loligo sp. Komponen material bagan tancap terdiri dari jaring, rumah bagan yang
terbuat dari batang kayu nibung, serok dan lampu petromax, pada bagian pelataran terdapat alat penggulung yang digunakan untuk menurunkan dan menaikkan
jaring bagan pada saat dioperasikan. Berdasarkan posisi penempatan bagan tancap di perairan Teluk Apar, terlihat bahwa jarak antar bagan saling berdekatan.
Keadaan ini tentu mempengaruhi kuantitas hasil tangkapan karena distribusi ikan lebih menyebar.
g Rawai Hanyut lift net Rawai merupakan alat penangkap ikan yang terdiri atas rangkaian tali temali
yang bercabang-cabang dan pada setiap ujung cabangnya diikatkan dengan sebuah pancing dan diberi umpan. Pancing rawai terdiri atas tali utama, tali cabang,
bendera, pelampung, pemberat, mata pancing dan umpan. Pancing rawai diklasifikasikan kedalam tiga bagian, yaitu berdasarkan
letak pemasangan diperairan, susunan mata pancing pada tali utama, dan jenis
ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan. Berdasarkan letak pemasangan di perairan, terdiri atas rawai permukaan surface longline dan rawai pertengahan
midwater longling. Berdasarkan susunan mata pancing yaitu rawai mendatar horizontal longline dan berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan utama
penangkapan yaitu rawai tuna tuna long line. Rawai yang dominan digunakan di Teluk Apar adalah rawai hanyut
Gambar 9. Operasi penangkapan per bulan rata-rata sebanyak 14 trip. Umumnya nelayan mengopertasikan rawai mulai pukul 08.00-14.00. Hasil
tangkapan yaitu ikan Kakap Lates calcarifer, Trakulu Caranx sp, Pari Dasyatis sp, dan Menangin Eleutheronema tetradactylum .
Gambar 9 Alat Tangkap Rawai Hanyut
4.2.5 Sumberdaya Ikan
Sumberdaya ikan yang dihasilkan oleh nelayan diperairan Teluk Apar sangat beragam, baik pada ikan pelagis maupun ikan demersal. Dari berbagai jenis ikan
yang dihasilkan, terdapat beberapa jenis ikan yang dominan antara lain : Tongkol, Kakap, Tembang, Layang, Kembung, Selar dan Teri.
1 Tongkol Auxis sp Ikan tongkol Auxis thazard tergolong ikan efipelagik dan termasuk dalam
jenis tuna kecil Gambar 10. Tongkol tergolong ikan buas dan sebagai predator. Kondisi yang disenangi adalah perairan laut dengan kisaran temperatur antara 18-
29
o
C Saanin, 1984. Menurut Nontji 1993 Ciri-ciri morfologinya yaitu badan memanjang, kaku, bulat seperti cerutu, badan tanpa sisik kecuali pada bagian
korselet yang tumbuh sempurna dan mengecil kebagian belakang, warnanya kebiru-biruan serta putih dan perak dibagian perut. Ciri-ciri lain, dibagian perut
terdapat ban-ban serong berwarna hitam diatas garis rusuk serta noktah-noktah hitam terdapat diantara sirip dada dan perut. Ukuran panjang ikan rata-rata yang
tertangkap berkisar antara 25-40 cm. Terdapat dua sirip di bagian punggung, sirip punggung yang pertama
berjari-jari keras 10 sedangkan yang kedua berjari-jari keras 11 dan terdapat 6-9 jari-jari tambahan yang letaknya dibelakang sirip punggung yang kedua. Sirip
dubur berjari-jari lemah 44, diikuti jari-jari sirip tambahan. Badannya tampak diselumuti sisik, kecuali pada bagian belakangnya. Ikan ini mempunyai daging
yang kenyal dan gurih serta merupakan perikanan ekonomis penting Kiswantoro dan Sunyoto, 1986.
Gambar 10 Ikan Tongkol Auxis thazard Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992 Distribusi tongkol sangat luas meliputi perairan tropis dan sub tropis,
termasuk Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Samudera Atlantik. Penyebarannya cenderung membentuk kumpulan multispecies menurut ukurannya
FAO, 1986. Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin 1984 sebagai berikut. Kelas :
Pisces Sub kelas : Telestoi
Ordo : Percomorphi
Subordo : Scombroidae
Famili : Scombidae
Divisi : Scombridae
Genus : Auxis
Species :
Auxis thazard 2 Kakap Lates calcarifer,
Nama kakap diberikan kepada kelompok ikan yang termasuk tiga suku yaitu Lutjanus, Latidae dan Labotidae. Jenis-jenis yang termasuk Lutjanidae biasanya
disebut kakap merah. Dua jenis lainnya yaitu Lates calcarifer yang termasuk suku Latidae umumnya disebut kakap putih dan Labotus surinamensis yang
termasuk suku Labotidae disebut kakap batu Djamali, Burhanuddin dan Martosewojo, 1986.
Saanin 1984 mengklasifikasikan ikan kakap sebagai berikut. Phylum :
Chordata Sub
Phylum: Vertebrata
Kelas :
Pisces Sub
kelas :Teleostei Ordo
: Percomorphi
Subordo : Percoidae
Famili : Lutjanidae
Genus :
Latidae Species :
Lates calcarifer Kakap yang tertangkap nelayan umumnya berukuran panjang berkisar 30-40
cm. Secara morfologi ikan kakap mempunyai ciri bentuk kepala tirus kedepan, punggung tinggi dan tebal dan banyak berisi daging. Ujung sirip ekornya
bentuknya bundar Saanin, 1984. Seluruh badan kepalanya tertututp oleh sisik- sisik yang kasar, berwarna perak keabuabuan yang lebih gelap pada pada bagian
punggung dan memutih pada bagian perutnya Gambar 11. Rahang bawah maupun atas bergigi kecil-kecil dan tajam. Ikan ini termasuk
ikan yang buas yang memangsa ikan-ikan lain yang lebih kecil. Kakap pada umumnya hidup di perairan sekitar muara sungai.
Gambar 11 Ikan Kakap Lates calcarifer Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992
3 Tembang Sardinella sp Ikan tembang termasuk kelompok jenis ikan pelagis kecil yang ditangkap
dengan berbagai macam alat tangkap seperti: pukat cincin, payang dan jaring insang hanyut. Daerah penyebaran meliputi seluruh perairan pantai Indonesia, ke
Utara sampai ke Taiwan, ke Selatan sampai ke ujung Utara Australia dan ke Barat sampai Laut Merah Direktorat Jenderal Perikanan, 1979 yang diacu Wiyono,
2001. Saanin 1984 memberikan ciri-ciri ikan Tembang sebagai berikut. Bentuk
tubuh fusiform, pipih dengan sisik berduri di bagian bawah badan, awal sirip punggung sebelum pertengahan badan, berjari-jari lemah 17-20, dasar sirip dubur
pendek dan jauh dibelakang dasar sirip dorsal serta berjari-jari lemah 16 – 19. Lapisan insang halus berjumlah 60-80 pada busur insang pertama bagian bawah.
Ikan tembang pemakan plankton dan membentuk gerombolan besar. Panjang berkisar antara 15-25 cm, warna bagian atas kehijauan, dan bagian bawah putih
perak, sirip-siripnya pucat kehijauan dan tembus cahaya Gambar 12.
Gambar 12 Tembang Sardinella fimbriata Gambar 12 Ikan Tembang Sardinella sp Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992
Fischer dan Whitehead 1974 mengklasifikasi tembang sebagai berikut. Phylum: Chordata
Sub Phylum:
Vertebrata Kelas:
Pisces Sub
Kelas :
Teleostei Ordo
:Malacopterygii Famili
: Clupeinae
Sub famili :
Clupeinae Genus
: Sardinella
Species :
Sardinilla sp.
Fischer dan Whitehead 1974 mengemukakan bahwa Sardinilla fimbriatai merupakan ikan permukaan dan hidup perairan pantai serta suka bergerombol
pada areal yang luas sehingga sering tertangkap bersama-sama ikan lemuru. Ikan
Tembang juga terkonsentrasi pada kedalaman kurang dari 100 meter. Pergerakan vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam, pada malam hari ikan tembang
cenderung berenang ke permukaan dan berada di permukaan sampai matahari terbit. Waktu malam terang, gerombolan ikan tembang akan berpencar atau tetap
berada di bawah permukaan. 4 Layang Decapterus
Ikan layang yang umum ditemukan di perairan Indonesia ada 5 jenis yakni Decapterus russelli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus
macrosoma dan Decapterus maruadsi. Namun dari kelima species ikan layang hanya Decapteus russelli yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di
Indonesia mulai dari Kepulauan Seribu hingga Pulau Bawean dan Pulau Masalembo. Decapterus lajang hidup diperairan yang dangkal seperti dilaut Jawa
termasuk Selat Sunda, Selat Madura dan Selat Bali, Selat Makassar, Ambon dan Ternate. Decapteus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali dan Pelabuhanratu.
Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup di laut dalam dan tertangkap pada kedalaman 1000 meter atau lebih Nontji 1993.
Ikan ini hidup di perairan yang berjarak 37-56 km dari pantai dengan kadar garam relatif tinggi 32-34
o oo
dan menyenangi perairan jernih serta membentuk gerombolan besar. Ikan ini termasuk perenang cepat. Panjang tubuhnya
mencapai panjang 30 cm, bentuk badan agak memanjang dan agak gepeng. Dalam statistik perikanan, kedua jenis ikan layang ini dimasukkan dalam satu
kategori Decapterus spp Widodo, 1988. Ikan layang biasanya memijah pada suhu minimum perairan 17
o
C. Umumnya pemijahan terjadi dua kali pertahun, puncak pemijahan pada bulan
MaretApril musim barat dan AgustusSeptember musim timur. Asikin 1971 mengemukakan bahwa ikan layang muncul kepermukaan karena dipengaruhi oleh
ruaya harian dari plankton hewani zooplankton yang terdapat disuatu perairan. Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari cepepoda 39, crustacea 31
dan organisme lainnya 30.
Klasifikasi ikan layang menurut Saanin 1984 sebagai berikut. Phyllum :
Chordata Sub phyllum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub Clas : Teleostei
Ordo :
Percomorphi Sub
Ordo :
Percoidea Divisi :
Perciformes Sub Ordo
: Carangi Genus :
Decapterus Species :
Decapterus russelli, Rupped Decapterus macrosoma, Sleeker
Decapterus maruadsi Tamminck dan Schlgel Makanan utama zooplankton, terkadang juga ikan kecil seperti ikan teri
Stolephorus spp dan japuh Dussumteria acuta Nontji 1993. Ikan ini ditangkap dengan menggunakan jaring insang, mini purse seine, dan bagan tancap.
Gambar 13 Ikan Layang Decapterus Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992 5 Kembung Rastrelliger spp
Ciri ikan kembung Rastrelliger spp secara umum yaitu badan berbentuk cerutu, tubuh dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih
besar dari bagian lain Gambar 14. Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Gigi yang kecil terletak ditulang rahang. Tulang insang dan banyak sekali terlihat
seperti bulu jika mulut terbuka. Mempunyai dua buah sirip punggung dorsal, sirip punggung pertama terdiri dari jari-jari lemah dan sama dengan sirip dubur
anal tidak mempunyai jari-jari keras. Lima sampai enam sirip tambahan finlet terdapat di belakang sirip dubur anal dan sirip punggung dorsal kedua.
Bentuk sirip ekor caudal bercagak dalam. Sirip dada pectoral dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jari-jari lemah
Saanin 1984. Klasifikasikan ikan kembung sebagai berikut. Phyllum : Chordata
Sub phyllum : Vertebrata Class :
Pisces Sub Clas : Teleostei
Ordo :
Percomorphi Sub
Ordo :
Scombridae Famili
: Schombridae
Genus :
Rastrelligerecapterus Species : Rastrelliger brachysoma, Bleeker
Rastrelliger kanakurta, Cuvier Decapterus maruadsi Tamminck dan Schlgel
Gambar 14 Ikan Kembung perempuan Rastrelliger brachysoma Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992
Ikan kembung lelaki Rastrelliger kanagurta memiliki satu noda hitam di belakang sirip dada sedangkan ikan kembung perempuan Rastrelliger neglectus
tidak ada noda hitam. Perbedaan lain yaitu pada kembung lelaki terdapat 2 baris bulatan hitam di bawah sirip punggung dan garis hitam membujur sepanjang
badan sedangkan pada kembung perempuan hanya terdapat baris bulatan-bulatan hitam dan tidak ada garis hitam. Panjang tubuh mencapai 35 cm Saanin, 1984.
Ikan kembung lelaki Rastrelliger kanagurta biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari
32
o oo
sedangkan kembung perempuan Rastrelliger brachysoma dijumpai didekat perairan pantai dengan kadar garam lebih rendah Nontji, 1993.
Penyebaran utama ikan kembung Rastrelliger spp perairan Barat, Timur dan Selatan Kalimantan serta Malaka Direktorat Jenderal Perikanan, 1997.
6 Selar Selaroides spp Jenis-jenis ikan selar Selaroides spp yang tertangkap di perairan
Indonesia dan tercatat di dalam data statistik perikanan Indonesia, yaitu selar bentong Selar crumenopthalmus dan selar kuning Selaroides leptolepsis
Nontji 1993. Klasifikasi selar menurut Saanin 1984 sebagai berikut. Phyllum : Chordata
Sub phyllum : Vertebrata Class :
Pisces Sub Clas : Teleostei
Ordo :
Percomorphi Famili
: Carangidae
Sub Famili
: Caranginae
Divisi :
Perciformes Genus
: Caranx
Sub Genus
: Selar
Species :
Selar crumenophthlmus Selarouides leptolepsis
Gambar 15 Ikan Selar Selaroides spp Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992 Selar kuning Selaroides leptolepsis memiliki bentuk badan lonjong, pipih
dengan sirip punggung dorsal pertama berjari-jari keras delapan buah, sedangkan yang keduanya berjari-jari keras satu buah dengan jari-jari lemah 15
buah Gambar 15. Sirip duburnya anal terdiri atas dua jari-jari lemah. Tapis insang pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah 26 buah. Garis rusuk
membusur, memiliki 25-34 sisik scute. Selar bentong Selar erumenophthalmus memiliki bentuk yang hampir sama tetapi dapat dibedakan dari matanya yang
berukuran lebih besar Ditjen Perikanan 1997 diacu dalam Wiyono 2001
Perbedaan mendasar lainnya terletak pada jumlah jari-jari pada sirip dubur anal dan sirip punggung dorsal, jumlah tapis insang, jumlah sisik duri. Jari-
jari keras sirip punggung dorsal pertama ada sembilan buah satu yang terdepan mengarah kebagian muka, sedangkan yang kedua berjari-jari keras satu dan jari-
jari lemah 24-26 buah. Sirip dubur anal terdiri atas dua jari-jari keras yang terpisah dan satu jari-jari keras yang tersambungdengan 21-23 buah jari-jari lemah.
Garis rusuk bagian depan sedikit membusur kemudian lurus pada bagian belakangnya dengan sisik dun scule berjumlah 32-38 buah.
Kedua jenis ikan ini memakan ikan-ikan kecil dan udang kecil. Hidup secara bergerombol disekitar pantai dangkal, sedangkan Selar crumnophthalmus
hidup sampai kedalaman 80 meter. Penangkapan ikan selar menggunakan alat
tangkap pancing, pukat selar, purse seine, sero, jaring insang dan bagan tancap. 7 Teri Stelephorus spp
Stelophorus spp termasuk ikan pelagis kecil yang menghuni pesisir. Pada umumnya hidup bergerombol sampai ratusan atau ribuan individu, terutama untuk
jenis-jenis ukuran kecil. Sebaliknya yang berukuran besar cenderung untuk hidup soliter, hanya pada bulan-bulan tertentu dapat tertangkap dalam gerombolan kecil
sekitar 100-200 ekor. Teri banyak memakan berbagai jenis plankton, meskipun komposisinya tidak selalu sama untuk setiap species Nontji, 1993. Pada ukuran
40 mm, ikan ini umumnya memanfaatkan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil. Teri yang berukuran lebih dari 40 mm, banyak memanfaatkan zooplankton
ukuran besar Gambar 16 Secara morfologi Teri memiliki ciri-ciri badan memanjang, mulut tumpul,
rahang bawah lebih pendek dari rahang atas, antara sirip dada dan sirip perut terdapat scute yang disebut ventral scute, warna punggung agak gelap sedang
badan tidak berwarna. Panjang badan umumnya antara 9-12 cm. Daerah penyebaran di perairan dekat pantai, dimana terjadi proses penaikan air
upwelling. Ikan teri dapat membentuk biomassa yang sangat besar dan merupakan sumberdaya yang poorly behaved, karena makanan utamanya adalah
plankton, sehingga kelimpahan sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan Saanin. 1984.
Teri Stolephorus spp terdapat diseluruh perairan pantai Indonesia dengan nama yang berbeda-beda seperti : teri Jawa, bilis Sumatera dan Kalimantan,
dan puri Ambon. Sedikitnya ada sembilan jenis teri Stolephorus spp yang terdapat diperairan Indonesia yaitu: Stelephorus heterolobus, Stelephorus devisi,
Stelephorus baganensis, Stelephorus dubiousus, Stelephorus indicus, Stelephorus commersonii, Stelephorus insularis dan Stelephorus buccaneezi. Ada pula yang
berukuran besar seperti Stolephorus commersonii dan Stolephorus indicus yang dikenal sebagai teri kasar dengan ukuran tubuh dapat mencapai 17,5 cm
Nontji 1993. Klasifikasi teri menurut Saanin 1984 sebagai berikut.
Phyllum :
Chordata Sub phyllum : Vertebrata
Class :
Pisces Sub Clas
: Teleostei Ordo
: Malacopterygii
Famili :
Clupeidae Sub
Famili :
Engraulinae Genus
: Stelophorus
Species : Stelophorus spp
Gambar 16 Ikan Teri Stolephorus commersonii Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Karakteristik nelayan responden
a U m u r Berdasarkan struktur umur 96 nelayan responden dari 186 orang berusia
antara 16 – 55 tahun Tabel 14. Kelompok usia dominan responden berkisar antara 26 – 35 sebanyak 62 orang. Hal ini menggambarkan sebagian besar
nelayan di Teluk Apar termasuk dalam kategori usia produktif. Karakteristik SDM perikanan tangkap berdasarkan sebaran umur sekitar 70 berada pada
kisaran usian produktif, yaitu 20-30 tahun Pusdiklat Perikanan DKP, 2005. Pada rentang usia tersebut umumnya seseorang memiliki keterampilan dan
ketangguhan fisik dan mental yang baik untuk menjalankan suatu pekerjaan Effendi dan Noor, 1995.
Tabel 14. Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Umur. U m u r
J u m l a h orang Prosentase
16 - 25 31
17 26 - 35
62 33
36 - 45 48
26 46 - 55
35 19
55 10
05 J u m l a h
186 100
Sumber : Data primer diolah, 2007 b
Pendidikan Struktur pendidikan masyarakat nelayan di Teluk Apar umumnya tergolong
rendah. Sebanyak 60,21 nelayan responden hanya tamat SD, bahkan dari jumlah total respon terdapat 11 orang yang tidak bersekolah Tabel 15. Besarnya
proporsi level pendidikan rendah nelayan responden menggambarkan bahwa kualitas sumberdaya manusia nelayan di lokasi penelitian masih rendah. Hal ini
membuat kemampuan menyerap teknologi dan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK kelautan serta daya nalar yang dimiliki
rendah, ditambah lagi dengan keterbatasan modal usaha sehingga mengakibatkan para nelayan terus terbelit dengan kemiskinan.
Kualitas sumberdaya manusia faktor penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kaitannya dengan perikanan yang
berkelanjutan Nikijuluw, 2002. Untuk dapat menghasilkan sumberdaya manusia SDM kelautan yang handal dibutuhkan waktu dan kemauan, Oleh karena itu
peran serta semua pihak sangat diharapkan terutama dalam bentuk pembinaan, pendidikan dan penyediaan sarana pendidikan bagi masyarakat nelayan harus
ditingkatkan. Tabel 15 Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah orang
Prosentase Tidak Sekolah
11 07
Tamat SD 112
60 Tamat SMP
41 22
Tamat SMA 20
11 J u m l a h
186 100
Sumber : Data primer diolah, 2007 c
Pengalaman Keberhasilan operasi penangkapan dipengaruhi oleh berbagai faktor, satu
diantaranya pengalaman. Sebanyak 72 133 orang dari jumlah total nelayan responden berpengalaman lebih dari 10 tahun Tabel 16 . Pengalaman dengan
waktu yang cukup lama tentu menjadikan nelayan semakin terampil dalam melakukan aktivitasnya, akan tetapi hasil penelitian menunjukkan pengalaman
yang dimiliki belum memberikan perubahan yang sangat berarti pada usaha penangkapan, khususnya dalam memanfaatkan teknologi baru untuk penangkapan
Putra, 2004. Hal ini terjadi karena berbagai keterbatasan. Faktor potensial sebagai pembatas tersebut yaitu modal dan pendidikan.
Tabel 16. Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Pengalaman Sebagai Nelayan
Pengalaman th Jumlah orang
Prosentase 01 - 10
53 28
11 - 20 54
29 21 - 30
36 19
31 - 40 31
17 40
12 07
J u m l a h 186
100,00 Sumber : Data primer diolah, 2007
d Kapal Penangkapan Ikan
Nelayan di Teluk Apar dalam melakukan operasi penangkapan umumnya menggunakan kapal motor. Sebesar 97 180 orang dari jumlah total responden
menggunakan sarana penangkapan kapal motor dengan kapasitas 1 – 1,5 GT Tabel 17.
Tabel 17. Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Jenis Alat yang Digunakan dan Kapasitas Kapal
No. Jenis Alat Tangkap
Kapasitas Kapal GT
Jumlah responden
Prosentase 1
Purse seine 10 - 15
6 3
2 Jaring Insang Hanyut
1 - 1,5 23
12 3
Jaring Insang Dasar 1 - 1,5
23 12
4 Jaring Tiga Lapis
1 - 1,5 101
55 5
Bagan Tancap 1 - 1,5
5 3
6 Rawai Hanyut
1 - 1,5 22
12 7
Jermal 1 - 1,5
6 3
J u m l a h 186
100 Sumber : Data primer diolah, 2007
Kelimpahan sumberdaya ikan
Analisis kelimpahan sumberdaya ikan di lakukan dengen metode Schaefer pada ikan pelagis dan ikan demersal dengan menggunakan data sekunder selama
kurun waktu sepuluh tahun 1996-2005
5.1.2.1 Ikan pelagis
Perkembangan produksi ikan pelagis mulai tahun 1996-1997 terjadi penurunan sebesar 3,7 ton. Selanjutnya pada periode 1998–2001 produksi
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 163,4 ton dari produksi 1567,7 ton- 2.345,4 ton. Perkembangan produksi tahun 2001-2005 kembali mengalami
penurunan hingga mencapai 1712,0 ton Lampiran 4. Secara umum trend perkembangan produksi pada tahun 1996-2005 meningkat Gambar 17 .
500 750
1000 1250
1500 1750
2000 2250
2500
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun P
roduk s
i ton
2000 4000
6000 8000
10000 12000
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun U
p aya
tr ip
Gambar 17 Perkembangan produksi ikan pelagis di Teluk Apar Upaya penangkapan antara tahun 1996-1999 meningkat. Pada tahun 2000-
2005 menurun hingga dibawah jumlah upaya pada tahun 1999 Lampiran 4. Secara umum upaya penangkapan menurunan Gambar 18.
Gambar 18 Perkembangan upaya penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar Pada hasil analisis diperoleh nilai pemanfaatan lestari MSY ikan pelagis
sebesar 2.039 tontahun dan upaya penangkapan optimal f
opt
sebesar 6.584 trip pertahun setara purse seine Lampiran 5. Dibandingkan produksi hasil tangkapan
pada tahun 2005 sebesar 1.712 ton tingkat pemanfaatan baru mencapai 83,96 dari produksi optimal pada kondisi lestari. Jumlah upaya penangkapan pada tahun
2005 mencapai 8.052,78 trip pertahun atau sekitar 122,31 dari upaya penangkapan optimal. Hal ini menggambarkan upaya yang dilakukan telah
melampaui upaya tangkap optimal. Sedangkan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Teluk Apar belum berlebih secara biologi overfishing.
Hubungan jumlah effort terhadap produksi Gambar 19 serta hubungan effort terdahap CPUE dengan pendekatan Schaefer Gambar 20.
y = 0.0695x + 1314.8 R
2
= 0.3072 500
1000 1500
2000 2500
2000 4000
6000 8000
10000 12000
EFFORT CAT
C H
1996 2003
2004 2002
1997 2005
2000 2001
1999 1998
Gambar 19 Hubungan effort terhadap produksi dengan pendekatan Schaefer
y = -4E-05x + 0.5878 R
2
= 0.7284
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5 0.6
0.7
2000 4000
6000 8000
10000 12000
EFORT CP
U E
2004 1997
2001 2000
2005 1998
1999 2003
2002 1996
Gambar 20 Hubungan effort terhadap CPUE dengan pendekatan Schaefer Secara
keseluruhan hubungan antara upaya, produksi, tingkat pemanfaatan,
tingkat pengupayaan, MSY dan Fmsy ikan pelagis dapat dilihat pada kurva Gambar 21. Pada Gambar tersebut terlihat produksi hasil tangkapa ikan pelagis
pernah melampaui batas produksi lestari yang terjadi pada tahun 1999 sebesar 2.162 ton dan tahun 2001 2.345 ton. Demikian pula dengan upaya
penangkapan tahun 1997-2001 dan tahun 2005 telah melebihi batas upaya tangkap optimum.
500 1000
1500 2000
2500 3000
3500
1996 1997 1998 1999 2000
2001 2002 2003
2004 2005
Tahun P
roduk s
i ton
2004 2003
2001 1999
1998 2000
500 1000
1500 2000
2500
2000 4000
6000 8000
10000 12000
14000 EFFORT
PRO DUKS
I T
O N
1996 2002
1997 2005
Gambar 21 Status produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar, MSY = 2.039 ton f
opt
= 6.584 trip
5.1.2.2 Ikan demersal
Produksi ikan demersal tahun 1996-1998 terjadi penurunan dari 2.979,1 ton sampai 2.857,4 ton. Produksi meningkat sebesar 363,8 ton pada tahun 1999
menjadi 3.221,2 ton. Selanjutnya pada periode tahun 2000-2005 produksi menurun hingga mencapai 2.496,4 ton dibawah produksi pada tahun 1999 sebesar
3.221,2 ton Lampiran 10. Perkembangan produksi secara umum menunjukkan trend
menurun Gambar 22.
Gambar 22 Perkembangan produksi ikan demersal di Teluk Apar Upaya penangkapan mulai tahun 1996-1999 upaya penangkapan turun dari
88.077,5 trip menjadi 81.172,3 trip. Tahun 2000-2002 meningkat hingga mencapai upaya tertinggi sebesar 157.150,6 trip. Kondisi ini tidak bertahan lama
karena pada tahun 2003-2005 upaya kembali menurun hingga sebesar 81.885,7
MSY = 2.039
f
opt
= 6.584
20000 40000
60000 80000
100000 120000
140000 160000
180000
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun U
p a
y a
tr ip
Lampiran 10. Upaya penangkapan secara umum menunjukkan trend terjadi peningkatan Gambar 23
Gambar 23 Perkembangan upaya penangkapan ikan demersal di Teluk Apar Berdasarkan
hasil analisis
dengan model Schaefer diperoleh nilai produksi
optimum lestari C
MSY
ikan demersal sebesar 2.677,2 ton dan upaya penangkapan optimum f
MSY
sebesar 101.717 trip Lampiran 11. Produksi ikan demersal tahun 2005 sebesar 2.496,4 ton dengan upaya penangkapan 88.076,5 trip. Tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan demersal telah mencapai 93,25, sedangkan upaya penangkapan telah berada pada tingkat 80,50 terhadap upaya optimum f
MSY
. Dibandingkan produksi dan upaya tahun 2005 masih lebih rendah, namun
kondisinya telah mendekati batas tangkapan lestari. Hubungan jumlah effort terhadap produksi Gambar 24, dan hubungan effort terhadap CPUE dengan
pendekatan Schaefer Gambar 25.
GRAFIK HUBUNGAN EFFORT DENGAN HASIL TANGKAPAN y = -0.0049x + 2976.8
R
2
= 0.0942
500 1000
1500 2000
2500 3000
3500
50000 100000
150000 200000
EFFORT CA
T C
H 2000
2003 2005
2004 1998
1999 1996
1997 2001
2002
Gambar 24 Hubungan upaya penangkapan, produksi pendekatan Schaefer
y = -3E-07x + 0,0526 R
2
= 0,6752
0,005 0,01
0,015 0,02
0,025 0,03
0,035 0,04
0,045
50000 100000
150000 200000
EFORT CP
U E
2000 1998
1999 2001
2003 2004
500 1000
1500 2000
2500 3000
3500
20000 40000
60000 80000 100000 120000 140000 160000 180000 200000
EFFORT PR
O D
U KSI
T O
N
1996 2002
2005
Gambar 25 Hubungan upaya dan CPUE dengan pendekatan Schaefer Adapun hubungan secara keseluruhan antara upaya, produksi, tingkat
pemanfaat, tingkat pengupayaan, MSY dan Fmsy ikan demersal dapat dilihat pada kurva
Gambar 26.
Pada Gambar 26 dapat dilihat produksi dan upaya penangkapan tahun 2005 belum mencapai batas optimum lestari. Namun pada
periode tahun sebelumnya yaitu 1996 2.979,1 ton, 1998 2.857,4 ton dan 1999 3.221,2 ton produksi hasil tangkapan ikan melebihi tingkat produksi optimum,
demikian pula pada upaya penangkapan pada tahun 2002 157.150,6 trip dan tahun 2003 116.817,4 trip.
Gambar 26 Status produksi dan upaya penangkapan ikan demersal di Teluk
Apar. MSY = 2.677,2 ton f
opt
= 101.717 trip
f
opt
= 101.717 MSY = 2.677
5.1.3 Produktivitas unit penangkapan
1 Purse seine gae
Perkembangan produksi dan upaya alat tangkap purse seine selama periode tahun 1996-2005 dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Purse Seine Tahun
Produksi ton Upaya trip
Produktivitas tontrip 1996 568,6
978 0,5814
1997 682,7 3.070
0,2224 1998 852,9
4.640 0,1838
1999 1.067,2 4.921
0,2169 2000 1.195,3
4.642 0,2575
2001 1.407,8 4.133
0,3406 2002 742,9
2.661 0,2792
2003 524,8 1.123
0,4673 2004 360,7
1.332 0,2707
2005 764,5 3.596
0,2125 Rata-rata 680,2
3109,6 0,3032
Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2005.
Tahun 1996-2001 produksi hasil tangkapan purse seine gae mengalami peningkatan dari 568,6 ton menjadi 1.407,8 ton. Peningkatan hasil tangkapan
pada periode tersebut didukung oleh meningkatnya jumlah alat tangkap purse seine
Tabel 13. Perkembangan selanjutnya dari tahun 2002-2005 produksi hasil tangkapan menurun hingga mencapai 1.407,8 ton dan terendah sebesar 360,7 ton
pada tahun 2004. Secara umum produksi hasil tangkapan purse seine terjadi penurunan Gambar 27.
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
1996 1997
1998 1999 2000
2001 2002 2003
2004 2005
Tahun Pr
od uk
s i
ton
Gambar 27 Perkembangan produksi purse seine
Upaya penangkapan pada alat tangkap purse seine secara umum menunjukkan trend perkembangan yang semakin menurun Gambar 28. Hal ini
bisa terjadi karena jumlah alat tangkap purse seine menurun sejak tahun 1999- 2005 Tabel 13. Selain itu juga karena faktor-faktor pada parameter oseanografi
mengalami dinamika setiap saat yang mempengaruhi kondisi perairan secara umum dan daerah penangkapan pada khususnya.
Pada Tabel 18 terlihat upaya penangkapan meningkat mulai tahun 1996- 1999 menacapi 4.921 trip. Tahun berikutnya upaya penangkapan terus
mengalami penurunan hingga tahun 2005 menjadi 3.596 trip. Namun upaya tersebut masih berada diatas rata-rata upaya penangkapan dalam kurun waktu
1996-2005 yaitu sebesar 7.909,6 trip.
500 1000
1500 2000
2500 3000
3500 4000
4500 5000
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Tahun Up
aya tr
ip
Gambar 28 Perkembangan upaya penangkapan purse seine
2 jaring insang hanyut
Produksi hasil tangkapan ikan dari alat tangkap jaring insang hanyut selama periode 1996-2005 mengalami penurunan Gambar 29. Produksi
tertinggi diperoleh pada tahun 1999 sebesar 950,1 ton sedang hasil tangkapan paling rendah sebesar 558,1 ton pada tahun 2003. Menurunnya produksi
berhubungan erat dengan perkembangan jaring insang hanyut. Pada tahun 1996- 2003 jumlah alat tangkap jaring insang hanyut menurun Tabel 13. Meskipun
antara tahun tersebut jumlahnya mengalami fluktuasi namun tidak melebihi jumlah alat tangkap pada tahun 1996 sebanyak 240 unit. Secara lengkap
pencapaian produksi hasil tangkapan selama tahun 1996-2005 disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Jaring Insang Hanyut Tahun
Produksi ton Upaya trip
Produktivitas tontrip 1996 906,7 15.255
0,0594 1997 789,8 14.473
0,0546 1998 840,1 13.692
0,0614 1999 950,1 13.580
0,0700 2000 599,1 15.223
0,0394 2001 718,9 16.861
0,0426 2002 684,9 22.545
0,0304 2003 558,1 15.972
0,0036 2004 627,7 10.008
0,0627 2005 727,9 11.786
0,0618 Rata-rata 690,3
14.939,5 0,0486
Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006.
100 200
300 400
500 600
700 800
900 1000
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Tahun P
ro duk
s i
ton
Gambar 29 Perkembangan produksi jaring insang hanyut Upaya penangkapan jaring insang hanyut tahun 1996-2000 turun dari
15.255 trip menjadi 15.223 trip. Tahun berikutnya meningkat mencapai 22.545 trip pada tahun 2002. Selanjutnya mulai tahun 2003-2005 upaya penangkapan
turun hingga 11.786 trip. Upaya tertinggi pada tahun 2002 sebesar 22.545 trip dan paling rendah pada tahun 2004 hanya sebesar 10.008 trip. Trend Upaya
penangkapan selama kurun waktu 1996-2005 cenderung turun Gambar 30.
