70 penyakit, termasuk penyakit akibat pangan oleh rumah sakit, puskesmas
maupun pusat pelayanan kesehatan lainnya; 5 Sarana prasarana yang belum memadai juga menyebabkan sulitnya mengimplementasikan sistem pelaporan
kasus penyakit yang seharusnya dilaporkan, misal: layanan pos yang kurang memadai untuk rumah sakit dan puskesmas yang berada di daerah pedalaman
atau jauh dari kota; 6 Letak geografis rumah sakit dan puskesmas yang jauh dapat menjadi kendala dalam pelaporan kasus penyakit, termasuk kasus
penyakit akibat pangan tersebut Nur Khoirimah; Erfandi, personal communication
, Juni 2005.
2. Format Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan
Berdasarkan format dan isi laporannya, formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan belum seragam dan kurang lengkap. Pelaporan data
kasus, termasuk kasus penyakit akibat pangan mengikuti pelaporan seperti pada rekam medis medical record yang ada di rumah sakit ataupun
puskesmas. Rekam medis tersebut berupa formulir tentang identitas kasus, penyakit kasus, serta identitas dokter dan rumah sakit tempat pemeriksaan
kasus. Formulir tersebut diisi oleh dokter yang memeriksa kasus. Formulir rekam medis untuk setiap rumah sakit berbeda-beda sesuai dengan keadaan
dan kemampuan masing-masing rumah sakit. Kelengkapan formulir rekam medis pada rumah sakit dipengaruhi oleh kapasitas dan kemampuan diagnosis
atau analisis laboratorium yang dimiliki rumah sakit yang bersangkutan Nur Khoirimah; Erfandi, personal communication, Juni 2005. Kapasitas,
kemampuan analisis serta finansial rumah sakit yang berbeda menyebabkan formulir dan isi pelaporan data kasus secara nasional tidak lengkap dan
seragam. Hal tersebut menyebabkan terdapat beberapa informasi penting tidak dicantumkan dalam formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan,
sehingga datanya kurang memadai dan kurang ilmiah. Salah satu formulir rekam medis rumah sakit di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 13.
Penetapan agen penyebab penyakit akibat pangan umumnya hanya berdasarkan dugaan suspected yaitu hanya melalui diagnosis klinis dokter,
tanpa dilengkapi dengan analisis spesimen dari laboratorium, sehingga diagnosis yang ada tidak pasti unconfirmed. Oleh karena itu, hampir semua
71 data kasus yang tersedia hanya bersifat dugaan atau tidak dapat dibedakan
antara kasus pasti confirmed dan dugaan suspected. Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan akan lebih efektif untuk tujuan surveilan apabila
disertai dengan konfirmasi hasil pengujian laboratorium. Surveilan berdasarkan laboratorium laboratory-based surveillance mampu
meningkatkan kualitas data dari pada surveilan yang hanya berdasarkan sindrom syndromic surveillance. WHO menekankan agar setiap negara
mengembangkan sistem surveilan berdasarkan laboratorium WHO, 2002. Berdasarkan format pelaporan kasus penyakit, termasuk penyakit
akibat pangan yang ada saat ini pada rumah sakit atau puskesmas, setiap kasus penyakit akibat pangan yang terjadi tidak dilaporkan secara rinci. Dalam
format pelaporan tersebut, hanya disebutkan jumlah total kasus, jumlah orang yang meninggal, jumlah kasus berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin
untuk masing-masing jenis penyakit, serta berdasarkan cara perawatannya yaitu rawat jalan dan rawat inap. Format pelaporan kasus penyakit akibat
pangan yang ada di rumah sakit maupun puskesmas tidak dicantumkan keterangan diagnosis penyakit secara jelas. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang mencakup mekanisme serta formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan secara
seragam. Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang sedang dikembangkan tersebut merupakan langkah awal dalam pembuatan model
sistem pelaporan kasus penyakit terutama penyakit akibat pangan secara terpadu dan sistematik yang dapat diimplementasikan di Indonesia.
G. PENGEMBANGAN SISTEM PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA