64 Penyakit tifoid merupakan penyakit akibat pangan utama di negara-
negara berkembang dan kini telah menjadi masalah global. Angka insiden kasus tifoid berbasis data rumah sakit di Indonesia dari tahun 1998-2003, rata-
rata sebesar 83.2 kasus100.000 penduduktahun, dengan kisaran antara 48.89 sampai 131.19 kasus100.000 penduduktahun. Angka insiden kasus tersebut
sangat mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan negara maju, misal angka kasus tifoid di Inggris adalah sebesar 1 kasus100.000 penduduktahun.
Bahkan nilai tersebut melebihi angka insiden rata-rata di negara berkembang yaitu antara 15 kasus100.000 penduduktahun di Amerika Latin dan 100
kasus100.000 penduduktahun di negara-negara benua Asia Singh, 2001. Bila dibandingkan dengan kelima jenis penyakit akibat pangan diatas
amubiasis, sigelosis, kolera, hepatitis A dan infeksi usus lain, tifoid serta diare dan gastroenteritis mempunyai IR yang jauh lebih tinggi yaitu lebih dari
50 kasus per 100.000 penduduk. Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang serius dari pemerintah, produsen maupun konsumen pangan terhadap risiko
penyakit tersebut, tanpa mengesampingkan risiko kelima jenis penyakit akibat pangan yang lainnya seperti tersebut di atas. Namun perlu diperhatikan bahwa
kasus diare dan gastroenteritis merupakan sindrom penyakit akibat pangan, belum diketahui jenis penyakit dan agen penyebabnya secara spesifik.
2. Case Fatality Rate Kasus Penyakit Akibat Pangan
Penyakit akibat pangan foodborne disease dapat memberikan efek sakit ataupun gejala symptom yang beragam, dari gejala yang ringan sampai
berat. Beberapa contoh penyakit akibat pangan yang memberikan gejala yang berat adalah kasus penyakit tifoid-paratifoid dan sigelosis. Sebagai contoh
gejala kedua penyakit tersebut adalah diare berdarah. Berdasarkan Gambar 21, CFR kasus tifoid dan paratifoid di rumah
sakit selama kurun waktu 1998-2003 rata-rata sebesar 1.31, dengan kisaran antara 0.03 sampai 2.21. Nilai tersebut dibawah angka rata-rata CFR
kasus tifoid di Asia yaitu sebesar 3.31 Singh, 2001. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa data tersebut belum mencakup keseluruhan kasus tifoid di
Indonesia, hanya mencakup data kasus penyakit akibat pangan pada rumah sakit dan terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik.
65
0,03 1,31
2,21 1,46
1,63 1,22
0,92 7,63
1,08 4,11
2,72 0,60
1,61 0,78
0,83 0,36
3,04 0,99
1,09 0,54
1,18 10,20
1,76 0,90
1,73 0,68
2 4
6 8
10 12
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
Tahun Ca
se Fa
ta li
ty Ra
te C
FR
tifoid dan paratifoid sigelosis
amubiasis infeksi usus
hepatitis A
Sumber :
Data diolah dari Departemen Kesehatan RI 1998-2003
2,42 23,02
2,00 1,55
1,44 1,69
1,13 10,61
4,98 1,12
0,59 0,83
5 10
15 20
25
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
Tahun Case F
atal ity Rate
C FR
kolera diare dan gastroenteritis
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI 1998-2003
Case fatality rate CFR penyakit sigelosis pada tahun 2003
mempunyai nilai yang terbesar. Dari Gambar 21 dapat dilihat bahwa kasus sigelosis selama kurun waktu dua tahun mengalami peningkatan CFR yang
Gambar 21 . Case fatality rate CFR kasus penyakit akibat pangan
di rumah sakit dengan nilai CFR 12
Gambar 22 . Case fatality rate CFR diare dan gastroenteritis
serta kolera di rumah sakit
66 signifikan. Gambar 21 juga menunjukkan bahwa pada tahun 1999, penyakit
hepatitis A menimbulkan tingkat fatalitas yang paling tinggi yaitu lebih dari 10 dari kasus hepatitis A yang ada meninggal dunia.
Gambar 22 menunjukkan bahwa diare dan gastroenteritis serta kolera dari tahun 1998 sampai 2003 rata-rata mempunyai nilai CFR kurang dari 5,
kecuali pada tahun 1999 mencapai lebih dari 10. Dibandingkan lima kasus penyakit akibat pangan sebelumnya tifoid dan paratifoid, amubiasis,
sigelosis, hepatitis A serta infeksi usus lainnya, penyakit diare dan gastroenteritis serta kolera mempunyai nilai CFR yang jauh lebih tinggi. Oleh
karena itu, diperlukan perhatian yang serius dari semua pihak terkait untuk mengurangi angka kematian akibat kedua jenis kasus tersebut. Interpretasi
tersebut harus dilakukan secara hati-hati karena data CFR ini hanya didasarkan pada data kematian kasus rawat inap yang ada di rumah sakit.
Sedangkan pada data kasus dengan rawat jalan, tidak terlaporkan data kematian kasus akibat foodborne disease. Hal itu, merupakan salah satu
kekurangan sistem surveilan penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia.
3. Admission Rate Kasus Penyakit Akibat Pangan