7500 10000
12500 15000
17500 20000
22500 25000
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Tahun U
p ay
a tr
ip
Gambar 30 Perkembangan upaya penangkapan jaring insang hanyut
3 jaring insang tetap
Perkembangan kinerja produksi jaring insang tetap selama tahun 1996- 2005 menurun Gambar 31. Produksi tahun 2005 hanya sebesar 575,4 ton berada
dibawah rata-rata produksi jaring insang tetap. Produksi tertinggi tahun 1996 sebesar 705,4 ton sedangkan terendah mencapai 464,9 ton pada tahun 2003.
Perkembangan produksi dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Jaring Insang Dasar
Tahun Produksi ton
Upaya trip Produktivitas tontrip
1996 705,4 20.855 0,0338
1997 612,4 19.790 0,0309
1998 654,9 18.727 0,0350
1999 737,2 18.577 0,0397
2000 468,6 20.961 0,0224
2001 565,0 23.324 0,0242
2002 539,6 36.217 0,0149
2003 464,9 26.916 0,0173
2004 496,2 15.626 0,0318
2005 575,4 18.874 0,0305
Rata-rata 581,96 19.867
0,0280 Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten
Pasir, 2006
1250 1500
1750 2000
2250 2500
2750
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Tahun P
roduk s
i ton
Gambar 31 Perkembangan produksi jaring insang tetap Adapun perkembangan upaya penangkapan selama sepuluh tahun terakhir
sangat fluktuatif, namun cenderung meningkat Gambar 32. Pada empat tahun pertama sejak 1996-1999 terjadi penurunan upaya dari 20855 trip sampai 18577
trip. Upaya meningkat tahun 2000-2002 hingga mencapai 36217 trip. Periode tahun berikutnya upaya penangkapan turun hingga tahun 2005. Upaya tertinggi
dilakukan pada tahun 2002 sebesar 36.217 trip dan paling rendah pada tahun 2004 sebesar 15.626 trip.
12500 15000
17500 20000
22500 25000
27500 30000
32500 35000
37500
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun U
p ay
a tr
ip
Gambar 32 Perkembangan upaya penangkapan jaring insang tetap
4 jaring tiga lapis rengge gondrong
Alat tangkap jaring tiga lapis pada periode 1996-2005 menghasilkan produksi tertinggi sebesar 2.476,7 ton pada tahun 1999. Produksi terendah pada
kurun waktu yang sama terjadi pada tahun 2003 sebesar 1.546,6 ton Tabel 21. Kinerja produksi jaring tiga lapis secara umum menurun Gambar 33. Kondisi
demikian terjadi salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan jumlah alat
tangkap yang mengalami penurunan Tabel 13. Sejak tahun 1996-2003 jaring tiga lapis berjumlah 1.028 unit turun menjadi 928 unit. Peningkatan hanya terjadi
pada tahun 2004 akan tetapi kembali turun. Tabel 21 Produksi, upaya penangkapan dan produktivitas jaring tiga lapis
Tahun Produksi ton
Upaya trip Produktivitas tontrip
1996 2.265,4 20.855 0,0188
1997 1.959,9 19.790 0,0172
1998 2.196,2 18.727 0,0203
1999 2.476,7 18.577 0,0231
2000 1.566,4 20.961 0,0130
2001 1.883,0 23.324 0,0139
2002 1.797,6 36.217 0,0084
2003 1.546,6 26.916 0,0101
2004 1.652,1 15.626 0,0177
2005 1.915,7 18.874 0,0173
Rata-rata 1.925,96 12.758
0,0160 Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten
Pasir, 2006
450 500
550 600
650 700
750 800
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Tahun P
o rduk
s i
ton
Gambar 33 Perkembangan produksi jaring tiga lapis Hal yang sama juga terjadi pada perkembangan upaya penangkapan.
Tahun 1996-1999 upaya menurun dari 20855 trip menjadi 18577 trip. Selanjutnya tahun 2000-2003 terjadi penigkatan dari 20961 trip menjadi 26916
trip. Pada dua tahun terakhir periode 2004 dan 2005 kembali turun hinnga mencapai 18874 trip. Fluktuasi upaya penangkapan jaring tiga lapis menunjukkan
kecenderungan terjadi peningkatan Gambar 34. Upaya tertinggi sebesar 36.217 trip yang dilakukan pada tahun 2002, terendah pada tahun 15.626 tahun 2004.
50000 70000
90000 110000
130000 150000
170000 190000
210000
1996 1997 1998
1999 2000 2001
2002 2003 2004
2005
Tahun Up
a ya
tri p
Gambar 34 Perkembangan upaya penangkapan jaring tiga lapis
5 bagan tancap
Hasil tangkapan bagan tancap selama periode tahun 1996-2005 cenderung meningkat Gambar 35. Produksi tertinggi dicapai sebesar 888,7 ton pada tahun
2003. Kinerja terendah pada tahun 1997 dengan kontribusi produksi hanya sebesar 57,5 ton. Produksi tertinggi dihasilkan dari 79 unit bagan tancap dan
produksi terendah pada tahun 1997 merupakan produksi yang dihasilkan dari bagan tancap yang berjumlah 78 unit Tabel 13.
Jumlah bagan tancap yang menghasilkan produksi tertinggi dan terendah terlihat tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan produksi hasil tangkapan bukan
hanya ditentukan oleh satu faktor jumlah unit penangkapan. Perkembangan produksi dan upaya penangkapan bagan tancap selama periode tahun 1996-2005
seperti pada Tabel 22. Tabel 22 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Bagan Tancap
Tahun Produksi ton
Upaya trip Produktivitas tontrip
1996 72,3 14.969
0,0048 1997 57,5
12.761 0,0045
1998 65,4 10.555
0,0062 1999 90,4
9.640 0,0094
2000 140,1 11.714
0,0120 2001 161,0
13.653 0,0115
2002 136,0 13.298
0,2083 2003 888,7
13.984 0,2695
2004 535,9 10.119
0,0530 2005 144,4
10.045 0,0144
Rata-rata 229,2 9.773
0,0593 Sumber :
Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006
100 200
300 400
500 600
700 800
900 1000
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Tahun P
ro duk
s i
ton
Gambar 35 Perkembangan produksi bagan tancap Demikian pula halnya dengan upaya penangkapan alat tangkap bagan
tancap setiap tahun terjadi penurunan dari 14.969 trip tahun 1996 hingga 9.640 trip tahun 1999. Dua tahun berikutnya yaitu tahun 2000-2001 terjadi kenaikan
upaya masing masing sebesar 11.714 trip dan 13.984 trip. Upaya penangkapan selanjutnya turun kembali menjadi 653 trip tahun 2002. Pada dua tahun terakhir
yaitu 2004 dan 2005 upaya penangkapan meningkat dan diatas rata-rata upaya alat tangkap bagan tancap. Perkembangan upaya penangkapan bagan tancap secara
umum menunjukkan terjadinya penurunan Gambar 36.
5000 6500
8000 9500
11000 12500
14000 15500
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun U
p a
ya tri
p
Gambar 36 Perkembangan upaya penangkapan bagan tancap
6 rawai hanyut
Perkembangan produksi dan upaya penangkapan rawai hanyut dari tahun 1996-2005 disajikan pada Tabel 23. Secara umum kinerja alat tangkap rawai
hanyut dalam pencapaian produksi cenderung meningkat Gambar 37. Trend peningkatan produksi terjadi tahun 1996-2002 dari 23,8 ton hingga 86,9 ton.
Sampai dengan tahun 2005 hasil tangkapan turun hingga mencapai 75,2 ton. Produksi tertinggi rawai hanyut pada tahun 2002 sebesar 86,9 ton terendah
sebesar 23,8 ton tahun 1996. Tabel 23 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Rawai
Tahun Produksi ton
Upaya trip Produktivitas tontrip
1996 23,8 2.941 0,0081
1997 37,7 3.303 0,0114
1998 46,0 3.672 0,0125
1999 54,2 3.451 0,0157
2000 50,0 3.497 0,0143
2001 57,7 3.726 0,0155
2002 86,9 6.407 0,0284
2003 24,1 3.059 0,0015
2004 77,7 7.922 0,0098
2005 75,2 10.510 0,0072
Rata-rata 53,3 5.848
0,0124 Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten
Pasir, 2006
15 25
35 45
55 65
75 85
95
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
2003 2004 2005
Tahun P
rod uk
s i
ton
Gambar 37 Perkembangan produksi rawai Upaya penangkapan secara umum menunjukkan trend meningkat Gambar
38. Pada tahun 1996-2002 upaya penangkapan rata-rata hanya berkisar 3378 trip, upaya ini jauh berada dibawah rata-rata upaya penangkapan selama kurun waktu
1996-2005. Trip penangkapan tahun 2005 merupakan upaya penangkapan tertinggi yaitu sebesar 10.510 trip, dan trip terendah sebanyak 2.941 trip pada
tahun 1996.
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun U
p aya
tr ip
Gambar 38 Perkembangan upaya penangkapan rawai
7 jermal togo
Produksi hasil tangkapan jermal tertinggi dalam kurun waktu 1996-2005 yaitu pada tahun 1996 sebesar 8,3 ton Tabel 24. Pada perkembangan
selanjutnya produksi mengalami fluktuasi namun tidak melebihi jumlah produksi tahun 1996. Pada tahun 2002 merupakan produksi paling rendah yang dihasilkan
oleh unit penangkapan jermal sebesar 4,2 ton. Secara umum perkembangan kinerja unit penangkapan jermal dalam pencapaian produksi menurun Gambar
39. Tabel 24 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Jermal
Tahun Produksi ton
Upaya trip Produktivitas tontrip
1996 8,3 6.456 0,0013
1997 5,7 5.649 0,0010
1998 6,3 4.843 0,0013
1999 7,3 4.127 0,0018
2000 7,0 4.859 0,0014
2001 7,8 5.530 0,0014
2002 4,2 1.238 0,0034
2003 6,2 1.107 0,0056
2004 5,5 3.384 0,0016
2005 5,3 3.556 0,0015
Rata-rata 6,4 3.976
0,0035 Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten
Pasir, 2006
2 3
4 5
6 7
8 9
10
1996 1997 1998 1999 2000
2001 2002 2003 2004 2005
Tahun P
rod uk
s i
to n
Gambar 39 Perkembangan produksi jermal Hal yang sama terjadi pula pada upaya penangkapan, secara umum terjadi
penurunan Gambar 40. Walaupun terjadi fluktuasi upaya namun tidak melebihi jumlah upaya penangkapan pada tahun 1996 sebesar 6.546 Tabel 24. Upaya
tertinggi yang dilakukan yaitu pada tahun 1996 sebanyak 6.456 trip. Sedangkan upaya terendah pernah dilakukan dengan hanya sebesar 1.107 trip yaitu pada
tahun 2003.
500 1000
1500 2000
2500 3000
3500 4000
4500 5000
5500 6000
6500 7000
1996 1997 1998 1999 2000
2001 2002 2003 2004 2005
Tahun U
p aya
tr ip
Gambar 40 Perkembangan upaya penangkapan jermal
5.1.4 Analisis pasar
5.1.4.1 Pola pemasaran
Pemasaran merupakan keseluruhan kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang
dan jasa dari perikanan agar dapat memuaskan kebutuhan pembeli yang ada maupun potensial Swasta, 1981. Dengan demikian pemasaran hasil perikanan
dapat dipahami sebagai kegiatan ekonomi yang membawa atau menyampaikan
barang dari produsen dalam hal ini nelayan sampai ke konsumen baik industri pengolahan ikan maupun konsumen akhir.
Pemasaran hasil perikanan sebagai sub sistem ekonomi perikanan memegang peranan penting dalam pengembangan usaha perikanan dan
peningkatan nilai jual produksi perikanan. Para pihak yang berperan dalam pemasaran ikan di Teluk Apar yaitu nelayan, pedagang pengumpul, punggawa
juragan dan perusahaan. Banyaknya para pihak yang terlibat dalam pemasaran menyebabkan pola atau alur pemasaran ikan turut beragam. Keragaman tersebut
kemudian memberikan bentuk pola pemasaran khusus Gambar 41.
Gambar 41 Alur pemasan komoditi ikan di Teluk Apar Keterangan:
Alur pemasaran 1 Alur pemasaran 2
Alur pemasaran 3 Alur pemasaran 4
Alur pemasaran 1 nelayan yang memasarkan hasil tangkapannya kepada pengecer. Pada alur ini umumnya kuantitas produk yang dipasarkan sedikit dan
keuntungan yang di peroleh juga rendah. Pada alur 2 pihak yang sangat berperan adalah pedagang pengumpul dan punggawa juragan. Komoditi
perikanan yang telah mereka kumpulkan dari para nelayan kemudian dipasarkan di pasar lokal pengecer. Pola alur 2 jumlah ikan yang dipasarkan biasanya
terbatas tetapi mendapatkan keuntungan yang tinggi.
Nelayan Pengumpul
Punggawa
Pengecer Pengecer
Agen
Pedagang Antar PulauKota
Pengecer
Agen
Pedagang Antar PulauKota
Perusahaan Perusahaan
Konsumen
lokal regiona
l
ekspor
Alur pemasaran 3 nelayan menjual langsung hasil tangkapannya baik kepada pedagang pengumpul maupun punggawa. Pada pola ini nelayan
mendapatkan keuntungan sangat rendah tetapi sebaliknya kuantitas produk yang dipasarkan sangat tinggi. Kondisi yang sangat diharapkan oleh para nelayan
namun di rasakan masih sulit dapat terwujud seperti pada alur 4. Pada alur pemasaran 4 jumlah ikan yang dijual banyak dan keuntungan
yang diperoleh tinggi. Keadaan tersebut hanya dirasakan oleh para punggawa. Ikan yang terkumpul dipasarkan ke perusahaan, keluar kotapulau dan para agen
yang mewakili perusahaan. Beberapa jenis komoditi ikan yang dihasilkan di Teluk Apar dan harga rata-rata yang berlaku diwilayah studi Tabel 25.
Tabel 25 Jenis Ikan dan Harga Rata-rata Minimal Per Kilogram di Teluk Apar
No Nama Ikan Harga
Rpkg Pangsa Pasar
Umumlokal Latin
L R E 1 Tongkol
Auxis sp 8.000,-
2 Layang Decapterus
8.000,- 3 Tenggiri
Scomberomus commersoni 10.000,-
4 Kembung Rastrelliger spp
7.500,- 5 Selar
Selaroides spp 4.000,-
6 Teri Stelephorus spp
4.000,- 7 Tembang
Sardinella sp 6.500,-
8 Kakap Lates calcarifer
10.000,- 9 Sumbal
Eleutheronema sp
35.000,- 10 Bawal
Stromateus sp
20.000,- 11 Menangin
Eleutheronema tetradactylum 8.000,-
12 Trakulu Caranx
sp 7.000,-
13 Udang Windu
Penaeus monodon 70.000,-
14 Udang Putih
Penaeus merguensis 35.000,-
15 Udang Jari
Penaeus indicus longirostris 12.000,-
16 Udang Belang
Parapenaeopsis sculptisis 20.000,-
Sumber : Data primer diolah, 2007 Keterangan : L=Lokal; R= Regional; dan E= Ekspor
5.1.4.2 Permintaan pasar
Ikan merupakan salah satu komoditas unggulan yang memberikan kontribusi yang sangat besar dalam penyediaan protein hewani, oleh karenanya
ikan memiliki pangsa pasar yang sangat besar dan luas mulai dari daerah terpencil hingga kota-kota besar. Faktor kemudahan serta harga yang relatif terjangkau
menyebabkan ikan menjadi kebutuhan protein hewani favorit setiap keluarga, berbeda dengan sumber protein hewani lainnya seperti ayam dan sapi. Oleh
karena itu permintaan ikan terus mengalami peningkatan.
Peningkatan permintaan terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Hal ini dapat diketahui dari konsumsi per kapita per tahun terhadap
produk perikanan terus meningkat. Oleh karena itu dalam rangka pengembangan teknologi penangkapan perlu sekali dilakukan perhitungan peramalan dan prediksi
jumlah permintaan konsumsi ikan di suatu daerah. Beberapa asumsi yang digunakan dalam peramalan untuk menghitung
permintaan potensial penduduk Balikpapan dan Kalimantan Timur terhadap komoditi ikan dari Teluk Apar sebagai berikut.
1. Perhitungan permintaan potensial komoditi ikan diperoleh dari jumlah
penduduk di wilayah tersebut dikalikan dengan konsumsi ikan per kapita per tahun.
2. Data konsumsi ikan per kapita per tahun Kalimantan Timur diperoleh dari
Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur untuk kurun waktu 2003-2005. Data konsumsi ikan per kapita per tahun Balikpapan diperoleh
dari Kantor Perikanan dan Kelautan Balikpapan untuk kurun waktu tahun 2001-2005.
