66 signifikan. Gambar 21 juga menunjukkan bahwa pada tahun 1999, penyakit
hepatitis A menimbulkan tingkat fatalitas yang paling tinggi yaitu lebih dari 10 dari kasus hepatitis A yang ada meninggal dunia.
Gambar 22 menunjukkan bahwa diare dan gastroenteritis serta kolera dari tahun 1998 sampai 2003 rata-rata mempunyai nilai CFR kurang dari 5,
kecuali pada tahun 1999 mencapai lebih dari 10. Dibandingkan lima kasus penyakit akibat pangan sebelumnya tifoid dan paratifoid, amubiasis,
sigelosis, hepatitis A serta infeksi usus lainnya, penyakit diare dan gastroenteritis serta kolera mempunyai nilai CFR yang jauh lebih tinggi. Oleh
karena itu, diperlukan perhatian yang serius dari semua pihak terkait untuk mengurangi angka kematian akibat kedua jenis kasus tersebut. Interpretasi
tersebut harus dilakukan secara hati-hati karena data CFR ini hanya didasarkan pada data kematian kasus rawat inap yang ada di rumah sakit.
Sedangkan pada data kasus dengan rawat jalan, tidak terlaporkan data kematian kasus akibat foodborne disease. Hal itu, merupakan salah satu
kekurangan sistem surveilan penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia.
3. Admission Rate Kasus Penyakit Akibat Pangan
Gejala dan efek penyakit akibat pangan dapat ringan sampai berat, dari sakit yang mengharuskan kasus menjalani perawatan secara intensif dengan
rawat inap maupun gejala ringan yang dapat diatasi cukup dengan rawat jalan. Pada kasus dengan rawat jalan terdapat istilah ‘kasus baru’, ‘jumlah
kunjungan’ serta ‘angka kunjungan’ admission rate. Kasus baru adalah kasuspasien yang untuk pertama kali berkunjung ke rumah sakit dengan
penyakit akibat pangan tertentu dan tercatat dalam rekam medis medical record
untuk selama periode waktu tertentu yang ditentukan oleh dokter sesuai diagnosis yang dilakukan dokter Nur Khoirimah, personal
communication , 2005. Untuk selanjutnya, apabila kasus berkunjung dengan
penyakit atau gejala yang sama dan pada periode waktu yang sama sesuai ketentuan dokter, maka pasien tersebut disebut sebagai kasus lama. Sedangkan
angka kunjungan adalah perbandingan antara jumlah kunjungan kasus baru dan kasus lama dengan jumlah kasus baru.
67
1,35 1,00
1,70 1,70
1,00 1,05
1,42 1,04
1,71 1,60
0,04 0,22
1,31 1,71
1,24 1,22
1,26 1,34
1,21 1,06
2,11 1,91
1,59 1,73
2,01 3,01
0,0 0,5
1,0 1,5
2,0 2,5
3,0 3,5
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
Tahun Adm
issi on Rat
e A
R
kolera tifoid dan paratifoid
sigelosis amubiasis
hepatitis A
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI 1998-2003
1,20 1,33
12,07
1,34 1,22
1,30 2,23
1,94 1,48
1,26 1,55
1,32 2
4 6
8 10
12 14
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
Tahun Ad
mi ss
io n
Rat e
A R
diare dan gastroenteritis infeksi usus
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI 1998-2003
Semakin tinggi nilai admission rate AR, berarti jumlah kasus yang berkunjung kasus baru dan kasus lama ke rumah sakit dengan jenis penyakit
tertentu semakin besar. Peningkatan nilai admission rate tersebut lebih
Gambar 24 . Admission rate AR kasus diare dan gastroenteritis
serta infeksi usus di rumah sakit
Gambar 23 . Admission rate AR kasus penyakit akibat pangan
di rumah sakit dengan nilai AR 3,5
68 ditentukan oleh peningkatan jumlah kasus lama yang berkunjung ke rumah
sakitdokter dengan penyakit tertentu. Gambar 23 menunjukkan bahwa selama
tahun 1998-2003 rata-rata setiap kasus penyakit akibat pangan kolera, tifoid dan paratifoid, sigelosis, amubiasis, serta hepatitis A berkunjung ke rumah
sakitdokter sebanyak satu sampai dua kali, kecuali pada tahun 2003 kasus hepatitis A mempunyai angka kunjungan sebesar 3 kali. Gambar 24
menunjukkan admission rate dua jenis penyakit akibat pangan tersebut yaitu diare dan gastroenteritis serta infeksi usus lainnya rata-rata mempunyai angka
kunjungan relatif admission rate sebesar 2 kali selama periode tahun 1998- 2003, kecuali pada tahun 2000 angka kunjungan relatif untuk kasus diare
sebesar 12 kali.
E. MANAJEMEN PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN