Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan

16 contoh, gejala diare berdarah dapat disebabkan oleh adanya penyakit shigellosis ataupun campylobacteriosis Black et al., 1988; Wallis, 1994. Untuk tujuan surveilan, kasus penyakit akibat pangan didefinisikan menurut status diagnosis. Berdasarkan status diagnosisnya, kasus penyakit akibat pangan terbagi dalam dua kategori yaitu : a Kasus penyakit yang bersifat dugaan suspected case Kasus penyakit yang bersifat dugaan adalah kasus penyakit akibat pangan dimana penetapan agen penyebab penyakit tersebut hanya berdasarkan dugaan suspected dari gejala klinis yang ada, tanpa dilengkapi dengan hasil analisis spesimen dari laboratorium, sehingga diagnosis yang ada tidak pasti unconfirmed. b Kasus penyakit yang bersifat tetap confirmed case Kasus penyakit yang bersifat tetap adalah kasus penyakit akibat pangan yang didiagnosis secara klinis oleh petugas kesehatan dokter dan dilengkapi dengan hasil pengujian spesimen oleh laboratorium untuk menentukan agen penyebab penyakit tersebut secara pasti confirmed. Pendefinisian kasus penyakit akibat pangan ini berkontribusi dalam menyediakan data kasus penyakit akibat pangan yang ilmiah. Data yang ilmiah tersebut merupakan salah satu pendukung dasar evidence base penetapan kebijakan, disamping landasan non ilmiah Sparringa, 2002.

3. Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan

Penyakit akibat pangan sebagai salah satu masalah keamanan pangan di Indonesia akan menjadi ‘bom waktu’ yang dapat ‘meledak’ sewaktu-waktu bila tidak tertangani dengan baik. Pola pelaporan penyakit akibat pangan mengikuti pola ‘gunung es’ yaitu suatu pola dimana kasus penyakit akibat pangan yang terlapor sangat sedikit dan berada pada puncak gunung atau permukaan saja, sedangkan data kasus yang sebenarnya terjadi jauh lebih besar dari keadaan yang ada di permukaan Rocourt et al., 2003. Keadaan ini dapat dilihat pada kejadian maupun kasus busung lapar yang sedang di sorot banyak media akhir-akhir ini. Pola pelaporan kasus penyakit akibat pangan ini dapat dilihat pada Gambar 1. 17 Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat banyak informasi yang hilang pada setiap langkah sebelum kasus terlaporkan pada institusi kesehatan yang berwenang health authority untuk dijadikan sebagai sumber informasi dalam surveilan kasus penyakit akibat pangan. Sebagian besar kasus penyakit akibat pangan yang terlaporkan saat ini, merupakan kasus yang masih bersifat syndromic, artinya hanya berdasarkan gejala klinis dan belum terkonfirmasi dengan uji laboratorium sehingga jenis penyakit yang terlapor belum jelas berdasarkan agen penyebabnya, misal: listeriosis, salmonellosis. Meskipun beberapa kasus penyakit wajib untuk dilaporkan, tetapi dalam kenyataannya belum terimplementasi dengan baik. Pada umumnya hanya kasus yang bersifat ‘sporadic’ dengan kondisi atau gejala kasus yang parah saja terlaporkan secara lengkap dibandingkan data kasus penyakit akibat pangan dengan gejala ringan, misalnya diare. Sebagai konsekuensinya, banyak kasus tidak terlaporkan dan menjadi masalah utama dalam analisis dan interpretasi data, sehingga informasi yang dihasilkan kurang representatif. Populasi masyarakat Terlapor Pada Departemen Kesehatan Kasus terkonfirmasi Pengujian laboratorium Pengumpulan spesimen Penderita yang mendapatkan perawatan medis Orang yang menderita penyakit akibat pangan Sumber : Rocourt et al. 2003 Gambar 1 . Piramida beban penyakit akibat pangan 18 Gambar 2 di atas dapat menunjukkan lemahnya sistem surveilan panyakit akibat pangan di Indonesia. Saat ini Badan POM RI melalui Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan telah mengembangkan sistem penanganan, penanggulangan maupun pelaporan kejadian luar biasa KLB keracunan pangan, khususnya yang bersifat point sources atau “point sources foodborne disease outbreak”. Data KLB keracunan pangan tersebut hanya menggambarkan sedikit potret keamanan pangan yang ada di Indonesia. Sedangkan kasus penyakit akibat pangan sporadis yang sering terjadi dengan jumlah korban yang jauh lebih besar dan mempunyai potensi KLB belum diketahui dengan pasti. Hal ini terjadi karena lemahnya sistem surveilan penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia. Untuk mendukung surveilan kasus penyakit akibat pangan tersebut diperlukan adanya perangkat pendukung yang baik, salah satunya Sumber : Majowicz 2001 Keterangan : warna putih menunjukkan “tidak ada data” kasus penyakit akibat pangan Gambar 2 . Peta angka insiden kasus penyakit akibat pangan foodborne disease di dunia 19 dengan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan dari rumah sakit, puskesmas, klinik maupun pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat secara terpadu. Blok putih pada Gambar 2 diatas menunjukkan bahwa data kasus penyakit akibat pangan foodborne disease di Indonesia belum tersedia, sehingga belum dapat diakses oleh masyarakat luas, baik masyarakat internasional maupun regional ASEAN. Bila dibandingkan dengan negara- negara asia lainnya, surveilan kasus penyakit akibat pangan foodborne disease case surveillance di Indonesia masih lemah, sama halnya dengan negara-negara dunia ketiga yang ada di benua Afrika dengan blok putih. Untuk itu diperlukan usaha yang sangat besar dari pemerintah untuk terus meningkatkan surveilan penyakit akibat pangan di Indonesia.

4. Penyakit Akibat Pangan yang Wajib Dilaporkan