3. Konsumsi ikan per kapita Kalimantan Timur mulai tahun 2003-2005 yaitu
43,90 kgkapita; 45,94 kgkapita dan 47,96 kgkapita. 4.
Konsumsi ikan per kapita Balikpapan secara berturut-turut mulai tahun 2001- 2005 yaitu 25,30 kgkapita; 25,35 kgkapita; 26,03 kgkapita; 25,23 kgkapita
dan 26,79 kgkapita. 5.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah permintaan dianggap tetap kecuali konsumsi dan jumlah penduduk.
6. Data konsumsi ikan Kalimantan Timur dari tahun 1996-2002 menggunakan
data konsumsi ikan per kapita per tahun dari tahun 2003 7.
Data konsumsi ikan Balikpapan dari tahun 1996-2000 menggunakan data konsumsi ikan per kapita per tahun mulai tahun 2001
Balikpapan salah satu alternative kota tujuan pemasaran ikan. Aksesibilitas Balikpapan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
kabupatenkota lainnya yang ada di wilayah Kalimantan Timur. Satu diantaranya Balikpapan merupakan pintu gerbang arus perdagangan dan jasa baik melalui
jalur laut, udara maupun darat. Baik nasional, regional dan internasional.
Pemasaran ikan ke Balikpapan hampir terjadi setiap hari baik yang di bawa langsung oleh para punggawa maupun agen dari Teluk Apar. Jumlah
penduduk Balikpapan terus meningkat setiap tahun mengakibatkan jumlah konsumsi ikan juga mengalami peningkatan. Tabel 26 menunjukkan permintaan
potensial komoditi ikan penduduk Balikpapan tahun 1996-2005. Tabel 26 Pemintaan Komoditi Ikan Penduduk Balikpapan Tahun 1996-2005.
Tahun Jumlah penduduk
jiwa Konsumsi
kgkapitatahun Permintaan Potensial
kg 1996 417.834
25,30 10.571.200,2
1997 433.494 25,30
10.967.398,2 1998 439.079
25,30 11.108.698,7
1999 442.060 25,30
11.184.118,0 2000 410.119
25,30 10.376.010,7
2001 472.641 25,30
11.957.817,3 2002 482.573
25,35 12.233.225,6
2003 486.580 26,03
12.665.677,4 2004 495.314
25,23 12.496.772,2
2005 500.406 26,79
13.405.876,7 Sumber : Diolah dari data sekunder 2006
Kalimantan Timur secara umum juga menjadi tujuan pemasaran komoditi ikan dari Kabupaten Pasir Teluk Apar. Masyarakat Kalimantan Timur sangat
gemar mengkonsumsi ikan. Hal ini tercermin dari peningkatan konsumsi ikan di
Kalimantan Timur setiap tahun. Peningkatan permintaan terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Jumlah permintaan potensial komoditi ikan
masyarakat Kalimantan Timur periode 1996-2005 Tabel 27. Tabel 27 Pemintaan Potensial Kalimantan Timur Pada Komoditi Ikan Tahun
1996-2005. Tahun
Jumlah Penduduk jiwa
Konsumsi kgkapitatahun
Permintaan Potensial kg
1996 2.340.283 43.90
102.738.423,7 1997 2.441.017
43.90 107.160.646,3
1998 2.458.942 43.90
107.947.553,8 1999 2.525.480
43.90 110.868.572,0
2000 2.451.895 43.90
107.638.190,5 2001 2.489.988
43.90 109.310.473,2
2002 2.558.572 43.90
112.321.310,8 2003 2.704.851
43.90 118.742.958,9
2004 2.750.369 45.94
126.351.951,9 2005 2.848.798
47.96 136.628.352,1
Sumber : Diolah dari data sekunder 2006
5.1.4.3 Penawaran pasar
Penawaran ikan diperoleh dari data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur dan Kota Balikpapan. Produksi ikan Teluk
Apar selain untuk memenuhi kebutuhan lokal Kabupaten Pasir juga untuk memenuhi permintaan penduduk Balikpapan dan Kalimantan Timur.
Perkembangan produksi ikan Teluk Apar dan Balikpapan cenderung meningkat Tabel 28 demikian pula Kalimantan Timur Tabel 29. Prosentase kontribusi
produksi ikan Teluk Apar terhadap Balikpapan rata-rata sebesar 50,52 Tabel 28. Adapun rata-rata kontribusi produksi Teluk Apar terhadap Kalimantan Timur
sebesar 8,02 Tabel 29. Tabel 28 Jumlah Produksi Ikan Teluk Apar dan Balikpapan Tahun 1996-2005
Tahun Produksi kg
Kontribusi Teluk Apar Terhadap Balikpapan
Teluk Apar Balikpapan
1996 6.464.600 12.688.500 50,95
1997 5.829.200 12.376.000 47,10
1998 6.561.700 12.735.000 51,53
1999 7.582.200 12.599.000 60,18
2000 5.755.100 12.609.000 45,64
2001 6.891.700 12.788.000 53,89
2002 5.669.500 12.752.300 44,46
2003 6.893.600 12.986.000 53,09
2004 7.212.900 15.152.500 47,60
2005 6.662.500 13.118.000 50,79
Sumber : Diolah dari dinas Perikanan dan SDK Pasir dan kantor Perikanan dan Kelautan Balikpapan, 2006
Tabel 29 Jumlah Produksi Ikan Teluk Apar dan Kalimantan Timur Tahun 1996-2005
Tahun Produksi kg
Kontribusi Teluk Apar terhadap Kalimantan Timur
Teluk Apar Kalimantan Timur
1996 6.464.600 75.469,800
8,57 1997 5.829.200
74.689,500 7,81
1998 6.561.700 72.809,300
9,01 1999 7.582.200
78.933,700 9,61
2000 5.755.100 71.936,900
8,00 2001 6.891.700
82.714,500 8,33
2002 5.669.500 84.088,700
6,74 2003 6.893.600
87.803,800 7,85
2004 7.212.900 94.277,800
7,65 2005 6.662.500
99.691,800 6,68
Sumber : Data Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir 2006
5.1.4.4 Peramalan permintaan dan penawaran
Pasar adalah salah satu aspek yang perlu dipetimbangkan untuk melihat layak tidaknya usaha penangkapan sebelum dilakukan pengembangan usaha.
Aspek pasar secara garis besar meliputi dua hal pokok yaitu permintaan dan penawaran. Perikanan tangkap dinyatakan cukup atau sangat prospektif bila
jumlah permintaan lebih besar dari jumlah penawaran atau dapat pula diartikan dengan jumlah konsumsi ikan lebih besar dari jumlah produksinya.
Analisis dilakukan dengan metode peramalan forecasting data time series
dengan menggunakan teknik trend linier terhadap jumlah permintaan dan penawaran penduduk terhadap komoditi ikan. Hasil perhitungan dengan pola
trend linier dengan metode kuadrat terkecil diperoleh persamaan untuk peramalan
permintaan potensial penduduk Balikpapan yaitu : Y = 11771484 + 164982 x dengan nilai R
2
= 0,8116692 Lampiran 13. persamaan peramalan permintaan untuk daerah Kalimantan Timur yaitu:
Y = 113970843,3 + 1513200,057 x dan nilai R
2
= 0,7770566 Lampiran 15. Dengan menggunakan persamaan diatas untuk perhitungan proyeksi permintaan
ikan di Balikpapan dan Kalimantan Timur diperoleh hasil seperti pada Tabel Tabel 30.
Tabel 30 Proyeksi Permintaan Potensial Ikan di Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun 2006-2010
Tahun Proyeksi Permintaan Potensial kg
Balikpapan Kalimantan Timur
2006 13.586.282,4 130.616.043,9
2007 13.916.245,8 133.642.444,0
2008 14.246.209,2 136.668.844,2
2009 14.576.172,7 139.695.244,3
2010 14.906.136,1 142.721.644,4
Sumber: Diolah dari data sekunder 2007 Pada Tabel 30 prediksi permintaan konsumsi ikan di Balikpapan hingga
tahun 2010 mencapai 14.906.136,1 kg per tahun. Konsumsi ikan di Kalimantan Timur diproyeksikan pada tahun 2010 mencapai 142.721.644,4 kg per tahun.
Selain pada permintaan dilakukan pula peramalan terhadap penawaran. Tahap selanjutnya dilakukan perbandingkan penawaran dan permintaan untuk
mengetahui usaha penangkapan tersebut layak untuk dikembangkan.
Hasil perhitungan metode peramalan forecasting dengan menggunakan pola trend linier dengan metode kuadrat terkecil diperoleh persamaan untuk
penawaran ikan di Teluk Apar yaitu : Y = 6.552.300 + 25.833,3 x ; nilai R
2
= 0,0597 Lampiran 17. Balikpapan diperoleh persamaan yaitu :
Y = 1185640 + 154316,18 x ; nilai R
2
= 0,654026284 Lampiran 19 sedangkapan Kalimantan Timur persamaannya penawarannya yaitu :
Y = 82241580 + 1382821,81 x ; nilai R
2
= 0,7958 Lampiran 21. dari persamaan diatas diperoleh hasil proyeksi penawaran ikan dari Teluk Apar,
Balikpapan dan Kalimantan Timur pada periode 2006-2010 Tabel 31. Tabel 31 Proyeksi Penawaran Ikan dari Teluk Apar, Balikpapan dan Kalimantan
Timur Tahun 2006-2010 Tahun
Proyeksi Penawaran Ikan kg Teluk Apar
Balikpapan Kalimantan Timur
2006 6.836.466,3 13.554.418,0
97.452.619,9 2007 6.881.132,9
13.863.050,4 100.218.263,5
2008 6.939.799,5 14.171.682,8
102.983.907,2 2009 6.991.466,1
14.480.315,1 105.749.550,8
2010 7.043.132,7 14.788.947,5
108.515.194,4 Sumber: Diolah dari data sekunder 2007
Hasil analisis menunjukkan tingkat perkembangan penawaran komoditi ikan baik Teluk Apar, Balikpapan maupun Kalimantan Timur pada periode tahun
2006-2010 diproyeksikan mengalami peningkatan. Tahun 2010 penawaran Teluk Apar mencapai 7.043.132,7 kilogram sedang Balikpapan dan Kalimantan Timur
masing-masing mencapai 14.788.947,5 kilogram dan 108.515.194,4 kilogram. Sebagaimana disebutkan bahwa kelayakan usaha penangkapan ikan dapat
dilihat melalui metode peramalan dengan membandingkan permintaan potensial dan penawaran ikan pada masa akan datang. Hasil proyeksi permintaan potensial
dan penawaran ikan di Balikpapan dan Kalimantan Timur periode tahun 2006- 2010 Tabel 32 dan Tabel 33. Perbandingan proyeksi tingkat permintaan dan
penawaran komoditi ikan di Balikpapan dan di Kalimantan Timur seperti terlihat pada Gambar 42 dan Gambar 43.
Tabel 32 Perbandingan Proyeksi Permintaan, Penawaran dan Peluang
Pengembangan Produksi Ikan di Balikpapan Tahun 2006-2010. Tahun
Proyeksi kg Permintaan
Penawaran Peluang Pengembangan
2006 13.586.282,4 13.554.418,0 31.864,4
2007 13.916.245,8 13.863.050,4 53.195,4
2008 14.246.209,2 14.171.682,8 74.526,4
2009 14.576.172,6 14.480.315,1 95.857,5
2010 14.906.136,1 14.788.947,5 117.188,6
Sumber : Diolah dari data sekunder
13.000.000 13.250.000
13.500.000 13.750.000
14.000.000 14.250.000
14.500.000 14.750.000
15.000.000 15.250.000
2006 2007
2008 2009
2010
P e
rm in
ta a
n da
n P e
na w
a ra
n K g
Permintaan Penawaran
Gambar 42 Perbandingan permintaan dan penawaran ikan di Balikpapan Tabel
33 Perbandingan Proyeksi Permintaan, Penawaran dan Peluang Pengembangan Produksi Ikan Kalimantan Timur Tahun 2006-2010.
Tahun Proyeksi kg
Permintaan Produksi
Peluang Pengembangan 2006 130.616.043,9 97.452.619,9
46.484.494,5 2007 133.642.444,0 100.218.263,5
47.040.594,8 2008 136.668.844,2 102.983.907,2
47.596.695,1 2009 139.695.244,3 105.749.550,8
48.152.795,4 2010 142.721.644,4 108.515.194,4
48.708.895,8 Sumber : Diolah dari data sekunder
90.000.000 100.000.000
110.000.000 120.000.000
130.000.000 140.000.000
150.000.000
2006 2007
2008 2009
2010
P e
rm int
a a
n da
n P e
n a
w a
ra n
k g
Permintaan Penawaran
Gambar 43 Perbandingan permintaan dan penawaran ikan di Kalimantan Timur
5.1.5 Analisis finansial
Analisis finansial pada alat tangkap yang dioperasikan di Teluk Apar dilakukan dengan menggunakan beberapa asumsi. Tujuannya yaitu untuk
meminimalisir penyimpangan dari berbagai komponen analisis agar benefit dan cost
dari usaha penangkapan tersebut pada masa kini dan akan datang tetap relevan dengan waktu sekarang present time. Beberapa asumsi yang digunakan
pada uji kelayakan finansial usaha penangkapan di Teluk Apar antara lain : 1.
Harga setiap jenis ikan dan investasi perunit penangkapan merupakan harga rata-rata di lokasi studi.
2. Umur teknis usaha penangkapan ditetapkan selama 5-16 tahun berdasarkan
umur ekonomis dari komponen utama unit penangkapan. 3.
Nilai sisa dari usaha perikanan tangkap nol. 4.
Biaya investasi dan penyusutan adalah nilai rata-rata dari beberapa unit penangkapan.
5. Penerimaan kas masing-masing unit penangkapan ikan di peroleh dari
penjualan hasil tangkapan pertahun dan nilai penyusutan investasi pertahun. 6.
Tingkat diskonto atau Opurtunnity Cost of Capital OCC yang digunakan tingkat suku bunga kredit perbankkan di wilayah studi sebesar 17,75
7. Nilai produksi, investasi dan penerimaan pertahun masing-masing alat tangkap
secara lengkap pada Lampiran 24-30. 8.
Modal bersumber dari pembiayaan ponggawa juragan
Berdasarkan asumsi tersebut dilakukan uji kelayakan finansial secara parsial dengan 6 kriteria terhadap masing-masing unit penangkapan ikan yaitu
purse seine, jaring insang dasar, jaring insang hanyut, jaring tiga lapis, rawai
hanyut, jermal dan bagan tancap.
5.1.5.1 Keuntungan usaha
Pengembangan suatu usaha harus mengetahui dana investasi yang diperlukan. Pada studi ini investasi pada unit-unit penangkapan yang dibutuhkan
berbeda-beda tergantung jenis perahu, alat tangkap dan mesin. Rincian besarnya modal investasi usaha penangkapan ikan di Teluk Apar disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34 Modal Investasi Usaha Penangkapan Ikan di Teluk Apar
No Unit alat
tangkap JenisJumlah Investasi Rp
Jumlah Perahu
Mesin Alat tangkap
1. Purse seine
45.000.000,- 100.000.000,- 70.000.000,- 215.000.000,- 2 Jaring
insang hanyut 2.500.000,-
3.000.000,- 1.850.000,-
7.350.000,- 3 Jaring
insang dasar
4.000.000,- 2.500.000,- 22.500.000,- 29.000.000,-
4 Jaring tiga lapis
2.500.000,- 3.000.000,- 1.250.000,- 6.750.000,-
5 Rawai hanyut
2.500.000,- 3.000.000,-
3.500.000,- 9.000.000,-
6 Jermal 2.500.000,-
3.000.000,- 3.000.000,- 8.500.000,- 7 Bagan
tancap 2.500.000,-
3.000.000,- 6.800.000,- 12.300.000,-
Sumber: Data Primer Diolah 2007 Berdasarkan tabel diatas modal investasi usaha perikanan tangkap berkisar
antara Rp. 6.750.000,- hingga Rp. 215.000.000,-. Biaya investasi tertinggi pada unit penangkapan purse seine. Adapun untuk total biaya, penerimaan, keuntungan,
RC Ratio, Payback Period setiap unit penangkapan ikan di Teluk Apar dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35 Analisa Usaha Unit Penangkapan Yang Eksisting di Teluk Apar
No Unit alat
tangkap Penerimaan
Rpth Biaya
Rpth Keuntungan
Rpth PP
RC Ratio
1. Purse seine
105.000.000,- 54.060.000,-
50.940.000,- 4.22 1.94
2 Jaring insang. hanyut
22.815.000,- 18.045.000,-
4.770.000,- 1.54
1.26 3 Jaring
insang dasar 110.016.000,- 66.886.675,- 43.129.325,- 0.67 1.64
4 Jaring tiga lapis
31.920.000,- 16.652.500,-
15.267.500,- 0.44
1.91 5 Rawai
hanyut 18.018.000,- 16.333.350,- 1.684.650,- 5.35 1.10
6 Jermal 34.200.000,- 15.290.000,- 18.910.000,- 0.45 2.24
7 Bagan tancap
37.440.000,- 14.992.000,- 22.448.000,- 0.55 2.50
Sumber : Data Primer Diolah 2007 Keuntungan usaha penangkapan masing-masing unit penangkapan
diperoleh dari total penerimaan selama satu tahun dikurangi dengan biaya-biaya biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan selama satu tahun. Purse seine
merupakan unit penangkapan yang memperoleh keuntungan tertinggi yaitu
sebesar Rp. 50.940.000,- kemudian jaring insang dasar Rp. 43.129.325,- dan bagan tancap Rp. 22.448.000,-. Keuntungan terkecil dari unit penangkapan rawai
hanyut sebesar Rp. 1.684.650,-. Ditinjau aspek keuntungan semua unit penangkapan layak dikembangkan.
5.1.5.2 Imbangan penerimaan dan biaya R-C Ratio
Analisis imbangan penerimaan dan biaya dihitung berdasarkan perbandingan antara todal penerimaan yang dihasilkan selama 1 tahun dengan
total biaya yang dikeluarkan selama 1 tahun. Syarat layaknya usaha penangkapan dari tujuh jenis alat tangkap tersebut apabila nilai RC 1. Pada Tabel 34
menunjukkan kisaran nilai RC yaitu dari 1.10 sampai 2.50 semua unit penangkapan memenuhi kriteria layak. Nilai RC tertinggi pada unit penangkapan
bagan tancap 2.50 dan paling rendah rawai hanyut 1.10.
5.1.5.3 Waktu pengembalian modal payback period
Analisis dimaksudkan untuk mengetahui periode waktu yang diperlukan untuk menutup investasi. Analisis ini dihitung berdasarkan perbandingan nilai
investasi terhadap keuntungan. Kriteria kelayakan diambil dari masa pengembalian investasi yang tercepat, asumsinya bahwa modal investasi yang
telah dikembalikan dapat dikelola kembali pada usaha penangkapan sehingga dapat meningkatkan nilai keuntungan. Selain itu modal investasi juga dapat
digunakan untuk kegiatan usaha lain yang dapat memberikan keuntungan lebih. Semakin kecil nilai payback period semakin pendek, semakin baik usaha
tersebut berjalan, karena perputaran modal investasi menambah kinerja usaha. Hasil analisis pada Tabel 34 menunjukkan unit penangkapan jaring tiga lapis
memberikan masa pengembalian investasi tercepat 0.44 tahun. Waktu terlama yang dibutuhkan untuk pengembalian investasi pada unit penangkapan rawai
hanyut 5.35 tahun. Namun demikian semua unit penangkapan layak dikembangkan berdasarkan aspek waktu pengembalian modal.
5.1.5.4 Net Present Value
Analisis kelayakan pengembangan usaha penangkapan dari aspek finansial digunakan kriteria investasi yaitu NPV, Net BC dan IRR. Selengkapnya data
kelayakan finansial menurut kriteria investasi per unit penangkapan disajikan pada Tabel 36.
Tabel 36 Nilai Kriteria Investasi Unit Penangkapan Eksisting di Teluk Apar No Unit
penangkapan Kriteria investasi
NPV Rp Net BC
IRR 1.
Purse seine 101.192.099
1.47 28
2 Jaring insang hanyut
13.193.169 2.79
84 3
Jaring insang dasar 135.022.613
5.66 159
4 Jaring tiga lapis
56.596.973 9.38
296 5
Rawai hanyut - 403.182
0.96 16
6 Jermal 58.585.545
7.89 249
7 Bagan tancap
63.382.363 6.15
194 Sumber : Data Primer Diolah 2007
tidak layak Perhitungan nilai NPV menggunakan tingkat suku bunga 17.5.
Berdasarkan data pada Tabel 35 semua unit penangkapan memenuhi syarat kelayakan dengan nilai NPV 1 kecuali rawai hanyut. Nilai NPV terbesar pada
unit penangkapan jaring insang dasar Rp. 135.022.613,-. Kisaran nilai NPV dari semua unit penangkapan antara Rp. - 403.182,- hingga Rp. 135.022.613,-.
5.1.5.5 Net Benefit Cost Ratio Net BC
Net Benefit Cost dhitung dengan cara membandingkan antara total nilai
sekarang dari penerimaan bersih yang bersifat positif Bt–Ct0 dengan total nilai sekarang penerimaan bersih yang bersifat negative Bt–Ct 0. Selama usaha
penangkapan berlangsung nilai BC Ratio masing-masing unit penangkapan seperti pada Tabel 35. Hasil analisis Net BC dari semua unit penangkapan ikan
diperoleh kisaran nilai antara 0.96 – 9.38. Di perairan Teluk Apar jaring tiga lapis mempunyai nilai Net BC tertinggi yaitu sebesar 9.38. Data yang terlihat pada
Tabel 35, hasil perhitungan BC Ratio unit penangkapan rawai hanyut lebih kecil dari 1 0.96. Berarti pada kriteria ini rawai hanyut tidak layak.
5.1.5.6 Internal Rate of Return IRR
IRR menunjukkan kemampuan modal untuk memberikan benefit dalam bentuk diskonto dengan kriteria layak jika IRROCC opportunity cost of capital.
Perhitungan IRR untuk mengetahui besarnya tingkat suku bunga yang dapat menyebabkan NPV bernilai nol. Hasil perhitungan diperoleh nilai IRR masing-
masing unit penangkapan seperti terlihat pada Table 35. Berdasarkan data pada
Tabel 35 Jaring tiga lapis merupakan unit penangkapan dengan nilai IRR tertinggi 296, paling rendah yaitu rawai hanyut hanya sebesar 16. Pada kriteria IRR
nilai yang dihasilkan rawai hanyut lebih kecil dari suku bunga yang berlaku saat itu 17,5 dengan demikian maka rawai hanyut tidak memenuhi syarat kelayakan.
5.1.6 Urutan keunggulan unit penangkapan 5.1.6.1 Aspek biologi
Analisa aspek biologi meliputi selektifitas alat tangkap yaitu berdasarkan ukuran mata jaring mesh size setiap unit penangkapan ikan, kecuali pada rawai
hanyut secara langsung dengan kategori sangat selektif. Sejalan dengan pernyataan Monintja 1987 bahwa alat tangkap pancing, rawai, pancing tonda,
huhate pancing dasar sangat baik dikembangkan karena memiliki selektifitas tinggi. Mesh size semua unit penangkapan diperoleh dari hasil wawancara
dengan nelayan responden. Pada purse seine kantong 1 cm, jaring insang dasar 4 cm, jaring insang hanyut 4.5 cm, jaring tiga lapis inner net 1.5 cm, jermal 1
cm dan bagan tancap 0.50 cm. Penilaian terhadap selektifitas alat tangkap dilakukan dengan cara
pemberian skor kepada alat tangkap tersebut berdasarkan ukuran mesh size Nurani 1987 dan Purbayanto 1991. Kriteria selektifitas sebagaimana
tercantum dalam Tabel 37. Tabel 37 Kriteria Penilaian Selektifitas Alat Tangkap berdasarkan Mesh Size
Alat Tangkap di Teluk Apar. Mesh size X cm
Kategori Penilaian Skor
X ≤ 1.8 cm
Tidak selektif 1
1.8 X ≤ 3.6 cm
Kurang selektif 2
3.6 X ≤ 5.4 cm
Cukup selektif 3
X 5.4 cm Selektif
4 Analisis biologi lainnnya pada kriteria komposisi hasil tangkapan, lama
waktu musim penangkapan, lama waktu musim ikan. Pada kriteria komposisi hasil tangkapan X2 prioritas pertama pada jaring insang dasar dan jermal.
Berdasarkan lama waktu musim penangkapan X3 semua menjadi prioritas utama kecuali purse seine dan bagan tancap sedang menurut kriteria lama waktu musim
ikan X4 prioritas pertama pada unit penangkapan bagan tancap. Hasil selengkapnya pada Tabel 38.
Tabel 38 Penilaian Aspek Biologi Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar Unit Penangkapan
Kriteria Penilaian X1 UP1
X2 UP2 X3 UP3 X4 UP4
Purse seine 1 3 4 2 7 3 7 2
Jaring insang hanyut 3
2 3
3 12
1 4
3 Jaring insang dasar
3 2
6 1
12 1
4 3
Jaring tiga lapis 1
3 3
3 12
1 4
3 Rawai hanyut
4 1
4 2
12 1
4 3
Jermal 1 3
6 1
12 1
4 3
Bagan tancap
1 3 4 2 9 2 9 1 Keterangan :
X1 = Selektifitas alat tangkap X2 = Komposisi hasil tangkapan
X3 = Lama waktu musim penangkapan ikan X4 = Lama waktu musim ikan bulan
UP = Urutan prioritas
Hasil analisis penilaian terhadap aspek biologi unit penangkapan ikan setelah distandarisasi dengan menggunakan fungsi nilai, secara keseluruhan dapat
dilihat pada Tabel 39 berikut. Tabel 39 Standarisasi Aspek Biologi Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar
Unit Penangkapan
Kriteria Penilaian
UP V1X1 V2X2 V3X3 V4X4 V
A Purse seine
0.000 0.333 0.000 0.600 0.933 7 Jaring
insang hanyut 0.667 0.000 1.000 0.000 1.667 5
Jaring insang
dasar 0.667 1.000 1.000 0.000 2.667 1 Jaring tiga lapis
0.000 0.000
1.000 0.000
1.000 6
Rawai hanyut
1.000 0.333 1.000 0.000 2.333 2 Jermal
0.000 1.000 1.000 0.000 2.000 3 Bagan
tancap 0.000 0.333 0.400 1.000 1.733 4
Penilaian secara keseluruhan jaring insang dasar urutan prioritas pertama dengan nilai sebesar 2.667, kemudian rawai hanyut nilai 2.333 dan jermal urutan
prioritas ketiga 2.000.
5.1.6.2 Aspek teknis
Analisis unit penangkapan pada aspek teknis berkaitan dengan pengoperasian alat tangkap ikan apakah termasuk efektif atau tidak bila
dioperasikan. Beberapa kriteria yang digunakan yaitu produksi pertrip, jumlah bahan bakar minyak BBM pertrip, jumlah es batu pertrip, jumlah tenaga kerja
perunit penangkapan, kapasitas mesin penggerak dan ukuran kapal Tabel 40.
Tabel 40 Penilaian Aspek Teknis Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar
Unit Penangkapan
Kriteria Penilaian X1 UP1 X2 UP2
X3 UP3
X4 UP4 X5 UP5 X6 UP6
Purse seine
200.0
1
60 5 40 1
8 1
120 1 5 1
Jaring insang hanyut
19.5
4
10 3 5 3
1 3
22 3 1 3
Jaring insang dasar
38.2
3
40 4 10 2
2 2
24 2 3 2
Jaring tiga lapis
3.8
7
5 2 3 4
1 3
24 2 1 3
Rawai hanyut
16.5
5
10 3 5 3
1 3
24 2 1 3
Jermal
9.5
6
3 1 2 5
1 3
24 2 1 3
Bagan tancap
65.0
2
3 1 2 5
2 2
24 2 1 3
Keterangan : X1 = Produksi rata-rata pertrip kg
X2 = Jumlah BBM pertrip liter X3 = Jumlah es batu pertrip kg
X4 = Jumlah tenaga kerja perunit penangkapan X5 = Kapasitas mesin penggerak PK
X6 = Ukuran perahu; 7m=1 kecil; 7-10m=3 sedang; 10m=5 besar
Purse seine merupakan alat tangkap unggulan yang menempati prioritas
pertama pada kriteria produksi pertrip X1, penggunaan es batu pertrip X3, jumlah tenaga kerja X4, kapasitas mesin X5 dan ukuran perahukapal X6.
Adapun pada kriteria penggunaan BBM pertrip unit penangkapan jermal dan bagan tancap merupakan unit penangkapan unggulan dengan tingkat efisiensi
penggunaan bahan bakar yang paling tinggi. Urutan prioritas masing-masing unit penangkapan berdasarkan beberapa kriteria pada aspek teknis selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 39. Selanjutnya setelah dilakukan standarisasi dari ke lima kategori dengan
fungsi nilai diperoleh urutan prioritas Tabel 41. Unit penangkapan purse seine berada pada urutan pertama dengan nilai 5,000. Selanjutnya secara berurutan
diikuti oleh unit penangkapan bagan tancap dengan nilai 1,475 dan jaring insang dasar dengan nilai 1,083.
Tabel 41 Standarisasi Aspek Teknis Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar
Unit Penangkapan
Kriteria Penilaian V1X1
V2X2 V3X3
V4X4 V5X5
V6X6 VA UP
Purse seine 1.000
0.000
1.000 1.000
1.000 1.000 5.000 1
Jaring insang hanyut 0.080
0.122
0.078 0.000
0.000 0.000 0.280 7
Jaring insang dasar 0.175
0.035
0.210 0.143
0.020 0.500 1.083 3
Jaring tiga lapis 0.000
0.666
0.026 0.000
0.020 0.000 0.712 5
Rawai hanyut 0.065
0.122
0.078 0.000
0.020 0.000 0.285 6
Jermal 0.029
1.000
0.000 0.000
0.020 0.000 1.049 4
Bagan tancap 0.312
1.000
0.000 0.143
0.020 0.000 1.475 2
5.1.6.3 Aspek sosial
Analisa aspek sosial meliputi kriteria penilaian penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan orang X2, respon nelayan terhadap penerimaan alat tangkap
X1, kemampuan investasi untuk pemilikan alat tangkapX3, kemudaha pengoperasian X4 dan kemudahan pengadaan alat tangkap X5. Nilai yang
dimasukkan pada tiap kriteria berupa nilai secara kuantitatif dari hasil wawancara dan perhitungan yang dilakukan secara kualitatif berupa nilai dalam standar skala
subjektif. Berdasarkan jawaban yang dipilih responden pada saat wawancara diberikan skor nilai 1 – 3 - 5 Lampiran 41.
Tabel 42 Penilaian Aspek Sosial Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar
Unit penangkapan Kriteria Penilaian
X1 UP
X2 UP
X3 UP
X4 UP X5 UP
Purse seine 309.7 5 5 1 131.2 7
7.4 7 5.4 7
Jaring insang hanyut 340.8
3 1
2 312.9
2 42.6
3 42.6
3 Jaring insang dasar
346.2 2
1 2
163.4 4
35.3 4
29.3 4
Jaring tiga
lapis 387.1 1 1 2 329.0 1 238.1 1 235.6 1
Rawai hanyut
322.6 4 1 2 300.0 3 43.0 2 47.2 2 Jermal
307.5 6 1 2 160.2 5 10.8 5 9.3 5
Bagan tancap
248.4 7 1 2 144.1 6 8.1 6
6.9 6
Keterangan X1 = Respon penerimaan alat tangkap diinginkan= 5; diterima= 3; ditolak=1
X2 = Penyerapan tenaga kerja; 1-3=sedikit 1; 4-6=sedang 3; 7-9=banyak 5 X3 = Kemampuan investasi mampu=5 ; cukup = 3 ; tidak mampu = 1
X4 = Kemudahan pengoperasian mudah =5 ; sedang = 3; sulit = 1 X5 = Kemudahan pengadaan mudah = 5 ; sedang = 3 ; sulit = 1
UP = Urutan prioritas
Penilaian keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek sosial, jaring tiga lapis sebagai urutan prioritas pertama. Keunggulan alat tangkap tersebut
menempati urutan pertama dari beberapa kriteria yaitu pada respon penerimaan nelayan X1, kemampuan investasi X3 kemudahan pengoperasian X4 dan
pada kriteria kemudahan pengadaan X5. Adapun untuk kriteria jumlah tenaga kerja yang terserap perunit penangkapan X2 purse seine sebagai alat tangkap
prioritas utama Tabel 42. Setelah
dilakukan standarisasi
secara keseluruhan, keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek sosial adalah alat tangkap jaring tiga lapis dengan
nilai 4.000 sebagai prioritas utama. Selanjutnya unit penangkapan jaring insang hanyut dengan nilai 1.899 dan prioritas ke tiga rawai hanyut dengan nilai 1.724
Tabel 43.
Tabel 43 Standarisasi Aspek Sosial Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar
Unit Penangkapan Kriteria Penilaian
V1X1 V2X2 V3X3 V4X4 V5X5 V A UP
Purse seine 0.442 1.000 0.000 0.000 0.000 1.442
4 Jaring insang hanyut
0.666 0.000
0.919 0.153
0.162 1.899
2 Jaring insang dasar 0.705
0.143 0.163
0.121 0.104
1.236 5
Jaring tiga
lapis 1.000 0.000 1.000 1.000 1.000 4.000
1 Rawai
hanyut 0.535 0.000 0.853 0.154 0.182 1.724
3 Jermal 0.426
0.000 0.147
0.015 0.017
0.605 6
Bagan tancap
0.000 0.143 0.039 0.003 0.007 0.192 7
5.1.6.4 Aspek ekonomi
Keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek ekonomi menggunakan kriteria penilaian yaitu berdasarkan kriteria usaha dengan beberapa parameter
antara lain 1 keuntungan; 2 waktu pengembalian Payback period; 3 Imbangan penerimaan dan biaya RevenueCost Ratio; 4 penerimaan kotortrip
dan 5 penerimaan kotortenaga kerja. Adapun pada kriteria kelayakan investasi meliputi parameter 1 NPV; 2 IRR dan 3 BC Ratio.
a Aspek ekonomi berdasarkan kriteria usaha
Keunggulan unit penangkapan ikan di Teluk Apar dari aspek ekonomi kriteria kelayakan usaha penilaiannya dititik beratkan pada kriteria keuntungan,
waktu pengembalian Payback period, imbangan penerimaan dan biaya Revenue Cost Ratio
, Penerimaan kotor pertrip dan penerimaan kotor pertenaga kerja. Penilaian unit penangkapan berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, purse
seine sebagai unit penangkapan unggulan pertama pada kriteria keuntungan X1
dan penerimaan kotor pertrip X4. Pada kriteria waktu pengembalian X2 sebagai prioritas utama unit penangkapan jaring tiga lapis. Adapun bagan tancap
prioritas pertama pada kriteria imbangan penerimaan dan biaya X3, sedangkan keunggulan unit penangkapan ikan berdasarkan kriteria penerimaan kotor
pertenaga kerja X5 prioritas utama pada alat tangkap jermal Tabel 44. Tabel 44 Penilaian Aspek Ekonomi berdasarkan Kelayakan Usaha
Unit Penangkapan Ikan
Kriteria Penilaian
X1 UP1 X2
UP2 X3 UP3 X4 UP4 X5
UP5 Purse seine
50.940.000 1 4.22 6 1.94 3
1.500.000 1 187.500 3
Jaring insang hanyut 4.770.000
6 1.54 5 1.26
6
126.750 5 126.750 5
Jaring insang dasar 43.129.325
2 0.67 4 1.64
5
458.400 2 229.200 2
Jaring tiga lapis 15.267.500
5 0.44
1 1.91
4
95.000 7 95.000 7
Rawai hanyut 1.684.650
7 5.35 7 1.10
7
107.250 6 107.250 6
Jermal 18.910.100 4 0.45 2 2.24 2
237.500 4 237.500 1
Bagan tancap 22.448.000
3 0.55
3 2.50
1
260.000 3 130.000 4
Keterangan X1 = Keuntungan
X2 = Waktu pengembalian Payback period X3 = Imbangan penerimaan dan biaya RevenueCost Ratio
X4 = Penerimaan kotortrip Rp X5 = Penerimaan kotortenaga kerja Rp
Tabel 45 Standarisasi Penilaian dari Aspek Ekonomi berdasarkan Kriteria Usaha
Unit Penangkapan Ikan
Kriteria Penilaian
V X1 V X2
V X3 V X4
V X5 V A
UP Purse seine
1.000 0.231 0.600 1.000 0.616 3.447
1 Jaring insang hanyut
0.062 0.775
0.114 0.014
0.150 1.115
6 Jaring insang dasar
0.841 0.953
0.385 0.252
0.936 3.367
2 Jaring tiga lapis
0.275 1.000
0.578 0.018
0.198 2.069
5 Rawai hanyut
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
7 Jermal 0.349
0.997 0.814
0.093 1.000
3.253 3
Bagan tancap 0.421
0.977 1.000 0.110 0.175 2.683 4
Pada Tabel 45 penilaian terhadap aspek ekonomi pada kriteria usaha secara keseluruhan setelah dilakukan standarisasi unit penangkapan purse seine
sebagai prioritas utama dengan skor nilai 3.447. Urutan kedua jaring insang dasar dengan nilai 3.367 dan prioritas ketiga jermal dengan jumlah nilai 3.253.
b Aspek ekonomi berdasarkan kriteria kelayakan investasi
Analisis finansial terhadap kelayakan investasi usaha penangkapan ikan di Teluk Apar dilakukan bertujuan untuk mengetahui kelayakan kegiatan
penangkapan tersebut secara finance keuangan, dengan melihat besarnya kontribusi benefit yang diberikan dari usaha penangkapanyang dilakukannya
selama umur teknis usaha penangkapan tersebut masih berlangsung. Hasil analisis diperoleh nilai NPV X1 terbesar 135.192.099 sebagai
prioritas utama pada jaring insang dasar. Pada kriteria IRR X2 dan BC Ratio X3 jaring tiga lapis rengge gondrong sebagai urutan prioritas utama Tabel 46.
Tabel 46 Penilaian Aspek Ekonomi Pada Kriteria Kelayakan Investasi
Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian
X1 UP1 X2 UP2 X3 UP3
Purse seine 101.192.099
2 1.47 6 1.2 6
Jaring insang hanyut 13.193.169
6 2.79
5 2.1
5 Jaring insang dasar
135.022.613 1
5.66 4
5.3 4
Jaring tiga lapis 56.596.973
5 9.38
1 8.9
1 Rawai hanyut
- 403.182 7
0.96 7
0.6 7
Jermal 58.585.545 4
7.89 2
7.0 2
Bagan tancap 63.382.363
3 6.15
3 5.6
3
Keterangan : X1
= NPV Rp X2
= IRR X3
= BC Ratio
Setelah dilakukan standarisasi secara menyeluruh dengan tiga kriteria aspek kelayakan finansial, alat tangkap yang menjadi prioritas utama yaitu jaring
tiga lapis dengan jumlah nilai 2.417 prioritas kedua jaring insang dasar dengan jumlah nilai 2.124 dan alat tangkap jermal pada prioritas ketiga dengan jumlah
nilai 2,026 Tabel 47. Tabel 47 Standarisasi Aspek Ekonomi Pada Kriteria Kelayakan Investasi
Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian
V X1 V X2
V X3 VA
UP Purse seine
0.748 0.060 0.072 0.880
5 Jaring insang hanyut
0.095 0.217
0.180 0.492
6 Jaring insang dasar
1.000 0.558
0.566 2.124
2 Jaring tiga lapis
0.417 1.000
1.000 2.417
1 Rawai hanyut
0.000 0.000
0.000 0.000
7 Jermal 0.432
0.823 0.771
2.026 3
Bagan tancap 0.467
0.616 0.602
1.685 4
5.1.7 Determinasi keunggulan unit penangkapan ikan
Rangkuman keunggulan berdasarkan aspek biologi X1, teknis X2, sosial X3 dan ekonomi X4 unit penangkapan merupakan cakupan keseluruhan
aspek yang menjadi faktor penilaian. Tujuan determinasi unit penangkapan adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keunggulan
secara menyeluruh dari aspek-aspek tersebut sehingga cocok untuk dikembangkan. Hasil analisis skoring dilakukan terhadap 7 unit usaha penangkapan yang
dioperasikan di Teluk Apar disajikan pada Tabel 48. Tabel 48 Rangkuman penilaian Aspek Biologi, Teknis, Sosial dan Ekonomi
Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar
Unit Penangkapan Kriteria Penilaian
X1 UP X2 UP X3 UP
X4 UP X5 UP
Purse seine 0.933 7 5.000 1
1.442 4 3.447 1 0.880 5 Jaring insang hanyut
1.667 5 0.280 7 1.899 2 1.115 6 0.492 6
Jaring insang dasar 2.667 1 1.083 3
1.236 5 3.367 2 2.124 2 Jaring tiga lapis
1.000 6 0.712 5 4.000 1 2.069 5 2.417 1
Rawai hanyut 2.333 2 0.285 6
1.724 3 0.000 7 0.000 7 Jermal
2.000 3 1.049 4 0.605 6 3.253 3 2.026 3
Bagan tancap 1.733 4 1.475 2
0.192 7 2.683 4 1.685 4
Keterangan : X1 = Aspek biologi
X2 = Aspek teknis X3 = Aspek sosial
X4 = Aspek ekonomin kriteria usaha X5 = Aspek ekonomi kriteria investasi
Hasil standarisasi menunjukkan jaring insang dasar sebagai unit penangkapan prioritas utama dengan jumlah nilai 3,298 prioritas kedua jaring tiga
lapis dengan nilai 2.729 dan prioritas pengembangan ketiga alat tangkap purse seine d
engan nilai 2,692 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 49. Tabel 49 Standarisasi Penilaian Aspek Biologi, Teknis, Sosial dan Ekonomi
Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar
Unit Penangkapan Kriteria Penilaian
UP VX1
VX2 VX3
VX4 VX5 VA
Purse seine 0.000 1.000 0.328 1.000 0.364 2.692 3
Jaring insang hanyut 0.423 0.000 0.448 0.323 0.203 1.397 6
Jaring insang dasar 1.000 0.170 0.274 0.976 0.878 3.298 1
Jaring tiga lapis 0.038 0.091 1.000 0.600 1.000 2.729 2
Rawai hanyut 0.807 0.001 0.402 0.000 0.000 1.210 7
Jermal 0.615 0.162 0.108 0.943 0.838 2.666 4
Bagan tancap 0.461 0.253 0.000 0.778 0.697 2.189 5
5.2 Pembahasan 5.2.1 Status pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar
Penangkapan ikan pada dasarnya merupakan aktivitas eksploitasi sumberdaya ikan di laut. Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis secara
optimal dapat dilakukan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya tersebut dengan meningkatkan efisiensi eksploitasi yaitu pengoperasian alat tangkap yang
efektif teknologi, pengetahuan tentang sumberdaya ikan yang ditangkap jenis, penyebaran, prakiraan jumlah. Oleh karena itu informasi tentang keberadaan
sumberdaya suatu perairan laut sangat penting diketahui. Pemanfaatan sumberdaya perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi tangkap lebih.
Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan diketahui dengan terlebih dahulu mengetahui besarnya potensi sumberdaya stok. Menurut Azis 1989 dan
Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan 1998, estimasi stok ikan di Indonesia dilakukan dengan 6 metode pendekatan, yaitu sensustransek, sweept
area, akustik, production surplus, tagging dan ekstraintra-polasi. Diantara
keenam metode pendekatan tersebut, metode production surplus adalah relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaannya. Faktor penentu
keberhasilan penggunaan metode ini terletak pada keakuratan data yang digunakan. Metode production surplus menggunakan data time series hasil
tangkapan dan upaya penangkapan ikan. Dalam analsis status pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar,
digunakan metode production surplus. Diakui metode tersebut banyak menggunakan asumsi dalam perhitungannya. Stok sumberdaya ikan diasumsikan
sebagai suatu biomasa yang tidak berpedoman pada umur, ukuran panjang ikan dan jumlah biomassa suatu stok tetap meski ada aktivitas usaha perikanan.
Penggunaan metode production surplus dengan model Schaefer pada kondisi tertentu dapat digunakan untuk menghitung dan menentukan batas hasil tangkapan
yang diperbolehkan yaitu untuk memberikan kelongggaran bagi nelayan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang ada Zulkarnain dan Darmawan
1997. Hasil estimasi potensi sumberdaya MSY ikan pelagis dengan model
production surplus sebesar 2.039 ton dan estimasi upaya optimum 6.584 trip.
Dibanding produksi tahun 2005 1.712 ton, dengan upaya penangkapan sebesar 8.053 triptahun hasil estimasi menunjukkan tingkat pemanfaatan sumberdaya
ikan pelagis mencapai 83,96 lampiran 6. Tinjauan dari tingkat pemanfaatan, produksi hasil tangkapan ikan pelagis
belum mencapai batas tangkap lebih. Namun pengupayaan yang dilakukan telah melebihi batas optimum. Hubungan produksi yang dicapai dengan pengupayaan
yang dilakukan dapat dilihat dengan pendekatan Schaefer Gambar 19. Berdasarkan perhitungan regresi hubungan antara produksi dan upaya
penangkapan membentuk persamaan Y= 314,8 + 0,0695x ; R
2
=0,3072. Dari persamaan tersebut dapat diartikan bahwa dengan menambahkan satu satuan
upaya tangkap akan meningkatkan produksi sebesar 0,0695 ton. Peningkatan produksi yang dihasilkan dari penambahan upaya tidak selalu
diikuti oleh peningkatan produktifitas, hal ini dapat dilihat pada gambar 20. Hubungan yang terjadi menunjukkan perkembangan kearah negatif. Berdasarkan
perhitungan diperoleh persamaan regresi dari hubungan tersebut yaitu Y = 0,5878-0,0005x; R
2
=0,7284. Persamaan diatas dapat diartikan setiap penambahan satu satuan upaya penangkapan menyebabkan produktifitas unit
penangkapan turun sebesar 0,0005 ton. Bila dilakukan perbandingan terhadap dua keadaan diatas sebagai
konsekuensi dari upaya tangkap yang berlebih maka penurunan produktifitas unit penangkapan lebih besar dibanding dengan peningkatan hasil tangkapan.
Keadaan tersebut dapat dipahami mengingat jumlah nelayan terus meningkat secara tidak langsung akan berdampak terhadap jumlah alat tangkap, sementara
operasi penangkapan semua unit alat tangkap terfokus pada satu kawasan teluk. Seperti yang dikatakan Gulland 1983 meningkatnya jumlah kapal maka bagian
yang diperoleh dari masing-masing kapal produktifitas akan semakin kecil. Produksi ikan demersal tahun 2005 sebesar 2.496 ton atau 93,25 dari
nilai estimasi produksi lestari MSY 2.677 ton Lampiran 12. Produksi tersebut dihasilkan pada tingkat pengupayaan sebesar 81.885 trip atau 80,50 dari upaya
penangkapan optimum 101.717 trip. Aktual produksi maupun upaya penangkapan ikan demersal yang dilakukan belum melebihi batas produksi
maksimal lestari dan upaya optimum.
Meski demikian jika dicermati baik produksi yang telah dicapai maupun upaya tangkap yang telah dilakukan sudah mendekati batas lestari. Hal ini perlu
mendapatkan perhatian yang serius, mengingat trend jumlah penduduk pesisir nelayan semakin bertambah demikian pula alat tangkap yang digunakan.
Sedangkan semua aktifitas penangkapan terakumulasi pada satu area penangkapan. Jika pada kondisi tersebut aktifitas penangkapan terus dilakukan secara intensif,
dampak yang terjadi akan terlihat seperti pada gambar 24. Ilustrasi pada gambar tersebut menggambarkan hasil tangkapan yang terus
menurun meskipun dilakukan penambahan upaya penangkapan. Pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan secara terus menerus tanpa memperhatikan
ketersediaan stok akan dapat mengurangi daya dukung sumberdaya itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Naamin 1984 diacu
dalam Suman 2004 yang mengatakan bahwa penambahan jumlah upaya
penangkapan pada batas tertentu akan menyebabkan peningkatan produksi, tetapi apabila terus menerus terjadi penambahan upaya, maka pada suatu saat akan
terjadi penurunan stok. Secara matematis dampak yang ditimbulkan dapat diprediksikan melalui
persamaan regresi dari hubungan effort dan catch yaitu Y = 2976,8-0,0049x; R
2
= 0,0942. Persamaan diatas mengandung arti setiap penambahan satu satuan upaya penangkapan produksi akan turun sebesar 0,0049 ton. Fenomena yang
sama juga terjadi pada tingkat produktifitas yang semakin menurun dengan ditingkatkannya upaya penangkapan. Hal ini terlihat dari trend garis yang
terbentuk dari hubungan effort dan CPUE Gambar 25. Hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi yaitu Y = 0,0526-3E-07x; R
2
= 0,6752. Persamaan tersebut menggambarkan terjadinya penurunan produktifitas per unit penangkapan
sebesar 0,0007 tontrip setiap dilakukan penambahan upaya penangkapan. Mengacu kepada kondisi faktual tersebut sangat diperlukan kehati-hatian
dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, mengingat perikanan tangkap di perairan pesisir memiliki tingkat kompleksitas dan kerentanan yang tinggi baik secara
ekologi, sosial maupun ekonomi. Meskipun sumberdaya perikanan laut termasuk dalam kriteria sumberdaya yang dapat diperbaharui, akan tetapi pemanfaatannya
harus tetap rasional agar kesinambungan produksi dan kelestarian sumberdayanya tetap terjaga.
Aktualisasi dari upaya kehati-hatian dalam pemanfaatann sumberdaya ikan di Teluk Apar yaitu dilakukannya tata laksana mengenai sikap dan prilaku dalam
praktek yang bertanggung jawab dalam kegiatan perikanan tangkap. Upaya kongkritnya dapat dilakukan dengan mengacu kepada prinsip kehati-hatian
precautionary sebagaimana yang tertuang dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries
CCRF FAO, 1995. Inti dari prinsif tersebut pada penekanan pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi hingga 80 dari MSY.
Perhatian terhadap CCRF berimplikasi terhadap kebijakan pengembangan perikanan dimana target produksi ikan pelagis di Teluk Apar menjadi 1.631,2 ton
pertahun dengan upaya penangkapan 5.627 trip pertahun. Sedangkan pada sasaran sumberdaya ikan demersal menjadi 2.133,8 ton dengan tingkat
pengupayaan sebesar 81.373 trip. Walaupun ketentuan yang tercantum dalam CCRF bersifat tidak mengikat,
akan tetapi karena Indonesia Kabupaten Pasir bagian dari masyarakat dunia seyogyanya tidak mengabaikan prinsip-prinsip yang termuat dalam CCRF. Selain
karena memuat prinsip pengelolaan juga mengandung nilai-nilai keberlanjutan, baik sumberdaya ikan maupun usaha penangkapan itu sendiri. Oleh karena itu
pada masa akan datang target produksi dan upaya penangkapan dapat ditetapkan tidak melebih dari kondisi tersebut. Perbandingan tingkat pemanfaatan dan
pengupayaan pada kondisi lestari dan batas pemanfaatan sebagaimana dalam CCRF dapat dilihat pada Tabel 50.
Tabel 50 Perbandingan Pemanfaan dan Pengupayaan Pada Kondisi Aktual, Estimasi MSY dan Fopt dan CCRF 80
Komoditi Aktual 2005
Estimasi CCRF 80
Kondisi Catch Effort
MSY Fopt
MSY Fopt
Pelagis 1.712 8.053
2.039 6.584
1.631,2 5.627
over fishing Demersal 2.496
81.885 2.677
101.717 2.133,8
81.373 over fishing
Dibanding kondisi aktual perikanan tangkap tahun 2005 terhadap batasan pemanfaatan yang tertuang dalam CCRF, baik pada ikan pelagis maupun ikan
demersal di Teluk Apar telah mengalami tangkap lebih pada perairan dekat pantai. Besarnya laju pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dan demersal di Teluk Apar
diduga karena tekanan pemanfaatan sumberdaya di perairan tersebut yang dilakukan setiap hari telah melampaui daya dukungnya. Secara garis besar faktor
potensial penyebab besarnya tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar terbagi dua yaitu 1 faktor internal dan 2 faktor eksternal:
1 faktor internal : a Teknologi penangkapan dominan sederhana0
b Rendahnya produktifitas unit penangkapan
c Kemampuan modal untuk meningkatkan kapasitas armada
d Sumberdaya manusia
2 faktor eksternal yaitu :
a Fishing ground
b Peningkatan jumlah nelayan
c Peningkatan jumlah unit penangkapan
Bertitik tolak dari kondisi tersebut dimana pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis dan demersal telah melampaui batas pemanfaatan dalam
prinsif kebijakan pemanfaatan CCRF alternatif yang perlu dilakukan adalah : 1
Mengganti unit penangkapan yang tidak produktif dengan alat tangkap produktif.
2 Melakukan rasionalisasi unit penangkapan berdasarkan kapasitas daya
dukung sumberdaya yang ada di perairan tersebut. 3
Melakukan kontrol terhadap jumlah unit penangkapan. 4
Melakukan ekspansi fishing ground out shore.
5.2.2 Pola Pemasaran
Interaksi pemasaran ikan yang terjadi secara kontinue telah membentuk suatu pola alur yang secara umum dikenal dengan pola pemasaran. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui ada 4 alur pemasaran ikan di Teluk Apar. Masing- masing pola memiliki karakteristik khusus. Kondisi pada alur pemasaran 1
terjadi karena nelayan tidak dapat menetapkan harga yang kompetitif pada ikan yang dijual karena berharap dalam waktu yang cepat ikan terjual habis. Bila tidak
mengakibatkan kerugian karena penurunan mutu busuk. Nelayan tidak berusaha untuk mempertahankan mutu dengan petimbangan akan menambah biaya, yang
tidak sesuai dengan banyaknya ikan yang dijual. Oleh sebab itu ikan yang dijual pun dengan harga murah sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi sedikit.
Pada alur pemasaran 2 umumnya terjadi karena nelayan di Teluk Apar khususnya dan umumnya di Kabupaten Pasir memiliki keterkaitan dengan
ponggawa berupa pinjaman modal alat tangkap, kapal dan mesin sehingga harga yang berlaku harga yang ditetapkan oleh ponggawa. Berbeda dengan pedagang
pengumpul nelayan tidak melakukan pinjaman modal, akan tetapi karena hasil tangkapan dibayar secara tunai sehingga harga pada saat transaksi pun berada
dibawah harga yang berlaku secara umum pada saat itu. Pada kondisi demikian dapat dipastikan nelayan tetap menerima keuntungan yang rendah sekalipun
kuantitas barang yang ditawarkan banyak. Adapun pada alur pemasaran 3 disebabkan ketergantungan yang tinggi
oleh para pedagang pengecer di pasar lokal terhadap supply ikan dari ponggawa dan pedagang pengumpul. Pada kondisi dimana demand lebih tinggi dari pada
supply, dapat dipastikan harga yang berlaku pun menjadi tinggi. Secara otomatis
akan memberikan keuntungan yang tinggi bagi ponggawa dan pedagang pengumpul.
Kondisi ideal dan sangat diharapkan seperti pada pola D dimana kuantitas ikan yang dipasarkan dalam jumlah banyak dan keuntungan yang diperoleh besar.
Akan tetapi keadaan demikian hanya terjadi pada pemasaran ikan antara pedagang pengumpul dengan perusahaan dan antar kota atau ponggawa dengan perusahaan
dan antar kota. Seperti halnya alur pemasaran 3, pada alur 4 pemasaran dilakukan secara langsung tanpa keterlibatan nelayan. Tingginya keuntungan
yang diperoleh ponggawa dan pedagang pengumpul karena perusahaan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sediaan stok ikan dari punggawa dan
pedagang pengumpul. Dengan demikian menyebabkan ponggawa dan pedagang pengumpul memiliki bargaining position yang kuat dalam menentukan harga jual
komoditi yang ditawarkan. Dari ke-empat pola tersebut dapat dilihat tingginya faktor resistensi yang
terjadi pada usaha perikanan pantai skala kecil di Teluk Apar, yang sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Suatu ironi nelayan yang berada pada garis
terdepan dalam usaha perikanan tangkap memiliki posisi tawar bargaining position yang sangat lemah.
Ditinjau dari aspek ekonomi kelembagaan keterikatan nelayan dengan ponggawa adalah suatu hal yang wajar, karena hubungan tersebut adalah bentuk
hubungan yang paling optimal yang selama ini telah berlangsung. Dimana diantara ponggawa dan nelayan telah terjadi suatu kesepakatan yang mengatur hak
dan kewajiban antara keduanya. Kesepatan tersebut tentunya didasari oleh adanya kepentingan yang berbeda oleh kedua belah pihak. Akan tetapi ponggawa tidak
begitu saja memberikan pinjaman unit penangkapan tanpa adanya harapan keuntungan yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam kesepatan yang terjadi
adalah nelayan yang mendapatkan pinjaman melalui ponggawa harus menjual hasil tangkapannya kepada ponggawa selaku pemberi modalpinjaman dengan
harga yang disepakati. Setelah diperoleh gambaran hasil perhitungan estimasi tentang status
pamanfaatan sumberdaya, pola pemasaran komoditi ikan yang dihasilkan, kemudian dilakukan analisis kelayakan usaha penangkapan ikan dari masing-
masing unit penangkapan yang dominan dioperasikan di Teluk Apar.
5.2.3 Kelayakan usaha penangkapan ikan 1 Aspek pasar
Hal utama dan yang pertama menjadi fokus perhatian dalam rangka pengembangan dalam konteks apapun adalah kelayakan pasar permintaan dan
penawaran. Pada konteks ini pengembangan teknologi penangkapan ikan. Ikan sebagai produk utama yang dihasilkan oleh nelayan memiliki karakteristik khusus
yaitu komodoti yang cepat busuk perisable food. Berdasarkan pada sifat alamiahnya maka salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah tingkat
permintaan pasar dan tingkat penawaran. Usaha penangkapan dikatakan layak dari aspek pasar jika tingkat permintaan demand lebih tinggi dari tingkat
penawaran supply. Hasil perhitungan dengan metode peramalan forecasting dari data time
series diperoleh persamaan permintaan potensial penduduk Balikpapan yaitu :
Y = 11771484 + 164982 x; R
2
= 0,811 ini berarti bahwa 81,1 variabel devenden dapat dijelaskan dengan variable indevenden. Artinya terdapat hubungan yang
nyata antara time series xi dengan jumlah permintaan potensial Balikpapan yi. Permintaan potensial di Kalimantan Timur dapat dilihat dari persamaan yang
dihasilkan yaitu Y = 113970843,3 + 1513200,057 x; R
2
= 0,777 artinya 77,7 variable devenden dapat dijelaskan dengan variabel indevenden, atau dapat
dikatakan antara time series xi dan jumlah permintaan potensial penduduk Kalimantan Timur terdapat hubungan yang nyata.
Persamaan untuk produksi ikan di Balikpapan yaitu : Y = 11856940 + 154316x; R
2
= 0,654 artinya 65,4 variabel devenden dapat dijelaskan dengan variabel indevenden, berarti terdapat hubungan nyata antara
time series xi dan data produksi ikan Balikpapan yi. Kalimantan Timur
diperoleh persamaan Y = 82241580 + 1382821,81x ; R
2
= 0,795 berarti bahwa 79,5 variabel devenden dapat dijelaskan dengan variabel indevenden yang
berarti bahwa secara statistik terdapat hubungan yang nyata antara time series xi dan data produksi ikan Kalimantan Timur yi.
Setelah dilakukan perbandingan antara permintaan Balikpapan dan Kalimantan Timur terhadap penawaran komoditi ikan dari Teluk Apar diperoleh
nilai permintaan lebih besar dari penawaran. Hal ini berarti usaha penangkapan ikan di Teluk Apar layak dan berpeluang untuk dipasarkan dan dikembangkan di
Balikpapan dan Kalimantan Timar. Hal ini diperkuat oleh pendapat Subagyo, 2007 yang mengatakan peluang pasar muncul bila terjadi axces demand, yaitu
jumlah permintaan lebih besar dibanding jumlah penawaran. Setelah dilakukan analisa kelayakan dari aspek pasar kemudian dilanjutkan dengan tinjauan
kelayakan dari asfek finansial.
2 Aspek finansial
Enam kriteria yang digunakan dalam penilaian kelayakan dari aspek finansial masing-masing unit penangkapan. Pada beberapa kriteria tertentu semua
unit penangkapan memenuhi syarat kelayakan. Pada kriteria keuntungan, RC Ratio dan PP semua unit penangkapan layak. Besarnya keuntungan dipengaruhi
oleh hasil tangkapan dan biaya usaha yang dikeluarkan. Nilai RC selain dipengaruhi oleh jumlah hasil tangkapan, biaya usaha yang dikeluarkan juga harga
ikan. Adapun pada waktu pengembalian dipengaruhi oleh faktor penerimaan dan biaya yang diterima dan dikeluarkan selama usaha berlangsung.
Nilai pada kriteria NPV yang dihasilkan oleh semua unit penangkapan menunjukkan bahwa semua unit penangkapan tersebut layak dikembangkan
kecuali rawai hanyut demikian pula pada kriteria IRR dan net BC unit penangkapan rawai hanyut masing-masing memperoleh nilai 16 dan 0,96.
IRR menggambarkan nilai keuntungan internal dari investasi yang ditanamkan. Dari nilai IRR yang diperoleh unit penangkapan rawai hanyut
memberikan gambaran bahwa modal investasi yang ditanamkan tidak mampu memberikan keuntungan diskonto sebesar nilai IRR tersebut lebih kecil dari
bunga kredit perbankkan. Adapun kecilnya nilai net BC Ratio pada unit penangkapan rawai hanyut mengindikasikan biaya investasi yang harus
dikeluarkan tinggi agar usaha penangkapan dapat berlangsung. Besaran nilai NPV, IRR dan net BC sangat dipengaruhi oleh hasil tangkapan yang diperoleh
dan biaya yang dikeluarkan. Setelah dilakukan analisis kelayakan dari aspek pasar dan finansial
berikutnya menentukan jenis teknologi penangkapannya. Pemilihan teknologi penangkapan ikan yang tepat unuk diterapkan dalam rangka pengembangan
perikanan tangkap perlu mempertimbangkan 1 teknologi yang ramah lingkungan 2 teknologi yang secara teknis dan ekonomis menguntungkan, Monintja 2003
dan 3 teknologi berkelanjutan Nurani, 2002.
5.2.4 Kriteria keunggulan unit penangkapan 1
Aspek biologi
Keunggulan unit penangkapan dari aspek biologi fokus penilaian pada selektifitas alat tangkap, kriteria komposisi jenis hasil tangkapan, lama musim ikan dan lama
musim penangkapan ikan Tabel 37. Berdasarkan Tabel 38 penilaian aspek biologi unit penangkapan ikan dengan menggunakan fungsi nilai jaring insang
dasar sebagai prioritas pertama rawai hanyut posisi kedua dan jermal pada urutan
ketiga
a. Selektifitas alat
tangkap Unit penangkapan pada kriteria selektifitas alat tangkap rawai hanyut sebagai
prioritas pertama, jaring insang dasar kedua dan jaring insang hanyut urutan ketiga. Jika di lakukan pengklasifikasian akan terlihat bahwa sebagian besar alat
tangkap berkantong seperti purse sene, bagan tancap dan jermal dan yang menyaring hasil tangkapan kurang selektif dibanding alat tangkap lain.
b. Komposisi hasil tangkapan Komposisi hasil tangkapan jaring insang dasar dan jermal menjadi
prioritas pertama. Hal ini berkaitan dengan kondisi fisik perairan Teluk Apar, sungai-sungai yang mengalir bermuara ke Teluk Apar menjadikan produktifitas
perairan menjadi tinggi sehingga menghasilkan produktifitas perikanan juga tinggi. Di tinjau dari sistem rantai makanan di perairan pantai pada lapisan-
lapisan permukaan, fitoplankton, zooplankton ukuran kecil hingga besar kemudian ikan semuanya menghasilkan sisa buangan yang cukup besar yang jatuh
ke dasar. Hal ini mendukung bagi komunitas invertebrata yang memakan detritus tersebut, sehingga kemudian menjadikan ikan-ikan komersial menjadi tertarik.
Berkaitan dengan kondisi tersebut serta dihubungkan dengan metode pengoperasian jaring insang dasar dan jermal terutama di perairan dasar, maka
tidak saja ikan-ikan yang hidup didasar tetapi pada ikan-ikan pelagis pun pada saat tertentu terkonsentrasi di dasar karena tertarik oleh sumber makanan yang
tersedia cukup besar. Menurut Pauly dkk 2003 pemanfaatan perikanan terkonsentrasi pada perairan dangkal dengan kedalaman antara 0-200m. Itulah
sebabnya mengapa pada kriteria komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang dasar dan jermal menjadi prioritas utama diantara unit penangkapan lainnya.
b. Lama Musim Penangkapan Musim penangkapan merupakan kurun waktu tertentu ada dan tidaknya
hasil tangkapan pada waktu proses penangkapan. Musim penangkapan berhubungan erat dengan aktifitas penangkapan sehingga musim dapat
berpengaruh terhadap jumlah tangkapan. Oleh karena itu musim menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produktifitas unit penangkapan.
Unit penangkapan yang menjadi unggulan utama pada kriteria ini adalah jaring insang hanyut, jaring insang dasar, jaring tiga lapis, rawai hanyut dan
jermal. Masing-masing unit penangkapan tersebut dioperasikan selama 12 bulan pertahun Tabel 38. Dilihat dari lama musim penangkapan ikan dengan rata-rata
4 bulan pertahun tentu agak sukar untuk dapat diterima. Tetapi satu hal bahwa kondisi demikian terjadi karena nelayan yang mengoperasikan unit penangkapan
tersebut tidak memiliki substitusi usaha. Meskipun dalam perhitungan musim puncak telah berlalu mereka tetap melakukan aktivitas penangkapan walau hasil
yang diperoleh berbeda. Faktor utama karena desakan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta adanya keterkaitaan pinjaman modal dengan
ponggawa yang harus dilunasi. c. Lama Musim Ikan
Pada unit penangkapan purse seine dan bagan tancap tidak dioperasikan setiap saat. Kedua alat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dengan jenis-
jenis alat tangkap yang unggul pada kriteria lama musim penangkapan . Purse seine
hanya dioperasikan selama 7 bulan pertahun, hal ini dilakukan dengan tujuan agar kepadatan schooling ikan disekitar rumpon tetap stabil. Berbeda
dengan bagan tancap yang pengoperasiannya sangat bergantung dengan kondisi bulan. Pada kriteria lama musim ikan bagan tancap menjadi prioritas utama
karena lama musim ikan tergantung pada peredaran bulan terang dan gelap. Berdasarkan hasil standarisasi pada kriteria selektifitas alat tangkap, komposisi
jenis hasil tangkapan, lama musim penangkapan dan lama musim ikan, unit penangkapan prioritas utama pada jaring insang dasar.
2 Aspek teknis
Aspek teknis merupakan aspek yang berhubungan dengan pengoperasian alat tangkap ikan, apakah alat tersebut efektif atau tidak bila dioperasikan. Purse
seine sebagai unit penangkapan yang paling produktif menangkap ikan dan layak
untuk dikembangkan. Keunggulan purse seine pada beberapa kriteria yaitu : a produksi rata-rata pertrip; b jumlah es batu pertrip; c kapasitas mesin penggerak
dan d ukuran perahukapal. Haluan dan Nurani 1988 menyatakan unit penangkapan purse seine adalah unit penangkapan ikan pelagis yang paling
produktif. Lebih lanjut Dahuri 2003 mengatakan salah satu ciri teknologi penangkapan ikan modern adalah produktivitasnya tinggi.
Meskipun pada aspek biologi purse seine sebagai prioritas akhir dan merupakan unit penangkapan yang tergolong tidak selektif, namun dari berbagai
data dan informasi belum ditemukan tingkat kerusakan sumberdaya ikan sebagai akibat dari pengoperasian alat tersebut. Di Teluk Apar penangkapan ikan dengan
purse seine menggunakan alat bantu berupa rumpon, pada malam hari
menggunakan alat bantu lampu light fishing. Keunggulan
lain purse seine
adalah kemampuan terhadap daya serap tenaga kerja yang lebih tinggi dibanding alat tangkap lain. Hal ini memberikan
kesempatan luas bagi anggota keluarga nelayan yang tidak memiliki pekerjaan. Sejalan dengan pendapat Monintja 2003 bahwa pengembangan suatu alat
tangkap dari sisi sosial adalah ketersediaan tenaga kerja. Lebih lanjut Monintja 1994 menambahkan teknologi pukat cincin purse seine merupakan alternatif
terbaik untuk dikembangkan karena sesuai dengan salah satu kriteria unit penangkapan ikan yang dapat menyerap tenaga kerja yang banyak.
Diantara berbagai keunggulan terdapat pula beberapa kelemahan unit penangkapan purse terutama jika ditinjau dari kriteria respon nelayan baik
kemampuan investasi, kemudahan pengoperasian dan kemudahan pengadaan. Berdasarkan perhitungan dengan fungsi nilai pada kriteria tersebut purse seine
berada pada urutan akhir. Rendahnya tingkat responsibilitas nelayan terhadap purse seine
disebabkan karena alat tangkap tersebut membutuhkan biaya investasi yang sangat mahal diantara jenis alat tangkap yang dioperasikan di Teluk Apar.
Investasi yang demikian tinggi berdampak terhadap tingkat kemampuan dan jumlah pemilikan alat tangkap dimana hanya nelayan dan punggawa tertentu.
Oleh karena itu tanpa adanya dukungan pemerintah dirasakan sangat sulit bagi masyarakat nelayan skala kecil dapat berinvestasi pada usaha penangkapan
dengan purse seine
3 Aspek sosial
Secara umum pada aspek sosial jaring tiga lapis trammel net sebagai prioritas unggulan pertama pada fokus kriteria respon penerimaan nelayan,
kemampuan investasi, kemudahan pengoperasian dan kemudahan pengadaan unit penangkapan. Hasil jajak pendapat dengan responden dengan 3 pilihan jawaban
yang diberi skor 1 – 3 – 5 Lampiran 31, menunjukkan jaring tiga lapis unggul pada kriteria-kriteria tersebut. Indikator untuk mengetahui sejauh mana
penerimaan suatu unit penangkapan pada satu kawasan perairan Teluk Apar adalah proporsi jumlah unit penangkapan yang ada.
Tahun 2005 jumlah unit penangkapan di Teluk Apar sebanyak 2.307 unit, 44 diantaranya 1017 unit adalah jaring tiga lapis. Hal ini berarti bahwa
nelayan sangat responsif terhadap unit penangkapan tersebut karena alat yang dimiliki dan digunakan dominan jaring tiga lapis. Tingginya angka kepemilikan
jaring tiga lapis di banding alat tangkap lain karena faktor modal investasi yang paling terjangkau dan memiliki peluang yang besar untuk dimiliki oleh nelayan
dibanding alat tangkap lain. Keberadaan alat tangkap yang didominasi oleh salah satu jenis diantara
berbagai alat tangkap yang dioperasikan pada suatu perairan, terutama perairan pantai menggambarkan alat tangkap tersebut mendapat respon yang positif
sekaligus sebagai refleksi terhadap kemampuan nelayan untuk berinvestasi pada alat tangkap tersebut. Selain itu juga karena secara teknis mudah dioperasikan.
Dengan harga yang relatif murah tentu demand unit penangkapan tersebut juga tinggi. Tingginya permintaan unit penangkapan akan direspon pasar dengan
supply yang sesuai dengan tinggkat kebutuhan, sehingga nelayan memperoleh
kemudahan untuk mendapatkannya. Hal terpenting yang menjadi daya tarik nelayan terhadap kepemilikan alat
tangkap jaring tiga lapis selain hal-hal tersebut diatas yaitu jenis target hasil tangkapan. Udang merupakan komoditi ekspor sehingga memiliki harga jual
tertinggi dibanding komoditi lain. Nelayan berprinsif bahwa meskipun hasil tangkap yang diperoleh dalam jumlah sedikit akan tetapi hasil penjulan yang
diterima lebih tinggi dan biaya operasional yang dikeluarkan pada saat melakukan operasi penangkapan masih terjangkau. Hasil standarisasi fungsi nilai pada
kriteria aspek sosial jaring tiga lapis sebagai prioritas utama selanjutnya jaring insang hanyut prioritas kedua dan prioritas ketiga pada unit penangkapan rawai
hanyut selengkapnya pada Tabel 43.
4 Aspek ekonomi
a Kelayakan usaha Tinjauan aspek ekonomi pada kelayakan usaha khususnya pada kriteria
keuntungan, purse seine sebagai prioritas pertama. Keuntungan yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh jumlah hasil tangkapan yang kemudian menentukan
besarnya penerimaan pertahun perunit penangkapan dan total biaya yang
dikeluarkan pertahun Lampiran 32. Pada kriteria waktu pengembalian PP jaring tiga lapis sebagai prioritas pertama, hal ini disebabkan biaya investasi unit
penangkapan jaring tiga lapis lebih kecil dibanding unit penangkapan lainnya. Selain itu hasil tangkapannya adalah komoditi ekspor dengan harga rata-rata
perkilogram cukup tinggi. Dari hasil yang diperoleh memberi peluang bagi nelayan untuk mengembalikan biaya inestasi dalam waktu yang relatif cepat.
Secara umum kriteria RC Ratio pada semua unit penangkapan menunjukkan kategori layak. Pada Tabel 45 nilai RC Ratio semua unit
penangkapan lebih besar dari 1, yang membedakan adalah besaran RC Ratio masing-masing unit penangkapan. Pada kriteria tersebut unit penangkapan bagan
tancap sebagai prioritas utama dengan nilai RC Ratio terbesar diantara unit penangkapan lain.
Pada kriteria penerimaan kotor pertrip purse seine sebagai unit unggulan utama. Keunggulan purse seine pada kriteria ini disebabkan karena produksi hasil
tangkapan pertrip lebih tinggi diatas produksi alat tangkap lainnya. Adapun pada kriteria penerimaan pertenaga kerja jermal sebagai alat tangkap unggulan.
Beberapa faktor pendukung keunggulan jermal pada kriteria ini adalah jenis komoditi yang tertangkap memiliki harga rata-rata pperkilogram yang relatif lebih
tinggi, karena sebagian species yang tertangkap merupakan komoditi ekspor. Selain itu pada pengoperasian jermal umumnya cukup hanya dilakukan oleh satu
orang tenaga kerja, sehingga tidak ada bagi hasil dengan tenaga lainnya kecuali dengan punggawa juragan selaku pemilik modal.
Secara keseluruhan unit penangkapan yang paling unggul dari aspek ekonomi ditinjau dari kriteria kelayakan usaha adalah purse seine. Hal ini dapat
dipahami karena purse seine merupakan unit penangkapan yang paling produktif. b Kelayakan finansial
Kelayakan finansial pada kriteria NPV, jaring insang dasar sebagai prioritas utama. Hal ini dapat dilihat dari akumulasi keuntungan yang diperoleh
lebih besar dari unit penangkapan lain. Pada kriteria ini semua unit penangkapan layak. Berdasarkan kriteria IRR unit penangkapan jaring tiga lapis menjadi
prioritas utama, karena keuntungan yang diperoleh lebih tinggi dari bunga kredit yang telah diasumsikan. Meskipun alat tangkap lain juga memperoleh nilai IRR
lebih besar dari bunga kredit, tetapi prosentase nilai IRR jaring tiga lapis lebih besar dibanding unit penangkapan lain. Pada kategori ini rawai hanyut tidak layak,
karena keuntungan yang diperoleh lebih kecil dari bunga kredit perbankkan. Kelayakan finansial pada kriteria BC Ratio semua unit penangkapan layak
kecuali rawai hanyut. Dari ketujuh unit penangkapan, jaring tiga lapis menduduki posisi unggulan pertama. Hal ini disebabkan rasio keuntungan yang diperoleh
selama aktifitas usaha tersebut berlangsung paling besar signifikan terhadap investasi yang dikeluarkan pada usaha tersebut. Selanjutnya berdasarkan hasil
standarisasi secara menyeluruh pada kriteria kelayakan finansial, jaring tiga lapis sebagai unit penangkapan prioritas utama
5.2.5 Determinasi pengembangan teknologi penangkapan
Hasil standarisasi unit penangkapan unggulan terpilih jaring insang dasar, jaring tiga lapis dan purse seine. Masing-masing sebagai prioritas pertama, kedua
dan ketiga sebagai alternatif pengembangan unit penangkapan ikan di Teluk Apar Tabel 49. Keunggulan unit penangkapan tersebut secara umum adalah:
pertama target species jaring insang dasar adalah ikan-ikan demersal. Jenis ikan dominan yang tertangkap merupakan komoditi yang bernilai ekonomis
penting. Pada jaring tiga lapis species target adalah udang sehingga meskipun hasil tangkapan yang diperoleh lebih rendah namun hasil penerimaan lebih tinggi
karena harga perkilogram lebih tinggi. Kedua
: investas unit penangkapan khususnya jaring insang dasar dan jaring tiga lapis relatif lebih rendah dibandingkan dengan purse seine, sehingga
kemampuan berinvestasi dan peluang kepemilikan unit penangkapan tersebut lebih besar dibanding dengan unit penangkapan purse seine meskipun tingkat
produktifitas purse seine lebih tinggi. Ketiga
: hal mendasar yang menjadi acuan dalam upaya pengembangan suatu alat tangkap di sutau daerah adalah respon masyarakat setempat terhadap
alat tangkap yang akan dikembangkan. Penerimaan masyarakat pada suatu alat tangkap menjadi sangat penting dan menjadi faktor penentu meskipun pada aspek
tertentu alat tersebut tidak diunggulkan. Berbagai kasus terjadi di berbagai daerah pesisir, adanya insentif yang diberikan oleh pemerintah dengan nilai investasi
yang cukup besar baik berupa kapal maupun alat tangkap, akan tetapi tidak
dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan setempat hingga unit penangkapan tersebut rusak. Oleh karena itu respon masyarakat terhadap sutau alat tangkap
menjadi pertimbangan penting. Hal ini sesuai dengan pendapat Monintja 1986 aspek terpenting yang perlu diperhatian dalam pengembangan suatu alat tangkap
adalah penerimaan oleh nelayan dan dalam pengoperasiannya tidak menimbulkan friksi atau keresahan nelayan yang telah ada. Oleh karena itu dalam rangka
orientasi pengembangan teknologi penangkapan ikan tepat guna ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi di Teluk Apar ketiga alat tangkap
tersebut paling tepat untuk menjadi pilihan pengembangan dan untuk menggantikan unit penangkapan lainnya.
Ditinjau berdasarkan urutan prioritas masing-masing aspek dan kriteria, keunggulan unit penangkapan sangat beragam dan tidak didominasi hanya satu
jenis alat tangkap. Hal ini mengindikasikan bahwa masing-masing alat tangkap memiliki kelebihan dan kekurangan. Unit penangkapan unggulan tidak dapat
dilihat secara parsial. Akan tetapi keunggulan dari semua aspek dan kriteria. Hasil tersebut dapat dilihat dari hasil standarisasi secara keseluruhan terhadap
semua aspek yang menjadi indikator penilaian. Adapun unit penangkapan unggulan yang dapat dikembangkan adalah unit penangkapan yang menjadi
prioritas pertama, kedua dan ketiga. Berdasarkan hasil standarisasi seluruh aspek jaring insang dasar, jaring
tiga lapis dan purse seine masing-masing sebagai alternatif prioritas pengembangan. Pengembangan alat tangkap baik jaring insang dasar maupun
jaring tiga lapis seharusnya disertai pula dengan peningkatan kapasitas armada penangkapan sehingga operasi penangkapan dapat dilakukan dengan radius yang
cukup jauh dan tidak terfokus diperairan pantai. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengoperasian alat tangkap perlu ditunjang dengan mekanisasi alat
berupa net hauler yang bertujuan untuk meringankan, memudahkan juga untuk mempercepat kerja nelayan pada saat setting dan hauling. Selain itu untuk
meningkatkan produktifitas hasil tangkapan juga unit penangkapan tersebut perlu dilengkapi dengan alat deteksi ikan fish finder
5.3 Peluang pengembangan perikanan tangkap di Teluk Apar
Peningkatan jumlah penduduk berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan protein hewani, salah satunya yang bersumber dari ikan. Hasil analisis
terhadap permintaan dan penawaran komoditi ikan yang dilakukan di Balikpapan dan juga Kalimantan Timur menunjukkan bahwa pemasaran hasil tangkapan
nelayan berpeluang dikembangkan ke daerah tersebut. Hal ini secara tidak langsung sebagai isyarat bagi peluang pengembangan perikanan tangkap di Teluk
Apar. Meskipun pada hasil analisis menunjukkan bahwa hasil tangkapan aktual
tahun 2005 telah melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan yaitu 80 dari MSY. Kondisi tersebut terbatas dalam kawasan perairan Teluk Apar, karena
aktifitas penangkapan semua unit penangkapan dilakukan diperairan tersebut. Oleh karena itu usaha perikanan tangkap masih berpeluang dikembangkan. Teluk
Apar merupakan bagian kecil dari perairan laut Kabupaten Pasir. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2005 tentang Otonomi Daerah dimana
batas kewenangan pengelolaan Kabupaten sejauh 4 mil laut. Bertolak dari batas kewenangan tersebut masyarakat nelayan masih memungkinkan untuk melakukan
ekspansi penangkapan tidak hanya terbatas pada daerah pantai disekitar Teluk Apar yang hanya berjarak 2 mil.
Ikan merupakan sumberdaya yang memiliki keunikan serta karakteristik khusus dibanding sumberdaya lainnya yaitu sebagai sumberdaya milik bersama
commen property dan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja open acces. Oleh karena itu pemanfaan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh nelayan tidak hanya
terbatas disekitar perairan Teluk Apar akan tetapi dapat dilakukan diluar perairan laut kabupaten Pasir sebagaimana yang telah dilakukan oleh nelayan-nelayan
andon dari berbagai daerah yang telah melakukan usaha penangkapan ikan di perairan kabupaten Pasir.
Peningkatan produksi perikanan tangkap Teluk Apar tidak dilakukan dengan menambah unit-unit penangkapan akan tetapi yang paling tepat yaitu mengganti
unit-unit penangkapan yang kurangtidak produktif dengan unit penangkapan yang lebih produktif. Hal ini mengingat upaya yang dilakukan telah melebihi
upaya optimum. Bila kondisi demikian terjadi menurut Dahuri 2003 adalah
dengan mengendalikan intensitas dan teknis penangkapan sesuai dengan potensi lestarinya agar keseimbangan stok ikan dan tingkat pemanfaatan terjaga.
Jaring insang
dasar merupakan unit penangkapan unggulan yang tepat dikembangkan. Kebijakan penambahan jaring insang dasar untuk menggantikan
unit penangkapan lain yang kurang produktif perlu dilakukan secara hati-hati. Hal ini seperti yang dikatakan Wisudo et al 2003 bahwa untuk meningkatkan
produksi dibidang perikanan adalah dengan penerapan teknologi modern pada sarana dan teknis yang digunakan, dalam hal ini termasuk unit penangkapan.
Peningkatan produksi tidak selalu akan memberikan hasil atau pendapatan yang tinggi akan tetapi perlu dibutuhkan pula strategi dalam pemasaran produk yang
dihasilkan. Keberhasilan perikanan tangkap tidak hanya dilihat dari aspek produksi,
akan tetapi bagaimana produk yang dihasilkan tersebut dapat dipasarkan dengan baik serta dengan harga yang layak. Untuk sampai pada tujuan tersebut sangat
ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur, diantaranya jalan. Diantara enam desa yang ada disekitar Teluk Apar baru satu desa yang memiliki aksesibilitas jalan
yang cukup memadai yaitu Desa Lori. Keberadaan jalan sangat menentukan perkembangan roda perekonomian di
suatu wilayah termasuk desa-desa disekitar Teluk Apar. Sebagai ilustrasi sebelum terbukanya akses jalan menuju kawasan Teluk, nelayan yang akan pergi ke
ibukota kabupaten hanya menggunakan kapal dengan waktu tempuh rata-rata 10 jam. Namun setelah terbangunnya inprastruktur jalan waktu yang dibutuhkan
± 2-3 jam. Faktor pendukung lain dalam rangka pengembangan perikanan tangkap
adanya pabrik es. Es merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi usaha penangkapan ikan. Ikan memiliki sifat karakteristik khusus yaitu cepat
busuk perisable food. Oleh karena itu keberadaan es sangat menentukan kualitas komoditi ikan yang dipasarkan. Kualitas ini pula selanjutnya menentukan
besar kecilnya tingkat harga yang ditawarkan dan penerimaan dari hasil penjualan. Pada Tahun 2006 Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Timur
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir melalui Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir dalam pembangunan 1 unit pabrik es
di kawasan Teluk Apar yaitu di Desa Lori. Pembangunan pabrik es tersebut dengan tujuan untuk memenuhi permintaan es yang cukup tinggi yang selama ini
masih dipenuhi dari ibukota kabupaten.
5.4 Kendala pengembangan perikanan tangkap di Teluk Apar